Anda di halaman 1dari 19

Kode/ Rumpun Ilmu: 612/ Sosiologi

USULAN

PENELITIAN DOSEN PEMULA

IDENTIFIKASI DAN PENGEMBANGAN MODAL SOSIAL LOKAL


UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTRAAN MASYARAKAT
DI KABUPATEN WAJO
(Studi Kasus Pada Keluarga Miskin di Kecamatan Tempe dan
Kecamatan Tanasitolo)

Muhammad Aksha Wahda, S. Sos., M. SI


NIDN : 0926038702

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


PUANGRIMAGGALATUNG
SENGKANG
2017

1
2

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah kemiskinan sampai saat ini masih menjadi persoalan serius yang
dihadapi oleh bangsa in. Penyebab kemiskinan tidak hanya terfokus pada faktor
ekonomi saja, tetapi kita juga perlu memperhatikan beberapa faktor lainnya
seperti faktor budaya dan faktor politik.
Salah satu tujuan MDGS yang harus tercapai pada tahun 2015 adalah
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan
MDGS pemerintah telah meluncurkan berbagai macam program penanggulangan
kemiskinan baik berupa bantuan social,m pelayanan kebutuhan dasar, dan
program yang sifatnya makro seperti PNPM. Satu pertanyaan yang mungkin harus
dijawab adalah apakah program-program tersebut mampu menekan angka
kemiskinan di Indonesia? Tentu kita sepakat untuk menjawab tidak atau belum
maksimal. Penanganan kemiskinan pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk
memberdayakan masyarakat miskin tersebut. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah pelibatan
masyarakat baik yang berstatus penduduk miskin. Selama ini pengentasan
kemiskinan hanya terfokus pada penyelesaian persoalan ekonomi atau pelayanan
terhadap kebutuhan dasar dan kurang memperhatikan faktor budaya atau kearifan
lokal sebagai salah komponen yang dapat mendukung kegaiatan pengentasan
kemiskinan.
Setiap kelompok masyarakat tentunya memiliki kompleksitas nilai yang
dapat dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Maka dari itu,
keberhasilan pembangunan penduduk perlu memperhatikan sistem sosial yang
berlaku dalam masyarakat, sistem sosial bisa berupa modal sosial. Pemberdayaan
masyarakat miskin bisa dilakukan dengan pengembangan modal sosial melalui
kelompok-kelompok yang alamiah tumbuh di masyarakat.
Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial memiliki pengaruh
yang sangat menentukan. Beberapa dimensi pembangunan yang dipengaruhi oleh
3

modal sosial antara lain kemampuannya untuk menyelesaikan permasalahan itu


secara kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat ditengah masyarakat,
memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh
anggota kelompok untuk memperbaiki nasib secara bersama (Hasbullah,
2006:38).
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengidentifikasi nilai-nilai
kearifan lokal yang dapat dijadikan modal sosial dalam upaya peningkatan
kesejahtraan masyarakat. Kedua, melakukan analisis terhadap pengembangan
modal sosial dalam upaya peningkatan kesejahtraan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Nilai kearifan lokal apakah yang dapat menjadi modal sosial dalam

meningkatkan kesejahtraan masyarakat di kabupaten wajo?

2. Apakah nilai kearifan lokal tersebut masih dipelihara dengan baik oleh

masyarakat di kabupaten wajo?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengidentifikasi nilai-nilai
kearifan lokal yang dapat dijadikan modal sosial dalam upaya peningkatan
kesejahtraan masyarakat. Kedua, melakukan analisis terhadap pengembangan
modal sosial dalam upaya peningkatan kesejahtraan masyarakat.

D. Urgensi Penelitian
Setiap warga Negara berhak untuk hidup sejahtrera sebagaimana cita-cita
UUD 1945 dan Pancasila. Pemerintah memiliki peranan yang cukup vital dalam
pengentasan kemiskinan dengan mengeluarkan beberapa kebijakan terkait
pengentasan kemiskinan. Untuk mendukuung hal tersebut diperlukan dukungan
dari segala pihak. Aktor penanggulangan kemiskinan jangan hanya terpusat pada
pemerintah itu saja, pelibatan masyarakat diyakini akan memberikan hasil positif
dalam pengentasan kemiskinan.
4

Setiap kelompok masyarakat memiliki potensi yang dikembangkan sebagai


upaya pengentasan kemiskinan. Potensi tersebut bisa berupa nilai kearifan lokal
yang dikembangkan menjadi suatu modal sosial yang meningkatkan kesejahtraan
masyarakat. Modal sosial memiliki tiga komponen antara lain trust, networking,
dan institutions. Disinilah kemidian urgensi dari penelitian ini, dimana penelitian
ini akan menemukan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dikembangkan sebagai
salah upaya dalam pengentasan kemiskinan.
5
6

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, dalam pendefenisiannya
makna kemiskinan sering dibatasi oleh beberapa standar yang ditentukan oleh
lembaga-lembaga yang bergerak dibidang kemiskinan. Dengan kata lain arti
kemisikinan lebih mengarah pada defenisi yang konvensioanal, yakni mereduksi
masalah kemiskinan kepada terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan dan
papan).
Bank Dunia mebenrikan defenisi kemiskinan dengan menggunakan ukuran
kemampuan daya beli yaitu US $2 perhari. Untuk mengukur kemiskinan, data
BPS (dikutip dari www.bps.go.id) menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Nilai Garis Kemiskinan mengacu
pada nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan
2100 kilokalori perkapita perhari dan ditambhkan dengan kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Dalam pandangan Friedman, kemiskinan iugu berarti ketidaksamaan
kesempatan unfuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan
sosial ini meliputi: (1) Modal produktif seperti tanah, alat produksi, Perumahan,
kesehatan. (2) Sumber keuangan. (3) Organisasi sosial dan politik yang dapat
digunakan untuk kepentingan bersama seperti koperasi, partai potitik, organisasi
sosial,(4) |aringan sosial, (5) Pengetahuan dan kehampilan. (6) Informasi yang
berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Purwanto, 2007).
Dalam beberapa kasus kemiskinan yang ditemui di Indonesia,
ketidakberdayaan masyarakat bukan hanya dari segi faktor ekonomi saja, tapi juga
pada faktor lain misalkan pendidikan, kesehatan dan politik. Ketidakberdayaan ini
7

disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengakses layanan atau


informasi terkait dengan faktor tersebut. Kemiskinan merupakan suatu hal yang
memiliki kompelsitas masalah yang cukup rumit, maka dari itu pengentasan
kemiskina bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga menjadi
tanggung jawab seluruh rakyat.
Kebijakan Pengentasan Kemisikinan
Sejak era reformasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan
telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia bertumpu pada sektor yaitu (1) sistem perlindungan sosial yang
komprehensif seperti pelaksanaan program Raskin, program simpanan keluarga
sejahtera,dan beberapa program lainnya (2) peningkatan pelayanan dasar seperti
program Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, dan Bantuan Siswa Miskin, (3)
pengembangan kehidupan (penguatan kehidupan ekonomi) seperti PNPM dan
kelompok usaha bersama.
Pelaksanaan kegiatan pengentasan kemiskinan di Indonesia merupakan
program pengentasan kemiskinan lintas sektor yang terintegrasi. Sebagai upaya
mengintegrasikan pelaksanaan pengentasan kemiskinan maka dibentuk Tim
Percepatan Penanggulangan Kemisikinan (TNP2K) yang dikoordinatori oleh
Wakil Presiden.
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program
penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya
penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras
untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang
miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang
ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat
menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada
kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku
masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih
difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
8

program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam


penyalurannya.

B. Modal Sosial
Konsep modal sosial (sosial capital) diperkenalkan Robert Putnam
(hasbulah, 2006) sewaktu meneliti Italia pada 1985. Masyarakatnya, terutama di
Italia Utara, memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi karena tiap indvidu
punya minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan antar
masyarakat lebih bersifat horizontal karena semua masyarakat mempunyai hak
dan kewajiban yang sama.
Menurut Putnam , modal sosial adalah kemampuan warga untuk mengatasi
masalah publik dalam iklim demokratis. Piere Bourdieu mendefenisikan modal
sosial sebagai “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang
berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung tarsus menerus
dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata in:
keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya
berbagai bentuk dukungan kolektif” (Habullah, 2006).
Cohen&Prusak dalam Siregar (2011) menuliskan konsep awal modal sosial
ditulis oleh Hanifan di tahun 1916, saat dia membicarakan tentang pusat
komunitas yang terkait dengan sekolah di wilayah pedesaan. Hanifan
menggunakan istilah modal sosial untuk membicarakan faktor substansi dalam
kehidupan masyarakat yang antara lain berupa niat baik (good will), rasa simpati,
perasaan persahabatan, dan hubungan sosial yang membentuk sebuah unit sosial.

Modal sosial merupakan norma-norma dan hubungan-hubungan sosial yang


mengakar dalam struktur masyarakat,sehingga orang-orang dapat mengkoordinir
tindakan untuk mencapai tujuan. Secara sederhana Modal sosial merupakan
kemampuan masyarakat untuk mengkoordinir diri sendiri dalam memperjuangkan
tujuan-tujuan mereka.
Putnam juga mengajukan contoh mengenai kuatnya modal sosial
masyarakat Italia Utara yang sejak berabad-abad lalu memiliki jaringan horizontal
9

di antara kelompok-kelompok masyarakatnya, yang mengembangkan budaya


politik yang menekankan pada otonomi, kerja sama, toleransi, dan penghormatan
pada hukum, sehingga memungkinkan berkembangnya demokrasi partisipatif dan
ketertiban. Sebaliknya, organisasi sosial di Italia Selatan sangat hierarkhis, dengan
dominasi dan hegemoni kelompok elite, budaya politiknya berpola atasan
bawahan (clientelistic) dan otoriter, yang dilambangkan dengan penguasaan mafia
yang mencolok.
Dalam modal sosial selalu tidak terlepas pada tiga elemen pokok yang ada
pada modal sosial yang mencakup (a) Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran,
sikap egaliter, toleransi, dan kemurahan hati); (b) Jaringan Sosial/Social Networks
(parisipasi, resiprositas, solidaritas, kerjasama); (c) Norma/norms (nilai-nilai
bersama, norma dan sanksi, aturan-aturan). Menurutnya ketiga elemen modal
sosial di atas berikut aspek-aspeknya pada hakikatnya adalah elemen-elemen yang
ada atau seharusnya ada dalam kehidupan sebuah kelompok sosial, apakah
kelompok itu bernama komunitas, masyarakat, suku bangsa, atau kategori lainnya
atau dengan kata lain elemen-elemen modal sosial tersebut merupakan pelumas
yang melicinkan berputarnya mesin struktur sosial.

C. Dimensi Modal Sosial


Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan
human capital (Fukuyama, dalam aksha, 2014). Bentuk human capital adalah
‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia. Ivestasi human capital kovensional
adalah dalam bentuk seperti halnya pendidikan universitas, pelatihan menjadi
seorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan
yang tepat lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari
kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu
darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling
kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar
seperti halnya Negara (bangsa).
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural
seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, dalam aksha, 2014).
10

Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak
bisa diperoleh seperti dalam kasus bentukbentuk human capital. Akuisisi modal
sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas
dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti
kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada
kebajikan kebajikan sosial umum.
Sebagiamana yang diungkapkan fukuyama yang dikutip dari Rais (2009)
bahwa dimensi modal sosial dibagi kedalam beberapa bagian:
a. Trust (Saling Percaya)
Elemen ini meliputi kejujuran, keadilan, toleran, keramahan, dan saling
menghormati. Sebagaimana dijelaskan Fukuyama, kepercayaan adalah
harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh
adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma
yang dianut bersama. Fukuyama kemudian mencatat bahwa dalam
masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinngi, aturan-aturan
sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat
kerjasama.
b. Jaringan Sosial (Social Network)
Elemen ini meliputi dengan pertukaran timbal balik, solidaritas dan
kerjasama. Infrastruktur dinamis dan modal sosial berwujud jaringan-
jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya
komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan
memperkuat kerja sama.
Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang
kokoh. Orang mengetahui dan bertemu orang lain. Mereka kemudian
membangun inter-relasi yang kental baik yang bersifat formal maupun
informal.
Jaringan-jaringan yang memperkuat modal sosial akan memungkinkan lebih
mudahnya saluran informasi dan ide dari luar yang merangsang
perkembangan masyarakat. Mereka akan lebih mudah terhindar dari
penyakit kejiwaan seperti cemas dan depresi, karena dalammasyarakat
11

tersebut tumbuh kepedulian bersama dalam berbagai aspek dan dimensi


aktifitas kehidupan.
c. Pranata (institutions)
Elemen ini yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (share value),
norma dan aturan-aturan. Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-
nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan
bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dibangun dan berkembang
berdasarkan sejarah kerja sama dimasa lalu dan diterapkan untuk
mendukung iklim kerjasama.
Hampir sama dengan dengan Fukuyama, Woolcock berpendapat bahwa
modal sosial dapat dibedakan dalam empat dimensi. Pertama, integrasi
(integration), yakni bentuk ikatan yang kuat antar kelompok dan tetangga
karena kesamaan ikatan kekerabatan, etnik dan agama. Kedua, pertalian
(linkage), yakni bentuk ikatan yang lemah dengan komunitas luar karena
adanya jaringan (network) dan asosiasi- asosiasi bersifat kewargaan (civic
assosiations) yang melampaui ikatan kekerabatan, etnik dan agama. Ketiga,
integritas organisasional (organizational integrity) yaitu keefektifan dan
kemampuan institusi Negara menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan
kepastian hokum dan menegakkan peraturan. Keempat, sinergi (synergy)
yaitu interaksi antara Negara dan komunitas, yang merefleksikan bagaimana
pemimpin dan kelembagaan pemerintahan bekerja dan berinteraksi dengan
komunitas. Ketika kekuasaan negara menembus masyarakat, maka akan
terdapat sedikit ruang untuk melibatkan masyarakat umum atau
mengembangkan jaringan kerja. Dimensi pertama dan kedua berada pada
tingkat horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat ditambah pasar
berada pada tingkat vertical (Woolcock dalam dalam Aksha, 2014).

Fukuyama (dalam Aksha, 2014) dengan tegas menyatakan, belum tentu


norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap,
bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi
hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh
12

kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap


keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah
komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama
oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan
yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.
Dari pernyataan Fukuyama dapat ditarik kesimpulan bahwa dimensi utama
modal sosial adalah kebersamaan individu dalam kelompok. Kebersamaan
tersebut hadir seiring dengan terbangunnya trust diantara mereka dan adanya
kesamaan nilai yang dianut sebagai acuan dalam bertindak.
Kearifan lokal mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur
bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan
alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, kearifan lokal
seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan anti kemiskinan.
Bahwa di luar pendekatan yang bercorak strukturalis, sesungguhnya kita dapat
menggali mozaik kehidupan masyarakat setempat yang bernama kearifan kolektif
atau kearifan budaya. Di setiap masyarakat mana pun kearifan semacam itu
tertanam dalam di relung sistem pengetahuan kolektif mereka yang dialami
bersama. Itulah yang sering disebut sebagai local-wisdom. Para ahli juga sering
menamakan local-knowledge, pengetahuan setempat yang berkearifan. Misalnya
pada masyarakat Bugis-Makassar dikenal siri na pesse dan pada idi-pada elo-
sipatuo.
13

BAB III
METODOLGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian pada dasarnya terfokus untuk menggambarkan fenomena-


fenomena sosial secara mendalam dan rinci atau detail, sehingga seluruh
komponen fenomena yang diteliti dapat terungkap secara jelas..

Karena itu dalam penelitian dipegang asumsi bahwa tingkat internalisasi


nilai atau norma sosial yang dapat menjadi modal sosial, sikap yang ditimbulkan
dan perilaku sebagai eksternalisasi dari nilai atau norma tersebut dapat diamati
berdasar atas kondisi obyektif individu atau actors yang diamati, tetapi dapat pula
lebih disempurnakan dengan interpretasi makna dari pelaku yang terlibat.

Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methodologi yaitu memadu


pendekatan kualititatif dan pendekatan kuantitatif. Menurut Moleong (2009)
kedua pendekatan itu – kualitatif dan kuantitatif – dapat digunakan apabila desain
penelitiannya adalah memanfaatkan satu paradigma sedang paradigma lainnya
hanya sebagai pendukung atau pelengkap. Hal yang senada juga dikemukakan
oleh Glaser dan Strauss (dalam Moleong, 2009) bahwa dalam banyak hal, kedua
bentuk penelitian tersebut diperlukan, bukan kuantitatif menguji kualitatif,
melainkan kedua bentuk tersebut digunakan bersama-sama, dan apabila
dibandingkan, masing-masing dapat digunakan untuk keperluan menyusun teori.

Creswell (dalam Syaifulah') menyatakan bahwa terdapat tiga model


penggabungan pendekatan kualitatif-kuantitatif, yakni two-phase design,
dominant-less dominant design, dan mixed methodology design. Dalam penelitian
ini ditempuh model dominant-less dominant design, di mana pendekatan kualitatif
sebagai pendekatan utama (qualitative dominant) dan pendekatan kuantitatif
berposisi less-dominant karena hanya pada uraian-uraian tertentu saja dari
keseluruhan uraian yang ditujukan untuk mendukung atau melengkapi pendekatan
kualitatif.
14

Berkaitan dengan penelitian ini, penggabungan kedua pendekatan tersebut


bertujuan untuk menjelaskan beberapa aspek dalam penelitian seperti aspek
pengindentifikasian, aspek penginternalisasian dan pembentukan sikap., dan aspek
ekterenalisasi nilai-nilai kearifan lokal. Pendekatan proses terutama yang
berkaitan dengan proses internal indivdu menghendaki adanya penelaahan yang
bersifat kualitatif karena hal itu selain menyangkut nilai-nilai, emosi, dan
perasaan, juga dunia realitas dari individu di dalam komunitasnya. Dalam
hubungan itu Brannen (dalam Syaifullah, 2012),

Pendekatan kualitatif terutama digunakan pada analisa tentang proses


internalisasi dan pembentukan sikap. Sebab proses tersebut lebih banyak bermain
pada tingkatan “internal” dari individu selaku “aktor” yang menjadi pelaku
interaksi social baik dalam tingkatan mikro, meso, maupun makro. Sedang
pendekatan kuantitatif terutama dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan
tahap eksternalisasi dari nilai dan norma yang telah dipahami dan telah
membentuk sikap actor. Oleh karena pendekatan kuantitatif berposisi sebagai
pendukung (less-dominant) dibandingkan dengan pendekatan kualitatif yang
merupakan pendekatan utama (dominant), maka hipotesa penelitian yang diajukan
tidak diuji, tetapi hanya dijadikan pedoman atau pemandu di dalam proses
penelitian.

Studi kasus digunakan sebagai strategi utama untuk mencapai tujuan


penelitian. Studi kasus digunakan sebagai strategi utama untuk mencapai tujuan
penelitian. Studi kasus ditujukan untuk menyelidiki fenomena didalam konteks
kehidupan nyata, bilaman batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak
dengan tegas, dimana multisumber bukti dimanfaatkan (Yin, 2011: 18)

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di dua Kecamatan Kabupaten Wajo yaitu


Kecamatan Tanasitolo dan Kecamatan Tempe.
15

C. Penentuan Informan dan Sampel Penelitian

Penentuan informan ditentukan sendiri oleh peneliti sesuai dengan


kebutuhan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Meski tidak menutup
kemungkinan bahwa akan ada informan-informan lain yang ditemui secara
langsung pad saat kunjungan lapangan khususnya pada deerah dengan angka
kemiskinan yang cukuyp tinngi. Penelusuran informan akan terus berjalan hingga
informasi yang didapatkan telah dianggap cukup.

Untuk responden, akan dipilih responden berdasarkan kriterianya masing-


masing seperti masyarakat miskin, tokoh masyarakat, aktivis LSM, pemerintah
dan tokoh agama.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, dapat


dilakukan dengan cara :

1. Wawancara mendalam.
Percakapan langsung dilakukan pada obyek penelitian tentang
perasaan, penghayatan, pngalaman informan dalam melakukan aktivitas
sehari-harinya.

Agustang (2007 : 91), mengemukakan bahwa tujuan dari interview


(wawancara) itu adalah untuk mengumpulkan data atau informasi
(keadaan, gagasan/pendapat, sikap/tanggapan, keterangan dan
sebagainya) dari suatu pihak tertentu.

2. Observasi
Moleong (2009), mengemukakan bahwa teknik pengamatan adalah
berperan serta, artinya dalam situasi-situasi tertentu peneliti dapat ikut
serta secara langsung dalam aktivitas yang dilakukan objek penelitian,
sifatnya secara terbuka diketahui oleh objek penelitian, maka segala
macam informasi dapat mudah diperoleh.
16

3. Kuesioner
Untuk menunjang pendekatan kualitatif, digunakan pula pendekatan
kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul
data. Data yang diperoleh dari kuesioner ini terutama data yang
berkaitan dengan perilaku mereka dalam wujud tingkat penerimaan
terhadap out group dibandingkan dengan in group dari kelompok-
kelompok tersebut
4. Focus group discussion (FGD)
Metode in bertujuan untuk memperoleh maukan dan informasi
mengenai suatu permasalahan . FGD merupakan suatu pertemua antar
pribadi yang masing-masing mengeluarkan pendapat dan sarannya
terkait dengan permasalahan. Pelaksanaan FGD akan diakukan sebayak
tiga kali dengan melibatkan beberapa unsure masyarakat.
5. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan salah satu teknik pendukung dalam
proses pengumpulan data. Moleong (2009) mengemukakan bahwa studi
dokumentasi dapat dilakukan dengan cara peneliti mempelajari arsip-
arsip, file-file, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian seperti catatan-catatan dan data-data yang ada
di Kantor instansi yang terkait serta foto-foto yang berhubungan dengan
objek penelitian.

E. Pengecekan Validitas Temuan

Untuk mempertanggung jawabkan data secara benar dan akurat, maka


diperlukan pemeriksaan keabsahan data yang telah dikumpulkan. Menurut
Moleong (2009) mengemukakan pemeriksaan keabsahan data sebagai berikut :

1. Triangulasi.
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Teknik
ini dapat digunakan dengan cara sebagai berikut :
17

a) Membandingkan data hasil pengamatan yang dilakukan


oleh peneliti dengan data hasil wawancara yang diperoleh
dari informan.
b) Membandingkan hasil informasi dari mahasiswa secara
umum dengan hasil informasi yang diungkapkan oleh
mahasiswa yang pernah terlibat tawuran.
c) Membandingkan informasi yang diperoleh dari masyarakat
dengan data hasil wawancara yang diperoleh dari informan.
d) Membandingkan hasil wawancara yang diperoleh peneliti
dengan studi dokumentasi yang diperolehnya sehubungan
dengan permasalahan penelitian.
F. Metode Analisis Data

Sebelum data dianalisis, terlebih dahulu diolah secara ringkas dan


sistematis. Pengolahan data adalah proses menyusun, yaitu dimulai dari kegiatan
penulisan hasil wawancara, lalu pengelompokan data yang dianggap sejenis atau
proses klasifikasi data, kemudian menyederhanakan atau mereduksi, dan
kemudian menyajikan data. Hasil seperti inilah yang ditafsirkan secara induktif
(metode induktif). Analisa data berlangsung terus menerus semenjak peneliti
memasuki wilayah penelitian hingga proses pengumpulan data dan penulisan
laporan penelitian. Hal seperti ini sejalan dengan pendapat Miles dan Huberman
(1992:19) bahwa analisis data dilakukan sepanjang proses penelitian. Jadi secara
garis besarnya tahapan dalam analisis data adalah :

Tahap pertama. Pada tahap ini adalah proses reduksi data yang terfokus
pada pemilihan, penyederhanaan, dan transformasi data kasar dari catatan
lapangan. Dalam proses ini dipilih data yang relevan dengan fokus penelitian.
Proses reduksi ini dilakukan secara bertahap selama dan sesudah pengumpulan
data sampai laporan tersusun. Reduksi data dilakukan dengan cara membuat
ringkasan data, menelusuri tema tersebar dan membuat kerangka penyajian data.
18

Tahap kedua, pada tahap ini adalah penyajian data, yaitu penyusunan
kesimpulan informasi menjadi pernyataan-pernyataan yang memungkinkan
penarikan kesimpulan. Data disajikan dalam bentuk teks naratif, mulanya
terpencar dan terpisah pada berbagai sumber informasi. Kemudian diklasifikasi
menurut tema dan kebutuhan analisis.

Tahap ketiga, pada tahap ini penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan
penyajian data. Penarikan kesimpulan berlangsung bertahap dari kesimpulan pada
reduksi data, menjadi terfokus pada penarikan kesimpulan penyajian data, dan
lebih terfokus lagi pada tahap kesimpulan akhir. Rangkaian proses penarikan
kesimpulan ini menunjukkan bahwa analisis data dalam penelitian ini bersifat
menggabungkan tahap reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
secara berulang-ulang dan bertahap.

Analisis data kualitatif menggunakan metode induktif. Analisa data


kualitatif akan menjelaskan tentang fenomena dan fakta yang ditemukan pada saat
pengumpulan informasi. Analisa data kuantitatif sebagai pendukung analisis
utama, digunakan dengan menyusun data dari kuesioner ke dalam bentuk tabel
frekuensi untuk menunjukkan kekuatan suatu unit data terhadap keseluruhan. Data
kuantitatif terutama digunakan untuk hal-hal yang membutuhkan ukuran-ukuran
yang jelas
19

Anda mungkin juga menyukai