Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

USG BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

Oleh :

Crystine Sinatra 16710364

Novianti Nur Pramaliantari 16710373

Pembimbing :

dr. Budi Suharyanto, Sp.Rad

KEPANITRAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGIL PASURUAN

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan anugrahNya, maka referat dengan judul “BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA”, dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.

Terwujudnya referat ini tidak terlepas dari peranan pembimbing, dan para pengajar.
Oleh karena itu, melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada peranan pembimbing, dan para
pengajar yang telah membantu.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan baik dari segi tulisan
ataupun materi, karenanya kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan dimasa
yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam referat ini dapat bermanfaat bagi
penyusun dan pembaca.

Bangil, 22 Februari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………..........………………….......………….......…...............2


Daftar isi ……………………………………………………………………………..............3
Bab I Pendahuluan ………………………..........….........……........,........................................4

A. Latar Belakang…………....……..............…...........................................................4
B. Batas – batas Prostat ………………………………..……..………………….......5
C. Fisiologi Prostat …………………………………..…..…………………………..7

Bab II Tinjauan Pustaka ……………………………………………..………………………..9

2.1 Definisi BPH……………..…………………………….…….……………………9

2.2 Etiologi BPH……………………………………….……… …..……...………...9

2.3 Patofisiologi BPH ………………….…………………………………………….11

2.4 Gambaran Klinis BPH ………………………………...…….…………….……..13

2.5 Diagnosis BPH …………………………..…...…………………..……….…..…17

2.6 Pemeriksaan Penunjang …………...…...……...……………....................………19

2.7 Pemeriksaan lain…………………………...………………….................……....24

2.8 Penatalaksanaan………………….…………….…………………………..……..24

2.9 Komplikasi…………………..……………………………………..…….………29

2.10 Prognosis………………………………………….………..…………….……..29

2.11 Pencegahan ….…………………………………………………......…………...29

Daftar Pustaka …………………………………………………………………...…………..31

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ
ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran
urine keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada
orang dewasa kurang lebih 20 gram.
Pada banyak pasien dengan usia diatas 50 tahun, kelenjar prostatnya
mengalami pembesaran, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini dikenal sebagai hiperplasia
prostatik jinak (BPH), pembesaran, atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi
patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering
untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun.
Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir 15%. Angka
ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar
43%. Angka kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di dua
Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994–
1999) terdapat 1040 kasus.
“Hasil studi pendahuluan yang dilakukan RS. Romani Semarang, pada tahun
2011 jumlah pasien BPH sebanyak 30 pasien, dan rata – rata penderitanya berusia 50
tahun keatas”. Gejala iritatif yaitu sering miksi, terbangun untuk miksi pada malam
hari (nokturia), perasaan yang ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri
pada saat miksi (disuria). Sedang gejala obstruksi adalah pancaran melemah, rasa
tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitansy), harus
mengedan (strainang), kenceng terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.

Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik

4
anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50 %. Usia 80
tahun sekitar 80% dan usia 90 tahun 100%. Prevalensi meningkat sejalan dengan
peningkatan usia pada pria dan insiden pada negara berkembang meningkat karena
adanya peningkatan umur harapan hidup.

1.2 Batas-Batas Prostat.

1. Batas superior: basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesicaurinaria, otot
polos berjalan tanpa terputus dari satu organ keorgan yang lain.

2. Batas inferior: apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma urogenitalis.
Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior.

3. Anterior: permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan


dari simphisis oleh lemak ekstra peritoneal yang terdapat pada cavum retropubica
(cavumretziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior
os pubis dan ligamentum puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis
tengah dan merupakan kondensasi vascia pelvis.

4. Posterior: permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaanan terior


ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis (vascia Denonvillier).
Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio
rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar kebawah menuju corpus
perinealis.

5. Lateral: permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior M.levator ani
waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.
Ductus ejaculatorius menembus bagian atas permukaan prostat untuk bermuara pada
uretra pars prostatica pada pinggir lateral orificiumutriculus prostaticus.

Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus:


a. Lobus medius
b. Lobus lateralis(2lobus)
c. Lobus anterior
d. Lobus posterior

5
Mc. Neal (1976) membagi prostat dalam beberapa zona, antara lain:
1. Zona fibromuskuler anterior atau Ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
2. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat.
Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.
3. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah
meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
4. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi
dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign
prostatic hyperpiasia (BPH).
5. Kelenjar - Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dan duktus –duktus kecil dan susunan sel-sel asinarabortif tersebar
sepanjang segmen uretra proksimal.

A. .B.
Gambar 1: Pembesaran prostat benigna menyebabkan penyempitan uretra
posterior,
A. Skema anatomi zona kelenjar prostat normal,
B.Hiperplasia prostat terjadi pada zona transisional
menyebabkan penyempitan lumen uretra posterior.

Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang


di dalam sel kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif

6
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5a-reduktase. Dihidrotestosteron
inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel kelenjar prostat
untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan dan
proliferasi sel kelenjar prostat.

Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.


Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun clan ± 80% pria yang
berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya
aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi.

Aliran darah prostat merupakan percabangan dari arteri pudenda interna, arteri
vesikalis inferior dan arteri rektalis media. Pembuluh ini bercabang-cabang dalam
kapsula dan stroma, dan berakhir sebagai jala-jala kapiler yang berkembang baik
dalam lamina propria. Pembuluh vena mengikuti jalannya arteri dan bermuara ke
pleksus sekeliling kelenjar. Pleksus vena mencurahkan isinya ke vena iliaca interna.
Pembuluh limfe mulai sebagai kapiler dalam stroma dan mengikuti pembuluh darah
dan mengikuti pembuluh darah. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaka interna
dan nodus sakralis.

Persarafan prostat berasal dari pleksus hipogastrikus inferior dan membentuk


pleksus prostatikus. Prostat mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak
bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak dikapsula
dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-
sel otot polos di stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah.

1.3 Fisiologi Prostat


Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret
dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi
sejumlah asam sitrat sehingga pHnya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan
enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain
dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos.
Kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan
perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada

7
waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat
dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
Fungsi utama prostat adalah menghasilkan cairan untuk semen, yang mengandung
ion sitrat, kalsium, ion fosfat, enzim pembeku dan profibrinolisin. Cairan ini dialirkan
melalui duktus sekretorius dan bermuara diurethra posterior untuk kemudian
dikeluarkan bersama cairan semen lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat
merupakan ±25% dari seluruh volume ejakulat.

8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi BPH


Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) disebut juga Benigna Prostate Hyperplasia
(BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan
prostat yang asli keperifer dan menjadi simpai bedah.

2.2 Etiologi BPH


Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,
yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa
diperifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk ini siasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi
dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormonan drogen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat.
Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormonestrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat
terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen
dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

9
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat.Terdapa tempat peptic growth factor yaitu: basictransforming growth factor,
transforming growth factor b1, transforming growth factor b2, dan epidermal
growth factor.

3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkuramgnya sel yang mati

Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah mekanisme


fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom.

Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel


dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam
keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.

Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang


menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam
menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu
memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFQ
berperan dalam proses apoptosis.

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)


Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steadystate”, antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga

10
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral
prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)


Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat
oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%
dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk kedalam
“targetcell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma, didalamsel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi
5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
“hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini
mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam
inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA.
RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kelenjar prostat.

2.3 Patofisiologi BPH


Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika
dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh
bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi

11
refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis.

Hiperplasi prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesikal ↑

Buli-buli Ginjal dan Ureter


- Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
- Trabekulasi Hidroureter
- Selula Hidronefrosis
Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis
Gagal ginjal

Gambaran 2 : bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)

12
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen
dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

2.4 Gambaran Klinis BPH


Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih.
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan
uretara parsprostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan
otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus.
Gejalanya ialah:
a. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
b. Pancaran miksi yang lemah(weakstream)
c. Miksi terputus(Intermittency)
d. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
e. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesarakan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas
leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi
belum dirasakan.
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena

13
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejalanya ialah:
a. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
b. Nokturia
c. Miksi sulit ditahan (Urgency)
d. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara
klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi:
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prstatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50
ml.
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volume urin 50-100 ml
Derajat 3 : Pada saat dilakuka pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volume urin lebih dari 100 ml
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total.

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi
yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I –PSS (International Prostatic
Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan
dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi diberinilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas
hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan:skor0-7
- Sedang:skor8-19
- Berat:skor20-35

Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica


urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan

14
mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh kedalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.

International Prostatic Symptom Score

Pertanyaan Jawaban dan skor

Tidak <2 <5 50 >5 Hampir


Keluhan pada bulan terakhir
sekali 0% 0% % 0% selalu

a.Adakah anda merasa buli-buli tidak


0 1 2 3 4 5
kosong setelah berkemih

b.Berapa kali anda berkemih lagi


0 1 2 3 4 5
dalam waktu 2 menit

c.Berapa kali terjadi arus urin berhenti


0 1 2 3 4 5
sewaktu berkemih

d.Berapa kali anda tidak dapat


0 1 2 3 4 5
menahan untuk berkemih

e.Berapa kali terjadi arus lemah


0 1 2 3 4 5
sewaktu memulai kencing

f.Berapa keli terjadi bangun tiduran


0 1 2 3 4 5
dan kesulitan memulai untuk berkemih

g.Berapa kali anda bangun untuk


0 1 2 3 4 5
berkemih di malam hari

Jumlah nilai:
0=baik sekali

15
1=baik
2=kurangbaik
3=kurang
4=buruk
5=buruksekali
Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa
faktor pencetus, antara lain:
o Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman
yang mengandung diuretikum (alkohol,kopi) dan minum air dalam jumlah
yang berlebihan.
o Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual
atau mengalami infeksi prostat akut
o Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot
detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain:
golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan dipinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari
infeksi atau urosepsis.

Gambar 3: Penyulit hiperplasia prostat pads saluran kemih

16
3. Gejala diluar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat kedokter karena mengeluh adanya hernia


inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-
kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu
merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan:
(1) tonus sfingterani atau reflek bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya
kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rektum,dan (3) keadaan prostat,
antara lain kemungkinan adanya nodul, krepitasi,konsistensi prostat, simetri antar
lobus dan batas prosto
Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul; sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat
keras/teraba nodul dan mungkin di antara lobus prostat ticlak simetri.

2.5 Diagnosis BPH

Obstruktif : Iritatif
 Hesitansi * Urgensi
 Pancaran Melemah * Frekuensi
 Intermitten * Disuria
 Terminal Dribbing
 Terasa ada sisa

Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS)

Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau


wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya.

17
Anamnesis meliputi:
a. Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu;
b. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran Urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria), Kencing batu,atau
pembedahan pada saluran kemih);
c. Riwayat Kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual;
d. Riwayat Konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan.
Pemeriksaan Fisik
a) Status Urologis
- Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda infeksi
- Kandung Kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk
menilai isi kandug kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
b) Colok Dubur
Colok Dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat
diperkirakan adanya pembesaran prostat, dan adanya nodul yang merupakan
salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE
cenderung lebih kecil daripada ukuran yang sebenarnya.
Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus stingfer ani dan
reflex bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada
lengkung reflex di daerah sakral.
Pada perabaan prostat harus diperhatikan:
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostate
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostate
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba
membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan
rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol

18
kedalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin
sulit untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras
dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada
batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica
urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus
mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus
pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh
dan teraba masa kistus didaerah suprasimfisis akibat retensio urin dan kadang
terdapat nyeri tekan suprasimfisis.

2.6 Pemeriksaan penunjang


1. Foto polos abdomen (BNO / Buik Nier Overzich)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria
yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga
bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau adanya
metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
Foto di buat sebelum di suntik kontras IV (setiap pemeriksaan IVP di dahului
BNO). Persiapan penderita yang akan di foto BNO:
- 24 jam sebelum pemeriksaan makan bubur kecap (tidak boleh berserat),
meminimalkan minum.
- Puasa 8 jam (termasuk merokok dan bicara)
- Laxantia: garam Inggris 30 gram malam sebelum pemeriksaan).

Teknik pemotretan: Supine / AP


- Batas cranial: processus xyphoid.
- Batas caudal: symphisis pubis

19
- Batas lateral: terlihat seluruh perut

Interpretasi / Penilaian BNO


- Ginjal: shape, posisi, size
- Psoas Line: simetris, obliteratie
- Bowel gas: distribusi, dilatasi
- Sistem tulang, kalsifikasi di abdomen

2. Pielografi Intravena (IVP)


Persiapan : Lab: ureum < 60 mg %, Creatinine < 2 mg %, BNO, skin test
Indikasi:
- Kelainan kongenital
- Tumor ginjal / tumor abdomen (kelainan hematuri)
- Batu traktus urinarius ( kolik, hematuri)
- Trauma abdomen ( ruptur ginjal / ureter)
- Tumor kandungan, staging ca.cervix
Kontra indikasi:
- Alergi zat kontras
- Fungsi ginjal menurun (gagal ginjal kronik)
- Decomp Cordis
- Infeksi akut urinarius
- Retensi cairan berlebih

Teknik pemeriksaan IVP:


- Pasien diinjeksi zat kontras IV (biasanya vena cubiti)
- Foto I: 5 menit sesudah injeksi kontras → AP: menilai neprogram (sekresi
kontras ke parenkim ginjal)
- Foto II: 15 menit sesudah injeksi → AP: menilai ekstresi pelvikalisis sistem
dan ureter.
- Foto III: release film (30 menit): untuk mendapatkan gambaran selurus traktus
urinarius.
- Foto IV: post miksi → AP: untuk mengukur residual urine / kontraksi vesika
urinaria.

20
Interpretasi / Penilaian IVP:
- Nephrogram: simetris, shape, size, posisi, renal orientasi (paralel ke psoas
margin), kontur (smooth, lobulated), parenkim.
- PCS: waktu, adekuat, opak homogen, shape, caliber, single/ double
- Ureter: caliber, no abnormal displacement, no obstruksi drainage
- Blast: shape, contour, (smooth / sharp), indentasi, homogen, filling/additional
defect, residu urine minimal.

Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:


1. Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
2. Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter
di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atauhooked fish
3. Penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi vesica urinaria
4. Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka
sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

21
4. USG
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan
pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi
prostat, menentukan volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta mencari
kelainan lain yang mungkin ada di dalam vesica urinaria seperti batu, tumor, dan
divertikel.
Pemeriksaan USG prostat dilakukan dengan 2 cara, yaitu trans abdominal
ultrasound (TAUS) dan transrectal ultrasound (TRUS). TAUS dilakukan dengan
melekatkan transdusen di permukaan abdomen di atas buli-buli dan prostat. TAUS
dapat memperlihatkan adanya pembesaran intravesika akibat pembesaran lobus
medial prostat. TRUS dilakukan dengan memasukkan transduser kedalam rektum
pasien. Transduser tersebut mengirim dan menerima gelombang suara melalui dinding
rektum sampai ke prostat yang terletak tepat didepan rektum. TRUS setelah berkemih
dapat menggambarkan:
1. Besar volume residu urine (303 cc) (lebih dari 40 cc adalah abnormal).
2. Pembesaran prostat yang terutama melibatkan zona transisional.
3. Pembesaran intravesika yang melibatkan lobus median.
4. Kista kecil pada inner gland.
5. Zona perifer yang terdesak oleh pembesaran zona transisional.

22
5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan
gambaran kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria atau sumber
perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen
di dalam vesica. Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar prostat
dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan
prostat ke dalam uretra.

6. MRI atau CT jarang dilakukan


Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –
macam potongan.

23
2.7 Pemeriksaan Lain
a) Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh:-
daya kontraksi otot detrusor, tekanan intra vesica, resistensi uretra.
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju
pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah
menjadi 6–8ml/detik dengan puncaknya sekitar 11–15ml/detik. Semakin berat
derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
b) Pemeriksaan Tekanan Pancaran (PressureFlowStudies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri
tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya
kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut
dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-
Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intra vesica dan
laju pancaran urin dapat diukur.
c) Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah
miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu
membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada
retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin
lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada penderita prostat hipertrofi.

2.8 Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi
menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin,
yaitu:
- Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.

24
- Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu,
prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50ml
tetapi kurang dari 100ml.
- Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa
urin lebih dari 100ml
- Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urintotal.

Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang - kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan
terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja.
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh
penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari tanpa terapi (watchful waiting),
medikamentosa, dan terapi intervensi.

a. Tanpa terapi (watchful waiting)


Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
<8 dan ≥8, tetapi gejala LUTS tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien
tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai
sesuau hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya tidak
boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol sebelum tidur malam, kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau
cokelat), dan hindari penggunaan obat dekongestan atau antihistamin.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang
baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk daripada sebelumnya,
mungkin dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik –α (adrenergic α-
blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara

25
menurunkan kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron melalui penghambat
5α-reduktase.

Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan fitofarmaka
yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.

- Penghambat reseptor α-adrenergik


Fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang tidak selektif yang ternyata
mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.
Fenoksibenzamin mengikat reseptor alfa secara kovalen, yang
menimbulkan penyekatan irreversibel berjangka lama (14−48 jam atau lebih
lama). Obat ini cukup selektif terhadap reseptor α, tetapi lebih lemah dari
prasozin. Obat ini juga menghambat ambilan kembali norepinefrin yang dilepas
oleh ujung saraf presinaptik adrenergik. Fenoksibenzamin menyekat reseptor
histamin asetilkolin, dan serotonin seperti halnya reseptor α.
Obat ini diserap per oral, walaupun biovailabilitasnya rendah dan sifat
kinetiknya tidak diketahui dengan baik. Biasanya obat ini diberikan per oral,
dimulai dengan dosis rendah sebesar 10−20 mg/hari yang dapat dinaikkan sampai
mencapai efek yang diinginkan. Dosis kurang dari 100 mg/hari biasanya sudah
cukup untuk menyekat reseptor alfa secara adekuat.
Banyak efek samping yang ditimbulkan terutama hipotensi postural dan
takikardi. Sumbatan hidung dan hambatan ejakulasi dapat pula erjadi. Karena
fenoksibenzamin memasuki sistem saraf pusat, obat ini akan menimbulkan efek
sentral yang kurang spesifik seperti kelemahan, sedasi, dan mual. Obat ini dapat
menimbulkan tumor pada binatang, tetapi implikasi klinisnya belum diketahui.

- Prasozin merupakan suatu piperazinyl quinazoline yang efektif pada penanganan


hipertensi. Obat ini sangat selektif terhadap reseptor α dan 1000 kali kurang kuat
pada reseptor α. Hal ini dapat menjelaskan sebagian mengenai ketiadaan relatif
takikardi pada pemberian prasozin dibandingkan dengan pemberian fentolamin
dan fenoksibenzamin. Prasozin melemaskan otot polos arteri dan vena serta otot
polos di prostat akibat penyekatan reseptor α.
- Tamsulosin adalah suatu antagonis kompetitif α dengan struktur yang agak
berbeda dari struktur kebanyakan penyekat α1. Biovailabilitasnya tinggi dan

26
memiliki waktu paruh yang lama sekitar 9−15 jam. Obat ini dimetabolisme secara
ekstensif di hati. Tamsulosin memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor
α.
c. Intervensi
Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik
saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non-
invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat
hasil terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi
dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi
TURP, atau Insisi Prostat Transurehtra (TUIP atau BNI).
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang tidak
menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami retensi
urin, infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal, dan timbulnya
batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian
bawah.
- Pembedahan terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik
atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut
bagian bawah, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.
Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli
atau divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara
pembedahan retropubik dikerjakan melalui sayatan kulit perut bagian bawah
dengan membuka simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudian
prostat dienukleasi. Kedua cara pembedahan tersebut masih kalah
dibandingkan dengan cara TURP, yaitu mordibitasnya yang lebih lama, tetapi
dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat
bedah baku.
- Transurethra Resection of Prostate
Transurethral Resection of The Prostate adalah tatalaksana bedah
standar untuk pasien BPH. Cairan irigan (pembilas) non-konduktif digunakan
selama TURP untuk menjaga visibilitas yang baik dari lapangan operasi
selama tindakan berlangsung. Cairan ini tidak mengandung elektrolit, dan
penyerapan larutan hipotonik ini ke dalam aliran darah dapat menyebabkan
27
kelebihan cairan dan hiponatremia, sehingga dapat menyebabkan efek
kardiovaskular dan sistem saraf yang merugikan.
Sindrom TURP didefinisikan sebagai tingkat natrium serum
<125mmol/L yang dikombinasikan dengan gejala klinis kardiovaskular atau
manifestasi neurologis. Namun, manifestasi klinis juga dapat terjadi dengan
tingkat natrium serum >125 mmol/L.
- Laser prostatektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang
dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis energi yang
dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, dan diode yang dapat
dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre,atau interstitial fibre. Kelenjar
protat pada suhu 60−65C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih
dari 100°C akan mengalami evaporasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata
lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat di kerjakan secara poliklinis,
penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih sama.
Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang sebesar 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca-
bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi
spontan setelah operasi, dan peak flow rate yang lebih rendah dari pada pasca
TURP 40

- Transurethral Needle Ablation of Prostate (TUNA)


Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 100°C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem
ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490kHz. Kateter dimasukkan ke
dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang - kadang retensi
urin, dan epididimo-orkitis.

28
2.9 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :8
 Inkontinensia Paradoks
 Batu Kandung Kemih
 Hematuria
 Sistitis
 Pielonefritis
 Retensi Urin Akut Atau Kronik
 Refluks Vesiko-Ureter
 Hidroureter
 Hidronefrosis
 Gagal Ginjal

2.10 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada
tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang
tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat
berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat
merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup
merugikan bagi penderita.

2.11 Pencegahan
Kini, sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu
mengatasi pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang
kandungan utamanya saw palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw
palmetto menghasilkan sejenis minyak, yang bersama-sama dengan hormon
androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha reduktase, yang berperan
dalam proses pengubahan hormon testosteron menjadi dehidrotestosteron
(penyebab BPH). Hasilnya, kelenjar prostat tidak bertambah besar.
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di
antaranya adalah:

29
 Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam
mencegah pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10%
kasus BPH dapat berkembang menjadi kanker prostat.
 Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh
lain tidak terlalu berat.
 Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu
melancarkan pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal.
 L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran
rangsangan ke susunan syaraf pusat.
 Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan
kualitas sperma.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto,Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV jilid I. Jakarta:Media


Aesculapius. 2014.
2. D'Silva KA, Dahm P, Wong CL. Does this man with lower urinary tract symptoms
have bladder outlet obstruction?: The Rational Clinical Examination: a systematic
review. JAMA. 2014.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC. 2010
4. Purnomo,B.P.Buku Kuliah Dasar- Dasar Urologi, Jakarta :C.V Sagung Seto. 2000.
5. Lim CF, Buchan NC. Measurement Of serum PSA as a predictor of symptoms scored
on the IPSS For patients with benign prostatic hyperplasia. N Z Med J. 2014 Feb
14;127(1389):17-24.
6. McNicholas TA, Kirby RS, Lepor H. and non-­‐surgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam: Campbell's urology, edisi ke 10. editor: Walsh PC,
Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co., 2612 -­‐
2640, 2012
7. Braeckman,J. Denis,L. Management of BPH then 2000 and now 2016-from BPH to
BPO. 2017 vol 4;138-147
8. Cornu JN, Ahyai S, Bachmann A, de la Rosette J, Gilling P, Gratzke C, et al. A
Systematic Review and Meta-­‐analysis of Functional Outcomes and Complications
Following Transurethral Procedures for Lower Urinary Tract Symptoms Resulting
from Benign Prostatic Obstruction: An Update. Eur Urol. 2014 Jun 24
9. GravasS,BachmannA,DescazeaudA,et al. Guidelines on theManagement of Non--
‐Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS),incl. Benign Prostatic
Obstruction(BPO). European Association of Urology;2014

31

Anda mungkin juga menyukai