b. Persarafan gaster
Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus
coeliacus dan serabut-serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan
sinistra.
Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama
berasal dari nervus vagus sinistra, memasuki abdomen pada permukaan
anterior oesophagus. Truncus, yang mungkin tunggal atau multipel,
kemudian terbagi menjadi cabang-cabang yang menyarafi permukaan
anterior gaster. Sebuah cabang hepaticus yang besar berjalan ke atas
menuju hepar, dan di sini membentuk ramus pyloricus yang berjalan turun
ke pylorus.
Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama
berasal dari nervus vagus dextra, memasuki abdomen pada permukaan
posterior oesophagus. Selanjutnya truncus membentuk cabang-cabang
yang menyarafi permukaan posterior gaster. Suatu cabang yang besar
berjalan menuju plexus coeliacus dan plexus mesentricus superior dan
kemudian didistribusikan ke usus sampai flexura coli sinistra dan ke
pancreas.
Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri,
sedangkan serabut parasimpatis nervus vagus membawa secretomotoris
untuk glandulae gastricae dan serabut motoris untuk tunica muscularis
gaster. Musculus sphincter pyloricus menerima serabut motoris dari sistem
simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.
LO.1.2 Mikroskopik
a. Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung dan meluas ke dalam
sumur-sumur atau foveola. Epitel selapis silindris ini berawal di cardia, di
sebelah epitel berlapis gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan
diri menjadi epitel usus (epitel selapis silindris). Pada tepian muka yang
menghadap lumen, terdapat mikrovili gemuk dan pendek-pendek. Mukus
glikoprotein netral yang disekresikan oleh sel-sel epitel permukaan
membentuk lapisan tipis, melindungi mukosa terhadap asam. Tanpa
adanya mukus ini, mukosa akan mengalami ulserasi.
e. Sel enteroendokrin
Beberapa jenis sel enteroendokrin ditemukan di dalam kelenjar lambung.
Sel-sel ini berjumlah banyak, terutama di daerah antrum pylorik, dan
umumnya ditemukan pada dasar kelenjar. Sel-sel enteroendokrin serupa
dengan sel endokrin yang mensekresi peptida. Sel ini juga ditemukan di
dalam epitel usus halus dan besar, kelenjar oesophagus bagian bawah
(cardia), dan dalam jumlah terbatas pada ductus utama hati dan pankreas.
Sel enteroendokrin menghasilkan beberapa hormon peptida murni
(sekretin, gastrin, kolesitokinin); semuanya melalui peredaran darah untuk
mencapai organ sasaran pankreas, lambung, dan kandung empedu.
Walaupun sistem saraf mengendalikan aktivitas sekretoris dan gerakan
otot dalam saluran cerna, terdapat interaksi yang rumit dengan
Penyimpanan lambung
Pola depolarisasi spontan ritmik di sepanjang lambung menuju sfingter
pylorus dengan kecepatan tiga gelombang per menit disebut Basic Electrical
Rhythm (BER) lambung, berlangsung secara terus-menerus dan mungkin
disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung. Salah satu
kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung bagian fundus bagian
atas. Di fundus dan korpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat,
makanan yang masuk ke lambung dari esophagus tersimpan relatif tenang
tanpa mengalami pencampuran. Daerah fundus biasanya tidak menyimpan
makanan, tetapi hanya berisi sejumlah gas. Makanan secara bertahap
disalurkan dari korpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran
makanan.
Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltic lambung yang kuat merupakan penyebab makanan
bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap
gelombang peristaltic antrum mendorong kimus ke depan ke arah sfingter
pylorus. Kontraksi tonik sfingter pylorus dalam keadaan normal menjaga
sfingter hampir tetapi tidak seluruhnya tertutup rapat. Lubang yang tersedia
cukup besar untuk air dan cairan lain lewat, tetapi terlalu kecil untuk kimus
yang kental untuk lewat, kecuali apabila kimus terdorong oleh kontraksi
peristaltic yang kuat. Walaupun demikian, dari 30 ml kimus yang dapat
ditampung antrum, hanya beberapa ml isi antrum yang terdorong ke
duodenum oleh setiap gelombang peristaltik. Sebelum lebih banyak kimus
yang dapat diperas keluar, gelombang peristaltic sudah mencapai sfingter
pylorus dan menyebabkan sfingter tersebut berkontraksi lebih kuat, menutup
pintu keluar dan menghambat aliran kimus lebih lanjut ke dalam duodenum.
Gerakan maju mundur tersebut disebut retropulsi, menyebabkan kimus
bercampur secara merata di antrum.
Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltic antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung,
juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah
kimus yang lolos ke duodenum pada setiap gelombang peristaltic sebelum
sfingter pylorus tertutup erat terutama bergantung pada kekuatan peristaltic.
Semakin tinggi eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan potensial
aksi, semakin besar aktifitas peristaltic di antrum dan semakin cepat
pengosongan lambung.
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjdi fase sefalik, gastrik, dan
intestinal. Fase sefalik sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk
lambung, yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan atau mengecap
makanan. Fase ini seluruhnya diperntarai oleh saraf vagus dan dihilangkan
dengan vagotomi. Sinyal neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal
dari korteks serebri atau pusat nafsu makan. Hal ini mengakibatkan kelenjar
gastrik terangsang dan menyeksresikan HCl, pepsinogen, dan menambah
mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10 % dari sekresi lambung normal
yang berhubungan dengan makanan.
Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi antrum
juga menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor-reseptor
pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui
aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus. Impuls ini
merangsang pelepasangastrin secara langsung juga merangsang kelenjar-
kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawwa oleh
aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi. Fase
sekresi gastrik menghasilkan lebih dari duapertiga sekresi lambung total
setelah makan.
Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Fase
sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein
yang tercerna sebagian dala duodenum tampaknya merangsang pelepasan
gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus menerus
menyekskresikan sejumlah kecil cairan lambung. Meskipun demikian,
peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi lambung jauh lebih besar.
Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai oleh
pleksus mientrikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi dan
pengosongan lambung. Adanya asam, lemak dan hasil-hasil pemecahan
protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin,
kolesitokinin, dan peptida pengahambat gastrik, semuanya memiliki efek
inhibisi terhadap sekresi lambung.
DIGESTI LIPID
Lipase melanjutkan pencernaan triasilgliserol. Panas lambung merupakan
faktor penting untuk mencairkan massa lemak yang berasal dai makanan;
proses emulsifikasi terjadi dengan bantuan kontraksi peristaltik. Lambung
mensekresikan lipase lambung (lipase gastrik) yang pada manusia
merupakan lipase praduodenal utama. Lipase lingual dan gastrik memulai
pencernaan lemak dengan menghidrolisis triasilgliserol yang mengandung
asam lemak rantai pendek, sedang, dan umumnya asam lemak tak jenuh
rantai panjang, untuk membentuk terutama asam lemak bebas serta 1,2-
diasilgliserol, dengan ikatan sn-3 ester sebagai tempat hidrolisis utamanya.
Enzim ini hancur pada nilai pH rendah, tetapi bekerja aktif sesudah makan
karena kerja pendaparan yang dimiliki protein makanan di dalam lamung.
Nilai pH optimal cukup luas, mulai dari 3,0 hingga 6,0.
B. Pancreas
Pankreas terletak di dalam rongga perut bagian belakang, bentuknya
memanjang dan menghasilkan getah-getah pankreas. Pankreas juga
mempunyai salah satu fungsi utama mengatur kadar gula dalam darah.
Di dalam pankreas terdapat kelenjar insulin yang menghasilkan hormone
insulin. Fungsi hormon insulin adalah mengubah gula darah yang disebut
glukosa menjadi gula lain bernama glikogen. Glikogen ini disebut juga
sebagai gula otot. Pengubahan glukosa menjadi glikogen mengakibatkan
kadar glukosa darah menjadi stabil.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual
setelah makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
a. Laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, seperti pemeriksaan
darah, urine, dan tinja secara rutin. Dari pemeriksaan darah, bila
ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak, berarti kemungkinan pasien menderita
malabsorbsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambungnya.
b. Radiologis.
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang diagnosis suatu
penyakit di saluran cerna. Setidak-tidaknya perlu dilakukan
pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian atas dan
sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks
gastroesofageal, akan tampak peristaltik di oesophagus yang
menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum
yang meninggi, serta sering menutupnya pylorus sehingga sedikit
barium yang masuk ke intestinal. Pada tukak, baik di lambung
maupun di duodenum, akan terlihat gambaran yang disebut niche,
yaitu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin.
c. Endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi dari saluran cerna bagian atas akan
banyak membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan
adalah ada-tidaknya kelainan di oesophagus, lambung, duodenum.
Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor
(jinak atau ganas).
d. Ultrasonografi (USG)
Merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini
makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan
diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan
efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi
pasien yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat
USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kelainan
di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada
dugaan di oesophagus dan lambung.
1. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan nyeri abdomen bagian
atas epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun regurgitasi asam. Kemungkinan
lain, irritable bowel syndrome (IBS) yang ditandai dengan nyeri abdomen
(perut) yang rekuren, yang berhubungan dengan buang air besar (defekasi)
yang tidak teratur dan perut kembung.
2. Penyakit jantung iskemik
Umumnya sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada,
perut kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding
inferior juga sering memberikan keluhan rasa sakit perut di atas, mual,
kembung, kadang-kadang penderita angina mempunyai keluhan menyerupai
refluks gastroesofageal.
3. Penyakit vaskular kolagen
Terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus, akan sering memberi
keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada
penderita SLE, terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.
LO.3.7 Tatalaksana
1. Dietetik
Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara
bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan
merupakan pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang,
seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi sebaiknya dipakai sebagai pegangan
umum secara proporsional dan jangan sampai menurunkan/mempengaruhi
kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk
makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.
2. Medikamentosa
A. Antasid
Antasid ialah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna
untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antacid tidak mengurangi volume
HCl yang dikeluarkan oleh lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan
aktivitas pepsin. Mula kerja antacid sangat bergantung pada kelarutan dan
kecepatan netralisasi asam. Sedangkan kecepatan pengosongan lambung
sangat menentukan masa kerjanya. Semua antacid meningkatkan produksi
HCl berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin. Antacid
dibagi dalam 2 golongan, yaitu :
1. Antasid sistemik
Antasid sistemik diabsorpsi didalam usus halus sehingga menyebabkan
urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal, dapat terjadi
alkalosis metabolic.
a. Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya
larutnya tinggi. Karbondioksida yang terbentuk dalam lambung akan
menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat
menimbulkan perforasi. Selain dapat menimbulkan alkalosis metabolic,
obat ini juga dapat menyebabkan retensi natrium dan edema.
2. Antasid non-sistemik
Antasid non-sistemik hampir tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak
menimbulkan alkalosis metabolik.
a. Aluminium Hidroksida (Al(OH)3)
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya
lebih panjang. Al(OH)3 dan sediaan Al lainnya bereaksi dengan fosfat
membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil,
sehingga ekskresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja
bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga
bersifat astrigen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Efek samping Al(OH)3 yang utama adalah
konstipasi. Ini dapat diatasi dengan memberikan antacid garam Mg.
Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorpsi fosfat dapat terjadi
sehingga menimbulkan symbol deplesi fosfat disertai osteomalasia.
Aluminium hidroksida digunakan untuk mengobati tukak peptik,
nefrolitiasis fosfat dan sebagai adsorben pada keracunan.
b. Kalsium Karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif, karena mula
kerjanya cepat, maka kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya
cukup tinggi. Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual,
muntah, perdarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal dan fenomena
acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasar daya netralisasi
asam, tapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang
mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan
HCl. Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat
tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang
dapat terjadi adalah hiperkalsemia, kalsifikasi metastatic, alkalosis,
azotemia.
c. Magnesium Hidroksida (Mg(OH)2) :
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antacid.
Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektif sebelum obat ini bereaksi
dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak
bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl
yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Pemberian
kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorpsi, tetap
berada dalam usus dan akan menarik air.
d. Magnesium Trisilikat
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga
berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silica dari magnesium trisilikat
akan diabsorpsi melalui usus dan diekskresi dalam urin. Silica gel dan
magnesium trisilikat merupakan adsorben yang baik; tidak hanya
mengadsorpsi pepsin tapi juga protein dan besi dalam makanan. Dosis
tinggi magnesium trisilikat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan
terjadinya batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisilikat.
B. Obat penghambat sekresi asam lambung
I. Penghambat pompa proton (PPI)
Obat ini bekerja di proses akhir produksi asam lambung, lebih distal
dari AMP. Saat ini yang digunakan di klinik adalah omeprazol,
esomeprazol, lansoprazol, rabeprazol, dan pantoprazol. Penghambat
pompa proton adalah suatu prodrug yang membutuhkan suasana asam
untuk aktivasinya. Setelah diabsorpsi dan masuk ke sirkulasi sitemik obat
ini akan berdifusi ke sel parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar
dan mengalami aktivasi disitu menjadi bentuk sulfonamide tetrasiklik.
Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfihidril enzim H +K+ ATPase
(pompa proton) dan berada di membrane apical sel parietal. Ikatan ini
menyebabkan terjadinya penghambatan enzim tersebut. Efek samping
yang umum terjadi adalah mual, nyeri parut, konstipasi, dan diare.
Dilaporkan pula terjadi myopati subakut, artralgia, sakit kepala dan ruam
kulit.
Farmakodinamik.
Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan
suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke
sirkulasi sistemik, obat ini akan berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di
kanalikuli sekretoar, dan mengalami aktivasi di situ membentuk sulfonamid
tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+,
ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran
sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan enzim
tersebut. Produksi asam lambung berhenti 80%-95% setelah
penghambatan pompa poroton tersebut.
Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat
menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas
dari jenis perangsangnya histamin, asetilkolin, atau gastrin. Hambatan ini
sifatnya irreversibel, produksi asam kembali dapat terjdai 3-4 hari
pengobatan dihentikan.
Farmakokinetik.
Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan
salut enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana
asam. Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-
availabilitasnya labih baik. Tablet yang dipecah dilambung mengalami
aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan.
Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.
Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda
memperlihatkan persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi luas.
Bioalvailabilitas yang bukan salut enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini
dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi asam lambung setelah
obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P 450 (CYP),
terutama CYP2P19 dan CYP3A4.
Indikasi.
Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik.
Terhadap sindrom Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam
lambung lebih baik pada AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak
terlalu mengganggu.
Efek samping. Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri
perut, konstipasi, flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati
subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam kulit.
II. Sucralfate.
Cara kerjanya adalah dengan membentuk selaput pelindung di dasar
ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Sangat efektif untuk mengobati
ulkus peptikum dan merupakan pilihan kedua dari antasid. Sucralfate
diminum 3-4 kali/hari dan tidak diserap ke dalam darah, sehingga efek
sampingnya sedikit, tetapi bisa menyebabkan sembelit.
1. Urutan prioritas
a. PPI + amoksisilin + kklaritromisin
b. PPI + metronidazol + klaritromisin
c. PPI + metronidazol + tetrasiklin
Pengobatan dilakukan selama satu minggu.
Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama.
Kriteria gagal adalah 4 minggu pasca terapi, kuman H.pylori tetap positif
berdasarkan pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi.
2. Urutan prioritas
a. Collodial bismuth subcitrate + PPI + amoksisilin + kklaritromisin
b. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + klaritromisin
c. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + tetrasiklin
Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan
resistensi H.pylori dengan media transport MIU.
E. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid,
domperidon, cisapride.
Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat
ini dipakai untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal,
makanan yang dirasa tidak turun, transit oesophageal yang melantur,
gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya cukup banyak, terutama pada
aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit kepala, mata kabur,
kejang perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat. Oleh
karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.
F. Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang
mempunyai efek anti-dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini
berkhasiat sentral maupun perifer. Khasiat metoklopramid antara lain:
- meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion
kolinergik,
- merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
- merupakan reseptor antagonis dopamin
Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan merangsang kontraksi dari
saluran cerna dan mempercepat pengosongan lambung.
Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik,
iritabilitas atau sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek
antagonisme dopamin sentral dari metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi
pada anak dapat menyebabkan hipertonis dan kejang.
G. Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon
merupakan antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah
otak, maka tidak mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga
mempunyai efek samping yang rendah daripada metoklopramid.
Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian
bawah sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan
meningkatkan koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung
yang sedang terganggu, yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta
menghambat relaksasi lambung sehingga pengosongan lambung akan lebih
cepat.
Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa
pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa,
gastroparesis. Demikian pula bermanfaat sebagai obat antiemetik pada
penderita pasca-bedah, bahkan efektif sebagai pencegah muntah pada
penderita yang mendapat kemoterapi.
Efek sampingnya lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering,
kulit gatal, diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi,
efeknya akan meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan
ginekomasti pada pria, serta galaktore dan amenore pada wanita.
H. Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru
yang mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat
ini mempunyai spektrum yang luas.
Pada penderita dengan dispepsia, dimana sering terjadi gangguan motilitas
pada saluran cerna bagian atas, obat ini bermanfaat untuk memperbaiki. Hal
ini disebabkan karena cisapride meningkatkan tonus sphincter oesophagus
bagian bawah, peristaltik oesophagus, dan pengosongan oesophagus. Di
samping itu, akan meningkatkan peristaltik antrum, memperbaiki koordinasi
gastro-duodenum dan mempercepat pengosongan lambung. Manfaat
cisapride pada saluran cerna bagian bawah yaitu akan merangsang aktivitas
motorik usus halus dan kolon sehingga mempercepat transit di sini. Jadi, obat
ini juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi usus kronis idiopatik, pada
penderita konstipasi karena paraplegia, dan pemakai obat laxatif yang
menahun. Efek samping yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan
rasa kejang di perut yang sifatnya sementar.
LO.3.8 Pencegahan
A. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion)
kepada masyarakat mengenai :
a.Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali
dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
b.Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan
gizi dan penyediaan air bersih.
c.Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang
diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang
diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya.
d.Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang
beralkohol, kopi serta merokok.
C. Pencegahan Tertier
LO.3.9 Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di
dinding lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lama lambung
terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka
akan semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran
cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah, di mana merupakan
pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami
buang air besar berwarna hitam terlebih dulu yang artinya sudah ada
perdarahan awal. Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya
kanker lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi.
LO.3.10 Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik.
LO.3.11 Epidemiologi
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators,
dispepsia didefi nisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama
dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III
terbaru, dispepsia fungsional didefi nisikan sebagai sindrom yang mencakup
satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah
makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung
sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul
6 bulan sebelum diagnosis.
Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam
praktik klinis seharihari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun
2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9%
pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri
mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan
keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh,
sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau
keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya
termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yanglebih
dikenal sebagai penyakit maag.
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan
kesehatan primer.Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark
mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia
ternyata telah terinfeksi H. pyloriyang terdeteksi setelah dilakukan
pemeriksaan lanjutan.