Anda di halaman 1dari 7

Menikah, Kenapa Takut?

Cinta (orangemood.files.wordpress.com)

dakwatuna.com – Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat,
dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan
yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa
kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita
beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya
segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah
bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu
pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang
mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak
segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko
pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah
mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk
menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi
yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan
untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai
mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas
beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli
syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-
Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan
fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah
tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla,
dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan
tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu.
(Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak
mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem
lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu
menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab,
Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah
tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung
resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari
rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia
dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan
dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti
dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada
sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan
kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai
dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan,
yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang
paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan
yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan
bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang
adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini
menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi
melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan
sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah
terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya
harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang
kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja
membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah
diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara
yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang
hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah
terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”
Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan
dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan
menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah
kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang
menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa
kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi
setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan
lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga
moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah
dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan
menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada
mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa.
dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan
salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda
setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa
Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah
dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya
mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal
waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka
yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari
penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan
terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw.
melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan
dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang
sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh
perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin
besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya
diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin
menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa
pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti
kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian
ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul
uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu
adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin
hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga
menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan
dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua
dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah
keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu
semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah
hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil
mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan
ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan
persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk
meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair.
Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim,
jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi
Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah
penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan
hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah.
Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata,
“Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai
ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil
Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan
penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan
memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di
antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan
mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu
dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’
oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana
Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan
membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan
ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita
tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis
nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian?
Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat
dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan
hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab
tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina
pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus
memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina,
ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak
kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling
melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang
Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah
rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh
anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang
dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu
menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi.
Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai
mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan
tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau
tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup
kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan
fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu
menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini
sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program
studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum
mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk
mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam
Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu
atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah,
terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari
ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak
yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap
berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah
kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari
kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna
ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah
pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang
raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat
tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus
dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak
perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa
dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain
mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia
terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan
sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak
menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti
para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak.
Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah,
apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk
menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya
tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi
apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara
apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika
kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya
tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai
beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba
waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang
memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi
kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah
terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan
hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan
itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu
dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan
ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka.
Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa
kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab. <>
Tentang DR. Amir Faishol Fath

Lahir di Madura,15 Februari 1967. Setelah tamat Pondok Pesantren Al Amien, belajar di
International Islamic University Islamabad IIUI dari S1 sampai S3 jurusan Tafsir Al Qur’an.
Pernah beberapa tahun menjadi dosen tafsir di IIUI. Juga pernah menjadi dosen pasca sarjana
bidang tafsir Al Qur’an di Fatimah Jinah Women University Rawalpindi Pakistan. Akhir-akhir
ini sekembalinya ke Indonesia, menjadi dosen sastra Arab di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatulah Jakarta. Lalu menjadi dosen Tafsir sampai sekarang di Sekolah Tinggi Al
Hikmah Jakarta. Selebihnya beberapa kali di undang untuk mengisi Seminar, konfrensi dan
ceramah di tengah komunitas muslim di beberapa kota besar Amerika Utara (Washington, New
York, Houston, Los Angles, Chicago, Denver). Beberapa kajian tafisir rutin yang diasuh di
perkantoran Jakarta antara laian di: Indosat, Conoco Philips, Elnusa, Indonesian Power, PLN
Gambir. Agenda Kajian Tafsir Dzuhur: Senin (setiap pekan ) : Masjid Baitul Hikmah Elnusa
Selasa 1 : Masjid Bank Syariah Manidiri Pusat Selasa 2&4: Masjid Indosat Pusat Selasa 3 :
Masjid Hotel Sultan Rabu 1 : Masjid Indonesian Power Pusat Rabu 3 : Masjid PLN Gambir
Kamis (setiap pekan) : Masjid Miftahul Jannah Ratu Prabu 2 (Conoco Philiphs) Agenda
Pengajian Tafsir Dan Hadits lainnya: Sabtu 1&2 (Sesudah Subuh) : Masjid Az Zahra Gudang
Peluru Ahad 2 (Sesudah Subuh) : Masjid An Nur (Perdatam) Senin ( Jam 14:30-20.00) :Sekolah
Tinggi Al Hikmah Jakarta Selasa (Jam 14:00-15:30 : Majlis Ta’lim Amanah Dault (Kedian
Menpora Adiaksa Dault, Belakang STEKPI, Kalibata). Rabu: 1&2 (Setelah Maghrib) : Masjid
Az Zahra Gudang Peluru Kamis (Setiap Pekan, setelah Maghrib) : Masjid Bailtul Hakim,
Diskum Kebon Nanas.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/02/06/92/menikah-mengapa-takut/#ixzz2lZ0Zi300
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai