Anda di halaman 1dari 38

1.

DEFINISI

Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3
kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja
yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada
3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare
berat (Simatupang, 2004).

Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air besar yang
tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari
biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari
4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, frekuensinya
lebih dari 3 kali (Simatupang, 2004)

2. Klasifikasi Diare

Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari :

a. Diare akut

Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi
tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung
dalam waktu kurang dari 2 minggu. Menurut Depkes (2002), diare akut yaitu diare
yang berlangsung kurang dari 14 hari tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2
hari.

Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit
diare akut dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:

(1) Diare tanpa dehidrasi,

(2) Diare dengan dehidrasi ringan, apabila cairan yang hilang 2-5% dari berat
badan,
(3) Diare dengan dehidrasi sedang, apabila cairan yang hilang berkisar 5-8% dari
berat badan,

(4) Diare dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari 8-10%.

b. Diare persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan
dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.

c. Diare kronik

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab
non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme
yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Menurut (Suharyono, 2008),
diare kronik adalah diare yang bersifat menahun atau persisten dan berlangsung 2
minggu lebih.

3. Epidemiologi

Berdasarkan Riskesdas

1. Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi
NAD (4,2%) dan terendah di DI Yogyakarta (18,9%)

2. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi diare terjadi pada anak balita
(1-4 tahun) yaitu 16,7%.

3. Prevalensi laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan
9,1% pada perempuan

4. Prevalensi diare lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan, yaitu sebesar


10% di perdesaan dan 7,4 % di perkotaan.

5.Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan bekerja
sebagai petani/nelayan dan buruh yang
6. Penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare
(31,4%). 7. Penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah
diare (25,2%)

4. Etiologi

Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :

• Faktor Infeksi

a. Infeksi enteral

Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama
diare pada anak. Infeksi parenteral ini meliputi: (a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya. (b)
Infeksi virus: Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus,
Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain. (c) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris,
Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia
lamblia, Trichomonas hominis), jamur (candida albicans).

b. Infeksi parenteral

Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti
Otitis Media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan
sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2
tahun.

c. Faktor Malabsorbsi

 Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan


sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada
bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.
 Malabsorbsi lemak
 Malabsorbsi protein

d. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.


e. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat
menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.

f. Faktor Pendidikan

Menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan


SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan cairan rehidrasi oral
dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan
SD ke bawah. Diketahui juga bahwa pendidikan merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap morbiditas anak balita. Semakin tinggi tingkat pendidikan
orang tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si anak.

g. Faktor pekerjaan

Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai negeri atau Swasta rata-rata mempunyai
pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh
atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang
lain, sehingga mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar dengan penyakit.

h. Faktor umur balita

Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang berumur
12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59
bulan.

i. Faktor lingkungan

Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan.
Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua
faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor
lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka
dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
j. Faktor Gizi

Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu,
pengobatan dengan makanan baik merupakan komponen utama penyembuhan diare
tersebut. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena
diare. Hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat
berdasarkan status gizi yaitu baik = 100-90, kurang = <90-70, buruk = <70 dengan
BB per TB.

k. Faktor sosial ekonomi masyarakat

Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab


diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan
daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air
bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan.

l. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi

Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang
tidak dimasak dapat juga terjadi secara sewaktu mandi dan berkumur. Kontak
kuman pada kotoran dapat berlangsung ditularkan pada orang lain apabila melekat
pada tangan dan kemudian dimasukkan kemulut dipakai untuk memegang makanan.
Kontaminasi alat-alat makan dan dapur. Bakteri yang terdapat pada saluran
pencernaan adalah bakteri Etamoeba colli, salmonella, sigella. Dan virusnya yaitu
Enterovirus, rota virus, serta parasite yaitu cacing (Ascaris, Trichuris), dan jamur
(Candida albikan).

m. Faktor terhadap Laktosa (susu kaleng)

Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada bayi
yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang
diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar.
Menggunakan botol susu ini memudahkan pencemaran oleh kuman sehingga
menyebabkan diare. Dalam ASI mengandung antibody yang dapat melindungi kita
terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti Sigella dan V. Cholerae.
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005,
etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab:

1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus,


Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas

2. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus

3. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,


Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides stercoralis

4. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,


imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.

4. Cara Penularan dan Faktor Risiko

Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau minuman
yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita atau tidak langsung
melalui lalat ( melalui 5F = faeces, flies, food, fluid, finger).

Faktor risiko terjadinya diare adalah:


1. Faktor perilaku
 Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan Makanan
Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi kontak terhadap
kuman
 Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit
diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.
 Tidak menerapkan Kebiasaaan Cuci Tangan pakai sabun sebelum memberi
ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan
BAB anak
 Penyimpanan makanan yang tidak higienis
2. Faktor lingkungan

 Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan Mandi


Cuci Kakus (MCK)
 Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk

Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari penderita yang
dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain: kurang gizi/malnutrisi
terutama anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita
campak (Kemenkes RI, 2011).

Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
a. Gangguan osmotik

Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan

menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi, sehingga

terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus

yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya

sehingga timbul diare.

Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan

elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi

usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara

osmotic dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan

hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut didalamnya akan

lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang

diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air, dan elektronik akan pindah dari
cairan ekstraseluler kedalam lumen usus sampai osmolaritas dari usus

sama dengan cairan ekstraseluler dan darah,sehingga terjadi pula diare.

b. Gangguan sekresi

Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan

terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan

selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.

Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin,

menyebabkan villi gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi

klorida disel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini

menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus.

Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya

sehingga timbul diare.


Diare mengakibatkan terjadinya: (1) Kehilangan air dan elektrolit serta

gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan

hypokalemia. (2) Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan

hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare dengan atau tanpa

disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan

asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat

diobati penderita dapat meninggal. (3) Gangguan gizi yang terjadi akibat

keluarnya cairan yang berlebihan karena diare dan muntah. Kadang-

kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut

bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap

diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan sering terjadi

pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan

gagal bertambah berat badan, sehingga akibat hipoglikemia dapat terjadi

edema otak yang dapat menyebabkan kejang dan koma (Suharyono,

2008).

c. Gangguan motilitas usus

Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus

untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila

peristaltic usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan

yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.


Patogenesis diare akut adalah:

(a) Masuknya jasad renik yang msih hidup kedalam usus halus setelah

berhasil melewati rintangan asam lambung.

(b) Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) didalam usus

halus.

(c) Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin Diaregenik).

(d) Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan

menimbulkan diare.

Patogenesis Diare kronis: Lebih kompleks dan faktor-faktor yang

menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi

dan lain-lain.

Patofisiologi
Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus, Adenovirus

enteritis), bakteri atau toksin (Salmonella. E. colli), dan parasit (Biardia, Lambia).

Beberapa mikroorganisme pathogen ini me nyebabkan infeksi pada sel-sel,

memproduksi enterotoksin atau cytotoksin Penyebab dimana merusak sel-sel, atau

melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut. Penularan gastroenteritis bisa

melalui fekal oral dari satu klien ke klien lainnya. Beberapa


kasus ditemui penyebaran pathogen dikarenakan makanan dan minuman yang

terkontaminasi.

Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik

(makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam

rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam

rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu

menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi

air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan motilitas usus

yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu

sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan

gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi

(intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi.

Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi: (a) Kehilangan

air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan

keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik, hypokalemia dan sebagainya).

(b) Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang,

pengeluaran bertambah). (c) Hipoglikemia, (d) Gangguan sirkulasi darah.

Manifestasi Klinis
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya

meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare.

Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama

berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan


daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin

asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa

yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi

sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut

meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila

penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi

makin tampak. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-

ubun membesar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit

tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi

menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas

plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik.

(Mansjoer, 2009)
Penentuan Derajat Dehidrasi WHO

Tanda
Dehidrasi Dehidrasi
No dan Dehidrasi Berat
Ringan Sedang
Gejala

Mengantuk, lemas,
anggota gerak dingin,
1 Keadaan Sadar, Gelisah,
berkeringat, kebiruan,
Umum gelisah, haus mengantuk
mungkin koma, tidak
sadar.

Normal Cepat dan Cepat, haus, kadang-


2 Denyut
kurang dari lemah 120- kadang tak teraba,
nadi
120/menit 140/menit kurang dari 140/menit

3 Dalam,
Pernafasan Normal Dalam dan cepat
mungkin cepat

Sangat cekung
4 Ubun-
Normal Cekung
ubun besar
Tanda
No Dehidrasi Dehidrasi
dan Dehidrasi Berat
Ringan Sedang
Gejala

5 Kelopak
Normal Cekung Sangat cekung
mata

6
Air mata Ada Tidak ada Sangat kering

7 Selaput
Lembab Kering Sangat kering
lendir

Pada
pencubitan
8 Elastisitas kulit secara Sangat lambat (lebih
Lambat
kulit elastis dari 2 detik)
kembali
secara normal

Air seni
9
warnanya Normal Berkurang Tidak kencing
tua
Penentuan dehidrasi (Depkes RI 2011)
Penatalaksanaan

Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah


LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya
cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat
diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS DIARE
yaitu:

1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan

4. Antibiotik Selektif

5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh

1. Oralit

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga
dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan
cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang
beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang
dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik
bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa
minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan
cairan melalui infus. Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi
(Kemenkes RI, 2011).
a. Diare tanpa dehidrasi

Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret


Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak
mencret

b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya
diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.

c. Diare dengan dehidrasi berat

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk di
infus.

(Kemenkes RI, 2011)

Tabel 2.2. Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur


Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan
cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh
dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari gelas. Bila terjadi
muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya
1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare
berhenti (Juffrie, 2010).

2. Zinc

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim
ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga

berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan
fungsi selama kejadian diare (Kemenkes RI, 2011).

Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja,
serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan
bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.

Dosis pemberian Zinc pada balita:

a. Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari

b. Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara pemberian
tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut
berikan pada anak diare (Kemenkes RI, 2011).
3. Pemberian ASI/makanan

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita
terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat
badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri ASI. Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau
lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan
yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare
berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu
pemulihan berat badan kemenkes RI, 2011).

4. Pemberian antibiotika hanya atas indikasi


Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada
balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita
diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera (Kemenkes RI,
2011).

Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare
karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah
berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi
anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa
berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh
parasit (amuba, giardia) (Kemenkes RI, 2011).

5. Pemberian Nasihat

Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan
balita harus diberi nasehat tentang:

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :


a. Diare lebih sering

b. Muntah berulang

c. Sangat haus

d. Makan/minum sedikit

e. Timbul demam

f. Tinja berdarah

g. Tidak membaik dalam 3 hari.

Pencegahan
Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006) adalah
sebagai berikut:

1. Pemberian ASI
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-
zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare pada
bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih
besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora
usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare
(Depkes RI, 2006).

Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan resiko
terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain
dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko
tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI,
2006).
2. Pemberian Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang
berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat
menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang
menyebabkan kematian (Depkes RI, 2006).

Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping
ASI yang lebih baik yaitu :

a) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih
meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak
berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari)
setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak
dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI bila mungkin.

b) Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk
energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–kacangan,
buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya. Mencuci tangan
sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta menyuapi anak dengan
sendok yang bersih.
c) Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa makanan pada

tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada
anak

(Depkes RI, 2006)


3. Menggunakan air bersih yang cukup

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-
oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau
benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan,
makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes
RI, 2006).

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih


mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat
yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI, 2006).

Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan


menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi
mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006).

Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah:

a) Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.

b) Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat


lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan
serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk
menjauhkan air hujan dari sumber.
c) Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan
gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air.

d) Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan.

(Depkes RI, 2006)


4. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak,
sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum
makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006).

5. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap
penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat
jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban (Depkes RI, 2006).

Yang harus diperhatikan oleh keluarga :


a) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai
oleh seluruh anggota keluarga.

b) Bersihkan jamban secara teratur.

c) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air
besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan
tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air,
hindari buang air besar tanpa alas kaki.
6. Membuang Tinja Bayi yang Benar
Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini
tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak
dan orangtuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut hal-
hal yang harus diperhatikan:

a) Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun
atau kertas koran dan kuburkan atau buang di kakus.
b. Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih dan
mudah dibersihkan. Kemudian buang ke dalam kakus dan bilas wadahnya
atau anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan seperti kertas
koran atau daun besar dan buang ke dalam kakus.
c. Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci tangannya

7. Pemberian Imunisasi Campak


Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian imunisasi campak
juga dapat mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera
setelah berumur 9 bulan (Depkes RI, 2006).

Anak harus diimunisasi terhadap campak secepat mungkin setelah usia 9 bulan.
Diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang
sedang menderita campak dalam 4 mingggu terakhir. Hal ini sebagai akibat dari
penurunan kekebalan tubuh penderita. Selain imunisasi campak, anak juga
harus mendapat imunisasi dasar lainnya seperti imunisasi BCG untuk mencegah
penyakit TBC, imunisasi DPT untuk mencegah penyakit diptheri, pertusis dan
tetanus, serta imunisasi polio yang berguna dalam pencegahan penyakit polio
(Depkes RI, 2006).

Pencegahan terhadap diare atau pencarian terhadap pengobatan diare pada


balita termasuk dalam perilaku kesehatan. Adapun perilaku kesehatan menurut
Notoatmodjo (2007) adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan
ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).


Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
2.Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan (health
seeking behavior)

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun


sosial budaya, dan sebagainya.

Untuk menilai baik atau tidaknya perilaku kesehatan seseorang, dapat dinilai
dari domain-domain perilaku. Domain-domain tersebut adalah pengetahuan,
sikap, dan tindakan. Dalam penelitian ini domain sikap tidak dinilai, karena
merupakan perilaku tertutup (convert behavior). Perilaku tertutup merupakan
persepsi seseorang terhadap suatu stimulus, yang mana persepsi ini tidak dapat
diamati secara jelas. Sementara tindakan termasuk perilaku terbuka, yaitu
respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Hal ini dapat secara jelas diamati oleh orang lain (Notoadmodjo, 2003).

_____

Penatalaksaan

Prinsip penatalaksanaan diare menurut RI antara lain dengan rehidrasi,

nutrisi, medikamentosa, (a) Dehidrasi, diare cair membutuhkan pengganti

cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi

harus sama dengan jumlah yang telah hilang melalui diare dan atau muntah,

ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin,

pernafasan, dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja
dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada

derajat dehidrasi serta berat masing-masing anak atau golongan umur, (b)

Nutrisi. Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk

menghindari efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak

dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor

yang mempengaruhi gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai

berikut yakni pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni

24 jam pertama, makanan cukup energy dan protein, makanan tidak

merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna,

makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian

ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan,

pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, (c)

Medikamentosa. Antobiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara

rutin, obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid,

difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti norit, kaolin, attapulgit, anti

muntah termasuk prometazin dan kloropomazin.

Hal pertama yang harus diperhatikan dalam penanggulangan diare

adalah masalah kehilangan cairan yang berlebihan (dehidrasi). Dehidrasi ini

bila tidak segera diatasi dapat membawa bahaya terutama bagi balita dan

anak-anak. Bagi penderita diare ringan diberikan oralit, tetapi bila dehidrasi

berat maka perlu dibantu dengan cairan intravena atau infus. Hal yang tidak

kalah penting dalam menanggulangi kehilangan cairan tubuh adalah

pemberian makanan kembali (refeeding) sebab selama diare pemasukan


makanan akan sangat kurang karena akan kehilangan nafsu makan dan

kehilangan makanan secara langsung melalui tinja atau muntah dan

peningkatan metabolisme selama sakit. (sitorus, 2008).

Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi

menjadi tiga yaitu rencana pengobatan A, B, dan C yang diuraikan sebagai

berikut:

a. Rencana pengobatan A

Rencana pengobatan A digunakan untuk mengatasi diare tanpa

dehidrasi, meneruskan terapi diare dirumah, memberikan terapi awal bila

anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti

oralit, makanan cair, air matang. Gunakanlah larutan untuk anak seperti

dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 2.2
kebutuhan Oralit Per Kelompok Umur

Umur 3 jam pertama atau tidak haus Selanjutnya tiap kali


(Tahun) atau sampai tidak gelisah lagi mencret

<1 1 ½ gelas ½ gelas

1-5 3 gelas 1 gelas

>5 6 Gelas 4 Gelas

b. Rencana pengobatan B
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan

sedang dengan cara 3 jam pertama diberikan 75ml/kg BB, berat badan

anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:

Tabel 2.3

Jumlah Oralit yang diberikan pada 3 jam pertama

Umur <1 Tahun 1 – 5 Tahun >5 tahun

Jumlah oralit 300 600 1200

Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu

untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI,

berikan juga 100-200ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak

menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B, dan C untuk

melanjutkan.

c. Rencana pengobatan C

Rencana pengobatan C digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat berat.

Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak

sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang

anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.


Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dari diare adalah:

a. Pemeriksaan tinja

b. Makroskopis dan mikroskopis

c. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest,

bila diduga terdapat intoleransi gula.

d. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

e. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan

menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan

pemeriksaan analisa gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan).

f. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.

g. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan

fosfor dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).

h. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau

parasite secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada

penderita diare kronik.


Komplikasi

Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat

terjadi berbagai macam komplikasi seperti:

a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik).

b. Syok hipovolemik

c. Hypokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah,

bradikardia, perubahan pada elektrokardiogram).

d. Hipoglikemia.

e. Gagal ginjal akut

f. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim lactase

karena kerusakan vili mukosa usus halus.

g. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik.

h. Malnutrisi energy protein, karena selain diare dan muntah penderita juga

mengalami kelaparan.
RENCANA TERAPI A

Diare tanpa dehidrasi: Bila terdapat dua tanda atau lebih


Keadaan Umum baik, sadar
Mata tidak cekung
Minum biasa, tidak haus
Cubitan kulit perut / turgor kembali segera
RENCANA TERAPI A
UNTUK TERAPI DIARE TANPA DEHIDRASI
MENERANGKAN 5 LANGKAH TERAPI DIARE DI RUMAH
1.BERI CAIRAN LEBIH BANYAK DARI BIASANYA
a) Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama
b) Anak yang mendapat ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai
tambahan
c) Anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri susu yang biasa diminum dan
oralit atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air tajin, air
matang, dsb)
d) Beri Oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan
dilanjutkan sedikit demi sedikit.
- Umur < 1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali berak
- Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak.
e) Anak harus diberi 6 bungkus oralit (200 ml) di rumah bila:
-Telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C.
-Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan jika diare memburuk.
f) Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit.
RENCANA TERAPI B

Diare dehidrasi Ringan/ Sedang


Bila terdapat dua tanda atau lebih:
Gelisah, rewel
Mata cekung
Ingin minum terus, ada rasa haus
Cubitan kulit perut / turgor kembali lambat
RENCANA TERAPI B
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI RINGAN/SEDANG
JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA DI SARANA
KESEHATAN
ORALIT yang diberikan = 75 ml x BERAT BADAN anak
• Bila BB tidak diketahui berikan oralit sesuai tabel di bawah ini:

• Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah.


• Bujuk ibu untuk meneruskan ASI.
• Untuk bayi < 6 bulan yang tidak mendapat ASI berikan juga 100-200 ml air masak
selama masa ini.
• Untuk anak > 6 bulan, tunda pemberian makan selama 3 jam kecuali ASI dan oralit
• Beri obat Zinc selama 10 hari berturut-turut.
AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN
ORALIT:
•Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan.
• Berikan sedikit demi sedikit tapi sering dari gelas.
• Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah.
• Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan berikan air masak
atau ASI.
Beri oralit sesuai Rencana Terapi A bila pembengkakan telah hilang.
SETELAH 3-4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN
PENILAIAN, KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A, B ATAU C UNTUK
MELANJUTKAN TERAPI
• Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke Rencana Terapi A. Bila dehidrasi telah hilang,
anak biasanya
kencing kemudian mengantuk dan tidur.
• Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang, ulangi Rencana Terapi B
• Anak mulai diberi makanan, susu dan sari buah.
• Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan Rencana Terapi C

BILA IBU HARUS PULANG SEBELUM SELESAI RENCANA TERAPI B


•Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam Terapi 3 jam di rumah.
• Berikan oralit 6 bungkus untuk persediaan di rumah
• Jelaskan 5 langkah Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah

RENCANA TERAPI C

Diare dehidrasi Berat


Bila terdapat dua tanda atau lebih:
Lesu, lunglai / tidak sadar
Mata cekung
Malas minum
Cubitan kulit perut / turgor kembali sangat lambat
RENCANA TERAPI C
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI BERAT DI SARANA KESEHATAN
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium?

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi

Hb 12,8 g/dl 10.0 - 14.0 Normal

WBC 14.000/mm3 6.000- 14.000/mm3 Normal

diffcount 0/1/16/48/35/0 Basofil= 0 Netrofil batang ↑

Eosinofil= 0 - 3 Netrofil segmen ↑

Net. Batang= 5 - 11 Limfosit ↓

Net. Segmen=13 - 33

Limfosit= 46 - 76

Monosit=0 - 5

Urine routine

macroscopic yellowish colour Kuning muda Dehidrasi,


abnormal

microscopic WBC (-) (-) Normal

RBC (-) (-) Normal

protein (-) (-) Normal

keton boides (+) (-) Normal

Faeces routine

macroscopic water more than Lunak dan berbentuk Diare, abnormal


waste material

blood (-) (-) Normal

mucous (-) (-) Normal

WBC: 4-6/HPF (-) Abnormal.


RBC 0-1/HPF (-) Abnormal.

bacteria (++) Kandungan feses: 25- Normal.


50 % bakteri

entamoeba coli +
(+)

fat (+) - Abnormal

b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan laboratorium?


 Mekanisme abnormal dari neutrofil batang:

Perubahan struktur mukosa usus halus  pemendekan vili sehingga terdapat


infiltrat sel sel radang mononuklear di lamina propria.

Reaksi inflamasi  sekresi kemokin (IL-8 dan granulosit stimulating colony)


 neutrofil meningkat (shift to the left)

Neutrofil merupakan sel yang paling banyak jumlahnya pada sel darah putih
dan berespon lebih cepat terhadap inflamasi dan sisi cedera jaringan daripada
jenis sel darah putih lainnya. Pada kasus ini dari hitung jenis, neutrofil
meningkat menandakan infeksi akut (shift to the left). Neutrofil batang adalah
neutrofil yang immatur yang dapat bermultiplikasi dengan cepat selama
infeksi akut sehingga pada kasus ini, neutrofil batang meningkat karena diare
yang dialami oleh Amir merupakan diare akut.

 WBC

Adanya WBC menunjukkan bahwa adanya mekanisme pertahanan


tubuh terhadap infeksi yang terjadi di saluran cerna.

 RBC

Adanya RBC menunjukkan bahwa ada sedikit pendarahan di saluran cerna


akibat dari infeksi yang mungkin merusak mukosa dinding usus sehingga
mengakibatkan adanya ditemukan RBC.
 Urine routine keton boides (+)

Tubuh memetabolisme lemak karena terjadi gangguan pada absorpsi


karbohidrat

 fat (+)

malabsorpsi lemak

PROGNOSIS: apabila dehidrasi bisa diatasi, maka prognosisnya bonam

Anda mungkin juga menyukai