Anda di halaman 1dari 8

HUKUM PERSAINGAN USAHA

Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau
pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas
motif-motif ekonomi. Oleh karena itu, untuk memahami apa dan bagaimana hukum
persaingan usaha berjalan dan dapat mencapai tujuan utamanya, maka diperlukan
pemahaman mengenai konsep dasar ekonomi yang dapat menjelaskan rasionalitas munculnya
perilaku-perilaku perusahaan di pasar.
Konsep Dasar Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi adalah studi tentang bagaimana individu dan masyarakat
mengalokasikan sumberdaya langka (scarce resources) yang diberikan oleh alam dan oleh
generasi sebelumnya. Secara etimologi, kata ‘ekonomi’ berasal dari kosakata dalam bahasa
Yunani, yaitu oikos dan nomos yang berarti aturan dalam Rumah Tangga (RT). ‘Aturan’
yang dimaksud di sini berkaitan dengan menjaga keseimbangan antara pengeluaran
(spending) dengan sumber daya (dalam hal ini pendapatan).
Jika dikaitkan dengan pengertian ilmu ekonomi, maka konsep aturan RT tersebut
berkembang menjadi ilmu yang mengajarkan cara-cara bagaimana manusia berusaha
memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas (unlimited needs) dengan sumberdaya yang terbatas
(limited resources). Ketidakseimbangan kedua sisi tersebut memunculkan masalah ekonomi
(economic problem). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu
yang berusaha mengatasi masalah ekonomi. Bagaimana kita dapat mengatasi masalah
ekonomi tersebut?. Pada hakekatnya, kunci untuk mengatasi masalah ekonomi adalah
melakukan alokasi sumber daya yang tepat. Karena kebutuhan sifatnya tidak terbatas, maka
tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Oleh karena itu, pilihan menjadi konsekuensi logis
dari upaya pemenuhan kebutuhan tersebut.
a. Kelangkaan (Scarcity)
Keterbatasan menyebabkan banyak hal terasa langka (scarce). Kelangkaan mencakup
kuantitas, kualitas, tempat dan waktu. Sesuatu tidak akan langka kalau jumlah yang tersedia
sesuai dengan kebutuhan, berkualitas baik, tersedia dimana saja dan kapan saja. Udara untuk
pernafasan manusia, untuk daerah yang masih hijau belum langka, sebab tersedia dalam
jumlah yang banyak, tersedia dimana saja dan kapan saja. Karena itulah, tidak dibutuhkan
biaya sepeser pun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berbeda halnya dengan mereka yang
tinggal di daerah industri, dimana udara yang bersih tidak tersedia dalam jumlah yang banyak

1
dan berkualitas baik, kapan saja dan dimana saja. Untuk itu, untuk menikmati udara bersih
diperlukan biaya.
b. Pilihan-pilihan (Choices)
Dalam setiap masyarakat selalu didapati bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas
banyaknya. Manusia tidak pernah merasa puas atas apa yang mereka capai dan mereka
peroleh. Apabila keinginan sebelumnya telah tercapai, maka muncullah keinginan-keinginan
yang lain.
Terbatasnya sumber daya yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan/ keinginan
menyebabkan manusia harus menentukan pilihan yang bersifat individual maupun kolektif.
Pilihan yang bersifat individu misalnya, baju apa yang hendak dipakai hari ini. Pilihan
kolektif misalnya, kemana kita akan pergi piknik hari Sabtu nanti. Selain itu ada juga
keputusan yang bersifat kompleks, seperti misalnya mana yang akan kita dahulukan, sekolah
yang tinggi, atau cepat bekerja.
c. Opportunity Cost
Dalam melakukan pilihan, pasti akan muncul alternatif yang tidak terpilih. Tidak
terpenuhinya alternatif yang tidak dipilih merupakan biaya yang muncul akibat dari
‘memilih’. Alternatif yang kita pilih adalah pilihan yang terbaik (paling tidak menurut kita).
Kita sebut sebagai 1st best alternative. Alternatif terbaik berikutnya (yang tidak kita pilih)
kita sebut sebagai 2nd best alternative. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan 2nd best
alternative disebut sebagai opportunity cost.
Perjanjian Yang Dilarang Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Sebelum diperkenalkannya istilah perjanjian yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka istilah
perjanjian secara umum telah lama dikenal oleh masyarakat. Prof. Wirjono menafsirkan
perjanjian sebagai perhubungan hokum mengenai harta benda antara dua pihak dalam hal
mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk
tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian
itu.113 Sedangkan Prof. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa,
dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
Selanjutnya Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan atau
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Selain dari perjanjian, dikenal pula istilah perikatan.
Namun, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak merumuskan apa itu suatu perikatan.
2
Oleh karenanya doktrin berusaha merumuskan apa yang dimaksud dengan perikatan yaitu
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menutut sesuatu hal (prestasi) dari pihak lain yang berkewajiban memenuhi
tuntutan tersebut.
Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber
dari perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata dikatakan bahwa suatu perikatan ada yang lahir
karena perjanjian dan ada yang dilahirkan karena undang-undang. Suatu prestasi dalam suatu
perikatan menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa 3 macam. Pertama kewajiban untuk
memberikan sesuatu. Kedua, kewajiban untuk berbuat sesuatu, dan ketiga kewajiban untuk
tidak berbuat sesuatu.
Dalam sistem hukum perjanjian, maka dianut sistem terbuka, artinya para pihak
mempunyai kebebasan yang sebesar-besarnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan
berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini dapat
kita lihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang pada intinya menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. Selanjutnya Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian harus memenuhi 4 syarat. Pertama, sepakat mereka untuk mengikatkan diri.
Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Ketiga, suatu hal tertentu, dan keempat,
suatu sebab (causa) yang halal.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk
dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
1. Oligopoli
2. Penetapan harga
a. Penetapan harga (Pasal 5 UU No.5/1999);
b. Diskriminasi harga (Pasal 6 UU No.5/1999);
c. Jual Rugi (Pasal 7 UU No.5/1999);
d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8 UU No.5/1999);
3. Pembagian wilayah (Pasal 9 UU No.5/1999);
4. Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);
5. Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);
6. Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);
7. Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;
8. Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
3
9. Perjanjian Tertutup
a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);
b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);
c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Kegiatan Yang Dilarang Dalam Hukum Persaingan Usaha
1. Monopoli
Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan
pembentukan Hukum Persaingan Usaha. Monopoli itu sendiri sebetulnya bukan merupakan
suatu kejahatan atau bertentangan dengan hukum, apabila diperoleh dengan cara-cara yang
fair dan tidak melanggar hukum. Oleh karenanya monopoli itu sendiri belum tentu dilarang
oleh hukum persaingan usaha, akan tetapi justru yang dilarang adalah perbuatan-perbuatan
dari perusahaan yang mempunyai monopoli untuk menggunakan kekuatannya di pasar
bersangkutan yang biasa disebut sebagai praktek monopoli atau monopolizing/monopolisasi.
Suatu perusahaan dikatakan telah melakukan monopolisasi jika pelaku usaha mempunyai
kekuatan untuk mengeluarkan atau mematikan perusahaan lain; dan syarat kedua, pelaku
usaha tersebut telah melakukannya atau mempunyai tujuan untuk melakukannnya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dimaksud
dengan monopoli adalah :
“penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha “.
Apabila istilah monopoli tersebut hanya mencakup struktur pasar dengan satu
pemasok atau penerima di pasar bersangkutan, dan dengan mengingat jumlah kecil monopoli
jenis tersebut dalam ekonomi secara riil/nyata, maka ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1999 tidaklah begitu berarti dan kurang penting. Akan tetapi sebetulnya istilah
monopoli dalam undang-undang tersebut mempunyai makna yang lebih luas, dan hal ini dari
satu sisi dapat disimpulkan dari ciri-ciri dalam definisi struktur pasar,164 perilaku pasar,
pangsa pasar, harga pasar serta konsumen. Sedangkan di sisi lain dapat disimpulkan dari
ketentuan Pasal 17 ayat (2) c, yaitu bahwa seorang monopolis hanya membutuhkan
penguasaan lebih dari 50 % pangsa pasar pada satu jenis barang maupun jasa tertentu.
Sehingga dengan adanya pernyataan tersebut, selain pihak yang telah disebut sebagai
monopolis, ternyata masih ada pesaing lain di pasar bersangkutan.
Kemudian mengenai larangan kegiatan monopoli itu sendiri diatur dalam
Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa :

4
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai
berikut :
a) Melakukan perbuatan penguasaan atas suatu produk
b) Melakukan perbuatan atas pemasaran suatu produk
c) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
d) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat.
Untuk membuktikan unsur-unsur perbuatan di atas maka kriteria ini harus dipenuhi :
1. Tidak terdapat produk substitusinya
2. Pelaku usaha lain sulit masuk ke dalam pasar persaingan terhadap produk yang sama
dikarenakan hambatan masuk yang tinggi.
3. Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan
bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.
4. Satu atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar
suatu jenis produk.
2 Monopsoni
Jika dalam hal monopoli, seorang atau satu kelompok usaha menguasai pangsa pasar
yang besar untuk menjual suatu produk, maka istilah monopsoni, dimaksudkan sebagai
seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli
suatu produk, atau acapkali monopsoni itu identik dengan pembeli tunggal atas produk
barang maupun jasa tertentu. Dalam teori ekonomi disebutkan pula, bahwa monopsoni
merupakan sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal.
Dalam pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada
pasar yang kompetitif. Biasanya pembeli tunggal ini pun akan menjual dengan cara monopoli
atau dengan harga yang tinggi. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul

5
karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi
persaingan usaha yang tidak sehat.
UU No 5 Tahun 1999 mengatur monopsoni ini secara khusus dalam Pasal 18 yang
menyatakan, bahwa :
1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi membeli tunggal atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu
Berdasarkan pada Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999, maka monopsoni merupakan suatu
keadaan dimana suatu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli
suatu produk, sehingga perilaku pembeli tunggal tersebut akan dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat, dan apabila pembeli tunggal
tersebut juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar suatu jenis produk atau jasa. Syarat-
syarat pembuktian adanya monopsoni adalah sebagai berikut :
1. Dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha
2. Telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis produk tertentu
Monopsoni dalam UU No. 5 Tahun 1999 dilarang secara rule of reason yang artinya
bahwa monopsoni tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
sehingga berakibat terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha usaha tidak sehat.
Praktek monopsoni yang dilarang oleh hukum persaingan usaha adalah monopsoni yang
mengakibatkan terjadinya paraktek monopoli serta persaingan usaha tidak sehat.
3. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan
keinginan dari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar
memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh
pelaku usaha. Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha kadangkala melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum Kalau hal ini yang terjadi, maka
mungkin saja akan berhadapan dengan para penegak hokum karena melanggar ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Hukum Persaingan Usaha.

6
Walaupun pasal ini tidak merumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa
pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu perusahaan yang menguasai suatu
pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar.
Dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan, bahwa : “Pelaku usaha dilarang
melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:
1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk dapat melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau
2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha pesaingnya itu; atau
3. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
4. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”
Pihak yang dapat melakukan penguasaan pasar adalah para pelaku usaha yang
mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa yang di pasar yang bersangkutan. Wujud penguasaan
pasar yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tersebut dapat terjadi dalam bentuk
penjualan barang dan/atau jasa dengan cara :
a. Jual rugi (predatory pricing) dengan maksud untuk “mematikan “pesaingnya;
b. Melalui praktek penetapan biaya produksi secara curang serta biaya lainnya yang
menjadi komponen harga barang, serta
c. Perang harga maupun persaingan harga.

4.Kegiatan Menjual Rugi (predatory pricing)

Kegiatan jual rugi atau predatory pricing ini merupakan suatu bentuk penjualan atau
pemasokan barang dan atau jasa dengan cara jual rugi (predatory pricing) yang bertujuan
untuk mematikan pesaingnya. Berdasarkan sudut pandang ekonomi predatory pricing ini
dapat dilakukan dengan menetapkan harga yang tidak wajar, dimana harga lebih rendah dari
pada biaya variabel rata-rata. Dalam praktek penentuan biaya variabel rata-rata sangat sulit
dilakukan, oleh karenanya kebanyakan para sarjana mengatakan, bahwa predatory pricing
merupakan tindakan menentukan harga dibawah harga rata-rata atau tindakan jual rugi.

7
8

Anda mungkin juga menyukai