Anda di halaman 1dari 21

1

LAPORAN PENDAHULUAN TENTANG KANKER KOLON


DI RUANG EDELWEIS RSUD ULIN BANJARMASIN

OLEH :

CHRISTIN NATALIA
NIM. 113063J117058

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2018
2

I. KONSEP TEORI
A. Anatomi & Fisiologi Kolon
1. Anatomi
Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix vermiformis,
colon, rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian pertama intestinum
crassum dan beralih menjadi colon ascendens. Panjang dan lebarnya kurang
lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah
bagian lateralis ligamentum inguinale.
Appendix vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan
berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal. Colon
ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai
ke permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada
flexura coli dextra untuk beralih menjadi colon transversum. Pendarahan colon
ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri ileocolica dan arteri
colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Vena ileocolica dan vena
colica dextra, anak cabang mesenterika superior, mengalirkan balik darah dari
colon ascendens.
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan
paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut
membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45 - 50 cm. Pendarahan colon
transversum terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria
mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra
dan arteri colica sinistra. Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi
melalui vena mesenterica superior.
Colon descendens panjangnya kurang lebih 25 cm. Colon descendens
melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca sinistra dan
disini beralih menjadi colon sigmoideum.
Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih
40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Rectum adalah bagian akhir
intestinum crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi
canalis analis.
(Widjaja, 2009).
2. Fisiologi
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
3

dikeluarkan (Guyton, 2008), kolon mengubah 1000 – 2000 ml kimus isotonik


yang masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume
sekitar 200 – 250 ml (Ganong, 2008).
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan
proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan
kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses
sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon
penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara
normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan
sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi
tambahan untuk tubuh (Guyton, 2008).
3. Histologi
Dinding usus besar terdiri dari empat lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna dan serosa. Mukosa terdiri atas epitel selapis silindris
kelenjar intestinal, lamina propia dan muskularis mukosa. Usus besar tidak
mempunyai plika dan vili, jadi mukosa tampak lebih rata daripada yang ada pada
usus kecil. Submukosa di bawahnya mengandung sel dan serat jaringan ikat,
berbagai pembuluh darah dan saraf. Tampak kedua lapisan otot di muskulus
eksterna. Baik kolon tranversum maupun kolon sigmoid melekat ke dinding
tubuh oleh mesenterium, oleh karena itu, serosa menjadi lapisan terluar pada
kedua bagian kolon ini. Di dalam mesenterium terdapat jaringan ikat longgar,
sel-sel lemak, pembuluh darah dan saraf (Eroschenko, 2003).
4

B. Definisi
Tumor adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu pada
tubuh, dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas. Kanker
adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan
kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan
pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi
sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini
menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol
pembagian sel, dan fungsi lainnya (Gale, 2000).
Kanker kolon suatu bentuk keganasan dari masa abnormal/ neoplasma yang
muncul dari jaringan ephitel dari kolon (Haryono, 2012).
Kanker kolorektal (KKR) merupakan suatu tumor malignant yang muncul pada
jaringan ephitelial dari colon/ rektum. Umumnya tumor kolorektal adalah
adenokarsinoma yang berkembang dari polip adenoma (Wijaya dan Putri, 2013).

C. Etiologi
Faktor resiko terjadinya kanker kolorektal dikelompokkan menjadi dua yaitu
faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi
(Khosama, 2015).
1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Usia
Diagnosis KKR meningkat progresif sejak usia 40 tahun, meningkat
tajam setelah usia 50 tahun; lebih dari 90% kasus KKR terjadi di atas usia
50 tahun. Angka kejadian pada usia 60-79 tahun 50 kali lebih tinggi
dibandingkan pada usia kurang dari 40 tahun.
b. Faktor Herediter
Riwayat familial berkontribusi pada sekitar 20% kasus KKR. Kondisi
yang paling sering diwariskan adalah familial adenomatous polyposis (FAP)
dan hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), dikenal sebagai
sindrom Lynch.
2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi
a. Pola Diet dan Nutrisi
Diet berpengaruh kuat terhadap risiko KKR, dan perubahan pola makan
dapat mengurangi risiko kanker ini hingga 70%. Insidens KKR meningkat
pada orang-orang yang mengonsumsi daging merah dan/ atau daging yang
5

telah diproses. Konsumsi daging merah dilaporkan memiliki hubungan lebih


erat dengan insidens kanker rektum, sedangkan konsumsi daging yang
diproses dalam jumlah besar berhubungan dengan kanker kolon bagian
distal. Mekanisme potensial asosiasi positif antara konsumsi daging merah
dengan kanker kolorektal termasuk adanya heme besi pada daging merah.
Beberapa jenis daging yang dimasak pada temperatur tinggi memicu
produksi amino heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisiklik, keduanya
dipercaya merupakan bahan karsinogenik. Larson, dkk. melalui studi
prospektif menyarankan pembatasan konsumsi daging merah dan daging
yang diproses untuk mencegah KKR.
b. Aktivitas Fisik dan Obesitas
Dua faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan saling berhubungan,
aktivitas fisik dan kelebihan berat badan, dilaporkan berpengaruh pada
sepertiga kasus KKR. Aktivitas fisik meningkatkan angka metabolik dan
meningkatkan ambilan oksigen maksimal. Dalam jangka panjang, aktivitas
reguler serupa meningkatkan efisiensi dan kapasitas metabolik tubuh, juga
menurunkan tekanan darah dan resistensi insulin. Selain itu, aktivitas fisik
meningkatkan motilitas usus. Kelebihan berat badan dan obesitas
meningkatkan sirkulasi estrogen dan menurunkan sensitivitas insulin, juga
dipercaya mempengaruhi risiko kanker, dan berhubungan dengan
penimbunan adipositas abdomen. Obesitas menyebabkan penimbunan
hormon, peningkatan kadar insulin, dan insuline-like growth factor-1 (IGF-
1), pemicu regulator pertumbuhan tumor, gangguan respons imun dan stres
oksidatif, sehingga memicu terjadinya karsinoma kolorektal.
c. Merokok
Sebesar 12% kematian KKR berhubungan dengan kebiasaan merokok.
Onset KKR penderita pria dan wanita perokok lebih muda. Merokok
menyebabkan pembentukan dan pertumbuhan polip adenomatosa, lesi
prekursor KKR. Polip berukuran besar di kolon dan rektum dihubungkan
dengan kebiasaan merokok jangka panjang. Salah satu kandungan rokok
yang bersifat karsinogenik adalah Polyciclic Acid Hydrocarbon (PAH).
d. Alkohol
Konsumsi alkohol reguler berhubungan dengan perkembangan KKR.
Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko KKR pada usia muda, juga
meningkatnya insidens kanker kolon distal. Metabolit reaktif pada alkohol
6

seperti asetaldehid bersifat karsinogenik. Terdapat korelasi antara alkohol


dan merokok, rokok menginduksi mutasi spesifik DNA yang perbaikannya
tidak efektif karena adanya alkohol. Konsumsi tinggi alkohol biasanya
berhubungan dengan nutrisi rendah, sehingga jaringan rentan terhadap
karsinogenesis.
e. Lain-lain
Peranan suplementasi kalsium dan vitamin D untuk mencegah kanker
kolorektal masih perlu diteliti lebih lanjut. Studi meta-analisis menunjukkan
kalsium 1200 mg menurunkan risiko adenoma secara bermakna, sedangkan
hubungan antara vitamin D dan kanker belum diketahui pasti.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Keluhan utama pasien pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar
dengan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon
berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sedikit sekali kecenderungan
menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala
klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatik anemia
(menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang berada
pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat
iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan komplikasi
karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor
pada rektum atau sigmoid bersifat lebih infiltratif pada waktu diagnosis dari leksi
proksimal, maka prognosisnya lebih jelek (Kumar dkk, 2010). Menurut Japaries
(2013) kanker usus besar dibagi menajadi dua stadium yaitu :
1. Stadium dini
a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi : sering buang air besar,
diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih berganti, tenesmus,
anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar abdomen. Pasien lansia
bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka nyeri, kadang kala setelah terjadi
perforasi tumor, peritonitis baru merasakan nyeri dan berobat.
b. Hematokezia : tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah segar atau
merah gelap, biasanya tidak banyak, intermitan. Jika posisi tumor agak tinggi,
darah dan feses becampur menjadikan feses mirip selai. Kadang kala keluar
lendir berdarah.
7

c. Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker kolon. Ileus kolon sisi kiri sering
ditemukan . kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplstik menginvasi kesekitar
dinding usus membuat lumen usus menyempit hingga ileus, sering berupa
ileus mekanik nontotal kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tak enak
perut intermiten, borborigmi, obstipasi atau feses menjadi kecil (seperti pensil
atau tahi kambing) bahkan tak dapat buang angin atau feses. Sedangkan ileus
akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif. Tidak jarang
terjadi intususepsi dan ileus karena tumor pada pasien lansia, maka pada lansia
dengan intususepsi harus memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada
ileus akut maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat
muntah, mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.
d. Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu didaerah
abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan pada koon belahan
kanan. Pasien lansia umumnya mengurus, dinding abdomen relatif longgar,
massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat mobil, setelah menginvasi
sekitar menjadi infeksi.
e. Anemia, penurunan berat badan, demam, astenia dan gejala toksik sistemik
lain. Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan
kronis jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor
menyebabkan demam dan gejala toksik.
2. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumor adalah
penyakit sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar timbul gejala
stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam kavum pelvis
menimbulkan nyeri daerah lumbosakra, iskialgia dan neuralgia obturatoria; ke
anterior menginvasi mukosa vagina dan vesika urinaria menimbulkan perdarhan
pervaginam atau hematuria, bila parah dapat timbul fistel rektovaginal, fistel
rektovesikel; obstruksi ureter bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada
retra menimbulkan retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau tekanan
pada vena iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial; perforasi
menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis ke paru menimbulkan
batuk, nafas memburu, hemoptisis; metastasis ke otak menyebabkan koma;
metastasis tulang menimbulkan nyeri tulang, dll. Akhirnya dapat timbul kakeksia,
kegagalan sistemik.
8

E. Epidemiologi
Peningkatan insidens dan mortalitas kanker kolorektal (KKR) terjadi terutama di
kalangan masyarakat makmur, termasuk di wilayah Asia. Walaupun perubahan pola
diet dan gaya hidup dipercaya sebagai penyebab mendasar peningkatan insidens,
interaksi antara faktor-faktor dan karakter genetik pada populasi Asia memegang
peranan penting. Kanker kolorektal (KKR) merupakan keganasan ketiga terbanyak
setelah kanker paru dan kanker payudara, serta menjadi penyebab kematian keempat
terbanyak di dunia. Diperkirakan terdapat 1.233.000 kasus KKR baru/tahun dengan
angka mortalitas mencapai 608.000 kasus. Di Indonesia tidak terdapat angka insidens
dan mortalitas KKR, sebagian besar penderita datang dalam stadium lanjut, sehingga
angka harapan hidupnya rendah (Khosama, 2015).

F. Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta
merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat
terlepas dari tumor primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke
hati) (Japaries, 2013).
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen
usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi
kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada
jaringan lain. Prognosis relatif baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa
pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih buruk jika telah terjadi mestatase ke
kelenjar limfe (Japaries, 2013).
Menurut Diyono (2013), tingkatan kanker kolon adalah sebagai berikut :
1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding kolon).
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.
Kanker kolo merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh secara lokal
dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini melalui beberapa cara.
Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam lapisan dinding usus sampai
keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akanmengenai organ
disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi didalam lumen usus yaitu
melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem
9

sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian
metastase ke organ paru-paru. Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang,
dan otak. Sel kanker pun dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan
dilakukan reseksi tumor.
Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis
villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis
villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaligna. Jenis tubular
berstruktur seperti bola dan bertangkai, sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan
seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai
bunga kol didalam kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa
kolon. Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang
akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruksi pun
kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan.
Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (ascendens dan transversum), maka
obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi (feses masih mempunyai konsentrasi
air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk
(disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (descendens atau
bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang
telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total
atau parsial.
Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan
genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permalignan (adenoma)
untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa molekuler dan genetik yang
menyebabkan transformsi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah
mutasi APC (adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada
individu dengan keluarga adenomatosa poliposis (FAP = familial adenomatous
polyposis). Protein yang dikodekan oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-myc
dan siklinD1, yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas.
(Diyono, 2013).
10

G. Pathway

Usia Faktor Pola diet & Aktivitas fisik &


Merokok Alkohol
herediter nutrisi obesitas

Riwayat FAP, Konsumsi tinggi Penimbunan bahan bahan


HNPCC lemak dan hormon, pemicu karsinogen karsinogen
> 40 tahun protein, serta regulator PAH Asetaldehid
rendah serat pertumbuhan
tumor

Perubahan metaplasia pada dinding kolon

Kanker kolon

Bagian kanan kolon Bagian kiri kolon

Rasa penuh di Nyeri Perdarahan, Perubahan pola defekasi


abdomen abdomen anemia

Obstruksi
Anoreksia, Nyeri akut Intoleransi
mual muntah aktivitas

Konstipasi
Defisit nutrisi
11

H. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa macam pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi kanker kolon yaitu :
1. Endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi perlu dikerjakan, baik sigmoidoskopi maupun
kolonoskopi. Gambaran yang khas karsinoma atau ulkus akan dapat dilihat
dengan jelas pada endoskopi, dan untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan
biopsi.
2. Radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dikerjakan antara lain adalah :
fotothorak dan foto kolon (barium enema). Pemeriksaan dengan enema barium
mungkin dapat memperjelas keadaan tumor dan mengidentifikasikan letaknya.
Tes ini mungkin menggambarkan adanya kebuntuan pada isi perut, dimana
terjadi pengurangan ukuran tumor pada lumen. Luka yang kecil kemungkinan
tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium secara umum dilakukan
setelah sigmoidoscopy dan colonoscopy.
3. Computer Tomografi (CT) membantu memperjelas adanya massa dan luas dari
penyakit. Chest X-ray dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang
jauh yang sudah metastasis.
4. Pemeriksaan foto dada berguna selain untuk melihat ada tidaknya metastasis
kanker pada paru juga bisa digunakan untuk persiapan tindakan pembedahan.
Pada foto kolon dapat dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat atau
suatu striktura.
5. Ultrasonografi (USG). Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi ada tidaknya
metastasis kanker kelenjar getah bening di abdomen dan di hati.
6. Histopatologi/ Selain melakukan endoskopi sebaiknya dilakukan biopsi di
beberapa tempat untuk pemeriksaan histopatologis guna menegakkan diagnosis.
Gambaran histopatologi karsinoma kolorektal ialah adenokarsinoma, dan perlu
ditentukan differensiasi sel.
7. Laboratorium. Tidak ada petanda yang khas untuk karsinoma kolorektal,
walaupun demikian setiap pasien yang mengalami perdarahan perlu diperiksa
Hb. Tumor marker (petanda tumor) yang biasa dipakai adalah CEA. Kadar CEA
lebih dari 5 mg/ ml biasanya ditemukan karsinoma kolorektal yang sudah lanjut.
Berdasarkan penelitian, CEA tidak bisa digunakan untuk mendeteksi secara dini
karsinoma kolorektal, sebab ditemukan titer lebih dari 5 mg/ml hanya pada
12

sepertiga kasus stadium III. Pasien dengan buang air besar lendir berdarah, perlu
diperiksa tinjanya secara bakteriologis terhadap shigella dan juga amoeba.
8. Scan (misalnya, MR1. CZ: gallium) dan ultrasound: Dilakukan untuk tujuan
diagnostik, identifikasi metastatik, dan evaluasi respons pada pengobatan.
9. Biopsi (aspirasi, eksisi, jarum): Dilakukan untuk diagnostik banding dan
menggambarkan pengobatan dan dapat dilakukan melalui sum-sum tulang, kulit,
organ dan sebagainya.
10. Jumlah darah lengkap dengan diferensial dan trombosit: Dapat menunjukkan
anemia, perubahan pada sel darah merah dan sel darah putih: trombosit
meningkat atau berkurang.
11. Sinar X dada: Menyelidiki penyakit paru metastatik atau primer.

I. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penangan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif untuk kaker
kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan
maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari
kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin
5 cm bebas tumor.
Menurut Haryono (2012), pembedahan merupakan tindakan primer pada kira-
kira 75% pasien dengan kanker kolorektal. Pembedahan dapat bersifat kuratif atau
palliative. Kanker yang terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop.
Kolosotomi laparoskopik dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru
dikembangkan untuk meminimalkan luasnya pembedahan padabeberapa kasus.
Laparoskop digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan dikolon
massa tumor kemudian dieksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi
kelas A dan semua kelas B serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk
mengatasi kanker kolon D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah palliative.
Apabila tumor telah menyebar dan mencangkup struktur vital sekitarnya, maka
operasi tidak dapat dilakukan.
2. Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan X-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi
13

radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi
diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.
3. Kemotherapi
Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Dalam
penggunaan modernnya, istilah ini hampir merujuk secara eksklusif kepada obat
sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker. Kemoterapi bermanfaat untuk
menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang
tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah.
Kemoterapi merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat
sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker.
Kemoterapi memerlukan penggunaan obat untuk menghancurkan sel kanker.
Walaupun obat ideal akan menghancurkan sel kanker dengan tidak merugikan sel
biasa, kebanyakan obat tidak selektif. Malahan, obat didesain untuk
mengakibatkan kerusakan yang lebih besar pada sel kanker daripada sel biasa,
biasanya dengan menggunakan obat yang mempengaruhi kemampuan sel untuk
bertambah besar. Pertumbuhan yang tak terkendali dan cepat adalah ciri khas sel
kanker. Tetapi, karena sel biasa juga perlu bertambah besar, dan beberapa
bertambah besar cukup cepat (seperti yang di sumsum tulang dan garis sepanjang
mulut dan usus), semua obat kemoterapi mempengaruhi sel biasa dan
menyebabkan efek samping.
Tujuan pemberian kemoterapi : pengobatan, mengurangi massa tumor selain
pembedahan atau radiasi, meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki
kualitas hidup, mengurangi komplikasi akibat metastase. Kemoterapi dapat
diberikan dengan cara infus, suntikan langsung (pada otot, bawah kulit, rongga
tubuh) dan cara diminum (tablet/kapsul).
Efek samping yang bisa timbul adalah antara lain: lemas, mual dan muntah,
gangguan pencernaan, sariawan, efek pada darah, otot dan saraf, kulit dapat
menjadi kering dan berubah warna, dan produksi hormon.
Dalam beberapa penelitian kemoterapi mampu menekan jumlah kematian
penderita kanker tahap dini, namun bagi penderita kanker tahap akhir/ metastase,
tindakan kemoterapi hanya mampu menunda kematian atau memperpanjang usia
hidup pasien untuk sementara waktu.
a. Flourorasil (5-FU)
Merupakan obat kemoterapi golongan antimetabolit pirimidin dengan
mekanisme kerja menghambat metilasi asam deoksiuridilat menjadi asam
14

timidilat dengan menghamabt enzim timidilat sintase, terjadi defisiensi timin


sehingga menghamabat sintesis DNA, dan dalam tingkat yang lebih kecil
dapat menghambat pembentukan RNA. Untuk terjadinya mekanisme
penghambatan timidilat sintase tersebut, dibutuhkan kofaktor folat tereduksi
yang didapatkan dari leucovorin. Efektif untuk terapi kanker kolon, rektum,
payudara, gaster, dan pankreas. Kontraindikasi pada pasien dengan status
nutrisi buruk, deprasi sumsung tulang belakang, infeksi berat, dan
hipersensitif terhadap flourourasil. Efek sampingnya antara lain stomatitis
dan esofagofaringitis, tampak lebih awal; diare, anoreksia, mual dan muntah;
tukak dan perdarahan gastrointestinal; leukopenia; trombositopenia; dan efek
yang jarang terjadi berupa sindrom palmar-plantar erythroysesthesia atau
hand-foot syndrome, dan alopesia.
b. Leucovorin/ Ca-folinat
Merupakan turunan asam folat. Leucovorin dapat menambah efek terapi
dan efek samping penggunaan flouropirimidin termasuk 5-FU pada
pengobatan kanker. Leucovorin tidak boleh digunakan pada anemia
pernisiosa dan anemia megaloblastik yang lain, sekunder akibat kekurangan
vitamin B12.
c. Capecitibine
Capecitabine adalah sebuah fluoropirimidin karbamat, yang dirancang
sebagai obat kemoterapi oral, merupakan produg fluorourasil yang
mengalami hidrolisis di hati dan jaringan tumor untuk membentuk
fluorourasil yang aktif sebagai antineoplastik. Mekanisme kerjanya sama
seperti fluorourasil.
Capecitabine mempunyai efek pada nilai laboratorium, paling sering
terjadi adalah peningkatan total bilirubin. Capecitabine tidak memiliki efek
dengan pemberian bersama leucovorin.
Efek samping yang lebih sering timbul adalah sindrom palmar-plantar
erythroysesthesia atau hand-foot syndrome. Manifestasi sindrom ini adalah
sensai baal pada tangan dan kaki, hiperpigmentasi, yang berkembang menjadi
nyeri saat memegang benda atau berjalan. telapak tangan dan kaki menjadi
bengkak dan kemerahan, dan mungkin disertai dengan deskuamasi.
d. Oxaliplatin
Mekanisme kerja oxaliplatin sama seperti senyawa dasar platinum
lainnya. Setelah mengalami hidrolisis intraselular, platinum berikatan dengan
15

DNA membentuk ikatan silang yang menghambat replikasi DNA dan


transkripsinya sehingga menyebabkan kematian sel.
Pemberian oxaliplatin saja menghasilkan aktivitas yang rendah terhadap
tumor, sehingga sering diberikan berkombinasi dengan obat kemoterapi lain,
yaitu 5-FU. Efek samping oxaliplatin dapat terjadi pada sistem hematopoetik,
sistem saraf, dan sistem gastrointestinal.
e. Irinotecan
Irinotecan bekerja dengan menghambat aksi enzim yang berperan dalam
pembentukan DNA. Digunakan dalam beberapa terapi kanker seperti kanker
kolorektal, servik uteri, lambung, glioma, paru, mesothelioma, dan kanker
pankreas. Efek samping yang dapat timbul diantaranya diare, gangguan anzim
hepar, insomnia, alergi, anemia, leukopenia, neutropenia, trombositopenia,
bradikardi, oedem, hipotensi, demam, dan fatigue.
(Kemkes RI, 2017).
16

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATA


1. Pengkajian Keperawatan
1. Data Demografi
a. Kanker kolorektal sering ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun.
b. Pada wanita sering ditemukan kanker kolon dan kanker rekti lebih sering
terjadi pada laki-laki.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
a. Kemungkinan pernah menderita polip kolon, radang kronik kolon dan
kolitis ulseratif yang tidak teratasi.
b. Adanya infeksi dan obstruksi pada usus besar.
c. Riwayat konsumsi diet yang tidak baik, tinggi protein, tinggi lemak dan
rendah serat.
d. Riwayat kanker pada organ lain dimasa lalu.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat kanker pada keluarga, diidentifikasi kanker yang
menyerang tubuh atau organ termasuk kanker kolorektal adalah diturunkan
sebagai sifat dominan.
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
a. Klien mengeluh lemah, nyeri abdomen dan kembung.
b. Klien mengeluh perubahan pada defekasi : Buang Air Besar (BAB) seperti
pita, diare yang bercampur darah dan lendir dan rasa tidak puas setelah
buang air besar.
c. Klien megalami anoreksia, mual, muntah dan penurunn berat badan.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Mata : konjungtiva subanemis/ anemis.
b. Leher : distensi vena jugularis (JVP).
c. Mulut : mukosa mulut kering dan pucat, lidah pecah pecah, dan bau yang
tidak enak.
d. Abdomen : distensi abdomen, adanya teraba massa, penurunan bising usus
dan kembung.
e. Kulit : turgor kulit buruk, kering (dehidrasi/ malnutrisi).
17

6. Pengkajian Fungsional Gordon


a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, merasa gelisah dan
ansietas, tidak tidur semalaman karena diare, pembatasan aktivitas / kerja
sehubungan dengan efek proses penyakit.
b. Pernafasan
Tanda : nafas pendek, dispnea (respon terhadap nyeri yang dirasakan) yang
ditandai dengan takipnea dan frekuensi menurun.
c. Sirkulasi
Tanda : Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan
nyeri), hopotensi, kulit/ membran : turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah,
(dehidrasi/ malnutrisi).
d. Integritas Ego
Gejala : ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal : perasaan tak berdaya/ tak
ada harapan.
Faktor stress akut/ kronis : misal hubungan dengan keluarga/ pekerjaan,
pengobatan yang mahal. Tanda : menolak, perhatian yang menyempit,
depresi.
e. Eliminasi
Gejala : tekstur feses bervariasi dan bentuk lunak sampai bau. Episode diare
berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tak dapat dikontrol
(sebanyak 20-30 kali/hari), perasaan tidak nyaman/tidak puas, deteksi
berdarah/ mukosa dengan atau tanpa keluar feses.
Tanda : menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya peristaltik
yang dapat dilihat, oliguria.
f. Makan/ Cairan
Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tidak toleran
terhadap diit/sensitif (misal : buah segar/massa otot, kelemahan, tonus otot
dan turgor kulit buru, membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut.
g. Hygine
Tanda : ketidakmampuan melakukan perawatan diri, stomatitis, menunjukan
kekurangan vitamin.
h. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri bawah.
18

i. Keamanan
Gejala : adanya riwayat polip, radang kronik viseratif.
j. Muskuloskeletal
Gejala : penurunan kekuatan otot, kelemahan dan malaise (diare, dehidrasi,
dan malnutrisi).
k. Seksualitas
Gejala : tidak bisa melakukan hubungan seksual/ frekuensi menurun.
l. Interaksi Sosial
Gejala : masalah hubungan/ peran sehubungan dengan kondisi
ketidakmampuan aktif dalam sosial.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
4. Konstipasi berhubungan dengan tumor

3. Rencana Asuhan Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
Aktivitas : Manajemen nyeri, pemberian analgesik
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan
faktor pencetus.
b. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
c. Gali bersama klien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau
memperberat nyeri
d. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat
prosedur
e. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien
terhadap ketidaknyamanan
f. Kurangi atau eliminasi faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau
meningkatkan nyeri
g. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi
19

h. Dukung istirahat/ tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri


i. Gunakan pendekatan multi disiplin untuk manajemen nyeri, jika sesuai
j. Berikan informasi yang akurat untuk meningkatkan pengetahuan dan
respon keluarga terhadap pengalaman nyeri
k. Tentukan karakteristik nyeri sebelum pemberian obat
l. Cek instruksi dokter meliputi obat, dosis, dan frekuensi
m. Cek adanya riwayat alergi obat
n. Pilih analgesik atau kombinasi analgesik yang sesuai ketika lebih dari
satu diberikan
o. Tentukan pilihan obat analgesik (narkotik, non narkotik, atau NSAID),
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
p. Pilih rute intravena daripada rute intramuskular, untuk injeksi pengobatan
nyeri yang sering, jika memungkinkan
q. Monitor TTV sebelum dan setelah memberikan injeksi analgesik narkotik
pada pemberian dosis pertama kali atau jika ditemukan tanda-tanda tidak
biasanya
r. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
s. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen.
Aktivitas : Terapi Aktivitas
a. Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan
program terapi yang tepat
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
c. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan
fisik, psikologi, dan sosial
d. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
e. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, kruk
f. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
g. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
h. Berikan kesempatan keluarga untuk terlibat dalam aktivitas
i. Berikan pujian positif bagi klien yang aktif beraktivitas
20

j. Bantu klien untuk meningkatkan motivasi diri dan penguatan


k. Monitor respon emosi, fisik, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.

3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.


Aktivitas : Manajemen gangguan makan, monitoring nutrisi
a. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengembangkan rencana
perawatan dengan melibatkan klien dan keluarga
b. Rundingkan dengan ahli gizi dalam menentukan asupan kalori harian
yang diperlukan untuk mempertahankan berat badan yang sudah
ditentukan
c. Dorong klien untuk mendiskusikan makanan yang disukai bersama ahli
gizi
d. Timbang berat badan klien secara rutin
e. Monitor intake dan asupan cairan secara tepat
f. Dorong klien untuk memonitor sendiri asupan makanan harian dan
menimbang berat badan secara tepat
g. Bangun harapan terkait dengan perilaku makan yang baik, asupan
makanan/ cairan dan jumlah aktivitas fisik
h. Observasi klien selama dan setelah pemberian makan/ makanan ringan
untuk meyakinkan bahwa intake makanan yang cukup tercapai dan
dipertahankan
i. Berikan dukungan terhadap peningkatan berat badan dan perilaku yang
meningkatkan berat badan
j. Batasi aktivitas fisik sesuai kebutuhan untuk meningkatkan berat badan
k. Kaji adanya alergi makanan
l. Monitor lingkungan selama makan
m. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
n. Monitor mual muntah
o. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan Ht

4. Konstipasi berhubungan dengan tumor.


Aktivitas : Manajemen konstipasi
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi
b. Monitoring bising usus
21

c. Monitor feses: frekuensi, konsistensi, dan volume


d. Dukung intake cairan
e. Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
f. Kolaborasi pemberian laksatif

DAFTAR PUSTAKA

Diyono, S.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Pencernaan. Jakarta : kencana.

Eroschenko, V.P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional. Edisi 9. Jakarta
: EGC.

Gale, D & Charette, J. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC : Jakarta.

Ganong, W.F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.

Guyton, A.C & Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Singapura : Elsevier.

Haryono, R. 2012. Medikal Keperawatan Sistem Pencernaan. Yogyakarta : Gosyen


Publising.

Japaries, W & Desen, W. 2013. Onkologi Klinis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Kemkes, RI. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kolorektal. Diakses pada
tanggal 2 April 2018 dari http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKkolorektal.pdf.

Khosama, Yuansun. 2015. Faktor Resiko Kanker Kolorektal. Vol. 42 No. 11. Diakses pada
tanggal 1 April 2018 dari http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_234Faktor%20R
isiko%20Kanker%20Kolorektal.pdf.

Kumar dkk. 2010. Pathologic Basic of Disease. Edisi 8. Philadelphia : Elsevier.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.

Widjaja, P & Daniel, S.W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai