Anda di halaman 1dari 60

1

I. Penyakit pada Masa Kehamilan


A. Diabetes Mellitus
1. Pengertian
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh defek pada
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Lowdermilk dkk, 2013).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Kemampuan tubuh pada
orang dengan diabetes untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun,
atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin
(Smeltzer & Bare, 2001).
Dalam konteks kehamilan, pada wanita hamil terjadi perubahan-
perubahan fisiologis yang berpengaruh terhadap metabolisme
karbohidrat karena adanya hormon plasenta yang bersifat resistensi
terhadap insulin, sehingga kehamilan tersebut bersifat diabetogenik.
Dengan meningkatnya umur kehamilan, berbagai faktor dapat
mengganggu keseimbangan metabolisme karbohidrat sehingga
terjadi gangguan toleransi glukosa. Selama lebih dari satu abad, telah
diketahui bahwa diabetes yang datang pada saat kehamilan dapat
menyebabkan efek buruk pada keadaan klinis fetus dan neonatus
(Buchanan & Xiang, 2005).
2. Klasifikasi
Diabetes melitus adalah salah satu komplikasi yang sering
terjadi pada masa kehamilan, menggambarkan interaksi antara
perubahan fisiologis pada kehamilan dan patofisiologi penyakit. White
dalam Lowdermilk dkk (2013) mengembangkan sistem klasifikasi
untuk mengidentifikasi kategori risiko di antara wanita hamil yang
menderita diabetes. Sistem Dr. White didasarkan pada usia saat
diagnosis, durasi penyakit, dan adanya penyakit vaskular.
2

Tabel 1.1
Klasifikasi White untuk Diabetes pada Kehamilan
Diabetes Gestasional
Kelas A1 Pasien dengan dua atau lebih nilai abnormal pada tes
toleransi glukosa dengan gula darah puasa yang
normal. Kadar glukosa darah harus dikontrol dengan
Kelas A2 diet.
Pasien tidak diketahui mengalami diabetes sebelum
hamil tapi memerlukan obat untuk mengontrol
glukosa darah.
Diabetes Pregestasional
Kelas B Awalnya terjadi setelah usia 20 tahun dan durasi
penyakit < 10 tahun.
Kelas C Awalnya terjadi di usia 10 – 19 tahun atau durasi
penyakit 10 – 19 tahun atau keduanya.
Kelas D Awalnya terjadi pada usia < 10 tahun atau durasi
penyakit sudah > 20 tahun atau keduanya.
Kelas F Pasien mengalami nefropati diabetes.
Kelas R Pasien mengalami retinitis proliferans.
Kelas T Pasien pernah menjalani transplantasi ginjal.

3. Diabetes Pregestasional
Diabetes pregestasional merujuk pada diabetes sebelum
terjadinya konsepsi dan berlanjut setelah pelahiran. Diabetes jenis ini
memiliki dua klasifikasi: tipe I (diabetes melitus tergantung insulin)
dan tipe II (diabetes melitus tidak tergantung insulin). Hampir semua
ibu dengan diabetes pregestasional bergantung pada insulin selama
kehamilan.
Keadaan diabetogenik pada kehamilan akan meningkatkan
gangguan pada sistem metabolik pada ibu dengan diabetes
pregestasional dengan implikasi yang signifikan. Adaptasi hormonal
yang normal pada kehamilan akan memengaruhi kontrol glikemik,
dan kehamilan akan mempercepat progresivitas dari komplikasi
vaskular.
Selama trimester pertama, ketika glukosa darah ibu berkurang
secara normal dan respon insulin terhadap glukosa meningkat, kontrol
glikemik akan meningkat. Dosis insulin pada ibu dengan diabetes
yang terkontrol dengan baik mungkin harus dikurangi untuk
mencegah hipoglikemia. Mual, muntah, dan mengidam yang khas
3

terjadi pada awal kehamilan akan menyebabkan fluktuasi diet yang


memengaruhi kadar glukosa ibu dan mungkin membutuhkan
pengurangan dosis insulin.
Karena kebutuhan insulin akan meningkat dengan tetap setelah
trimester pertama, dosis insulin harus disesuaikan untuk mencegah
hiperglikemia. Resistensi insulin mulai sejak usia kehamilan 14 – 16
minggu dan terus meningkat sampai stabil selama beberapa minggu
terakhir kehamilan. (Lowdermilk dkk, 2013)
4. Diabetes Gestasional
a. Pengertian
Diabetes Melitus (DM) dengan kehamilan (Diabetes
Mellitus Gestational-DMG) adalah kehamilan normal yang
disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal
mempertahankan euglycemia). Pada golongan ini, kondisi
diabetes dialami sementara selama masa kehamilan. Artinya
kondisi diabetes atau intoleransi glukosa pertama kali didapati
selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau
ketiga (OPHD-Oregon Public Health Division, 2009).
b. Fisiologi Kehamilan
Selama awal kehamilan, toleransi glukosa normal atau
sedikit meningkat dan sensitivitas perifer (otot) terhadap insulin
serta produksi glukosa basal hepatik normal akibat peningkatan
hormon estrogen dan progesteron maternal pada awal kehamilan
yang meningkatkan hiperplasia sel ß pankreas, sehingga
meningkatkan pelepasan insulin. Hal ini menjelaskan peningkatan
cepat insulin di awal kehamilan sebagai respons terhadap
resistensi insulin.
Pada trimester kedua dan ketiga, peningkatan hubungan
fetomaternal akan mengurangi sensitivitas insulin maternal
sehingga akan menstimulasi sel-sel ibu untuk menggunakan
energi selain glukosa seperti asam lemak bebas, glukosa maternal
selanjutnya akan ditransfer ke janin. Dalam kondisi normal kadar
4

glukosa darah fetus 10-20% lebih rendah daripada ibu, sehingga


transpor glukosa dari plasenta ke darah janin dapat terjadi melalui
proses difusi sederhana ataupun terfasilitasi.
Selama kehamilan, resistensi insulin tubuh meningkat tiga
kali lipat dibandingkan keadaan tidak hamil. Pada kehamilan,
penurunan sensitivitas insulin ditandai dengan defek post-reseptor
yang menurunkan kemampuan insulin untuk memobilisasi
SLC2A4 (GLUT 4) dari dalam sel ke permukaan sel. Hal ini
mungkin disebabkan oleh peningkatan hormon yang berkaitan
dengan kehamilan. Meskipun kehamilan dikaitkan dengan
peningkatan massa sel  dan peningkatan kadar insulin, beberapa
wanita tidak dapat meningkatkan produksi insulinnya relatif
terhadap peningkatan resistensi insulin, sehingga menjadi
hiperglikemik dan menderita DMG. (Kurniawan, 2016).
c. Faktor Risiko
Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko terkena DMG
selama kehamilan:
1) Kelebihan berat badan sebelum hamil (lebih 20% dari berat
badan ideal).
2) Merupakan anggota kelompok etnis risiko tinggi (Hispanik,
Black, penduduk asli Amerika, atau Asia).
3) Gangguan toleransi glukosa atau glukosa puasa terganggu
(kadar gula darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk
menjadi diabetes).
4) Riwayat keluarga diabetes (jika orang tua atau saudara
kandung memiliki diabetes).
5) Sebelumnya melahirkan bayi lebih dari 4 kg.
6) Sebelumnya melahirkan bayi lahir mati.
7) Mendapat diabetes kehamilan dengan kehamilan sebelumnya.
8) Memiliki terlalu banyak cairan ketuban (suatu kondisi yang
disebut polihidramnion).
5

Banyak wanita yang mengalami DMG tidak memiliki faktor


risiko yang diketahui.
5. Gejala Klinis
Diabetes mellitus gestasional adalah bentuk sementara (dalam
banyak kasus) diabetes dimana tubuh tidak memproduksi insulin
dalam jumlah yang cukup untuk menangani gula selama kehamilan.
Hal ini juga bisa disebut intoleransi glukosa atau intoleransi
karbohidrat. Tanda dan gejala dapat termasuk:
a. Gula dalam urin
b. Sentiasa rasa haus
c. Sering buang air kecil
d. Kelelahan
e. Mual
f. Sering infeksi kandung kemih, vagina dan kulit
g. Penglihatan kabur
6. Pemeriksaan
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) adalah rutin untuk semua
wanita hamil. Tes ini juga dapat diindikasikan untuk diabetes pada
kehamilan (diabetes gestasional). Banyak di antara ibu-ibu yang
sebelum hamil tidak menunjukkan gejala, tetapi menderita gangguan
metabolisme glukosa pada waktu hamil.
Diagnosis DMG berdasarkan Kurniawan (2016) dapat dilakukan
dengan salah satu dari dua strategi berikut :
a. “One-step” 75 gram TTGO
Tes toleransi glukosa oral dengan 75 gram glukosa.
Pengukuran glukosa plasma dilakukan saat pasien dalam keadaan
puasa, 1 jam, dan 2 jam setelah tes toleransi glukosa. Tes
dilakukan pada usia kehamilan 24-28 minggu pada wanita hamil
yang sebelumnya belum pernah terdiagnosis diabetes melitus. Tes
toleransi glukosa oral harus dilakukan pada pagi hari setelah
puasa semalaman setidaknya selama 8 jam. Diagnosis DMG
6

ditegakkan apabila hasil kadar glukosa plasma nilainya memenuhi


setidaknya satu kriteria di bawah ini:
Tabel 1.2
Puasa 92 mg/dL (5,1 mmol/L)
1 jam 180 mg/dL (10 mmol/L)
2 jam 153 mg/dL (8,5 mmol/L)
One-step strategy digunakan untuk mengantisipasi
meningkatnya insiden DMG (dari 5-6% menuju 15-20%) karena
hanya diperlukan satu hasil abnormal untuk diagnosis.
Kekurangan strategi ini adalah kemungkinan over diagnosis
sehingga meningkatkan biaya medikasi.
b. “Two-step” approach menggunakan 50 gram glukosa (tanpa
puasa) diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
menggunakan 100 gram glukosa jika skrining awal memberikan
hasil positif.
1) Step 1: Lakukan tes pembebanan glukosa 50 gram (tanpa
puasa), kadar glukosa plasma diukur 1 jam setelah
pembebanan glukosa, dilakukan pada wanita dengan usia
kehamilan 24-28 minggu yang belum pernah terdiagnosis
diabetes melitus. Jika kadar glukosa plasma 1 jam setelah
pembebanan glukosa >140 mg/dL (7,8 mmol/L), dilanjutkan
dengan tes toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa.
2) Step 2: Tes toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa
dilakukan pada pasien dalam keadaan puasa.
Diagnosis DMG ditegakkan apabila setidaknya dua dari
empat hasil pengukuran glukosa plasma memenuhi kriteria
berikut:
Tabel 1.3
Puasa 95 mg/dL (5,3 mmol/L) >105 mg/dL (5,8 mmol/L)
1 jam 180 mg/dL (10 mmol/L) >190 mg/dL (10,6 mmol/L)
2 jam 155 mg/dL (8,6 >165 mg/dL (9,2 mmol/L)
mmol/L)
3 jam 140 mg/dL (7,8 >45 mg/dL (8 mmol/L)
mmol/L)
7

Two-steps strategy lebih umum digunakan di Amerika


Serikat. Hal ini karena kurangnya percobaan klinis yang
mendukung keefektifan dan keuntungan one-step strategy dan
potensi konsekuensi negatif akibat risiko over sensitif berupa
peningkatan intervensi ataupun biaya medis selama kehamilan.
Two-steps strategy juga mudah karena hanya diberi pembebanan
50 gram glukosa tanpa harus puasa pada tahap awal skrining.
7. Penatalaksanaan
Penanganan DMG memerlukan kolaborasi tim yang terdiri dari
ahli kebidanan dan kandungan, dokter ahli diabetes, ahli gizi, perawat,
edukator, dan ahli anak. Apabila tidak mungkin, dapat dibentuk tim
medis yang lebih kecil.
Penatalaksanaan penderita DMG berdasarkan Kurniawan (2016)
antara lain:
a. Terapi diet
Terapi ini merupakan strategi utama untuk mencapai
kontrol glikemik. Diet harus mampu menyokong pertambahan
berat badan ibu sesuai masa kehamilan, membantu mencapai
normoglikemia tanpa menyebabkan lipolisis (ketonuria). Latihan
dan olah raga juga menjadi terapi tambahan untuk mencapai
target kontrol glikemik.
b. Kontrol glikemik
Target glukosa pasien DMG dengan menggunakan sampel
darah kapiler adalah:
1) Preprandial (setelah puasa)  95 mg/dL (5,3 mmol/L) dan
2) 1 jam post-prandial (setelah makan)  140 mg/dL (7,8
mmol/L) atau
3) 2 jam post-prandial (setelah makan)  120 mg/dL (6,7
mmol/L).
8

c. Terapi insulin
Terapi insulin dipertimbangkan apabila target glukosa
plasma tidak tercapai setelah pemantauan DMG selama 1 - 2
minggu.
d. Obat hipoglikemik oral
Obat hipoglikemik oral seperti glyburide dan metformin
merupakan alternatif pengganti insulin pada pengobatan DMG.
8. Komplikasi
Wanita hamil dengan DMG memiliki risiko sebesar 41,3%
menderita DMG pada kehamilan berikutnya, sedangkan pada wanita
yang tidak memiliki riwayat DMG sebelumnya hanya 4,2%. Risiko
menderita diabetes 5 tahun setelah terdiagnosis DMG adalah 6,9% dan
setelah 10 tahun menjadi 21,1%. Diabetes gestasional yang diterapi
akan mengurangi risiko makrosomia, distosia bahu, dan hipertensi
gestasional (Kurniawan, 2016).
9. Pencegahan
a. Menurunkan berat badan sebelum konsepsi dengan pengaturan
diet. Menurunkan berat badan 4,5 kg di antara kehamilan
terdahulu dan kehamilan berikutnya dapat menurunkan risiko
DMG pada kehamilan selanjutnya hingga 40%.
b. Aktivitas fisik yang intens, moderat dan reguler. Olah raga
terbukti dapat memperbaiki kontrol glikemik pada wanita dengan
DMG. Olah raga sebelum dan selama masa awal kehamilan
menurunkan risiko DMG masing-masing 51% dan 48%.
(Kurniawan 2016).
B. Hiperemesis Gravidarum
1. Pengertian
Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan muntah hebat
lebih dari 10 kali sehari dalam masa kehamilan yang dapat
menyebabkan kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau
gangguan elektrolit, sehingga menganggu aktivitas sehari-hari dan
membahayakan janin dalam kandungan. Mual dan muntah berlebihan
9

yang terjadi pada wanita hamil sehingga menyebabkan terjadinya


ketidakseimbangan kadar elektrolit, penurunan berat badan (lebih dari
5% berat badan awal), dehidrasi, ketosis, dan kekurangan nutrisi. Hal
tersebut mulai terjadi pada minggu keempat sampai kesepuluh
kehamilan dan selanjutnya akan membaik pada usia kehamilan 20
minggu, namun pada beberapa kasus dapat terus berlanjut sampai
pada kehamilan tahap berikutnya (Runiari, 2010).
2. Tingkatan Hiperemesis Gravidarum
Runiari (2010) menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas
antara mual yang bersifat fisiologis dengan hiperemesis gravidarum,
tetapi bila keadaan umum ibu hamil terpengaruh sebaiknya dianggap
sebagai hiperemesis gravidarum. Menurut berat ringannya gejala
hiperemesis gravidarum dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan sebagai
berikut :
a. Tingkat I
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum.
Pada tingkatan ini ibu hamil merasa lemah, nafsu makan tidak
ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada epigastrium.
Nadi meningkat sekitar 100 kali per menit, tekanan darah sistolik
menurun, dapat disertai peningkatan suhu tubuh, turgor kulit
berkurang, lidah kering dan mata cekung.
b. Tingkat II
Ibu hamil tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih
menurun, lidah kering dan tampak kotor, nadi kecil dan cepat,
tekanan darah turun, suhu kadang-kadang naik, mata cekung dan
sedikit ikterus, berat badan turun, hemokonsentrasi, oligouria, dan
konstipasi. Aseton dapat tercium dari hawa pernapasan karena
mempunyai aroma yang khas, dan dapat pula ditemukan dalam
urine.
c. Tingkat III
Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran
menurun dari somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat,
10

tekanan darah menurun, serta suhu meningkat. Komplikasi fatal


terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai wenickle
ensefalopati. Gejala yang dapat timbul seperti nistagmus,
diplopia, dan perubahan mental, keadaan ini adalah akibat sangat
kekurangan zat makanan, termasuk vitamin B kompleks.
Timbulnya ikterus menunjukkan terjadinya payah hati. Pada
tingkatan ini juga terjadi perdarahan dari esofagus, lambung, dan
retina.
3. Penyebab
Penyebab pasti hiperemesis gravidarum masih belum diketahui.
Walaupun demikian, beberapa proses organik tertentu mendasari
semua penyebab muntah, tanpa melihat apakah gejala tersebut ringan
atau berat (Reeder dkk, 2011).
Patofisiologi gravidarum dapat disebabkan karena peningkatan
hormon human chorionic gonodhotropin (HCG) dapat menjadi faktor
mual dan muntah. Peningkatan kadar hormon progesteron
menyebabkan otot polos pada sistem gastrointestinal mengalami
relaksasi sehingga motilitas menurun dan lambung menjadi kosong.
Hiperemesis gravidarum yang merupakan komplikasi ibu hamil muda
bila terjadi terus menerus dapat mengakibatkan dehidrasi, ketidak-
seimbangan elektrolit, serta dapat mengakibatkan cadangan
karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi
(Winkjosastro, 2007).
Pada beberapa kasus berat, perubahan yang terjadi berhubungan
dengan malnutrisi dan dehidrasi yang menyebabkan terdapatnya non
protein nitrogen, asam urat, dan penurunan klorida dalam darah,
kekurangan vitamin B1, B6, B12, dapat mengakibatkan terjadinya
anemia (Mitayani, 2009).
Hanretty (2014) menyatakan faktor psikologis agaknya turut
berperan karena gejala ini dapat membaik hanya dengan rawat inap.
Tingginya kadar hormon human chorionic gonodhotropin ternyata
meningkatkan kadar hormon tiroksin dan 60% wanita dengan
11

hiperemesis memiliki keadaan hipertiroidisme pada pemeriksaan


biokimia ataupun pemeriksaan klinis.
4. Gejala Klinis
Gejala hiperemesis gravidarum yang khas meliputi:
a. Muntah hebat;
b. Haus, mulut kering;
c. Dehidrasi;
d. Foetor ex ore (mulut berbau);
e. Berat badan turun;
f. Keadaan umum menurun;
g. Suhu bertambah;
h. Ikterus;
i. Gangguan serebral (kesdaran menurun, delirium);
j. Laboratorium: hipokalemia, asidosis. Dalam urine ditemukan
protein, aseton, urobilinogen, pertambahan porfirin, dan silinder
positif.
Gejala penyakit biasanya dimulai setelah kehamilan 5-6 minggu
dan kemudian berangsur-angsur membaik sendiri sekitar minggu ke-
12.
Pada bentuk ringan, pasien hanya merasa mual atau muntah
pada pagi hari saja, sementara pada siang hari pasien sudah membaik.
Oleh sebab itu, penyakit ini disebut juga morning sickness. Keadaan
ini tidak mempengaruhi keadaan umum penderita. (Martaadisoebrata
dkk, 2013).
5. Prognosis
Dengan terapi yang baik, prognosis penyakit pada umumnya
baik. Hiperemesis gravidarum jarang sekali menyebabkan kematian
atau sampai mengharuskan abortus medikalis.
Pegangan untuk menilai berhasil-tidaknya pengobatan
pasien hiperemsis ialah hilangnya asetonuria, asam laktat, dan
meningkatnya berat badan ibu. (Martaadisoebrata dkk, 2013).
12

6. Penatalaksanaan
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal
kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu dan keluhan yang
terjadi begitu hebat, sehingga segala yang dimakan dan diminum
dimuntahkan lagi serta mempengaruhi keadaan umum ibu, atau
bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari. Penanganan hiperemesis
gravidarum berdasarkan Hanretty (2014) meliputi :
a. Perawatan di rumah sakit.
b. Singkirkan penyebab muntah lainnya seperti infeksi saluran
kemih, radang usus buntu dan obstruksi usus.
c. Lakukan pemeriksaan darah (hemoglobin, ureum dan elektrolit,
glukosa, tes fungsi hati, kadar hormon tiroksin dan TSH).
d. Batasi asupan oral pada awal perawatan.
e. Cairan infus harus diberikan untuk mengatasi dehidrasi (guyur
cairan parenteral rata-rata 3000 mL dalam 24 jam).
f. Untuk mengatasi kelaparan dengan memberikan glukosa
intravena (IV) dan tiamin klorida lewat subkutan. Pemberian
makanan melalui pipa nasogastrik biasanya lebih efektif.
Idealnya, makanan diberikan dalam jumlah sedikit melalui sistem
pompa dari waktu ke waktu. Volume yang diberikan dapat
ditingkatkan perlahan-lahan.
g. Pemberian kembali makanan oral secara bertahap.
h. Piridoksin 25 mg tiga kali sehari per oral, mungkin efektif untuk
mengatasi mual yang parah.
i. Infus intravena prometazin dosis rendah ternyata cukup
bermanfaat.
j. Nutrisi parenteral total atau bahkan penghentian kehamilan dapat
dianjurkan, tetapi hal ini jarang terjadi.
Gejala-gejala berikut menurut Martaadisoebrata dkk (2013)
digunakan untuk mempertimbangkan abortus medikalis
(terapeutikus):
a. Ikterus;
13

b. Delirium atau koma;


c. Nadi yang naik berangsur-angsur sampai di atas 130 kali/menit;
d. Suhu meningkat di atas 38C;
e. Perdarahan dalam retina;
f. Terdapat uremia, proteinuria, dan silinder dalam urine, yang
merupakan tanda-tanda intoksikasi.
Intervensi mandiri dalam keperawatan menurut Reeder dkk
(2011) yang dapat diberikan pada pasien dengan hiperemesis
gravidarum adalah sebagai berikut:
a. Pemantauan asupan dan haluaran pasien
Secara umum, asupan oral dibatasi. Namun, setelah muntah
berhenti, pemberian makan per oral mulai diberikan. Berbagai
macam pendekatan digunakan untuk memperbaiki asupan oral.
b. Perawatan dan pemantauan infus
Apabila pasien menerima pengganti cairan IV atau nutrisi
parenteral, perawatan dan pemantauan infus sangatlah penting
dilakukan. Oleh karena efek samping utama dari pemberian
nutrisi parenteral perifer adalah flebitis,
c. Mempetahankan lingkungan yang bersih dan nyaman bagi pasien
Lingkungan yang bersih merupakan faktor yang penting
bagi pasien. Tindakan menghilangkan muntahan dari kamar klien
dan penggunaan pengharum ruangan akan menurunkan bau tidak
sedap yang dapat mengganggu nafsu makan dan mengurangi
keinginan untuk makan.
d. Dukungan psikologis yang paling efektif diberikan oleh perawat
yang menunjukkan pemahaman dan perilaku empatik.
C. Hipertensi pada Kehamilan
1. Pengertian
Penyakit hipertensi yang dapat terjadi meliputi berbagai
gangguan pada pembuluh darah yang terjadi sebelum kehamilan atau
terjadi sebagai sebuah komplikasi selama masa kehamilan atau pada
awal masa pascapartum. Oleh karena banyak perubahan
14

kardiovaskular, kehamilan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi


pada wanita yang memiliki tekanan darah normal saat sebelum hamil
atau dapat memperparah kondisi hipertensi yang telah dialami (Reeder
dkk, 2011).
Beberapa definisi untuk hipertensi dalam kehamilan adalah
sebagai berikut :
a. Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang hanya
dijumpai dalam kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan,
tidak dijumpai keluhan dan tanda-tanda preeklampsi lainnya.
Diagnosis terakhir di tegakkan pasca persalinan.
b. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum
kehamilan, selama kehamilan, sampai sesudah masa nifas. Tidak
ditemukan adanya keluhan dan tanda-tanda preeklampsi lainnya.
c. Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda
preeklampsi muncul sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita
yang sebelumnya menderita hipertensi kronis.
d. Preeklampsi ringan, preeklampsi berat, dan eklampsi. Dulu
disebut PE jika dijumpai trias tanda klinis, yaitu : tekanan darah
≥140/90 mmHg, proteinuria, dan edema. Akan tetapi, sekarang
edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik karena
edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran
tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah
diastol ≥90 mmHg digunakan sebagai pedoman.
1) Preeklampsi ringan adalah jika tekanan darah ≥140/90
mmHg, tetapi <160/100 mmHg, dan proteinuria +1.
2) Preeklampsi berat adalah jika tekanan darah >160/110
mmHg, proteinuria ≥ +2, dapat disertai keluhan subjektif
seperti nyeri epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan
dan urologia.
3) Eklampsia adalah kehamilan akut pada wanita hamil dalam
persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang
dan atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-
15

gejala preeklampsia berat (kejang timbul bukan akibat


kelainan neurologis). (Feryanto, 2012).
2. Gejala Klinis
Diagnosis preeklampsia ditegakkan bila ditemukan gejala
hipertensi dan proteinuria, yang disebut juga sebagai kriteria
minimum (Martaadisoebrata dkk, 2013).
a. Hipertensi, merupakan gejala yang paling awal dan tiba-tiba
sesudah kehamilan 20 minggu. Batas tekanan darah adalah 140
mmHg (sistolik) dan 90 mmHg (diastolik). Tekanan darah diukur
ketika penderita beristirahat rebah dan miring ke kiri. Bunyi
korotkoff ke-V dipakai untuk menentukan tekanan diastolik.
b. Proteinuria, ditegakkan bila kadar protein ≥300 mg dalam urin 24
jam atau 30 mg/dl (+1 dipstick) urine sewaktu, atau rasio protein/
kreatinin ≥0,3.
3. Faktor Resiko
Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan
multifaktorial. Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan
adalah (Katsiki N dkk, 2010) :
a. Faktor maternal
1) Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
usia 20-30 tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil
dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali
lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada
usia 20-29 tahun. Dampak dari usia yang kurang, dapat
menimbulkan komplikasi selama kehamilan. Setiap remaja
primigravida mempunyai risiko yang lebih besar
mengalami hipertensi dalam kehamilan dan meningkat lagi
saat usia diatas 35 tahun (Manuaba C, 2007).
2) Primigravida
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi
pada kehamilan pertama. Jika ditinjau dari kejadian
16

hipertensi dalam kehamilan, graviditas paling aman adalah


kehamilan kedua sampai ketiga (Katsiki N dkk, 2010).
3) Riwayat Keluarga
Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam
kehamilan. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat riwayat
keluarga dengan hipertensi dalam kehamilan (Muflihan FA,
2012).
4) Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama
kehamilan dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, dimana komplikasi tersebut dapat
mengakibatkan superimpose preeclampsi dan hipertensi
kronis dalam kehamilan (Manuaba, 2007).
5) Tingginya indeks massa tubuh
Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi
karena kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa
menjadi faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit
degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi dalam
kehamilan, penyakit jantung koroner, reumatik dan
berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan
lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya timbunan lemak
berlebih dalam tubuh (Muflihan FA, 2012).
6) Gangguan ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita
pada ibu hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam
kehamilan. Hal tersebut berhubungan dengan kerusakan
glomerulus yang menimbulkan gangguan filtrasi dan
vasokonstriksi pembuluh darah (Muflihan FA, 2012).
b. Faktor kehamilan
Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan
kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam
kehamilan. Preeklampsi dan eklampsi mempunyai risiko 3 kali
17

lebih sering terjadi pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi
kembar dua, didapatkan 28,6% kejadian preeklampsi dan satu
kasus kematian ibu karena eklampsi (Manuaba, 2007).
4. Penatalaksanaan
Penanganan hipertensi pada kehamilan berdasarkan Saifuddin
dkk (2013) adalah sebagai berikut :
a. Hiperetensi karena kehamilan tanpa proteinuria
Jika kehamilan <37 minggu, tangani secara rawat jalan:
1) Pantau tekanan darah, proteinuria, dan kondisi janin setiap
minggu.
2) Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia.
3) Jika kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambat, rawat dan pertimbangkan terminasi kehamilan.
b. Preeklampsia ringan
Jika kehamilan <37 minggu, tidak ada tanda-tanda
perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
1) Pantau tekanan darah 2 kali sehari, proteinuria 1 kali sehari,
refleks, dan kondisi janin.
2) Lebih banyak istirahat.
3) Diet biasa.
4) Tidak perlu diberikan obat-obatan.
5) Tidak perlu diuretik, kecuali terdapat edema paru,
dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut.
6) Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan :
a) Nasehatkan untuk istirahat, perhatikan tanda-tanda
preeklampsia berat
b) Kontrol 2 kali seminggu
c) Jika tekanan diastolik naik lagi  rawat kembali
7) Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan  tetap dirawat
8) Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan
18

9) Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia


berat.
Jika gestasi >37 minggu, pertimbangkan terminasi :
1) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 5 IU
dalam 500 ml dextrose IV 10 tpm atau dg prostaglandin
2) Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin,
misoprostol atau kateter foley, atau terminasi dengan seksio
sesaria.
c. Preeklampsia berat dan eklampsia
Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama,
kecuali bahwa persalinan harus berlangsung dalam 12 jam setelah
timbulnya kejang pada eklampsia.
Penanganan kejang :
1) Berikan obat antikonvulsan (Magnesium Sulfat)
2) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan,
masker oksigen, oksigen)
3) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
4) Aspirasi mulut dan tenggorokan
5) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk
mengurangi resiko aspirasi
6) Berikan oksigen 4-6 liter/menit.
d. Persalinan
1) Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24
jam, sedangkan pada eklampsia dalam 12 jam sejak gejala
eklampsia timbul
2) Jika terdapat gawat janin, atau persalinan tidak dapat terjadi
dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea
3) Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa :
a) Tidak terdapat koagulapati
b) Anastesi yang aman adalah anastesi umum
4) Jika anastesi yang umum tidak tersedia, atau janin mati,
aterm terlalu kecil, lakukan persalinan pervaginam.
19

a) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 2-


5 IU dalam 500 ml dextrose 10 tetes/menit atau dengan
prostaglandin.
e. Perawatan postpartum
1) Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau
kejang terakhir
2) Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolik masih
>110 mmHg
3) Pantau urin.
f. Hipertensi Kronik
1) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapat obat
antihipertensi, dan terkontrol dengan baik, lanjutkan
pengobatan tersebut
2) Jika tekanan diastolik >110 mmHg atau sistolik ≥160 mmHg,
berikan antihipertensi
3) Jika terdapat proteinuria, pikirkan superimposed
preeklampsia
4) Istirahat
5) Pantau pertumbuhan dan kondisi janin
6) Jika tidak ada komplikasi, tunggu sampai aterm
7) Jika terdapat preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat
atau gawat janin, lakukan:
a) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 2-
5 IU dalam 500 ml dextrose 10 tetes/menit atau dengan
prostaglandin.
b) Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin,
misoprostol atau kateter Foley
8) Observasi komplikasi seperti solusio plasenta atau
superimposed preeklampsia.
20

D. Gangguan Kardiovaskular pada Kehamilan


1. Perubahan Fisiologis pada Kehamilan
Adaptasi fisiologis kehamilan dapat menyebabkan perubahan
signifikan dalam sistem kardiovaskular yang memungkinkan wanita
untuk meningkatkan kebutuhan metabolik akibat pertumbuhan janin.
Wanita dengan fungsi struktur jantung normal dapat beradaptasi
dengan baik sedangkan wanita dengan penyakit jantung akan
mengalami dekompensasi yang dapat mengakibatkan komplikasi
dalam kehamilan bahkan menyebabkan kematian janin dan ibu.
Perubahan sistem kardiovaskular yang terjadi pada awal trimester
pertama kehamilan yang tidak terdiagnosis sebelumnya akan
mengakibatkan cadangan jantung berkurang. Peningkatan kerja
jantung disebabkan oleh karena :
a. Peningkatan konsumsi oksigen karena pertumbuhan janin
b. Pembesaran rahim dan payudara yang membutuhkan oksigen
yang lebih besar
c. Peningkatan berat badan ibu hamil berkisar 10-14 kg
d. Lapisan plasenta bekerja seperti fistula arterio-vena
Perubahan fisiologis yang terjadi adalah sebagai berikut :
a. Perubahan fisiologis pada antenatal
Perubahan fisiologi sebelumnya dapat mempengaruhi pre-
load jantung, pada saat kontraksi jantung berlangsung dan pada
saat after-load.
1) Volume sirkulasi darah
Pengisian jantung adalah peningkatan volume sirkulasi
yang terjadi mulai dari usia kehamilan 6 minggu sampai akhir
kehamilan trimester kedua pada level 50-70% lebih tinggi
dibandingkan pada wanita tidak hamil. Massa sel darah
merah biasanya meningkat tetapi hanya sekitar 40% yang
menyebabkan peningkatan proporsional volume sel darah
merah yang mengarah ke hemodilusi relatif disebut “anemia
fisiologi kehamilan”. Hasil dari peningkatan volume darah
21

pada akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) akan terjadi


peningkatan volume yang dapat dilihat pada ekokardiografi
dari 10 minggu usia kehamilan.
Peningkatan volume sirkulasi darah menimbulkan
masalah tertentu bagi wanita dengan kardiomiopati dilatasi
dan lesi obstruktif seperti sianosis mitral atau hipertensi paru.
2) Retensi pembuluh darah sistemik dan pulmonal
Resistensi pembuluh darah sistemik adalah resistensi
terhadap semua pembuluh darah perifer dalam sirkulasi
sistemik, dan tidak berhubungan dengan pembuluh darah
pulmonal, karena pembuluh darah pulmonal hanya
bersirkulasi dalam pembuluh darah paru-paru. Resistensi
vaskular sistemik diukur dengan melihat perubahan tekanan
disirkulasi sistemik dari awal sampai akhir dibagi dengan
curah jantung.
Setelah pengisian kekuatan dekompensasi otot jantung
berkontraksi dan berkurang pada kehamilan karena
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik. Penurunan ini
terjadi dari minggu kelima kehamilan dan biasanya mencapai
titik akhir antara 20 dan 32 minggu kehamilan. Setelah 32
minggu resistensi pembuluh darah sistemik meningkat lagi
sampai melewati masa kehamilan.
Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik karena
kombinasi dari peningkatan vasodilator yaitu prostasiklin
(PGl) dan pengalihan darah kedalam sirkulasi uteroplasenta
impedansi rendah.
Peningkatan aliran darah pada awal kehamilan namun
mengalami penurunan resistensi pembuluh darah pulmonal
sehingga tidak ada perubahan dalam tekanan arteri pulmonal.
3) Aliran darah
Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dalam
setiap tubuh berbeda dan mengakibatkan perubahan
22

fisiologis. Peningkatan aliran darah ginjal 60-80% sebelum


hamil dan puncak pada trimester ketiga. Perubahan ini
bersamaan dengan peningkatan filtrasi glomerulus (GFR)
sebesar 50%, yang menyebabkan kreatinin menurun.
Wanita yang memiliki eritematous pada ekstremitas
perifer akan menyebabkan aliran darah ke tangan dan kaki
meningkat.
Aliran darah pada mukosa hidung meningkat
menyebabkan wanita sering mengeluh hidung tersumbat.
Perdarahan hidung juga lebih sering terjadi pada kehamilan.
Pembengkakan payudara terjadi karena aliran darah ke
payudara meningkat.
4) Isi sekuncup dan curah jantung
Isi sekuncupialah volume darah yang berasal dari
ventrikel dalam setiap denyut dan ini mencapai 70mls pada
pria dewasa yang sehat. Ini merupakan determinan utama dari
curah jantung (cardiac output/CO) sebagai produk dari isi
sekuncup dan denyut jantung (heart rate/HR), yang keduanya
meningkat selama kehamilan.
Pada akhir trimester kedua, curah jantung meningkat
sekitar 30-50%. Sebagian besar peningkatan curah jantung
mengakibatkan terjadinya peningkatan isi sekuncup dan
denyut jantung terus meningkatpada akhir kehamilan.
Perempuan hamil yang tidak mampu meningkatkan curah
jantung atau membutuhkan tekanan untuk melakukannya,
maka akan terjadi gagal jantung selama kehamilan. Wanita
dengan curah jantung tetap dengan lesi katup stenosis akan
berisiko pada ibu dan janin.
5) Denyut jantung
Peningkatan denyut jantung pada akhir trimester ketiga,
kedua atau awal kehamilan biasanya meningkatkan 10 kali
atau 20 kali diatas denyut jantung dibandingkan dengan
23

sebelum masa kehamilan. Tidak jarang didapatkan


perempuan pada akhir kehamilan dengan peningkatkan
denyut jantung yang teratur dan berlangsung normal.
6) Konsumsi oksigen
Konsumsi oksigen meningkat 20-30% sebagai akibat
dari peningkatan kerja jantung, peningkatan konsumsi
oksigen pada miokard dapat memicu iskemia pada wanita
dengan penyakit jantung koroner.
7) Metabolik
Wanita hamil normal akan mengalami kenaikan berat
badan berkisar 10-14 kg selama masa kehamilan dan harus
diperhatikan kenaikannya setiap hari untuk menghindari
gagal jantung.
Berat badan pada wanita hamil akan mengalami
kenaikan berat badan 2 kg pada trimester pertama (meskipun
pada wanita hamil dengan mual muntah pada pagi hari
penurunan berat badan tidak akan terjadi).
Kenaikan berat badan berlebihan pada akhir kehamilan
menandakan retensi cairan praeklampsia.
b. Perubahan fisiologis pada masa akhir kehamilan
Pada tahap pertama persalinan mengakibatkan kontraksi
rahim berkontribusi terhadap perubahan hemodinamika dalam 2
cara :
1) Kontraksi uterus dapat “memeras” darah ke dalam volume
sirkulasi dan meningkatkannya sebanyak 500 mL, yang
dikenal dengan fenomena “autotransfusi”.
2) Rasa takut pada ibu karena kontraksi uterus menyebabkan
peningkatan sirkulasi katekolamin yang mengakibatkan
peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan curah
jantung.
Curah jantung meningkat sekitar 10% setelah melahirkan,
total curah jantung meningkat sebesar 80% pada wanita sebelum
24

hamil karena kombinasi autotransfusi dan kompresi vena kava


yang rendah. Curah jantung kembali normal setelah sekitar 60
menit setelah melahirkan.
Perubahan hemodinamika dapat dipengaruhi oleh pereda
nyeri dan anastesis selama kehamilan.
c. Perubahan fisiologi pada periode pasca melahirkan
Perubahan hemodinamika akan kembali setelah 3 bulan
pasca melahirkan seperti sebelum hamil, namun pada beberapa
wanita bisa sampai 6 bulan pasca melahirkan.
1) Volume darah: menurun 10% setelah 3 hari pasca
melahirkan.
2) Tingkat Hb: meningkat selama 2 minggu pertama setelah
melahirkan, sebelumnya stabil.
3) Tekanan darah: awalnya menurun kemudian meningkat
pada hari ke 3-7 setelah melahirkan dan kembali normal 6
minggu setelah melahirkan.
4) Resistensi pembuluh darah sistemik: meningkat selama 2
minggu pertama selama melahirkan sampai 30%.
5) Denyut jantung: selama 2 minggu pertama setelah
melahirkan denyut jantung kembali ke awal.
6) Curah jantung: terjadi peningkatan 80% pada jam pertama
setelah melahirkan kemudian terus menurun selama 24
minggu setelah melahirkan.
2. Kelainan Kongenital Jantung
a. Defek septum atrium
Defek septum atrium merupakan bukaan yang abnormal di
antara atrium. Ini merupakan salah satu penyebab pirau dari kiri
ke kanan dan merupakan kelainan kongenital yang paling sering
ditemukan pada kehamilan. Defek ini dapat tidak diketahui
karena biasanya asimptomatik. Ibu hamil dengan ASD
kemungkinan besar tidak akn mengalami komplikasi. Beberapa
25

ibu mungkin mengalami gagal jantung kanan atau aritmia ketika


kehamilan berlanjut karena peningkatan volume plasma.
b. Koarktasi aorta
Koarktasi aorta adalah penyempitan aorta yang terlokalisasi
di dekat tempat insersi duktus. Pasien dengan lesi ini akan
mengalami hipertensi pada ekstrimitas atas namun hiptotensi pada
ekstremitas bawah. Koarktasi aorta adalah contoh penyakit
jantung kongenital yang asianotik. Jika mungkin, lesi harus
diperbaiki dengan operasi sebelum hamil. Namun, kehamilan
biasanya relatif aman untuk wanita dengan koarktasi aorta yang
belum diperbaiki dan tanpa komplikasi. Tingkat mortalitas ibu
sekitar 3%. Komplikasi yang dapat terjadi termasuk hipertensi,
gagal jantung kongestif, stroke, diseksi aorta, aneurisma dan
ruptur, terapi untuk koarktasio yang tidak dikoreksi adalah
istirahat dan obat antihipertensi, terutama beta adrenergik bloker.
Persalinan pervaginam mungkin terjadi dengan anestesi epidural
dan mempersingkat kala dua dengan bantuan vakum atau forsep,
bila diperlukan.
c. Tetralogi Fallot
Tetralogi fallot merupakan penyakit jantung sianotik yang
paling sering ditemui pada kehamilan. Komponen tetralogi fallot
adalah defek septum ventrikel, stenosis paru, overriding aorta,
dan hipertropi ventrikel kanan, sehingga menyebabkan pirau dari
kanan ke kiri. Wanita dengan tetralogi fallot dianjurkan untuk
menjalani operasi untuk mengoreksi kelainan sebelum konsepsi
karena kehamilan tidak akan menyebabkan risiko yang signifikan
setelah VSD dan stenosis pulmonal diperbaiki. Wanita dengan
tetralogi fallot yang tidak dikoreksi akan mengalami pirau kanan
ke kiri yang lebih banyak selama kehamilan, menyebabkan aliran
darah yang berkurang disirkulasi pulmonal dan meningkatkan
hipoksemia, yang menyebabkan sinkop atau kematian.
Penatalaksanaan aliran balik vena pada wanita dengan tetralogi
26

fallot yang tidak dikoreksi sangat penting. Oleh karena itu, waktu
yang paling berbahaya untuk wanita tersebut adalah akhir
trimester ketiga dan awal periode postpartum, ketika aliran balik
vena dikurangi oleh uterus yang membesar dan menggenangnya
vena perifer setelah melahirkan. Penggunaan stoking yang
memberikan tekanan direkomendasikan. Kehilangan darah saat
melahirkan juga dapat berefek buruk pada arus balik vena, karena
itu volume darah harus dijaga. Antibiotik profilaksis harus
diberikan pada periode intrapartum.
3. Penyakit yang Didapat
a. Prolaps Katup Mitral
Prolaps katup mitral merupakan kondisi yang cukup umum
terjadi dan biasanya jinak. Saat ini, kriteria diagnostik dengan
ekokardiografi yang lebih spesifik membuat menurunnya
perkiraan prevalensi prolaps katup mitral (1% dari seluruh
populasi wanita) dari perkiraan sebelumnya. Pada prolaps katup
mitral, daun katup akan mengalami prolaps ke atrium kiri pada
sistol ventrikel, sehingga darah mengalir balik. Ciri khas kondisi
ini adalah bunyi klik di midsistolik dan murmur sistolik. Sebagian
besar kasus asimtomatik. Beberapa wanita mengalami nyeri dada
atipikal (tajam dan berada di sisi kiri jantung) yang terjadi saat
istirahat dan tidak membaik dengan nitrat. Penderita bisa juga
mengalami kecemasan, palpitasi, dispnea saat aktivitas, dan
sinkop. Terapi spesifik secara umum tidak diperlukan kecuali
untuk takiaritmia simtomatik dan gagal jantung, nyeri dada dan
aritmia biasanya diterapi dengan beta bloker seperti atenolol atau
metoprolol (Lopresor). Jika gejala berat, fungsi tiroid juga harus
diperiksa. Kehamilan dan perubahan hemodinamiknya dapat
mengubah atau mengurangi bunyi klik atau murmur, dan gejala
pada prolaps katup mitral. Kehamilan secara umum dapat
ditoleransi dengan baik kecuali terjadi endokarditis bakterial.
27

Profilaksis antibiotik biasanya diberikan sebelum melahirkan


untuk mencegah endokarditis bakteria.
b. Stenosis Mitral
Stenonis mitral hampir selalu disebabkan oleh penyakit
jantung rematik (PJR), konsekuensi dari demam rematik. Demam
rematik akan muncul mendadak, sering kali beberapa minggu
tanpa gejala setelah infeksi tenggorokan oleh streptokokus
hemolitikus B grup A yang tidak diterapi dengan benar. Episode
demam rematik akan menyebabkan reaksi autoimun pada jaringan
jantung, sehingga terjadi kerusakan permanen di katup (biasanya
katup mitral) dan korda tendinae. Kerusakan ini diklasifikasikan
sebagai PJR. PJR dapat terlihat saat demam rematik akut atau
beberapa tahun setelahnya, rekurensi demam rematik sering
terjadi, tiap kali memiliki potensi untuk meingkatkan kerusakan
di jantung.
Stenosis mitral adalah menyempitnya bukaan di katup
mitral yang disebabkanoleh daun katup yang menjadi kaku, yang
menghambat aliran darah dari atrium ke ventrikel. Ketika katup
mitral menyempit, sesak napas akan makin parah, pertama terjadi
saat beraktivitas dan akhirnya saat istirahat.Stenosis yang rapat
dan peningkatan volume darah dan curah jantung pada kehamilan
normal dapat menyebabkan edema paru, fibrilasi atrium, gagal
jantung kanan, endokarditis efektif, emboli paru, dan hemoptisis
masif. Sekitar 25% wanita dengan stenosis katup mitral dapat
mengalami gejala pertama kali saat hamil. Mortalitas ibu
berhubungan dengan kapasitas fungsional.
Terapi farmakologi untuk wanita dengan riwayat PJR
adalah profilaksis dengan penisilin G oral setiap hari atau injeksi
penisilin benzilin (bicillin) setiap bulan, diuretik untuk mencegah
edema paru, dan beta bloker atau kanal kalsium bloker untuk
mencegah takikardi. Kombinasi obat kemungkinan besar
diperlukan. Kardioversi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrial
28

yang baru terjadi. Wanita dengan fibrilasi atrium kronis mungkin


memerlukan digoksin atau beta bloker untuk mengontrol
frekuensi nadi. Selain itu, terapi antikoagulan mungkin diperlukan
untuk mencegah emboli.
Kasus wanita dengan stenosis katup mitral ditata laksana
dengan mengurangi aktivitas, membatasi iodin dari diet, dan
meningkatkan tirah baring, selain pemberian obat yang sudah
disebutkan sebelumnya. Ibu hamil dengan stenosis mitral harus
diawasi secara klinis untuk gejala dan dengan ekokardiogram
untuk memantau ukuran atrium dan ventrikel, juga fungsi katup
jantung. Profilaksis untuk endokarditis intrapartum dan infeksi
paru dapat diberikan untuk pasien berisiko tinggi.
c. Stenosis Aorta
Stenosis aorta adalah penyempitan katup aorta yang
menyebabkan hambatan ejeksi ventrikel kiri. Hal ini jarang
ditemui sebagai komplikasi dalam kehamilan karena sebagian
besar wanita mengalami kondisi ini saat masa reproduksinya
selesai.
Stenosis yang berat dianjurkan untuk menunda konsepsi
sampai selesai koreksi bedah atau ballon valvulotomy. Terminasi
kehamilan harus dipertimbangkan jika penderita simtomatik
sebelum akhir trimester pertama kehamilan. Jika kehamilan telah
terjadi dan disertai dengan stenosis aorta berat, tindakan
pencegahan hipovolemia sangat penting dilakukan. Jika gagal
jantung terjadi, maka dapat diobati sebagaimana pengobatan
gagal jantung yang sebelumnya dengan penekanan
menghindarkan diuresis yang berlebihan. Jika stenosis berat
menetap, ballon valvuloplasty atau bedah katup aorta dapat
dilakukan semasa kehamilan dan berhubungan dengan kematian
ibu dan janin yang tinggi (Anwar, 2004).
29

4. Penyakit dan Kondisi Jantung Lainnya


a. Kardiomiopati Peripartum
Penyebab kardiomiopati dilatasi tidak jelas diketahui, tetapi
sekitar 30-50 persen bersifat familial. Kejadian ini yang
menyokong alasan untuk mennghindarkan kehamilan.
Rekomendasl ini tidak didukung data percobaan prospektif, tetapi
sebagaimana diketahui disfungsi miokard berhubungan dengan
meningkatnya mortalitas maternal dan janin dalam berbagai
bentuk penyakit miokard. Keadaan diatas juga berasal dan
observasi dimana berkembangnya problem diatas sebagai akibat
kehamilan. Kardiomiopati peripartum merupakan kardiomiopati
dilatasi yang terjadi semasa kehamilan, tetapi kenyataannya
hampir semata-mata terjadi dalam trimester ketiga atau enam
minggu pertama postpartum dan merupakan kelainan yang unik.
Beberapa laporan kasus menyokong bahwa miokarditis
merupakan bagian dari penyakit ini dan dibuktikan dengan biopsy
endomiokardial, dan pengobatan dengan obat anti inflamasi bisa
mempengaruhi hasil dengan baik. Dan tidak jelas apakah
miokarditis merupakan bentuk tersering dari bentuk
kardiomiopati. Dan percobaan prospektif besar pada situasi
rniokarditis lain telah gagal mcnyokong nilai pengobatan ini.
Suatu studi kecil telah rnenyokong peranan pengobatan dengan
imun globulin. Pada wanita dengan kardiomiopati dilatasi, semasa
kehamilan, terapi standard untuk gagal jantung, tromboemboli
dan aritmia cukup sempurna. Jika fungsi ventrikel tidak kembali
normal setelah kehamilan, kehamilan berikutnya berhubungan
dengan mortalitas maternal yang mencapai 50 persen. Bila fungsi
ventrikel kembali normal, kehamilan berikutnya memungkinkan,
tepai mortalitas maternal masih mencapai 10 persen (Anwar,
2004).
30

b. Endokarditis Infektif
Endokarditis bisa didapati wanita semasa kehamilan tanpa
diketahui adanya kelainan jantung, dan kelainan struktur jantung
merupakan resiko yang terbesar untuk mengalami infektif
endokarditis. Penampilan klinis infektif endokarditis semasa
kehamilan sama dengan kasus infektif endokarditis lainnya.
Streptokokus merupakan penyebab tersering. Stafilokokus sering
didapati pada pemakai salah guna obat intravena dan infeksi gram
negatif, terutama Escheria coli sering didapati sebagai penyebab
pada wanita dengan infeksi traktus urogenital. Pencegahan untuk
terjadinya infektif endokarditis diperlukan dalam penatalaksanaan
infektis endokarditis. Dianjurkan pemberian antibiotika
profilaksis pada saat akan dilakukan pencabutan gigi, tindakan
pembedahan atau saat melahirkan. Jika endokarditis telah terjadi
diperlukan terapi medik yang agresif dan optimal dan tindakan
pembedahan dapat dilakukan semasa kehamilan. Jika tindakan
bedah jantung terbuka diperlukan pacta kehamilan lanjut,
tindakan seksio sesaria yang bersamaan dapat dipertimbangkan
(Anwar, 2004).
c. Sindrom Eisenmenger
Sindrom eisenmenger adalah pirau dari kanan ke kiri atau
dua arah yang bisa terjadi pada atrium atau ventrikel dan terjadi
bersamaan dengan peningkatan resistensi vaskular paru. Hal ini
dihubungkan dengan defek struktural jantung yang mendasari,
entah itu defek septum ventrikel (paling sering) atau duktus
arteriosus yang paten (paten ductus arteriosus). Sindrom
eisenmenger dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi
(50% pada ibu dan 50% pada janin). Oleh karena itu prognosis
yang buruk pada kehamilan, kehamilan harus dihindari pada
wanita yang mengalami penyakit ini. Meskipun bisa terjadi
kematian mendadak., periode intrapartum dan awal postpartum
merupakan masa yang paling berbahaya. Morbiditas ibu
31

dihubungkan dengan kegagalan ventrikel kanan dan berhubungan


dengan syok kardiogenik jika terjadi kehamilan, terminasi dapat
dianjurkan jika pasien mengalami hipertensi pulmonal yang
signifikan.
Jika wanita tetap melanjutkan kehamilannya, tata laksanan
yang harus dilakukan termasuk tindakan untuk menjaga aliran
darah di paru. Aktivitas fisik sangat dibatasi. Intervensi lainnya
termasuk menggunakan stoking elastis yang memberikan tekanan
dan terapi oksigen. Rawat inap mungkin diperlukan untuk
memastikan perawatan yang optimal. Selama persalinan dan
melahirkan, anestesi regional narkotik mengurangi rasa nyeri
tanpa menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Hipotensi
harus dicegah dengan segala cara karena dapat menyebabkan
pirau kanan ke kiri sehingga meningkatkan hipoksemia, resistensi
vaskular paru, dan memperburuk pirau. Resistensi sitemik yang
berlebihan atau kelebihan volume cairan dapat menambah beban
jantung kanan. Operasi cesar hanya dilakukan bila ada indikasi
obstetrik dan harus dihindari sebisa mungkin (Lowdermilk dkk,
2013).
d. Sindrom Marfan
Kemungkinan amat sulit untuk menegakkan sindroma
Marfan, tetapi hal ini sangat penting dilakukan karena kehamilan
sangat berbahaya pada wanita yang menderita sindroma Marfan.
Pertama karena resiko kematian akibat ruptur aorta atau diseksi
aorta sangat tinggi semasa kehamilan, terutama jika aorta sangat
besar (lebih dari 40 mm pada ekokardiografi). Kedua angka
harapan hidup wanita dengan sindroma Marfan berkurang kira-
kira separuh dari normal, secara tidak langsung usia ibu akan
terbatas. Ketiga setengah dari keturunannya akan dikenai
sindroma ini. Alasan ini yang menyebabkan wanita dengan
sindroma marfan dianjurkan untuk tidak hamil. Resiko diatas juga
menjadi rekomendasi untuk menghentikan kehamilan jika telah
32

terjadi. Jika orang tua memilih untuk meneruskan kehamilan,


maka aktivitas mesti dibatasi dan hipertensi mesti dicegah. Obat
penyekat beta jelas terbukti tidak bermanfaat bila digunakan
sebagai profilaksis, tetapi penggunaannya pada penderita
sindroma Marfan dengan kehamilan kelihatan menjadi suatu
alasan. Sindroma Marfan merupakan salah satu sindroma
kardiovaskuler dimana seksio sesaria dianjurkan untuk mencegah
stress hemodinamik pada saat kelahiran.
5. Klasifikasi
Klasifikasi berikut didasarkan pada Disability yang lampau dan
sekarang serta tidak dipengaruhi oleh tanda-tanda fisik :
a. Kelas I
Tidak teganggu (Uncompromised), pasien dengan penyakit
jantung dan tidak ada pembatasan dalam aktivitas fisik. Mereka
tidak memperlihatkan gejala insufisiensi jantung atau merasakan
nyeri angina.
b. Kelas II
Agak terganggu (Slightly compromised), pasien dengan
penyakit jantung dan sedikit pembatasan aktivitas fisik. Pada
wanita ini merasa tidak nyaman (Discomfort) dalam bentuk rasa
lelah berlebihan, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina.
c. Kelas III
Jelas terganggu (Markedly Compromised), pasien dengan
pembatasan penyakit jantung dan pembatasan nyata aktifitas fisik.
Mereka nyaman dalam keadaan istirahat, tetapi aktivitas yang
kurang dari biasa menyebabkan rasa tidak nyaman berupa
kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina.
d. Kelas IV
Terganggu parah (Severely Compromised), pasien dengan
penyakit jantung dan tidak mampu melakukan aktifitas fisik
apapun tanpa merasa tidak nyaman. Gejala insufisiensi jantung
atau angina dapat timbul bahkan dalam keadaan istirahat, dan
33

apabila mereka melakukan aktifitas fisik apapun, rasa tidak


nyaman bertambah.
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan pada kehamilan
1) Memberikan pengertian kepada ibu hamil untuk
melaksanakan pengawasan antenatal yang teratur.
2) Kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiolog.
3) Pencegahan terhadap kenaikan berat badan dan retensi air
yang berlebihan. Jika terdapat anemia, harus diobati.
4) Timbulnya hipertensi atau hipotensi akan memberatkan kerja
jantung, hal ini harus diobati.
5) Bila terjadi keluhan yang agak berat, seperti sesak napas,
infeksi saluran pernapasan, dan sianosis, penderita harus
dirawat di rumah sakit.
6) Skema kunjungan antenatal: setiap 2 minggu menjelang
kehamilan 28 minggu dan 1 kali seminggu setelahnya.
7) Harus cukup istirahat, cukup tidur, diet rendah garam, dan
pembatasan jumlah cairan.
Setiap pirau kanan ke kiri akan menurunkan resistensi
vaskuler sistemik. Hipoksia dapat memburuk karena janin
membutuhkan oksigen dari aliran darah dan karena kapasitas
residu fungsional ibu rendah, sehingga pertukaran gas berkurang.
Terdapat risiko perburukan gagal jantung, aritmia, pre-eklampsia,
atau pertumbuhan janin buruk (Fathoni, 2016).
Pengobatan khusus bergantung pada kelas penyakit :
1) Kelas I
Tidak memerlukan pengobatan tambahan.
2) Kelas II
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya
harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada
UK 28-32 minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk.
Kelas ini dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan
34

dan melahirkan pervaginam, namun harus diawasi dengan


ketat. Pasien harus tidur malam cukup 8-10 jam, istirahat
baring minimal setengah jam setelah makan, membatasi
masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein, rendah
garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu
sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien
di RS sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran. Lakukan
persalinan pervaginam kecuali terdapat kontra indikasi
obstetric. Metode anastesi terpilih adalah epidural. Kala
persalinan biasanya tidak berbahaya. Lakukan pengawasan
dengan ketat. Pengawasan kala I setiap 10-15 menit dan kala
II setiap 10 menit. Pada kala II dapat spontan bila tidak ada
gagal jantung. Bila berlangsung 20 menit dan ibu tidak dapat
dilarang meneran akhiri dengan ekstraksi cunam atau vacum
dengan segera. Tidak diperbolehkan memakai ergometrin
karena kontraksi uterus yang bersifat tonik akan
menyebabkan pengembalian darah ke sirkulasi sistemik
dalam jumlah besar.
3) Kelas III
Memerlukan digitalisasi atau obat lainnya. Sebaiknya dirawat
di rumah sakit sejak kehamilan 28-30 minggu.
4) Kelas IV
Harus dirawat di rumah sakit dan diberikan pengobatan,
bekerjasama dengan kardiolog.
b. Pada masa persalinan
Penderita kelas I dan kelas II biasanya dapat meneruskan
kehamilan dan bersalin per vaginam, namun dengan pengawasan
yang baik serta kerjasama dengan ahli penyakit dalam.
1) Bila ada tanda-tanda payah jantung (dekompensasi kordis)
diobati dengan digitalis. Memberikan sedilanid dosis awal
0,8 mg dan ditambah sampai dosis 1,2-1,6 mg intravena
secara perlahan-lahan. Jika perlu, dapat diulang 1-2 kali
35

dalam dua jam. Di kamar bersalin harus tersedia tabung berisi


oksigen, morfin, dan suntikan diuretikum.
2) Kala II yaitu kala yang kritis bagi penderita. Bila tidak timbul
tanda-tanda payah jantung, persalinan dapat ditunggu,
diawasi dan ditolong secara spontan. Dalam 20-30 menit, bila
janin belum lahir, kala II segera diperpendek dengan
ekstraksi vakum atau forseps. Kalau sosio sesarea dengan
lokal anestesi/lumbal/kaudal di bawah pengawasan beberapa
ahli multidisiplin.
3) Untuk menghilangkan rasa sakit boleh diberikan obat
analgesik seperti petidin dan lain-lain. Jangan diberikan
barbiturat (luminal) atau morfin bila ditaksir bayi akan lahir
dalam beberapa jam.
4) Kala III biasanya tidak perlu tindakan yang terburu-buru.
Berikanlah waktu untuk penyesuaian sirkulasi karena
kembalinya aliran darah dari sirkulasi plasenta saat rahim
berkontraksi. Risiko perdarahan postpartum karena atonia
rahim harus diseimbangkan dengan risiko takikardia dan
hipotensi karena penggunaan oksitosin. (Hanretty, 2010).
Penderita kelas III dan IV tidak boleh hamil karena
kehamilan sangat membahayakan jiwanya. Bila hamil, segera
konsultasikan ke dokter ahli atau sedini mungkin abortus buatan
medikalis. Pada kasus tertentu tubektomi. Bila tidak mau
sterilisasi, dianjurkan memakai kontrasepsi yang baik adalah IUD
(AKDR). Penatalaksanaan kelas III dan IV, pada penyakit yang
tidak terlalu parah, dianjurkan analgesia epidural. Kelahiran
pervaginam dianjurkan pada sebagian besar kasus yang ada
indikasi obstetrinya. Keputusan untuk melakukan SC juga harus
mempertimbangkan penyakit jantung spesifiknya, kondisi ibu
keseluruhan, ketersediaan dan pengalaman ahli anestesi, serta
fasilitas yang ada.
36

Pemantauan sebelum bersalin mencakup EKG, oksimetri,


serta tekanan darah. Pemasangan kateter vena sentral atau arteri
pulmonalis mungkin perlu pada kondisi parah, terutama jika
terdapat edema paru. Baru-baru ini, terdapat kecenderungan
persalinan normal dengan analgesia epidural dosis rendah dan
bantuan vakum elektif. Dosis rendah analgesia epidural dapat
mengurangi stres pada jantung, sehingga memungkinkan untuk
dilakukannya persalinan per vaginam elektif yang dibantu.
Operasi caesar dapat dilakukan dengan anestesi regional atau
umum (Fathoni, 2016).
c. Pada masa nifas
1) Setelah bayi lahir, pederita dapat tiba-tiba jatuh kolaps, yang
disebabkan darah tiba-tiba membajiri tubuh ibu sehingga
kerja jantung menjadi sangat bertambah. Perdarahan
merupakan komplikasi yang cukup berbahaya.
2) Karena itu penderita harus tetap diawasi dan dirawat
sekurang-kurangnya 2 minggu setelah bersalin.
Pemantauan ibu harus terus dilakukan sampai periode
pasca-melahirkan. Risiko perburukan ibu setelah melahirkan
dapat disebabkan oleh perubahan aliran balik vena, kehilangan
darah, dan thrombogenic milieu. Analgesia opioid pasca-operasi
baik epidural maupun spinal pada persalinan per vaginam akan
mengurangi nyeri dan efek kardiovaskuler yang merugikan
seperti takikardia dan hipertensi.
d. Pada masa laktasi
1) Laktasi diperbolehkan pada wanita dengan penyakit jantung
kelas I dan II yang sanggup melakukan kerja fisik.
2) Laktasi dilarang pada wanita dengan penyakit jantung kelas
III dan IV.
37

II. Persalinan Berisiko


A. Anemia
1. Pengertian
Anemia merupakan kelainan yang umum terjadi dalam
kehamilan, terjadi pada sekitar 20-60% wanita. Anemia
mengakibatkan reduksi kapasitas darah untuk membawa oksigen,
karena kapasitas itu berkurang, jantung berusaha mengompensasi
dengan meningkatkan curah jantung. Usaha ini akan meningkatkan
beban jantung dan fungsi ventrikel. Oleh karena itu, anemia yang
terjadi dengan komplikasi lain (contoh: preeklampsi) dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif.
Anemia dalam kehamilan didefinisikan sebagai Hb kurang dari
11 g/dL dalam trimester pertama dan ketiga, dan kurang dari 10,5
g/dL pada trimester kedua. Kadar Hb kurang dari 6-8 g/dL dianggap
sebagai anemia berat. (Lowdermilk dkk, 2013).
Anemia meningkatkan angka kesakitan dalam kehamilan, risiko
infeksi, dan apabila terjadi dapat menimbulkan ancaman perdarahan
post partum. Faktor-faktor nutrisi utama yang berperan adalah zat
besi, asam folat dan vitamin B (Hanretty, 2014).
2. Klasifikasi
Ada bebrapa jenis anemia dalam kehamilan menurut
Lowdermilk dkk (2013), yaitu:
a. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia paling umum pada
kehamilan. Anemia ini didiagnosis dengan memeriksa kadar
feritin serum selain kadar hemoglobin dan hematokritnya. Kadar
feritin serum menunjukkan cadangan besi. Nilai feritin serum
kurang dari 12 mcg/dL dengan Hb rendah menunjukkan anemia
defisiensi besi. Terlihat adanya hubungan antara anemia defisiensi
besi, terutama bila berat, dan bayi prematur dan berat badan lahir
rendah, meskipun apakah ini disebabkan oleh anemia atau bukan
masih belum pasti. Biasanya, bahkan janin dari wanita anemia
38

akan mendapatan cadangan besi yang cukup dari ibu, yang


semakin mengurangi cadangan besi ibu.
Umumnya, anemia defisiensi besi dapat dicegah atau
diterapi dengan suplemen besi. Oleh karena peningkatan jumlah
besi yang diperlukan untuk perkembangan janin dan cadangan
ibu, ibu hamil sering kali dianjurkan untuk meminum suplemen
besi untuk profilaksis. Satu tablet fero sulfat 325 mg memberikan
profilaksis besi yang cukup. Tiap tablet mengandung 60 mg besi
elemental yang diserap 10%nya. Sebagian besar wanita dengan
defisiensi besi bisa mereabsorpsi besi sebanyak yang mereka
butuhkan dengan meminum tablet fero sulfat 325 mg dua kali
sehari. Aspek yang penting untuk diajarkan kepada pasien adalah
pentingnya terapi besi. Beberapa ibu hamil tidak bisa menoleransi
besi per oral karena rasa mual dan muntah yang berhubungan
dengan kehamilan dan efek samping terapi besi. Pada kasus ini
pasien boleh diberikan terapi besi dengan injeksi intavena atau
intramuskular. Wanita dengan anemia berat mungkin memerlukan
transfusi darah.
Edukasi pasien mengenai pentingnya suplemen besi dalam
mencegah atau mengobati anemia defisiensi besi. Selain itu,
edukasi cara mengurangi keluhan pencernaan dari terapi tersebut
dengan mengatur diet.
b. Defisiensi Asam Folat
Folat adalah vitamin larut air yang ditemukan pada sayuran
hijau, buah jeruk, telur, kacang-kacangan, dan gandum. Bahkan
pada wanita dengan gizi baik, defisiensi folat umumnya terjadi.
Diet yang tidak baik, memasak dengan terlalu banyak air, dan
kosumsi alkohol yang tinggi dapat berkontribusi pada defisiensi
folat. Selama kehamilan, kebutuhan folat akan meningkat, karena
kebutuhan janin dan karena folat tidak diserap dengan baik di
saluran pencernaan selama kehamilan. Asam folat adalah bentuk
vitamin yang digunakan dalam suplemen. Asupan asam folat
39

yang direkomendasikan dalam sehari adalah 600 mcg. Vitamin


prenatal yang diresepkan dan dijual bebas biasanya mengandung
lebih dari jumlah ini dan seharusnya cukup untuk mencegah dan
mengobati defisiensi asam folat. Wanita dengan risiko defisiensi
asam folat termasuk mereka yang menderita hemoglobinopati,
meminum obat anti kejang, atau dengan kehamilan multipel.
Wanita ini membutuhkan dosis asam folat yang lebih dari dan
normal.
Defisiensi asam folat merupakan penyebab utama dari
anemia megaloblastik selama kehamilan, tapi defisiensi B12 juga
harus dipikirkan. Anemia megaloblastik jarang terjadi sebelum
trimester ketiga kehamilan. Wanita dengan anemia megaloblastik
karena defisiensi asam folat mengalami tanda dan gejala biasa
anemia: pucat, lelah, letargi, juga glositis dan kulit yang kasar.
Defisiensi folat biasanya membaik dengan cepat, dengan terapi
asam folat. Hal ini jarang terjadi pada janin dan bukan merupakan
penyebab morbiditas perinatal. Defisiensi besi sering kali
dihubungkan dengan defisiensi folat.
c. Hemoglobinopati Sel Bulan Sabit
Hemoglobinopati sel bulan sabit merupakan penyakit dalam
yang disebabkan oleh adanya hemoglobin abnormal dalam darah.
Sifat sel bulan sabit (pola hemoglobin) adalah SDM berbetuk
bulan sabit tapi dengan usia yang sama dengan SDFM normal.
Sebgaian besar orang dengan sifat ini tidak mengalami gejala.
Wanita dengan sifat sel bulan sabit memerlukan konseling
genetik, dan pasangannya harus diperiksa untuk menentukan
resiko mereka memiliki anak dengan sifat atau penyakit sel bulan
sabit.
Wanita dengan sifat sel bulan sabit biasanya kondisinya
baik selama kehamilan. Meski demikian mereka mengalami
peningkatan risiko eklampsia, kematian janin dalam rahim, bayi
prematur atau BBLR dan endometritis postpartum. Mereka juga
40

memiliki risiko yang meningkat untuk terjadiny ISK dan


defisiensi besi.
Anemia sel bulan sabit adalah anemia hemolitik yang
diturunkan, resesif, dan familial yang dialami seseorang dengan
keturunan Afrika atau Mediterania. Orang-orang ini biasanya
memiliki jenis hemoglobin abnormal (SS atau SC). Masa hidup
SDM pada penderita penyakit ini hanya 5-10 hari, dibandingkan
SDM normal yang memiliki masa hidup sampai 120 hari.
Penderita penyakit ini mengalami serangan berulang (krisis)
demam dan nyeri, paling sering di abdomen, sendi dan
ekstremitas, meskipun semua organ dapat terpengaruh. Serangan
ini disebabkan oleh sumbatan pembuluh darah oleh SDM
berbentuk bulan sabit. Krisis biasanya dipicu oleh dehidrasi,
hipoksia, atau asidosis.
Wanita dengan penyaki ini memerlukan konseling genetik
sebelum hamil. Semua anaknya akan terkena dalam berbagai cara.
Pasangan harus diperiksa untuk menentukan risiko anak dengan
penyakit sel bulan sabit. Wanita ini memiliki risiko untuk hasil
kehamilan yang buruk, termasuk keguguran, PJT dan lahir mati.
Meskipun kematian ibu jarang terjadi, morbiditas cukup
signifikan dan termasuk peningkatan risiko preeklamsi dan
infeksi, terutama di saluran kemih dan paru. Frekuensi krisis juga
tampak meningkat selama kehamilan.
Pasien harus dipantau dengan hati-hati selama kehamilan
terhadap terjadinya ISK atau preeklamsi. Selain itu, ia harus
menjalani beberapa kali pemeriksaan USG untuk memantau
pertumbuhan janin dan kemungkinan menjalani pemeriksaan
janin antepartum yang dilakukan rutin pada trimester ketiga.
Infeksi akan diterapi dengan antibiotik secara agresif. Jika terjadi
krisis, mereka diterapi dengan analgesik, oksigen dan hidrasi.
Beberapa ahli merekomendasikan transfusi profilaksis untuk
meningkatkan kapasitas mengangkut oksigen dengan menekan
41

sintesis hemoglobin bulan sabit. Namun yang lain percaya bahwa


transfusi tidak meningkatkan keadaan janin atau neonatus.
Jika tidak terjadi komplikasi, kehamilan dapat lanjut sampai
cukup bulan. Pada saat persalinan, pasien harus dianjurkan untuk
mengambil posisi miring. Pasien mungkin butuh oksigen. Hidrasi
yang adekuat harus dijaga sambil mencegah kelebihan cairan.
Anastesi (contoh: anestesi epidural atau kombinasi spinal-
epidural) direkomendasikan karena memberikan pengurangan
nyeri yang baik. Persalinan pervaginam lebih dipilih. Operasi
cesar hanya boleh dilakukan bila ada indikasi obstetri.
d. Talasemia
Talasemia adalah anemia yang relatif umum di mana
jumlah hemoglobin yang diproduksi tidak cukup untuk memenuhi
SDM. Talasemia adalah kelainan yang diturunkan dan disebabkan
oleh sintesis abnormal dari rantai alfa dan beta.
Talasemia beta minor merupakan bentuk heterozigous dari
kelainan ini, penderita talasemia beta heterozigot adalah karier
dan biasanya asimtomatik. Kehamilan tidak akan memperburuk
talesemia minor. Penyakit ini juga tidak berefek buruk pada
kehamilan. Wanita dengan talasemia beta minor tidak
membutuhkan pemeriksaan janin antepartum. Terapi besi hanya
diberikan untuk pasien dengan defisiensi besi, meskipun
suplemen asam folat direkomendasikan untuk semua wanita
dengan talasemia beta minor.
Bentuk homozigot dari talasemia beta disebut sebagai
talasemia mayor atau anemia Cooley. Seseorang dengan penyakit
ini biasanya mengalami hepatosplenomegali, dan deformitas
tulang yang disebabkan oleh ekspansi besar-besaran jaringan
sumsum tulang. Individu ini biasanya meninggal karena infeksi
atau komplikasi kardiovaskular pada usia muda. Jika mereka
mencapai usia reproduktif, umumnya terjadi infertilitas. Jika
wanita dengan penyakit ini hamil mereka biasanya mengalami
42

anemia berat dan gagal jantung kongestif, meskipun telah


dilaporkan kehamilan yang berhasil sampai cukup bulan. Wanita
dengan talasemia mayor ditatalaksana seperti penderita anemia
sel bulan sabit selama kehamilan (Lowdermilk dkk, 2013).
B. Distosia
1. Pengertian
Persalinan memanjang dan sulit, atau abnormal disebut sebagai
persalinan distingsional, atau distosia; hal ini disebabkan oleh
berbagai kondisi yang berhubungan dengan lima faktor yang
memengaruhi persalinan. Estimasi memperkirakan bahwa persalinan
disfungsional teriadi pada sekitar 8-11% dari seluruh kelahiran.
Distosia merupakan indikasi kedua terbanyak untuk melahirkan cesar
setelah kelahiran cesar sebelumnya (Lowdermilk dkk, 2013).
2. Etiologi
Distosia dapat disebabkan oleh salah satu dari hal berikut
(Lowdermilk dkk, 2013).
a. Kontraksi uterus tidak efektif atau usaha ibu mengejan
(kekuatan), penyebab tersering dari distosia.
b. Perubahan pada struktur panggul (jalan lahir).
c. Sebab dari janin meliputi presentasi atau posisi abnormal,
anomali, ukuran berlebihan, dan jumlah janin (yang melewati
jalan lahir).
d. Posisi ibu selama persalinan dan melahirkan. Respons fisiologis
ibu terhadap persalinan berhubungan dengan pengalaman
terdahulu, persiapan, kebudayaan dan sistem pendukung.
Kelima faktor ini saling berhubungan. Dalam mengkaji ibu
terhadap terjadinya pola persalinan abnormal, perawat harus
memikirkan keadaan di mana faktor-faktor ini saling berinteraksi dan
memengaruhi jalannya persalinan. Distosia diduga ketika karakteristik
kontraksi uterus berubah atau ketika laju pembukaan serviks atau
penurunan dan ekspulsi janin berkurang.
43

a. Persalinan Disfungsional
Persalinan disfungsional dideskripsikan sebagai kontraksi
uterus abnormal yang mencegah pembukaan serviks, penipisan
(kekuatan primer), atau penurunan (kekuatan sekunder) normal.
Beberapa faktor yang tampaknya dapat meningkatkan risiko ibu
untuk terjadinya distosia uterus, di antaranya:
1) kelebihan berat badan
2) perawakan pendek
3) usia ibu telah lanjut
4) masalah infertilitas
5) abnormalitas uterus (seperti malformasi kongenital; distensi
berlebihan, seperti pada gestasi multipel; atau
polihidramnion)
6) malpresentasi dan posisi janin
7) disproporsi sefalopelvis (atau disproporsi fetopelvis)
8) stimulasi uterus berlebih dengan oksitoksin
9) kelelahan pada ibu, dehidrasi, dan ketidakseimbangan
elektrolit, serta ketakutan
10) waktu pemberian analgesik atau anestesi yang tidak tepat.
Aktivitas uterus abnormal dapat dideskripsi lebih lanjut
sebagai hipertonik atau hipotonik. Kontraksi dapat sering dan
kuat serta terasa nyeri pada aktivitas uterus hipertonik namun
tidak efektif dalam meningkatkan penipisan dan pembukaan
serviks. Namun, pada aktivitas uterus hipotonik, peningkatan
tekanan uterus yang timbul selama kontraksi tidak cukup untuk
meningkatkan penipisan dan pembukaan serviks (Lowdermilk
dkk, 2013).
1) Disfungsi uterus hipertonik
Ibu yang mengalami disfungsi uterus hipertonik atau
persalinan disfungsional primer, sering kali merupakan ibu
yang menjadi ibu untuk pertama kalinya dan merasa cemas di
mana mereka mengalami kontraksi yang sering dan
44

menyakitkan, yang tidak efektif dalam menyebabkan


kemajuan penipisan dan pembukaan serviks. Kontraksi ini
biasanya terjadi pada fase laten (pembukaan serviks kurang
dari 4 cm) dan biasanya tidak terkoordinasi. Gaya kontraksi
mungkin terjadi pada pertengahan uterus dibandingkan pada
fundus. Oleh karena itu, uterus tidak dapat memberikan
tekanan ke bawah untuk mendorong bagian yang
dipresentasikan menuju serviks. Uterus dapat tidak rileks
sempurna di antara kontraksi.
Ibu dengan disfungsi uterus hipertonik dapat
mengalami kelelahan dan menunjukkan kekhawatiran akan
kehilangan kontrol dikarenakan nyeri yang dirasakan terus-
menerus dan tidak adanya kemajuan persalinan. Istirahat
terapeutik, yang didapat dengan berendam atau mandi air
hangat, serta penggunaan analgesik seperti morfin,
meperidine (Demerol), atau nalbuphine (Nubain) atau sedatif
seperti zolpidem (Ambien) untuk menginhibisi kontraksi
uterus, mengurangi nyeri, dan membantu tidur, biasanya
diinstruksikan untuk manajemen disfungsi uterus hipertonik
(Lowdermilk dkk, 2013).
2) Disfungsi uterus hipotonik
Jenis kedua disfungsi uterus dan lebih sering terjadi
adalah disfungsi uterus hipotonik, atau inersia uterus
sekunder. Ibu awalnya mengalami kemajuan normal hingga
fase aktif persalinan; kemudian kontraksi melemah dan tidak
efisien atau berhenti sama sekali. Uterus mudah terindentasi,
bahkan pada puncak kontraksi. Tekanan intrauterus selama
kontraksi tidak cukup untuk kemajuan penipisan dan
pembukaan serviks. Disproporsi sefalopelvis dan malposisi
adalah penyebab umum jenis disfungsi uterus ini.
Ibu dengan disfungsi uterus hipotonik dapat mengalami
kelelahan dan memiliki risiko yang meningkat untuk
45

terjadinya infeksi. Manajemen biasanya meliputi insersi


kateter tekanan intrauterus (IUPC) untuk mengevaluasi
aktivitas uterus secara akurat. Jika kontraksi tidak cukup kuat
untuk menyebabkan perubahan serviks, persalinan
ditingkatkan dengan oksitosin (Lowdermilk dkk, 2013).
3) Kekuatan sekunder
Kekuatan sekunder, atau usaha mengejan, melemah
ketika diberikan analgesik dalam jumlah besar. Anestesia
juga dapat memblok refleks mengejan dan akibatnya,
memengaruhi efektivitas usaha volunter. Kelelahan yang
diakibatkan oleh kurangnya tidur atau persalinan yang
panjang dan hidrasi serta asupan makanan yang tidak adekuat
mengurangi efektivitas usaha volunter ibu. Posisi ibu dapat
berperan dalam melawan gaya gravitasi dan mengurangi
kekuatan serta efisiensi kontraksi.
Intervensi keperawatan untuk meningkatkan usaha
mengejan ibu meliputi membantu ibu menemukan posisi
yang nyaman untuk mendorong dan mengajarkannya untuk
mendorong secara efektif. Jika ibu tidak dapat melahirkan
secara spontan, kelahiran melalui vagina dapat dibantu
menggunakan vakum atau forseps atau mungkin diperlukan
secara cesar (Lowdermilk dkk, 2013).
4) Pola persalinan abnormal
Enam pola persalinan abnormal ditemukan dan
diklasifikasikan oleh Friedman (1989) dalam Lowdermilk
dkk (2013) berdasarkan pembukaan serviks dan penurunan
janin. Pola-pola ini meliputi (1) fase laten memanjang, (2)
pembukaan pada fase aktif memanjang, (3) berhenti
sekunder: tidak ada perubahan, (4) penurunan janin
memanjang, (5) penurunan janin berhenti, dan (6) kegagalan
penurunan janin. Pola pola persalinan abnormal ini dapat
disebabkan oleh berbagai penyebab, di antaranya kontraksi
46

uterus yang tidak efektif, kontraktur panggul, disproporsi


sefalopelvis, presentasi atau posisi janin abnormal,
penggunaan analgesik sebelumnya, analgesik atau anestesia
blok saraf dan kecemasan serta stres. Perkembangan pada
fase satu atau kedua persalinan dapat memanjang atau
berhenti. Perkembangan abnormal dapat didentifikasi dengan
memplot pembukaan serviks dan penurunan janin pada grafik
persalinan (partogram) pada berbagai interval setelah onset
persalinan dan membandingkan kurva yang dihasilkan
dengan kurva persalinan yang diharapkan pada persalinan
nulipara atau multipara. Jika ibu menunjukkan pola
persalinan abnormal, petugas kesehatan primer harus
diberitahu.
Persalinan cepat didefinisikan sebagai persalinan yang
berlangsung kurang dari 3 jam dari onset kontraksi hingga
saat melahirkan. Persalinan cepat dapat disebabkan oleh
kontraksi uterus hipertonik dengan intensitas tetanik.
Kondisi-kondisi yang sering kali berhubungan dengan
kontraksi uterus jenis ini meliputi abrupsio plasenta, jumlah
kontraksi uterus yang berlebihan, dan penggunaan kokain
sebelumnya. Komplikasi pada ibu dapat mencakup ruptur
rahim, laserasi jalan lahir, sindrom anafilaktoid pada
kehamilan (embolisme cairan amnion) dan perdarahan
postpartum. Komplikasi pada janin rentang hipoksia, yang
disebabkan oleh berkurangnya periode rileksasi uterus antara
periode kontraksi, dan pada kasus yang jarang, trauma
intrakranial berhubungan dengan kelahiran cepat. Ibu yang
mengalami persalinan cepat sering kali menggambarkan
perasaan tidak percaya persalinannya berjalan sangat cepat,
menyadari bahwa kemajuan persalinannya sangat cepat,
merasa panik terhadap kemungkinan mereka tidak dapat
sampai ke rumah sakit sebelum waktunya melahirkan, dan
47

akhirnya merasa lega saat mereka sampai di rumah sakit.


Selain itu, ibu merasa frustasi ketika perawat tidak percaya
ketika mereka melaporkan kesiapan mereka untuk mengejan.
b. Perubahan pada Struktur Panggul
1) Distosia panggul
Distosia panggul dapat terjadi ketika kontraktur
diameter panggul terjadi, di mana mengurangi kapasitas
tulang panggul, meliputi pintu atas panggul, panggul bagian
tengah, pintu bawah panggul, atau kombinasi lainnya dari
bidang-bidang ini.
Disproporsi panggul merupakan penyebab distosia
yang paling jarang. Kontraktur panggul dapat disebabkan
oleh abnormalitas kongenital, malnutrisi pada ibu,
neoplasma, atau penyakit sumsum tulang bawah. Ukuran
panggul yang imatur menjadi pemicu bagi sebagian ibu
remaja mengalami distosia panggul. Deformitas panggul juga
bisa diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor atau
trauma lainnya.
2) Distosia jaringan lunak
Distosia jaringan lunak disebabkan oleh obstruksi jalan
lahir oleh abnormalitas anatomis lainnya selain tulang
panggul.
Obstruksi dapat disebabkan oleh plasenta previa
(plasenta letak rendah) yang mengobstruksi os serviks
internal sebagian atau seluruhnya. Penyebab lainnya, seperti
leiomioma (fibroid uterus) pada segmen uterus bawah, tumor
ovarium, dan kandung kemih atau rektum yang penuh dapat
menghambat janin memasuki panggul. Terkadang, edema
serviks teriadi selama persalinan ketika serviks tertahan di
antara bagian janin yang dipresentasikan dengan simfisis
pubis atau ketika ibu mulai berusaha mengejan lebih awal,
sehingga menghambat pembukaan lengkap. Infeksi menular
48

seksual (seperti, human papilomavirus) dapat memengaruhi


integritas jaringan serviks dan mengganggu penipisan serta
pembukaan yang adekuat.
c. Penyebab yang Berasal dari Janin
1) Anomali
Asites luas, tumor yang besar, defek tuba neuralis
terbuka (seperti, mielomeningokel), dan hidrosefalus
merupakan contoh anomali pada janin yang dapat
menyebabkan distosia. Anomali memengaruhi hubungan
anatomi janin terhadap kapasitas panggul ibu, yang
mengakibatkan janin tidak dapat turun melalui jalan lahir.
2) Disproporsi sefalopelvis
Disproporsi sefalopelvis (CPD), merupakan disproporsi
antara ukuran janin dengan ukuran panggul ibu. Ketika
disproporsio sefalopelvis terjadi, janin tidak melewati
panggul ibu untuk dilahirkan melalui vagina. Walaupun
disproporsio sefalopelvis sering kali berhubungan dengan
ukuran janin yang besar, atau makrosomia (seperti, 4.000g
atau lebih), masalah pada banyak kasus adalah malposisi
bagian yang dipresentasikan janin dibandingkan disproporsio
sefalopelvis sejati. Makrosomia janin berhubungan dengan
diabetes melitus maternal, obesitas, multiparitas, atau satu
atau kedua orang tua berukuran besar. Jika ibu terlalu kecil,
berbentuk tidak normal, atau terdapat deformitas,
disproporsio sefalopelvis disebabkan oleh ibu. Pada kasus ini,
janin dapat berukuran rata-rata atau bahkan lebih kecil.
Sayangnya, disproporsio sefalopelvis tidak dapat diprediksi
secara akurat.
3) Malposisi
Malposisi pada janin yang paling sering terjadi adalah
posisi oksipitoposterior persisten (seperti oksipitoposterior
kanan atau oksipitoposterior kiri). Persalinan memanjang,
49

terutama kala II. Ibu umumnya mengeluh nyeri punggung


hebat akibat tekanan kepala janin (oksiput) menekan
sakrumnya.
4) Malpresentasi
Presentasi bokong merupakan bentuk malpresentasi
yang paling sering. Tiga jenis dari presentasi bokong adalah
(a) frank breech (paha fleksi, lutut ekstensi), (b) presentasi
bokong lengkap (paha dan lutut fleksi), serta (c) footling
breech (ketika satu kaki [single footling] atau kedua kaki
[double footike] muncul sebelum bokong). Presentasi bokong
berhubungan dengan gestasi janin multipel, kelahiran
prematur, anomali ibu dan janin, hidramnion dan
oligohidramnion. Angka presentasi bokong yang tinggi juga
ditemukan pada janin-janin dengan penyakit gen tertentu
(seperti, trisomi 13, 18, dan 21; sindrom Potter [renal
agenesis]; distrofi miotonik). Janin dengan gangguan
neuromuskular memiliki angka presentasi bokong yang tinggi
mungkin mereka kurang mampu untuk melakukan
pergerakan dalam rahim. Diagnosis dilakukan dengan palpasi
abdomen dan pemeriksaan vagina serta biasanya dengan
USG.
Kriteria dapat dilakukannya kelahiran vagina pada
presentasi bokong adalah; presentasi bokong komplet atau
frank, estimasi berat janin 2.000 sampai 3.800 gram, panggul
ibu normal (ginekoid), serta kepala janin fleksi.
Versi sefalik eksternal (VSE) dapat dicoba untuk
pemutaran janin pada presentasi verteks. Jika usaha VSE
tidak berhasil, ibu biasanya melahirkan dengan cesar.
Kelahiran cesar biasanya diperlukan pada janin dengan
letak transversal (seperti, bahu), walaupun VSE dapat
dilakukan setelah 36 hingga 37 minggu usia kehamilan.
50

5) Kehamilan janin multipel


Kehamilan janin multipel adalah kehamilan (gestasi)
anak kembar dua, tiga, empat, atau lebih. Kelahiran multipel
berhubungan dengan lebih banyak komplikasi (seperti,
persalinan disfungsional) dibandingkan kelahiran tunggal.
Janin dapat mengalami distres dan asfiksia selama proses
kelahiran karena prolapsus tali pusat dan onset pelepasan
plasenta setelah kelahiran janin pertama. Akibatnya, risiko
terjadinya masalah jangka panjang seperti serebral palsy lebih
tinggi di antara bayi-bayi dari kelahiran janin multipel.
Selain itu, komplikasi janin seperti anomali kongenital
dan presentasi abnormal dapat menyebabkan distosia dan
peningkaatan insiden kelahiran cesar.
Kerja sama tim dan perencanaan merupakan komponen
penting pada manajemen kelahiran pada kehamilan multipel,
terutama mereka dengan kehamilan kembar tiga atau lebih.
Perawat memainkan peran utama dalam mengoordinasi
aktivitas dari para profesional kesehatan. Deteksi dan
perawatan komplikasi pada ibu, janin, dan bayi baru lahir
berhubungan dengan kelahiran multipel secara dini penting
untuk memperoleh kondisi yang baik pada ibu dan bayinya.
Memosisikan ibu dan memberikan dukungan aktif dilakukan
untuk meningkatkan kemajuan persalinan dan perfusi
plasenta. Stimulasi persalinan dengan oksitosin, anestesia
epidural, versi internal atau eksternal serta bantuan dengan
forseps atau vakum dapat digunakan untuk melahirkan anak
kembar melalui vagina. Kelahiran cesar hampir selalu
direncanakan pada kelahiran multipel yang lebih tinggi.
Dukungan emosional meliputi ungkapan perasaan dan
penjelasan lengkap mengenai peristiwa yang terjadi serta
status ibu dan janin serta bayinya yang baru lahir penting
51

untuk mengurangi kecemasan dan stres yang dialami ibu dan


keluarganya.
d. Posisi Ibu
Hubungan fungsional antara kontraksi uterus, janin, dan
panggul ibu dipengaruhi oleh posisi ibu. Selain itu, posisi dapat
memberikan baik keuntungan atau kerugian mekanik pada
mekanisme persalinan dengan mengubah dengan efek gravitasi
dan hubungan bagian tubuh yang penting pada kemajuan
persalinan. Contohnya, menggunakan posisi tegak pada
persalinan tahap kedua berhubungan dengan interval melahirkan
yang lebih pendek, kerusakan dan nyeri perineum berkurang, dan
berkurangnya tindakan operatif pada kelahiran vagina
dibandingkan dengan posisi lainnya.
Melarang ibu bergerak atau merestriksi persalinan dengan
posisi berbaring atau litotomi dapat menghambat kemajuan
persalinan. Insiden distosia pada ibu yang dibatasi dalam posisi
ini meningkat, mengakibatkan peningkatan kebutuhan untuk
augmentasi persalinan atau menggunakan bantuan forseps,
vakum, atau kelahiran cesar.
e. Respons Fisiologis
Hormon dan neurotransmiter yang dilepas sebagai respon
terhadap stres (seperti, katekolamin) dapat menyebabkan distosia.
Sumber stres bervariasi pada tiap ibu, tetapi nyeri dan tidak
adanya orang yang mendukung merupakan dua faktor yang sering
kali berhubungan dengan distosia. Membatasi pergerakan ibu dan
tirah baring bisa menjadi sumber stres psikologis yang menyatu
dengan stres fisiologis dan disebabkan oleh imobilitas pada ibu
bersalin tanpa pengobatan. Ketika kecemasan berlebihan, hal ini
dapat menginhibisi pembukaan serviks dan berakibat pada
memanjangnya persalinan dan meningkatkan persepsi nyeri.
Kecemasan juga menyebabkan peningkatan kadar hormon pada
terkait stres (seperti beta-endorfin, hormon adrenokortikotropik,
52

kortisol, epinefrin). Hormon-hormon ini bekeria pada otot polos


uterus. Peningkatan kadar hormon dapat menyebabkan distosia
dengan mengurangi kontraktilitas uterus. (Lowdermilk dkk, 2013)
C. Prematur
1. Pengertian
Persalinan kurang bulan (persalinan prematur/preterm labor)
adalah persalinan sebelum usia kehamilan 37 minggu atau berat badan
lahir antara 500-2499 gram. Ibu yang pernah melahirkan bayi
prematur berisiko 20-30% melahirkan bayi prematur kembali di
kehamilan berikutnya. Akan tetapi, 50% ibu yang melahirkan
prematur tidak mempunyai faktor risiko (Martaadisoebrata dkk,
2013).
2. Faktor Risiko Persalinan Prematur
Kejadian persalinan prematur meningkat oleh beberapa faktor
predisposisi berikut:
a. Karakteristik pasien:
1) Status sosio, ekonomi, penghasilan dan pendidikan yang
rendah serta gizi yang buruk;
2) Ras di Amerika, orang berkulit hitam lebih banyak
melahirkan prematur daripada orang berkulit putih (16,3%
berbanding 7, 7%);
3) Umur ibu, risiko meningkat bila ketika mengandung adalah
16 tahun atau primigravida 30 tahun;
4) Riwayat persalinan prematur, ibu yang pernah sekali
mengalami persalinan prematur mempunyai risiko 4 kali lipat
lebih besar, sedangkan yang pernah dua kali mengalami
persalinan prematur mempunyai risiko 6 kali lipat lebih
besar;
5) Pekerjaan dan aktivitas-pekerjaan fisik yang berat dan
tekanan mental/ stres atau kecemasan yang tinggi
meningkatkan kejadian prematur;
6) Merokok, lebih dari 10 batang/hari;
53

7) Pengguna obat bius/kokain.


b. Mengalami komplikasi kehamilan, seperti:
1) Infeksi saluran kemih, bakteriuria tanpa gejala (asymptomatic
bac teriuria) dan pielonefritis;
2) Penyakit ibu:
a) Hipertensi dalam kehamilan
b) Asma
c) Hipertiroidisme
d) Penyakit-penyakit jantung
e) Kecanduan obat
f) Kolestasis
g) Anemia dengan Hb <9 gram%
3) Distensi uterus berlebihan akibat:
a) Kehamilan multipel
b) Hidramnion
c) Diabetes
d) Isoimunisasi Rh
e) Perdarahan antepartum
f) Infeksi umum pada ibu: malaria, tuberkulosis, dan
hepatitis
g) Tindakan bedah pada ibu selama kehamilan
h) Kehamilan dengan kegagalan IUD/AKDR (intrauterine
device /alat kontrasepsi dalam rahim).
3. Pengelolaan Kehamilan
Faktor risiko persalinan prematur harus diketahui, mengingat
deteksi dini sulit dilakukan dan bila persalinan telah berlangsung
prematuritas akan sulit dicegah. Tahapan pengelolaannya adalah
sebagai berikut.
a. Penyuluhan, ibu yang berisiko tinggi diajari mengenal tanda-
tanda persalinan dini yang harus diwaspadai sebelum kehamilan
berusia 37 minggu seperti:
a. Nyeri seperti nyert haid;
54

b. Nyeri pinggang;
c. Tekanan pada jalan lahir meningkat;
d. Frekuensi berkemih meningkat;
e. Keluar lendir berdarah (show) atau cairan ketuban dari jalan
lahir.
b. Pengawasan, setelah kehamilan berumur >20 minggu, ibu
dipantau dengan cara:
1) Menanyakan tanda-tanda persalinan seperti di atas;
2) Bila tanda-tanda tersebut ada, periksa keadaan-keadaan
berikut di:
a) dilatasi ostium internum atau eksternum;
b) pendataran atau perlunakan;
c) perubahan posisi;
d) penurunan bagian terendah janin;
3) Bila ditemukan tanda-tanda perubahan serviks dan his, pasien
segera dirawat;
4) Bila ada persalinan, diberikan terapi.
4. Terapi
a. Umum
1) Istirahat rebah dengan posisi miring ke kiri untuk
memperbaiki peredaran darah ke uterus dan memberi cairan
bila perlu
2) Mengobati bakteriuria tak bergejala dan memeriksa
kemungkinan reinfeksi setiap 6-8 minggu
3) Menghilangkan /mengurangi faktor risiko (stres pekerjaan)
dengan istirahat, perbaikan gizi, mengobati anemia, dsb
4) Ibu yang berisiko tinggi sebaiknya tidak berhubungan seksual
setelah 20 minggu
5) Memantau kemungkinan adanya kontraksi rahim dengan
tokodinamometer.
55

b. Pengobatan
1) Tokolitik
a) Etanol, menghambat kerja hipofisis posterior sehingga
sekresi oksitosin dihambat (menghambat letdown reflex).
Sekarang jarang dipakai karena efek sampingnya yang
berat terhadap ibu (muntah gastritis, aspirasi dan
asidosis) serta depresi janin.
b) Magnesium sulfat, lebih populer dan bekerja efektif
dengan dosis awal 4 gram intravena dilanjutkan dengan
1-3 gram/jam. Efek sampingnya antara lain napas
menjadi pendek/depresi napas. Antidotumnya adalah
kalsium glukonas.
c) Golongan 2, adrenergik, sangat sering dipakai untuk
menghentikan kontraksi prematur. Mekanisme aksi 2,
mimetik adalah merangsang reseptor 2 di otot polos
uterus, sehingga terjadi relaksasi dan hilangnya
kontraksi.
Obat yang sering dipakai adalah:
a) Terbutalin 0,25 mg diberikan di bawah kulit setiap 30
menit maksimum 6 kali, selanjutnya dipertahankan
dengan dosis 5 mg per oral setiap 4-6 jam;
b) Ritrodin intravena, maksimum 0,35 mg/menit sampai 6
jam setelah kontraksi hilang, lalu dipertahankan dengan
pemberian oral 10 mg setiap 2-6 jam. Efek samping pada
ibu berupa takikardia, palpitasi, hipertensi, tremor,
nausea, iritabilitas sampai asidosis metabolik.
Ritrodin tidak boleh diberikan kepada ibu penderita
preeklampsia, hipertensi dalam kehamilan lainnya,
penyakit jantung, diabetes, dan infeksi intrauterin.
Bila diberikan 2-3 hari sebelum anak lahir,
neonatus dapat mengalami hipoglikemia, hipotensi dan
hipokalsemia.
56

2) Pematangan paru-paru janin


a) Kortikosteroid, terbukti menurunkan kejadian RDS
(respiratory distress syndrome) bila diberikan pada umur
kehamilan 28-34 minggu dan 24 jam sebelum persalinan.
b) Surfaktan, sangat efektif menurunkan kematian, tetapi
harganya sangat mahal.
Bila kontraksi rahim prematur tak dapat dihentikan dan
persalinan tak dapat dicegah, pimpinan persalinan prematur harus
dilakukan sebaik mungkin agar tidak terjadi trauma bagi anak yang
masih lemah:
a. Partus tidak boleh berlangsung terlalu lama tapi juga jangan
terlalu cepat;
b. Jangan memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap;
c. Buatlah episiotomi medialis;
d. Bila persalinan perlu diselesaikan, pilihlah forseps daripada
ekstraksi vakum;
e. Jangan mempergunakan narkosis;
f. Tali pusat secepat mungkin digunting untuk mencegah neonatus
menderita ikterus berat.
Bila tempat bersalin tidak mempunyai fasilitas merawat bayi
prematur, ibu harus dirujuk sebelum persalinan terjadi.
(Martaadinosoebrata dkk, 2013).
D. Postmatur
1. Pengertian
Bayi postmatur (lebih bulan) adalah bayi yang usia kelahirannya
lebih dari 42 minggu, tanpa memperhitungkan berat lahir. Bayi
tersebut bisa BMK atau KMK, tapi beratnya kebanyakan sering
mendekati usia kehamilan normal (SMK). Perawat harus bisa
memperkirakan tanda bayi postmatur dan harus waspada terhadap
risiko komplikasi. Penyebabnya tidak diketahui. Postmatur dapat
dikaitkan dengan insufisiensi plasenta, yang dihasilkan pada bayi yang
kurus, tampilannya kerempeng (dismatur) karena kehilangan lemak
57

subkutan dan masa otot. Kotoran mekonium pada kuku jari dapat
ditemukan, rambut dan kuku mungkin panjang, dan tidak ada verniks.
Kulit mungkin terkelupas. Tidak semua bayi postmatur menampilkan
tanda dismatur, beberapa tumbuh dalam rahim dan lahir besar.
Tingkat kematian perinatal meningkat tajam pada janin dan
neonatus postmatur. Selama persalinan dan kelahiran, kenaikan
kebutuhan oksigen janin postmatur mungkin tidak ditemukan.
Insufisiensi pertukaran gas pada plasenta postmatur berisiko
meningkat hipoksia intrauterin, yang disebabkan oleh pengeluaran
mekonium di dalam uterus, sehingga risiko sindrom aspirasi
mekonium meningkat. Pada semua kematian bayi postmatur,
setengahnya terjadi selama persalinan dan kelahiran, hampir sepertiga
terjadi sebelum permulaan persalinan, dan seperenam terjadi pada
periode baru lahir.
2. Sindrom Aspirasi Mekonium
Kotoran mekonium cairan amnion mengindikasikan status janin
yang tidak pasti, terutama pada persentasi verteks. Ini terjadi pada 10-
15% dari semua kelahiran dan terjadi pada kelahiran cukup bulan
(matur) dan lebih bulan (postmatur). Banyak bayi dengan kotoran
mekonium tidak menunjukkan depresi kelahiran; namun, persentase
mekonium dalam cairan amnion mengharuskan pengawasan ketat
persalinan dan pemantauan kesejahteraan janin. Kehadiran tim yang
ahli dalam resusitasi bayi diperlukan pada setiap kelahiran bayi
dengan cairan amnion yang kotor oleh mekonium. Sekarang,
pengisapan mulut dan lubang hidung bayi pada saat masih berada di
perineum tidak lagi dilakukan sebelum tarikan darah napas pertama
bayi. Namun, bagi bayi dengan kotoran mekonium yang tidak kuat,
pengisapan endotrakea harus segera dilakukan.
Jika mekonium tidak dibersihkan dari jalan napas bayi, maka
dapat berpindah ke bawah saluran napas, menyebabkan sumbatan
mekanis dan menyebabkan sindrom aspirasi mekonium. Janin
mungkin mengaspirasi mekonium di dalam uterus, yang dapat
58

menyebabkan pneumonitis kimia. Bayi ini akan berkembang menjadi


hipertensi paru persisten pada bayi baru lahir (persistent pulmonary
hypertention of the newborn-PPHN), dan penatalaksanaannya menjadi
lebih sulit. Bayi dengan sindrom aspirasi mekonium yang menerima
surfaktan akan mengalamai perbaikan oksigenasi, menurunkan bahaya
kegagalan napas, serta mengurangi kebutuhan ECMO dan kebocoran
yang sedikit.
3. Hipertensi Paru Persisten pada Bayi Baru Lahir
Hipertensi paru persisten pada bayi baru lahir (persistent
pulmonary hypertension of the newborn-PPHN) adalah istilah yang
digunakan pada kombinasi temuan hipertensi paru, pirau kanan ke kiri
dan susunan normal jantung, PPHN mungkin terjadi sendiri atau
sebagai komponen utama sindrom aspirasi mekonium, hernia
diafragma kongenital, distres pernapasan, sindrom hiperviskositas,
atau pneumonia neonatus atau sepsis. PPHN juga disebut sebagai
persistent fetal circulation karena gejalanya meliputi baliknya aliran
darah ke jalur janin. Setelah lahir, foramen ovale dan duktus arterious
menutup sebagai respons terhadap berbagai proses biokimia, tekanan
berubah di dalam jantung, dan dilatasi pembuluh paru. Dilatasi ini
memungkinkan hampir semua curah jantung (cardiac output-CO)
yang masuk ke paru, menjadi teroksigenasi dan menyediakan darah
kaya oksigen bagi metabolisme jaringan normal. Setiap proses yang
ikut campur pada transisi dari sirkulasi janin ke neonatus mungkin
menyebabkan PPHN. PPHN yang khas diproses ke dalam spiral yang
memperburuk hipoksia dan vasokonstriksi paru. Pengakuan yang
cepat dan intervensi yang agresif diperlukan untuk membalikkan
proses ini.
Bayi dengan PPHN secara khas lahir pada kondisi matur atau
postmatur serta menunjukkan takikardi dan sianosis. Dalam beberapa
menit atau jam kondisi bayi berkembang menjadi gangguan
pernapasan berat seiring dengan asidosis, yang selanjutnya
mengakibatkan gangguan perfusi paru dan memperburuk oksigenasi.
59

Penanganan bergantung pada faktor penyebab yang mendasar dari


hipertensi paru persisten. Penggunaan INO, ECMO, dan ventilasi
dengan frekuensi tinggi telah memeningkatkan peluang bertahan dan
hidup pada bayi ini.
60

DAFTAR PUSTAKA

Hanretty, K.P., dkk. (2014). Ilustrasi Obstetri. Edisi 7. Jakarta: Elsevier.


Lowdermilk, D.L., dkk. (2013). Buku Keperawatan Maternitas. Edisi 8. Jakarta:
Salemba Medika.
Martaadisoebrata, D., dkk. (2013). Obstetri Patologi: Ilmu Kesehatan Reproduksi.
Edisi 3. Jakarta: EGC.
Myrtha, Risalina. (2015). Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia.
Volume 42, nomor 4. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret.
Kurniawan, L.B. (2016). Patofisiologi, Skrining, dan Diagnosis Laboratorium.
Volume 43, nomor 11. Makassar: Departemen Ilmu Patologi Klinik,
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Reeder, S.J., dkk. (2011). Keperawatan Maternitas: Kesehatan wanita, bayi, dan
keluarga. Edisi 18. Jakarta: EGC.
Saifuddin, dkk. (2013). Buku Acuan Nasional: Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Edisi 1, cetakan ke-5. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai