Penyakit Pada Masa Kehamilan
Penyakit Pada Masa Kehamilan
Tabel 1.1
Klasifikasi White untuk Diabetes pada Kehamilan
Diabetes Gestasional
Kelas A1 Pasien dengan dua atau lebih nilai abnormal pada tes
toleransi glukosa dengan gula darah puasa yang
normal. Kadar glukosa darah harus dikontrol dengan
Kelas A2 diet.
Pasien tidak diketahui mengalami diabetes sebelum
hamil tapi memerlukan obat untuk mengontrol
glukosa darah.
Diabetes Pregestasional
Kelas B Awalnya terjadi setelah usia 20 tahun dan durasi
penyakit < 10 tahun.
Kelas C Awalnya terjadi di usia 10 – 19 tahun atau durasi
penyakit 10 – 19 tahun atau keduanya.
Kelas D Awalnya terjadi pada usia < 10 tahun atau durasi
penyakit sudah > 20 tahun atau keduanya.
Kelas F Pasien mengalami nefropati diabetes.
Kelas R Pasien mengalami retinitis proliferans.
Kelas T Pasien pernah menjalani transplantasi ginjal.
3. Diabetes Pregestasional
Diabetes pregestasional merujuk pada diabetes sebelum
terjadinya konsepsi dan berlanjut setelah pelahiran. Diabetes jenis ini
memiliki dua klasifikasi: tipe I (diabetes melitus tergantung insulin)
dan tipe II (diabetes melitus tidak tergantung insulin). Hampir semua
ibu dengan diabetes pregestasional bergantung pada insulin selama
kehamilan.
Keadaan diabetogenik pada kehamilan akan meningkatkan
gangguan pada sistem metabolik pada ibu dengan diabetes
pregestasional dengan implikasi yang signifikan. Adaptasi hormonal
yang normal pada kehamilan akan memengaruhi kontrol glikemik,
dan kehamilan akan mempercepat progresivitas dari komplikasi
vaskular.
Selama trimester pertama, ketika glukosa darah ibu berkurang
secara normal dan respon insulin terhadap glukosa meningkat, kontrol
glikemik akan meningkat. Dosis insulin pada ibu dengan diabetes
yang terkontrol dengan baik mungkin harus dikurangi untuk
mencegah hipoglikemia. Mual, muntah, dan mengidam yang khas
3
c. Terapi insulin
Terapi insulin dipertimbangkan apabila target glukosa
plasma tidak tercapai setelah pemantauan DMG selama 1 - 2
minggu.
d. Obat hipoglikemik oral
Obat hipoglikemik oral seperti glyburide dan metformin
merupakan alternatif pengganti insulin pada pengobatan DMG.
8. Komplikasi
Wanita hamil dengan DMG memiliki risiko sebesar 41,3%
menderita DMG pada kehamilan berikutnya, sedangkan pada wanita
yang tidak memiliki riwayat DMG sebelumnya hanya 4,2%. Risiko
menderita diabetes 5 tahun setelah terdiagnosis DMG adalah 6,9% dan
setelah 10 tahun menjadi 21,1%. Diabetes gestasional yang diterapi
akan mengurangi risiko makrosomia, distosia bahu, dan hipertensi
gestasional (Kurniawan, 2016).
9. Pencegahan
a. Menurunkan berat badan sebelum konsepsi dengan pengaturan
diet. Menurunkan berat badan 4,5 kg di antara kehamilan
terdahulu dan kehamilan berikutnya dapat menurunkan risiko
DMG pada kehamilan selanjutnya hingga 40%.
b. Aktivitas fisik yang intens, moderat dan reguler. Olah raga
terbukti dapat memperbaiki kontrol glikemik pada wanita dengan
DMG. Olah raga sebelum dan selama masa awal kehamilan
menurunkan risiko DMG masing-masing 51% dan 48%.
(Kurniawan 2016).
B. Hiperemesis Gravidarum
1. Pengertian
Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan muntah hebat
lebih dari 10 kali sehari dalam masa kehamilan yang dapat
menyebabkan kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau
gangguan elektrolit, sehingga menganggu aktivitas sehari-hari dan
membahayakan janin dalam kandungan. Mual dan muntah berlebihan
9
6. Penatalaksanaan
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal
kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu dan keluhan yang
terjadi begitu hebat, sehingga segala yang dimakan dan diminum
dimuntahkan lagi serta mempengaruhi keadaan umum ibu, atau
bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari. Penanganan hiperemesis
gravidarum berdasarkan Hanretty (2014) meliputi :
a. Perawatan di rumah sakit.
b. Singkirkan penyebab muntah lainnya seperti infeksi saluran
kemih, radang usus buntu dan obstruksi usus.
c. Lakukan pemeriksaan darah (hemoglobin, ureum dan elektrolit,
glukosa, tes fungsi hati, kadar hormon tiroksin dan TSH).
d. Batasi asupan oral pada awal perawatan.
e. Cairan infus harus diberikan untuk mengatasi dehidrasi (guyur
cairan parenteral rata-rata 3000 mL dalam 24 jam).
f. Untuk mengatasi kelaparan dengan memberikan glukosa
intravena (IV) dan tiamin klorida lewat subkutan. Pemberian
makanan melalui pipa nasogastrik biasanya lebih efektif.
Idealnya, makanan diberikan dalam jumlah sedikit melalui sistem
pompa dari waktu ke waktu. Volume yang diberikan dapat
ditingkatkan perlahan-lahan.
g. Pemberian kembali makanan oral secara bertahap.
h. Piridoksin 25 mg tiga kali sehari per oral, mungkin efektif untuk
mengatasi mual yang parah.
i. Infus intravena prometazin dosis rendah ternyata cukup
bermanfaat.
j. Nutrisi parenteral total atau bahkan penghentian kehamilan dapat
dianjurkan, tetapi hal ini jarang terjadi.
Gejala-gejala berikut menurut Martaadisoebrata dkk (2013)
digunakan untuk mempertimbangkan abortus medikalis
(terapeutikus):
a. Ikterus;
13
lebih sering terjadi pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi
kembar dua, didapatkan 28,6% kejadian preeklampsi dan satu
kasus kematian ibu karena eklampsi (Manuaba, 2007).
4. Penatalaksanaan
Penanganan hipertensi pada kehamilan berdasarkan Saifuddin
dkk (2013) adalah sebagai berikut :
a. Hiperetensi karena kehamilan tanpa proteinuria
Jika kehamilan <37 minggu, tangani secara rawat jalan:
1) Pantau tekanan darah, proteinuria, dan kondisi janin setiap
minggu.
2) Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia.
3) Jika kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambat, rawat dan pertimbangkan terminasi kehamilan.
b. Preeklampsia ringan
Jika kehamilan <37 minggu, tidak ada tanda-tanda
perbaikan, lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
1) Pantau tekanan darah 2 kali sehari, proteinuria 1 kali sehari,
refleks, dan kondisi janin.
2) Lebih banyak istirahat.
3) Diet biasa.
4) Tidak perlu diberikan obat-obatan.
5) Tidak perlu diuretik, kecuali terdapat edema paru,
dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut.
6) Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan :
a) Nasehatkan untuk istirahat, perhatikan tanda-tanda
preeklampsia berat
b) Kontrol 2 kali seminggu
c) Jika tekanan diastolik naik lagi rawat kembali
7) Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan tetap dirawat
8) Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan
18
fallot yang tidak dikoreksi sangat penting. Oleh karena itu, waktu
yang paling berbahaya untuk wanita tersebut adalah akhir
trimester ketiga dan awal periode postpartum, ketika aliran balik
vena dikurangi oleh uterus yang membesar dan menggenangnya
vena perifer setelah melahirkan. Penggunaan stoking yang
memberikan tekanan direkomendasikan. Kehilangan darah saat
melahirkan juga dapat berefek buruk pada arus balik vena, karena
itu volume darah harus dijaga. Antibiotik profilaksis harus
diberikan pada periode intrapartum.
3. Penyakit yang Didapat
a. Prolaps Katup Mitral
Prolaps katup mitral merupakan kondisi yang cukup umum
terjadi dan biasanya jinak. Saat ini, kriteria diagnostik dengan
ekokardiografi yang lebih spesifik membuat menurunnya
perkiraan prevalensi prolaps katup mitral (1% dari seluruh
populasi wanita) dari perkiraan sebelumnya. Pada prolaps katup
mitral, daun katup akan mengalami prolaps ke atrium kiri pada
sistol ventrikel, sehingga darah mengalir balik. Ciri khas kondisi
ini adalah bunyi klik di midsistolik dan murmur sistolik. Sebagian
besar kasus asimtomatik. Beberapa wanita mengalami nyeri dada
atipikal (tajam dan berada di sisi kiri jantung) yang terjadi saat
istirahat dan tidak membaik dengan nitrat. Penderita bisa juga
mengalami kecemasan, palpitasi, dispnea saat aktivitas, dan
sinkop. Terapi spesifik secara umum tidak diperlukan kecuali
untuk takiaritmia simtomatik dan gagal jantung, nyeri dada dan
aritmia biasanya diterapi dengan beta bloker seperti atenolol atau
metoprolol (Lopresor). Jika gejala berat, fungsi tiroid juga harus
diperiksa. Kehamilan dan perubahan hemodinamiknya dapat
mengubah atau mengurangi bunyi klik atau murmur, dan gejala
pada prolaps katup mitral. Kehamilan secara umum dapat
ditoleransi dengan baik kecuali terjadi endokarditis bakterial.
27
b. Endokarditis Infektif
Endokarditis bisa didapati wanita semasa kehamilan tanpa
diketahui adanya kelainan jantung, dan kelainan struktur jantung
merupakan resiko yang terbesar untuk mengalami infektif
endokarditis. Penampilan klinis infektif endokarditis semasa
kehamilan sama dengan kasus infektif endokarditis lainnya.
Streptokokus merupakan penyebab tersering. Stafilokokus sering
didapati pada pemakai salah guna obat intravena dan infeksi gram
negatif, terutama Escheria coli sering didapati sebagai penyebab
pada wanita dengan infeksi traktus urogenital. Pencegahan untuk
terjadinya infektif endokarditis diperlukan dalam penatalaksanaan
infektis endokarditis. Dianjurkan pemberian antibiotika
profilaksis pada saat akan dilakukan pencabutan gigi, tindakan
pembedahan atau saat melahirkan. Jika endokarditis telah terjadi
diperlukan terapi medik yang agresif dan optimal dan tindakan
pembedahan dapat dilakukan semasa kehamilan. Jika tindakan
bedah jantung terbuka diperlukan pacta kehamilan lanjut,
tindakan seksio sesaria yang bersamaan dapat dipertimbangkan
(Anwar, 2004).
c. Sindrom Eisenmenger
Sindrom eisenmenger adalah pirau dari kanan ke kiri atau
dua arah yang bisa terjadi pada atrium atau ventrikel dan terjadi
bersamaan dengan peningkatan resistensi vaskular paru. Hal ini
dihubungkan dengan defek struktural jantung yang mendasari,
entah itu defek septum ventrikel (paling sering) atau duktus
arteriosus yang paten (paten ductus arteriosus). Sindrom
eisenmenger dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi
(50% pada ibu dan 50% pada janin). Oleh karena itu prognosis
yang buruk pada kehamilan, kehamilan harus dihindari pada
wanita yang mengalami penyakit ini. Meskipun bisa terjadi
kematian mendadak., periode intrapartum dan awal postpartum
merupakan masa yang paling berbahaya. Morbiditas ibu
31
a. Persalinan Disfungsional
Persalinan disfungsional dideskripsikan sebagai kontraksi
uterus abnormal yang mencegah pembukaan serviks, penipisan
(kekuatan primer), atau penurunan (kekuatan sekunder) normal.
Beberapa faktor yang tampaknya dapat meningkatkan risiko ibu
untuk terjadinya distosia uterus, di antaranya:
1) kelebihan berat badan
2) perawakan pendek
3) usia ibu telah lanjut
4) masalah infertilitas
5) abnormalitas uterus (seperti malformasi kongenital; distensi
berlebihan, seperti pada gestasi multipel; atau
polihidramnion)
6) malpresentasi dan posisi janin
7) disproporsi sefalopelvis (atau disproporsi fetopelvis)
8) stimulasi uterus berlebih dengan oksitoksin
9) kelelahan pada ibu, dehidrasi, dan ketidakseimbangan
elektrolit, serta ketakutan
10) waktu pemberian analgesik atau anestesi yang tidak tepat.
Aktivitas uterus abnormal dapat dideskripsi lebih lanjut
sebagai hipertonik atau hipotonik. Kontraksi dapat sering dan
kuat serta terasa nyeri pada aktivitas uterus hipertonik namun
tidak efektif dalam meningkatkan penipisan dan pembukaan
serviks. Namun, pada aktivitas uterus hipotonik, peningkatan
tekanan uterus yang timbul selama kontraksi tidak cukup untuk
meningkatkan penipisan dan pembukaan serviks (Lowdermilk
dkk, 2013).
1) Disfungsi uterus hipertonik
Ibu yang mengalami disfungsi uterus hipertonik atau
persalinan disfungsional primer, sering kali merupakan ibu
yang menjadi ibu untuk pertama kalinya dan merasa cemas di
mana mereka mengalami kontraksi yang sering dan
44
b. Nyeri pinggang;
c. Tekanan pada jalan lahir meningkat;
d. Frekuensi berkemih meningkat;
e. Keluar lendir berdarah (show) atau cairan ketuban dari jalan
lahir.
b. Pengawasan, setelah kehamilan berumur >20 minggu, ibu
dipantau dengan cara:
1) Menanyakan tanda-tanda persalinan seperti di atas;
2) Bila tanda-tanda tersebut ada, periksa keadaan-keadaan
berikut di:
a) dilatasi ostium internum atau eksternum;
b) pendataran atau perlunakan;
c) perubahan posisi;
d) penurunan bagian terendah janin;
3) Bila ditemukan tanda-tanda perubahan serviks dan his, pasien
segera dirawat;
4) Bila ada persalinan, diberikan terapi.
4. Terapi
a. Umum
1) Istirahat rebah dengan posisi miring ke kiri untuk
memperbaiki peredaran darah ke uterus dan memberi cairan
bila perlu
2) Mengobati bakteriuria tak bergejala dan memeriksa
kemungkinan reinfeksi setiap 6-8 minggu
3) Menghilangkan /mengurangi faktor risiko (stres pekerjaan)
dengan istirahat, perbaikan gizi, mengobati anemia, dsb
4) Ibu yang berisiko tinggi sebaiknya tidak berhubungan seksual
setelah 20 minggu
5) Memantau kemungkinan adanya kontraksi rahim dengan
tokodinamometer.
55
b. Pengobatan
1) Tokolitik
a) Etanol, menghambat kerja hipofisis posterior sehingga
sekresi oksitosin dihambat (menghambat letdown reflex).
Sekarang jarang dipakai karena efek sampingnya yang
berat terhadap ibu (muntah gastritis, aspirasi dan
asidosis) serta depresi janin.
b) Magnesium sulfat, lebih populer dan bekerja efektif
dengan dosis awal 4 gram intravena dilanjutkan dengan
1-3 gram/jam. Efek sampingnya antara lain napas
menjadi pendek/depresi napas. Antidotumnya adalah
kalsium glukonas.
c) Golongan 2, adrenergik, sangat sering dipakai untuk
menghentikan kontraksi prematur. Mekanisme aksi 2,
mimetik adalah merangsang reseptor 2 di otot polos
uterus, sehingga terjadi relaksasi dan hilangnya
kontraksi.
Obat yang sering dipakai adalah:
a) Terbutalin 0,25 mg diberikan di bawah kulit setiap 30
menit maksimum 6 kali, selanjutnya dipertahankan
dengan dosis 5 mg per oral setiap 4-6 jam;
b) Ritrodin intravena, maksimum 0,35 mg/menit sampai 6
jam setelah kontraksi hilang, lalu dipertahankan dengan
pemberian oral 10 mg setiap 2-6 jam. Efek samping pada
ibu berupa takikardia, palpitasi, hipertensi, tremor,
nausea, iritabilitas sampai asidosis metabolik.
Ritrodin tidak boleh diberikan kepada ibu penderita
preeklampsia, hipertensi dalam kehamilan lainnya,
penyakit jantung, diabetes, dan infeksi intrauterin.
Bila diberikan 2-3 hari sebelum anak lahir,
neonatus dapat mengalami hipoglikemia, hipotensi dan
hipokalsemia.
56
subkutan dan masa otot. Kotoran mekonium pada kuku jari dapat
ditemukan, rambut dan kuku mungkin panjang, dan tidak ada verniks.
Kulit mungkin terkelupas. Tidak semua bayi postmatur menampilkan
tanda dismatur, beberapa tumbuh dalam rahim dan lahir besar.
Tingkat kematian perinatal meningkat tajam pada janin dan
neonatus postmatur. Selama persalinan dan kelahiran, kenaikan
kebutuhan oksigen janin postmatur mungkin tidak ditemukan.
Insufisiensi pertukaran gas pada plasenta postmatur berisiko
meningkat hipoksia intrauterin, yang disebabkan oleh pengeluaran
mekonium di dalam uterus, sehingga risiko sindrom aspirasi
mekonium meningkat. Pada semua kematian bayi postmatur,
setengahnya terjadi selama persalinan dan kelahiran, hampir sepertiga
terjadi sebelum permulaan persalinan, dan seperenam terjadi pada
periode baru lahir.
2. Sindrom Aspirasi Mekonium
Kotoran mekonium cairan amnion mengindikasikan status janin
yang tidak pasti, terutama pada persentasi verteks. Ini terjadi pada 10-
15% dari semua kelahiran dan terjadi pada kelahiran cukup bulan
(matur) dan lebih bulan (postmatur). Banyak bayi dengan kotoran
mekonium tidak menunjukkan depresi kelahiran; namun, persentase
mekonium dalam cairan amnion mengharuskan pengawasan ketat
persalinan dan pemantauan kesejahteraan janin. Kehadiran tim yang
ahli dalam resusitasi bayi diperlukan pada setiap kelahiran bayi
dengan cairan amnion yang kotor oleh mekonium. Sekarang,
pengisapan mulut dan lubang hidung bayi pada saat masih berada di
perineum tidak lagi dilakukan sebelum tarikan darah napas pertama
bayi. Namun, bagi bayi dengan kotoran mekonium yang tidak kuat,
pengisapan endotrakea harus segera dilakukan.
Jika mekonium tidak dibersihkan dari jalan napas bayi, maka
dapat berpindah ke bawah saluran napas, menyebabkan sumbatan
mekanis dan menyebabkan sindrom aspirasi mekonium. Janin
mungkin mengaspirasi mekonium di dalam uterus, yang dapat
58
DAFTAR PUSTAKA