Anda di halaman 1dari 22

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Defenisi Kestabilan Lereng


Lereng adalah bagian dari permukaan bumi yang berbentuk miring,
sedangkan kestabilan lereng didefenisikan sebagai suatu kondisi atau keadaan
yang mantap/stabil terhadap suatu bentuk dan dimensi lereng.
Massa batuan atau tanah pada keadaan tidak terganggu (alamiah) umumnya
mempunyai keseimbangan terhadap gaya-gaya yang timbul dari dalam dan
apabila karena sesuatu sebab yang diakibatkan adanya pengangkatan, penurunan,
penggalian, penimbunan, erosi atau aktivitas lainnya, sehingga mengalami
perubahan keseimbangan maka massa tanah atau batuan tersebut secara alamiah
akan berusaha mencapai suatu keadaan kesetimbangan yang baru.
Sudut geser dalam diperoleh dari grafik hubungan tegangan geser dan
tegangan normal yang menunjukkan hubungan secara linear yang membentuk
suatu sudut terhadap bidang horizontal.

2.2 Dasar-Dasar Kestabilan Lereng


Kestabialan lereng merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam
pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian dan penimbunan tanah, batuan
dan bahan galian. Kestabilan suatu lereng mempunyai manfaat yang besar sekali,
baik dari segi keselamatan kerja maupun segi ekonomi. Masalahnya adalah
bagaimana melakuakan optimasi rancangan lereng dengan mempertimbangkan
kedua hal tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan kerugian yang mungkin
timbul, baik kerugian secara fisik maupun finasial jika terjadi suatu kelongsoran.
Oleh karena itu, para ahli diharapkan sudah mulai terlibat sejak tahap rancangan
awal, yaitu mulai dari tahap pengumpulan data, penyelidikan geoteknik sampai
tahap konstruksi, dan diharapkan pula bahwa para tenaga ahli tersebut mengerti
permasalahan yang dihadapi dan keputusan apa yang harus diambil. Adapun
tahap-tahap suatu studi kemantapan lereng secara umum adalah tahapan studi

5
topografi, dan geologi umum, studi struktur massa batuan, studi karakteristik fisik
dan geomekanik, studi kondisi hidrologi dan hidrogeologi, permodelan
perhitungan kemantapan lereng, serta perbaikan kemantapan lereng, serta
perbaikan kemantapan lereng yang antara lain berupa perkuatan lereng dan
pmantauan lereng.
Untuk analisis kestabilan lereng, ada banyak cara yang bisa dilakuakan,
tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara
pengamatan visual, cara komputasi dan cara grafik sebagai berikut:
1. Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung dilapangan
dengan membandingkan kondisis lereng yang yang bergerak atau diperkirakan
bergerak dan yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil maupun stabil
dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini
kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak
ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan
indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng,
2. Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus
(Fellinus, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara Fellinius
dan Bishop menghitung faktor keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya.
Menurut Bowels (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah kuat
geser tanah yang dapat terjadi:
a) tak terdrainase,
b) effektif untuk beberapa kasus pembebanan,
c) meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau
dengan kedalaman,
d) berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu)
atau terbentuknya tekanan pori yang berlebihan atau terjadi peningkatan
air tanah.
Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng tanah
melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang gelincir
yang dapat dihitung

6
3. Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor,
Hoek & Bray, Janbu, Consins, dan Morganstern). Cara ini dilakukan untuk
material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri
atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara
komputasi).
Kestabilan lereng baik lereng alami maupun lereng buatan (buatan manusia)
serta lereng timbunan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dinyatakan
secara sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang
bertanggung jawab terhadap kestabilan lereng tersebut. Pada kondisi gaya
penahan (terhadap longsoran) lebih besar dari gaya penggerak, lereng tersebut
akan berada dalam kondisi yang stabil (aman). Namun apabila gaya penahan lebih
kecil dari gaya penggeraknya, lereng tersebut tidak stabil dan akan terjadi
longsoran. Sebenarnya longsoran merupakan suatu proses alami yang terjadi
untuk mendapatkan kondisi kestabilan lereng yang baru (keseimbangan baru),
dimana gaya penahan lebih besar dari gaya penggeraknya.
Untuk mengukur tingkat kestabilan pada suatu rancangan lereng diperlukan
suatu standar yaitu Faktor Keamanan (FK). Faktor keamanan merupakan suatu
fungsi antar gaya yang menahan longsoran dan juga gaya yang menyebabkan
longsoran.

(Sumber: Geoteknik Indonesia, 2014)


Gambar 2.1 Faktor keamanan lereng sederhana

7
Dari Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa gaya yang bekerja pada suatu lereng
adalah gaya berat, kemudian dihasilkan gaya penggerak dan gaya penahan. Untuk
menjaga agar benda di lereng tidak jatuh (failure), diperlukan perhitungan
terhadap kemiringan sesuai dengan faktor keamanan yang diinginkan.

2.3 Klasifikasi Longsoran Batuan


Berdasarkan proses longsornya, longsoran batuan dapat dibedakan menjadi
empat macam, yaitu :
a. Longsoran Bidang
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang
bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa sesar,
rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Syarat-syarat terjadinya
longsoran bidang adalah :
1) Terdapatnya bidang luncur bebas (daylight), berarti kemiringan bidang
luncur harus lebih kecil daripada kemiringan lereng.
2) Arah bidang luncur sejajar atau mendekati sejajar dengan arah lereng
(maksimum berbeda 20o).
3) Kemiringan bidang luncur lebih besar daripada sudut geser dalam
batuannya.
4) Terdapat bidang bebas (tidak terdapat gaya penahan) pada kedua sisi
longsoran.
b. Longsoran baji
Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika terdapat lebih dari satu
bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan. Sudut perpotongan antara
bidang lemah tersebut harus lebih besar dari sudut geser dalam batuannya.
Bidang lemah ini dapat beupa bidang sesar, rekahan (joint) maupun bidang
perlapisan.
Cara longsoran suatu baji dapat melalui salah satu atau beberapa bidang
lemahnya, ataupun melalui garis perpotongan kedua bidang lemahnya

8
(Sumber: Ducan, 2004)
Gambar 2. 2 Longsoran Bidang

. (Sumber: Ducan, 2004)


Gambar 2. 3 Longsoran Baji

c. Longsoran busur
Longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang berupa busur
disebut longsoran busur. Longsoran busur hanya terjadi pada tanah atau
material yang bersifat seperti tanah. Antara partikel tanah tidak terikat satu
sama lain. Dengan demikian, longsoran busur juga dapat terjadi pada batuan
yang sangat lapuk serta banyak mengandung bidang lemah maupun tumpukan
(timbunan) batuan hancur.

9
(Sumber: Ducan, 2004)
Gambar 2.4 Longsoran Busur

d. Longsoran guling
Longsoran guling akan terjadi pada suatu lereng batuan yang acak
kemiringannya berlawanan dengan kemiringan bidang-bidang lemahnya.
Keadaan tersebut dapat digambarkan dengan balok-balok yang diletakkan
diatas sebuah bidang miring. Berdasarkan bentuk dan proses menggulingnya,
maka longsoran guling dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1) Longsoran guling setelah mengalami benturan (flexural toppling).
2) Longsoran guling yang berupa blok (balok-balok).
3) Gambaran kedua longsoran diatas (block-flexural).

(Sumber: Ducan, 2004)


Gambar 2.5 Longsoran Topling

10
(sumber: Notosisiwoyo, 2003)
Gambar 2.6 Proyeksi stereografis tipe-tipe longsoran menurut Hoek dan Bray
tahun 1981 yang telah diterjemahkan.

2.4 Penyebab Terjadinya Longsoran


Menurut Terzaghi (1950) membagi penyebab-penyebab terjadinya
longsoran menjadi dua kelompok yaitu:
1. Penyebab-penyebab eksternal yang menyebabkan naiknya gaya geser yang
bekerja sepanjang bidang runtuh, antara lain yaitu:
a. Perubahan geometri lereng

11
b. Penggalian pada kaki lereng
c. Pembebanan pada puncak atau permukaan lereng bagian atas.
d. Gaya vibrasi yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau ledakan.
e. Penurunan muka air tanah secara mendadak
2. Penyebab-penyebab internal yang menyebabkan turunnya kekuatan geser
material, antara lain yaitu:
a. Pelapukan
b. Keruntuhan progressive
c. Hilangnya sementasi material,
d. Berubahnya struktur material

2.5 Kriteria Keruntuhan


Keruntuhan (failure) adalah suatu proses dimana material berubah dari satu
perilaku menjadi kondisi perilaku yang lain. Kriteria keruntuhan merupakan
hubungan tegangan dan regangan yang memberi sifat terjadinya keruntuhan
batuan dan ditentukan berdasarkan hasil-hasil percobaan (eksperimen). Untuk
membahas kriteria keruntuhan dikenal dua metode yaitu cara analitik dan cara
empirik.
Metode analitik meliputi :
1. Kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb
2. Kriteria keruntuhan Tresca
3. Kriteria keruntuhan Drucker – Prager
4. Kriteria keruntuhan Von Mises
5. Kriteria keruntuhan Griffith
Metode empirik meliputi :
1. Kriteria Bieniawski
2. Kriteria Protodyakonov
3. Kriteria Hoek dan Brown
Sedangkan dalam penulisan kali ini kriteria keruntuhan yang digunakan adalah
kriteria keruntuhan Mohr – Coulomb dan Hoek-Brown.

12
2.5.1 Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb
Kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb ini didasarkan pada hipotesis bahwa
tegangan normal dan regangan geser yang bekerja pada permukaan rupture
memainkan peranan pada proses failure batuan. Untuk beberapa bidang rupture
dimana memiliki tegangan normal yang sama besar maka bidang yang paling
lemah adalah bidang yang mempunyai tegangan geser paling besar. Untuk
keadaan σ1 >σ2 >σ3 yang diposisikan pada bidang (τ, σ) terlihat bahwa lingkaran
Mohr mempengaruhi kriteria failure.Failure terjadi apabila lingkaran Mohr
menyinggung kurva Mohr (kurva intrinsik) dan lingkaran tersebut disebut
lingkaran failure.Keruntuhan suatu batuan tergantung pada kohesi material dan
besarnya tegangan normal yang bekerja pada dinding keruntuhan tersebut. Oleh
karena itu kriteria Mohr – Coulomb didefinisikan sebagai berikut :

τ = C + σ tan ø ……………………………………………………………(2.1)

Dengan :
τ = tegangan geser
σ = tegangan normal
C = kohesi
tan ø = koefisien geser dalam dari batuan
Dalam kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb ada 4 parameter yang harus
diperhatikan, yaitu berat isi, kohesi, sudut geser dan sudut dilatansi.

2.5.2 Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown


Hoek and Brown mencoba menggabungkan semua peningkatan yang sudah
ada sebelumnya pada sebuah kriteria keruntuhan yang representatif. Hal ini
menghasilkan pengenalan akan GSI–Geological Strength Index oleh Hoek et al.
(1992), Hoek (1994), dan Hoek, Kaiser and Bawden (1995) yang kemudian
ditambah untuk melingkupi massa batuan yang lemah oleh Hoek et al. (1998),
Marinos and Hoek (2000,2001) dan Hoek and Marinos (2000). GSI Dapat
menentukan pelemahan massa batuan yang merupakan hubungan antara derajat
kekar dan kondisi dari permukaan kekar. Kekuatan massa batuan bergantung pada
sifat batuan utuh, dan kesempatan meluncur/runtuh pada kondisi tegangan

13
tertentu. Kesempatan ini dipengaruhi oleh bentuk geometri dari batuan utuh dan
kondisi separasi pada bidang diskontinuitas. Batuan tajam dengan permukaan
kekar yang bersih dan kasar akan mempunyai kekuatan yang lebih besar
dibanding dengan batuan berpatikel bulat yang terlapukkan. Kriteria kekuatan
massa batuan menurut The generalized Hoek-Brown (2002) sebagai berikut:

σ′ a
σ1′ = σ′3 + σ′Ci (mb σ′3 + s) ............................................................ (2.2)
Ci

Untuk mb adalah pengurangan nilai konstanta material untuk batuan utuh dengan
persamaan sabagai berikut:

GSI−100
mb = mi exp ( 28−14D ) ..................................................................... (2.3)

Tabel menujukkan nilai konstanta batuan utuh berdasarkan jenis batuan. Nilai s
dan a adalah konstanta massa batuan dengan persamaan sebagai berikut:

GSI−100
s = exp ( ) .............................................................................. (2.4)
9−3D
1 1
a = 2 + 6 (e−GSI/15 − e−20/3 ) ........................................................... (2.5)

Peningkatan pada persamaan dilakuakn dengan penambahan faktor


undisturbed dan disturbed menurut Hoek dan Brown (1988). Hoek et al. (2002)
menyusun pemilihan nilai D pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Pedoman Penentuan Nilai Faktor D pada Slope (Hoek et al, 2002)
Deskripsi Nilai D
Peledakan skala kecil yang tidak terlalu D=0.7
berdampak buruk untuk lereng, Good Blasting
terutama jika pada peledakan yang
terkontrol maka nilai D yang
D=1.0
digumakan adalah nilai D disamping.
Poor Blasting
Meskipun begitu masih tetap ada
kerusakan

14
Lereng-lereng pada Open Pit D=1.0
memperoleh tekanan yang lebih Production Blasting
signifikan karena proses peledakan
untuk produksi dan tekana dari
pengupasan over burden. Pada
D=0.7
beberapa batuan lemah, pembongkaran
Mechanical excavation
bisa dilakukan dengan menggunakan
ripping dan dozing dan mengurangi
resiko kerusakan lereng

Kuat tekan uniaksial dari massa batuan dihitung dengan penyesuaian σ′3 = 0
dengan persamaan sebagai berikut:

σ′𝐶 = σ′Ci . 𝑠 𝑎 ............................................................. (2.6)

Dan kuat tarik dengan persamaan sebagai berikut:

𝑠σ′Ci
σ′𝜏 = ..................................................................(2.7)
𝑚𝑏

Kriteria Hoek-Brown juga memungkinkan untuk menghitung modulus deformasi


dari massa batuan dengan persamaan sebagai berikut:

𝐷 σ′
𝐸𝑚 = (1 − 2 ) √100
Ci
10((𝐺𝑆𝐼−10/40)) .................................................. (2.8)

Keterangan:
Em dalam Gpa
Menjadi catatan bahwa persamaan dasar oleh Hoek-Brown (1997) telah
dimodifikasi dengan tambahan faktor D untuk menghitung pengaruh efek dari
peledakan dan relaksasi tegangan.

15
Tabel 2.2 Nilai Konstanta mi untuk Batuan utuh

2.6 Metode-Metode dalam Analisis kestabilan Lereng


Terdapat sejumlah metode yang dapat digunakan dalam analisis kestabilan lereng,
mulai dari yang sederhana hingga yang rumit. Setiap metode memiliki
keunggulan dan keterbatasan masing-masing. Macam-macam metode analisis
kestabilan lereng sebagai berikut:

16
1. Metode Analitik
2. Metode Grafik (Slope Sability Chart)
3. Analisis Menggunakan Klasifikasi Massa Batuan
4. Proyeksi Stereografi (Stereonet)
5. Metode Kesetimbangan Batas (Limit Equilibrum Method)
6. Metode Numerik
a. Metode Kontinum
1) Metode Beda Hingga (Finite-Difference Method)
2) Metode Elemen Hingga (Finite-Element Method)
b. Metode Diskontinum (Discontinum Method)
c. Metode Campuran (Hybrid Method)
7. Teori Block (Kinematik)
8. Metode Probabilitas
9. Metode Permodelan Fisik.
Saat ini terdapat banyak software untuk analisis kestabilan lereng.
Pengunaan software tersebut memerlukan pemahaman mengenai prinsip-prinsip
dari metode analisis yang digunakan, kelebihan dan kekurangan pada setiap
metode dan software, sehingga dapat digunakan secara tepat.
Untuk menyelesaikan persoalan geomekanika terdapat dua pendekatan,
yaitu:
1. Pertama, tanah dan batuan dianggap sebagai suatu massa yang kotinu atau
menerus (Metode Kontinum), yang terdiri dari:
a. Metode Beda Hingga (Finite-difference Method)
b. Metode Elemen Hingga (Finite-element Method)
2. Kedua, tanah dan batuan dianggap sebagai suatu benda yang tidak
kontinu/tidak menerus (Metode Diskontinum) seperti metode diskert.

Kedua pendekatan tersebut dapat juga digabung untuk memperoleh


kelebihan dari masing-masing metode, pendekatan ini disebut Metode Campuran
(Hybrid).

17
PENGUMPULAN ATAU PEMBUATAN DATA TOPOGRAFI

Peta, Foto udara, Pengamatan Lapangan

PENGUMPULAN ATAU PEMBUATAN DATA


GEOLOGI, GEOMEKANIKA, HIDROLOGI

Peta, Foto Udara, Lithologi Lubang Bor, Pengamatan


Lapangan, Hasil Uji Laboratorium

ANALISIS AWAL

LERENG TANPA BIDANG LERENG DENGAN BIDANG DISKONTINU


DISKONTINU YANG POTENSIAL YANG POTENSIAL MENYEBABKAN
MENYEBABKAN KELONGSORAN KELONGSORAN

PEMETAAN STRUKTUR GEOLOGI RINCI

PENENTUAN KARAKTERISTIK BIDANG


DISKONTINU

Karakteristik Geser dan Normal, Kohesi, Sudut


Geser Dalam

PENENTUAN KARAKTERISTIK
MATERIAL
Mekanik: Kekuatan, Modulus, Nisbah
poissson, Klasifikasi Batuan, Hidrolik

PEMILIHAN METODE ANALISIS

Metode Kesetimbanagn Batas, Metode Elemen


Hingga, Metode Elemen “Distinct”, dll

ANALISIS DENGAN
TIDAK
SATU METODE
YANG SESUAI

YA

PENENTUAN HUKUM PERILAKU MATERIAL BILA


MENGGUNAKAN METODE NUMERIK

Elastis linier, Elastoplastis, Viskoelastis

B B A

Sumber: (Geoteknik Indonesia, 2014)


Gambar 2.7 Metodologi Analisis Kestabilan Lereng Tambang Terbuka

18
Lanjutan Gambar 2.7 Metodologi Analisis Kestabilan Lereng Tambang Terbuka
A
B
PENENTUAN GEOMETRI LERENG

Pertimbangan Operasional

ANALISIS KEMANTAPAN LERENG

LERENG YA
MANTAP

TIDAK

YA GEOMETRI
LERENG MASIH
DAPAT DIUBAH

KETIDAKMANTAPAN LERENG YANG KETIDAKMANTAPAN LERENG


TIDAK DAPAT DICEGAH YANG DAPAT DICEGAH

Prediksi untuk Menerima Longsoran Tanpa Penaggulangan Ketidakmantapan Lereng:


Membahayakan Manusia dan Peralatan Penirisan Perkuatan

PEMANTAUAN

HASIL PEMANTAUAN
TIDAK
SAMA
DENGAN/MENDEKATI
HASIL PERHITUNGAN

YA

HASIL ANALISIS DITERIMA

Sumber: (Geoteknik Indonesia, 2014)

19
2.7 Metode Elemen Hingga (Finite Element Method)
Pada metode elemen hingga, domain dari daerah yang akan dianalisis,
dibagi kedalam sejumlah zona yang lebih kecil yang dinamakan elemen. Elemen
tersebut dianggap saling berkaitan pada sejumlah titik sampul. Perpindahan pada
setiap titik simpul dihitung terlebih dahulu, kemudian dengan sejumlah fungsi
interpolasi yang diasumsikan, perpindahan pada sembarang titik dapat dihitung
berdasarkan nilai perpindahan pada titik-titik simpul. Selanjutnya regangan yang
terjadi pada setiap elemen dihitung berdasarkan besarnya perpindahan
perpindahan pada masing-masing titik simpul. Berdasarkan nilai regangan
tersebut dapat dihitung tegangan yang bekerja pada setiap elemen.
Metoda elemen hingga merupakan salah satu dari cara-cara pendekatan
numerik yang didasarkan atas proses diskritisasi sistem struktur, dan mengambil
asumsi perpindahan yang merupakan pendekatan kepada perpindahan eksak
(sebenarnya). Berdasarkan perpindahan pendekatan ini, dihitung gaya-gaya
yang terjadi dalam struktur. Dengan menerapkan kriteria keseimbangan,
diperoleh (sistem) persamaan yang mengkaitkan gaya luar dengan komponen
perpindahan. Solusi (sistem) persamaan akan menghasilkan besar komponen
perpuindahan, yang pada gilirannya digunakan untuk menghitung gaya-gaya
dalam. Di akhir analisis, diperoleh perpindahan dan gaya-gaya dalam maupun
reaksi perletakan secara lengkap. Bahasan dalam bab ini ditujukan bagi
perumusan umum metoda elemen hingga yang merupakan metoda numerik
yang didasarkan atas perpindahan yang diasumsikan. Dengan demikian,
metoda elemen hingga termasuk dalam kelas metoda numerik yang merupakan
metode pendekatan.

2.7.1 Diskritisasi Sistem Struktur


Proses diskritisasi suatu sistem struktur adalah salah satu langkah dalam
penerapan metoda numerik, yaitu berupa pembagian keseluruhan sistem atas
beberapa jejaring elemen (element meshing). Jejaring elemen yang terdiri atas
garis-garis atau bidang pembatas antar bagian, dan dilengkapi dengan titik-titik
simpul (nodes) pada mana nantinya komponen-komponen perpindahan dan

20
gaya reaksi disampel. Titik perletakan, titik balik (reentrant) atau perobahan
geometri batas yang mendadak (abrupt changes) dicakup dalam garis-garis
atau bidang batas jejaring. Bagian struktur yang dibatasi jejaring dinamakan
elemen (element). Pada batas-batas antar sub-bagian dan/atau di bagian dalam
elemen, diambil titik-titik simpul (nodes), pada mana dimisalkan komponen-
komponen perpindahan dan gaya-gaya yang nantinya akan dihitung. Analisis
melibatkan besaran-besaran komponen perpindahan dan gaya pada titik
simpul dan tidak mengenal komponen perpindahan dan gaya pada titik-titik
lain selain titik simpul. Dengan demikian, agar gaya yang bekerja tidak
pada titik simpul dapat diperhitungkan secara benar dalam analisis, gaya-
gaya semacam ini perlu dipindahkan kepada titik simpul dengan menerapkan
cara ekivalensi. Itu pulalah alasan kenapa perletakan, beban terpusat dan
batas-batas gaya terdistribusi perlu ditepatkan jatuh pada simpul sisi atau
simpul dalam elemen.
Pengambilan jejaring memang bersifat subjektif serta tergantung selera
perekayasa, namun penerapannya perlu didasari atas pengalaman yang telah
diperoleh sebelumnya. Jejaring elemen perlu diambil sesederhana mungkin,
namun secara optimal dapat merepresentasikan struktur sebenarnya dengan
baik dan dengan ketelitian yang cukup. Pengambilan jejaring elemen perlu
diambil sedemikian hingga menghindarkan terjadinga sudut-sudut elemen yang
terlalu lancip atau terlalu tumpul, sebagai mana dijelaskan lewat gambar 2.7

(Sumber: Metode Elemen Hingga: Teori dan Konsep Dasar, 2014 )


Gambar 2.8 Diskritisasi Sistem Struktur

21
(Sumber: Metode Elemen Hingga: Teori dan Konsep Dasar, 2014)
Gambar 2.9 Pengambilan Bentuk Elemen

2.7.2 Boundary Condition


Boundary condition atau kondisi batas dimana batas terluar dari suatu lereng
mengalami tekanan dari luar batas tersebut. Untuk menghindari efek akibat
pantulan gelombang pada batas, batas penyerap telah ditentukan. Peredam
digunakan alih-alih menerapkan fiksasi ke arah tertentu. Peredam memastikan
bahwa peningkatan tekanan pada batas diserap tanpa rebound. Untuk
mensimulasikan perilaku regangan bidang, tidak ada perpindahan horizontal
sepanjang kontur vertikal. Apalagi batas bawahnya benar-benar tidak ada
pergerakan. Tekanan air dianggap nol sepanjang permukaan lereng tanah dan
kontur lateral kedap. Tanah dianggap benar-benar jenuh sepanjang semua
perhitungan.

(Sumber: Arsip penulis, 2017)


Gambar 2. 10 Boundary Condition

22
2.7.3 Data-Data yang Digunakan dalam Metode Elemen Hingga (Finite
Element Method)
Data yang perlu dimasukkan dalam metode elemen hingga sebagai berikut:
1. Geometri Lereng
Geometeri lereng yang perlu diketahui adalah :
a. Orientasi (jurus dan kemiringan) lereng
b. Tinggi dan kemiringan lereng baik jenjang maupun total.
c. Lebar jenjang (berm).

(Sumber: http://toraja-mining.blogspot.co.id/)
Gambar 2.11 Geometri Lereng

2. Sifat fisik dan mekanik batuan


Sifat fisik dan sifat mekanik batuan yang diperlukan sebagai dasar analisa
kestabilan lereng adalah :
a. Bobot isi batuan
b. Kandungan air dalam batuan
c. Kuat tekan, kuat tarik dan kuat geser batuan
d. Sudut geser dalam
e. Kohesi (c)
f. Rasio poisson (v)
g. Modulus Young (E)

23
3. Gaya dari luar
Gaya-gaya dari luar yang dapat mempengaruhi (mengurangi) kestabilan
suatu lereng adalah :
a. Getaran yang diakibatkan oleh gempa, peledakan dan pemakaian alat-alat
mekanis yang berat didekat lereng.

2.7.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Metode Elemen Hingga


(Finite Element Method)
1. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut:.
a. Geometri lereng
Kemiringan dan tinggi suatu lereng sangat mempengaruhi kesta-
bilannya. Semakin besar kemiringan dan ketinggian suatu lereng, maka
kestabilan semakin berkurang.
b. Struktur batuan
Strukutur batuan yang sangat mempengaruhi kestabilan lereng ada-
lah bidang-bidang sesar, perlapisan dan rekahan. Struktur batuan terse-
but merupakan bidang-bidang lemah (diskontinuitas) dan sekaligus se-
bagai tempat merembesnya air, sehingga batuan lebih mudah longsor.
c. Sifat fisik dan mekanik batuan
Sifat fisik batuan yang mempengaruhi kestabilan lereng adalah :
bobot isi (density), porositas dan kandungan air. Sedangkan sifat mekan-
ik batuan antara lain kuat tekan, kuat tarik, kuat geser dan juga sudut ge-
ser dalam batuan.
1. Bobot isi batuan
Semakin besar bobot isi suatu batuan, maka gaya penggerak yang
menyebabkan lereng longsor juga semakin besar. Dengan demikian
kestabilan lereng semakin berkurang.
2. Porositas batuan
Batuan yang mempunyai porositas besar akan banyak menyerap air.
Dengan demikian bobot isinya menjadi lebih besar, sehingga
memperkecil kestabilan lereng. Adanya air dalam batuan juga akan

24
menimbulkan tekanan air pori yang akan memperkecil kuat geser
batuan. Batuan yang mempunyai kuat geser kecil akan lebih mudah
longsor.
Kuat geser batuan dapat dinyatakan sebagai berikut :

 = C + ( - ) tan 

dimana :

 = kuat geser batuan (ton/m2)


C = kohesi (ton/m2)
 = tegangan normal (ton/m2)
 = sudut geser dalam (angle of internal friction)
3. Kandungan air dalam batuan
Semakin besar kandungan air dalam batuan, maka tekanan air pori
menjadi semakin besar juga. Dengan demikian berarti bahwa kuat
geser batuannya menjadi semakin kecil, sehingga kestabilannya
berkurang.
4. Kuat tekan, kuat tarik dan kuat geser batuan
Kekuatan batuan biasanya dinyatakan dengan kuat tekan (confined
and unconfined compressive strength), kuat tarik (tensile strength)
dan kuat geser (shear strength). Batuan yang mempunyai kuat tekan,
kuat tarik dan kuat geser besar akan lebih stabil (tidak mudah
longsor).
5. Sudut geser dalam (angle of internal friction)
Semakin besar sudut geser dalam, maka kuat geser batuan juga akan
semakin besar. Dengan demikian batuan (lereng) akan lebih stabil.
d. Gaya dari luar
Gaya-gaya dari luar yang dapat mempengaruhi (mengurangi) kestabilan
suatu lereng adalah :
1. Getaran yang diakibatkan oleh gempa, peledakan dan pemakaian alat-
alat mekanis yang berat didekat lereng.

25
(Sumber: )
Gambar 2.12 Pemakaian alat berat pada lereng

26

Anda mungkin juga menyukai