OLEH :
CHRISTIN NATALIA
NIM. 113063J117058
I. KONSEP TEORI
A. Anatomi & Fisiologi Kolon
1. Anatomi
Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix vermiformis,
colon, rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian pertama intestinum
crassum dan beralih menjadi colon ascendens. Panjang dan lebarnya kurang
lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah
bagian lateralis ligamentum inguinale.
Appendix vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan
berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal. Colon
ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai
ke permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada
flexura coli dextra untuk beralih menjadi colon transversum. Pendarahan colon
ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri ileocolica dan arteri
colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Vena ileocolica dan vena
colica dextra, anak cabang mesenterika superior, mengalirkan balik darah dari
colon ascendens.
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan
paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut
membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45 - 50 cm. Pendarahan colon
transversum terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria
mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra
dan arteri colica sinistra. Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi
melalui vena mesenterica superior.
Colon descendens panjangnya kurang lebih 25 cm. Colon descendens
melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca sinistra dan
disini beralih menjadi colon sigmoideum.
Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih
40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Rectum adalah bagian akhir
intestinum crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi
canalis analis.
(Widjaja, 2009).
2. Fisiologi
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
3
B. Definisi
Tumor adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu pada
tubuh, dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas. Kanker
adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan
kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan
pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi
sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini
menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol
pembagian sel, dan fungsi lainnya (Gale, 2000).
Kanker kolon suatu bentuk keganasan dari masa abnormal/ neoplasma yang
muncul dari jaringan ephitel dari kolon (Haryono, 2012).
Kanker kolorektal (KKR) merupakan suatu tumor malignant yang muncul pada
jaringan ephitelial dari colon/ rektum. Umumnya tumor kolorektal adalah
adenokarsinoma yang berkembang dari polip adenoma (Wijaya dan Putri, 2013).
C. Etiologi
Faktor resiko terjadinya kanker kolorektal dikelompokkan menjadi dua yaitu
faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi
(Khosama, 2015).
1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Usia
Diagnosis KKR meningkat progresif sejak usia 40 tahun, meningkat
tajam setelah usia 50 tahun; lebih dari 90% kasus KKR terjadi di atas usia
50 tahun. Angka kejadian pada usia 60-79 tahun 50 kali lebih tinggi
dibandingkan pada usia kurang dari 40 tahun.
b. Faktor Herediter
Riwayat familial berkontribusi pada sekitar 20% kasus KKR. Kondisi
yang paling sering diwariskan adalah familial adenomatous polyposis (FAP)
dan hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), dikenal sebagai
sindrom Lynch.
2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi
a. Pola Diet dan Nutrisi
Diet berpengaruh kuat terhadap risiko KKR, dan perubahan pola makan
dapat mengurangi risiko kanker ini hingga 70%. Insidens KKR meningkat
pada orang-orang yang mengonsumsi daging merah dan/ atau daging yang
5
c. Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker kolon. Ileus kolon sisi kiri sering
ditemukan . kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplstik menginvasi kesekitar
dinding usus membuat lumen usus menyempit hingga ileus, sering berupa
ileus mekanik nontotal kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tak enak
perut intermiten, borborigmi, obstipasi atau feses menjadi kecil (seperti pensil
atau tahi kambing) bahkan tak dapat buang angin atau feses. Sedangkan ileus
akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif. Tidak jarang
terjadi intususepsi dan ileus karena tumor pada pasien lansia, maka pada lansia
dengan intususepsi harus memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada
ileus akut maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat
muntah, mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.
d. Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu didaerah
abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan pada koon belahan
kanan. Pasien lansia umumnya mengurus, dinding abdomen relatif longgar,
massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat mobil, setelah menginvasi
sekitar menjadi infeksi.
e. Anemia, penurunan berat badan, demam, astenia dan gejala toksik sistemik
lain. Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan
kronis jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor
menyebabkan demam dan gejala toksik.
2. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumor adalah
penyakit sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar timbul gejala
stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam kavum pelvis
menimbulkan nyeri daerah lumbosakra, iskialgia dan neuralgia obturatoria; ke
anterior menginvasi mukosa vagina dan vesika urinaria menimbulkan perdarhan
pervaginam atau hematuria, bila parah dapat timbul fistel rektovaginal, fistel
rektovesikel; obstruksi ureter bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada
retra menimbulkan retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau tekanan
pada vena iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial; perforasi
menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis ke paru menimbulkan
batuk, nafas memburu, hemoptisis; metastasis ke otak menyebabkan koma;
metastasis tulang menimbulkan nyeri tulang, dll. Akhirnya dapat timbul kakeksia,
kegagalan sistemik.
8
E. Epidemiologi
Peningkatan insidens dan mortalitas kanker kolorektal (KKR) terjadi terutama di
kalangan masyarakat makmur, termasuk di wilayah Asia. Walaupun perubahan pola
diet dan gaya hidup dipercaya sebagai penyebab mendasar peningkatan insidens,
interaksi antara faktor-faktor dan karakter genetik pada populasi Asia memegang
peranan penting. Kanker kolorektal (KKR) merupakan keganasan ketiga terbanyak
setelah kanker paru dan kanker payudara, serta menjadi penyebab kematian keempat
terbanyak di dunia. Diperkirakan terdapat 1.233.000 kasus KKR baru/tahun dengan
angka mortalitas mencapai 608.000 kasus. Di Indonesia tidak terdapat angka insidens
dan mortalitas KKR, sebagian besar penderita datang dalam stadium lanjut, sehingga
angka harapan hidupnya rendah (Khosama, 2015).
F. Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta
merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat
terlepas dari tumor primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke
hati) (Japaries, 2013).
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen
usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi
kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada
jaringan lain. Prognosis relatif baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa
pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih buruk jika telah terjadi mestatase ke
kelenjar limfe (Japaries, 2013).
Menurut Diyono (2013), tingkatan kanker kolon adalah sebagai berikut :
1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding kolon).
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker kolo merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh secara lokal
dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini melalui beberapa cara.
Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam lapisan dinding usus sampai
keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akanmengenai organ
disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi didalam lumen usus yaitu
melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem
9
sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian
metastase ke organ paru-paru. Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang,
dan otak. Sel kanker pun dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan
dilakukan reseksi tumor.
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis
villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis
villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaligna. Jenis tubular
berstruktur seperti bola dan bertangkai, sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan
seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai
bunga kol didalam kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa
kolon. Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang
akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruksi pun
kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan.
Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (ascendens dan transversum), maka
obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi (feses masih mempunyai konsentrasi
air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk
(disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (descendens atau
bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang
telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total
atau parsial.
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan
genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permalignan (adenoma)
untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa molekuler dan genetik yang
menyebabkan transformsi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah
mutasi APC (adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada
individu dengan keluarga adenomatosa poliposis (FAP = familial adenomatous
polyposis). Protein yang dikodekan oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-myc
dan siklinD1, yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas.
(Diyono, 2013).
10
G. Pathway
Kanker kolon
Obstruksi
Anoreksia, Nyeri akut Intoleransi
mual muntah aktivitas
Konstipasi
Defisit nutrisi
11
H. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa macam pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi kanker kolon yaitu :
1. Endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi perlu dikerjakan, baik sigmoidoskopi maupun
kolonoskopi. Gambaran yang khas karsinoma atau ulkus akan dapat dilihat
dengan jelas pada endoskopi, dan untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan
biopsi.
2. Radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dikerjakan antara lain adalah :
fotothorak dan foto kolon (barium enema). Pemeriksaan dengan enema barium
mungkin dapat memperjelas keadaan tumor dan mengidentifikasikan letaknya.
Tes ini mungkin menggambarkan adanya kebuntuan pada isi perut, dimana
terjadi pengurangan ukuran tumor pada lumen. Luka yang kecil kemungkinan
tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium secara umum dilakukan
setelah sigmoidoscopy dan colonoscopy.
3. Computer Tomografi (CT) membantu memperjelas adanya massa dan luas dari
penyakit. Chest X-ray dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang
jauh yang sudah metastasis.
4. Pemeriksaan foto dada berguna selain untuk melihat ada tidaknya metastasis
kanker pada paru juga bisa digunakan untuk persiapan tindakan pembedahan.
Pada foto kolon dapat dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat atau
suatu striktura.
5. Ultrasonografi (USG). Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi ada tidaknya
metastasis kanker kelenjar getah bening di abdomen dan di hati.
6. Histopatologi/ Selain melakukan endoskopi sebaiknya dilakukan biopsi di
beberapa tempat untuk pemeriksaan histopatologis guna menegakkan diagnosis.
Gambaran histopatologi karsinoma kolorektal ialah adenokarsinoma, dan perlu
ditentukan differensiasi sel.
7. Laboratorium. Tidak ada petanda yang khas untuk karsinoma kolorektal,
walaupun demikian setiap pasien yang mengalami perdarahan perlu diperiksa
Hb. Tumor marker (petanda tumor) yang biasa dipakai adalah CEA. Kadar CEA
lebih dari 5 mg/ ml biasanya ditemukan karsinoma kolorektal yang sudah lanjut.
Berdasarkan penelitian, CEA tidak bisa digunakan untuk mendeteksi secara dini
karsinoma kolorektal, sebab ditemukan titer lebih dari 5 mg/ml hanya pada
12
sepertiga kasus stadium III. Pasien dengan buang air besar lendir berdarah, perlu
diperiksa tinjanya secara bakteriologis terhadap shigella dan juga amoeba.
8. Scan (misalnya, MR1. CZ: gallium) dan ultrasound: Dilakukan untuk tujuan
diagnostik, identifikasi metastatik, dan evaluasi respons pada pengobatan.
9. Biopsi (aspirasi, eksisi, jarum): Dilakukan untuk diagnostik banding dan
menggambarkan pengobatan dan dapat dilakukan melalui sum-sum tulang, kulit,
organ dan sebagainya.
10. Jumlah darah lengkap dengan diferensial dan trombosit: Dapat menunjukkan
anemia, perubahan pada sel darah merah dan sel darah putih: trombosit
meningkat atau berkurang.
11. Sinar X dada: Menyelidiki penyakit paru metastatik atau primer.
I. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penangan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif untuk kaker
kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan
maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari
kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin
5 cm bebas tumor.
Menurut Haryono (2012), pembedahan merupakan tindakan primer pada kira-
kira 75% pasien dengan kanker kolorektal. Pembedahan dapat bersifat kuratif atau
palliative. Kanker yang terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop.
Kolosotomi laparoskopik dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru
dikembangkan untuk meminimalkan luasnya pembedahan padabeberapa kasus.
Laparoskop digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan dikolon
massa tumor kemudian dieksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi
kelas A dan semua kelas B serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk
mengatasi kanker kolon D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah palliative.
Apabila tumor telah menyebar dan mencangkup struktur vital sekitarnya, maka
operasi tidak dapat dilakukan.
2. Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan X-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi
13
radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi
diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.
3. Kemotherapi
Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Dalam
penggunaan modernnya, istilah ini hampir merujuk secara eksklusif kepada obat
sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker. Kemoterapi bermanfaat untuk
menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang
tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah.
Kemoterapi merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat
sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker.
Kemoterapi memerlukan penggunaan obat untuk menghancurkan sel kanker.
Walaupun obat ideal akan menghancurkan sel kanker dengan tidak merugikan sel
biasa, kebanyakan obat tidak selektif. Malahan, obat didesain untuk
mengakibatkan kerusakan yang lebih besar pada sel kanker daripada sel biasa,
biasanya dengan menggunakan obat yang mempengaruhi kemampuan sel untuk
bertambah besar. Pertumbuhan yang tak terkendali dan cepat adalah ciri khas sel
kanker. Tetapi, karena sel biasa juga perlu bertambah besar, dan beberapa
bertambah besar cukup cepat (seperti yang di sumsum tulang dan garis sepanjang
mulut dan usus), semua obat kemoterapi mempengaruhi sel biasa dan
menyebabkan efek samping.
Tujuan pemberian kemoterapi : pengobatan, mengurangi massa tumor selain
pembedahan atau radiasi, meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki
kualitas hidup, mengurangi komplikasi akibat metastase. Kemoterapi dapat
diberikan dengan cara infus, suntikan langsung (pada otot, bawah kulit, rongga
tubuh) dan cara diminum (tablet/kapsul).
Efek samping yang bisa timbul adalah antara lain: lemas, mual dan muntah,
gangguan pencernaan, sariawan, efek pada darah, otot dan saraf, kulit dapat
menjadi kering dan berubah warna, dan produksi hormon.
Dalam beberapa penelitian kemoterapi mampu menekan jumlah kematian
penderita kanker tahap dini, namun bagi penderita kanker tahap akhir/ metastase,
tindakan kemoterapi hanya mampu menunda kematian atau memperpanjang usia
hidup pasien untuk sementara waktu.
a. Flourorasil (5-FU)
Merupakan obat kemoterapi golongan antimetabolit pirimidin dengan
mekanisme kerja menghambat metilasi asam deoksiuridilat menjadi asam
14
i. Keamanan
Gejala : adanya riwayat polip, radang kronik viseratif.
j. Muskuloskeletal
Gejala : penurunan kekuatan otot, kelemahan dan malaise (diare, dehidrasi,
dan malnutrisi).
k. Seksualitas
Gejala : tidak bisa melakukan hubungan seksual/ frekuensi menurun.
l. Interaksi Sosial
Gejala : masalah hubungan/ peran sehubungan dengan kondisi
ketidakmampuan aktif dalam sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Diyono, S.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Pencernaan. Jakarta : kencana.
Eroschenko, V.P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional. Edisi 9. Jakarta
: EGC.
Gale, D & Charette, J. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC : Jakarta.
Ganong, W.F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C & Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Singapura : Elsevier.
Japaries, W & Desen, W. 2013. Onkologi Klinis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Kemkes, RI. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kolorektal. Diakses pada
tanggal 2 April 2018 dari http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKkolorektal.pdf.
Khosama, Yuansun. 2015. Faktor Resiko Kanker Kolorektal. Vol. 42 No. 11. Diakses pada
tanggal 1 April 2018 dari http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_234Faktor%20R
isiko%20Kanker%20Kolorektal.pdf.
Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Widjaja, P & Daniel, S.W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika.