Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ISLAMIYYAH1
Hizbut Tahrir berasal dari bahasa Arab yang disusun dalam bentuk al-idlafah, hizb
sebagai mudlaf (kata yang disandari) yang dalam bahasa Indonesia berarti partai3, dan al-
tahrir sebagai mudlaf ilaihi (kata yang bersandar kepada mudlaf yang berarti
pembebasan.4 Sehingga Hizbut Tahrir dalam bahasa Indonesia berarti Partai (untuk)
Pembebasan.
Saya kutipkan definisi Hizbut Tahrir dari sebuah buku sangat tipis berbahasa Arab,
karena bahasa resmi Hizbut Tahrir adalah Bahasa Arab, berjudul Hizb al-Tahrir yang
terdiri dari 106 halaman terdapat definisi (al-ta’rif) dari Hizbut Tahrir sebagai berikut:
حزب التحرير هو حزب سياسي مبدؤه اإلسالم فالسياسة عمله واإلسالم مبدؤه وهو يعمل بين األمة ومعها لتتخذ
اإلسالم قضية لها وليقودها إلعادة الخالفة والحكم بما أنزل هللا إلى الوجود وحزب التحرير هو تكتل سياسي وليس
5
تكتال روحيا وال تكتال علميا وال تعليميا وال تكتال خيريا
“Hizbut Tahrir adalah partai politik, ideologinya Islam, maka politik adalah aktivitasnya
sedangkan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir selalu beraktivitas di antara umat dan
bersamanya untuk menjadikan Islam sebagai petunjuk baginya dan agar menjadi
penuntunnya untuk mengembalikan al-khilafah dan memutus dengan apa yang
diiturunkan Allah kepada wujud. Dan Hizbut Tahrir adalah perhimpunan (organisasi)
yang bersifat politik, bukan organisasi kerohanian, bukan organisasi ilmiah, bukan
organisasi pendidikan dan bukan pula organisasi sosial.”
1
Tulisan ini dipresentasikan pada tanggal 15 Maret 2018 sebagai alat bukti persidangan di
hadapan Majelis Hakim PTUN dalam perkara gugatan TUN yang diajukan oleh ex-HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia) terhadap Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-
30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Kepuitusan Menteri Hukum dan HAM Nomor:
AHU-0028.60.10 Tahun 2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum HTI.
2
Sebagai Saksi Ahli. Ia adalah Rais Syuriah PBNU periode 2010-2015 dan 2015-2020
3
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 259
4
Ibid., hal. 252
5
Hizb al-Tahrir, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 1405/1985), Cetakan 1, halaman 4
1
Dalam buku berbahasa Arab yang berjudul Hizbut Tahrir tersebut dijelaskan tentang
aktivitas atau kegiatan Hizbut Tahrir keseluruhannya adalah aktivitas politik dengan
penjelasan sebagai berikut,
فعمل الحزب كله عمل سياسي سواء أكان خارج الحكم أم كان في الحكم وليس عمله تعليميا فهو ليس مدرسة كما أن
عمله ليس وعظا و إرشادا بل عمله سياسي تعطى فيه أفكار اإلسالم وأحكامه ليعمل بها ولتحمل إليجادها في واقع
6
الحياة والدولة
“Maka aktivias Hizbut Tahrir semuanya adalah aktivitas politik, baik aktivitas itu di luar
hukum atau di dalam hukum. Aktivitasnya bukan bersifat pendidikan, sehingga ia
bukanlah madrasah, sebagaimana bahwa aktivitasnya bukanlah memberikan petuah dan
bimbingan, namun aktivitasnya bersifat politik yang di dalamnya diberikan gagasan-
gagasan Islam dan hukum-hukumnya agar diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan
nyata dan negara (daulah islamiyah).”
Website resmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)--yang merupakan bagian Hizbut Tahrir
(HT)--juga menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang
beridiologi Islam, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga
pendidikan dan bukan pula lembaga sosial yang bermaksud membangun kembali Daulah
Khilafah Islamiyah di muka bumi.
Dalam buku berbahasa Inggris,The Method to Re-Estasblish the Khilafah and Resume the
Islamic Way of Life, yang dirilis oleh Hizbut Britain dinyatakan bahwa Hizbut Tahrir
sebagai partai dimaksudkan untuk bekerja ke arah pembentukan pemerintah, menerapkan
Islam secara komprehensif dan membawa pesannya ke seluruh dunia.7
Dari berbagai kutipan di atas cukup jelas bahwa HTI adalah partai politik yang
merupakan bagian dari Hizbut Tahrir yang juga partai politik, bahkan satu-satunya partai
politik Islam di dunia Internasional.
Ditinjau dari sisi bahasa Arab, kata “khalifah ) ”( خليفةadalah bentuk kata benda tunggal
yang berarti “orang yang mengatur urusan-urusan kaum muslim”, sedangkan bentuk
jamak (plural) nya adalah “khalaif ) ( خالئف.” Adapun kata “khulafa’ ) “ ( خلفاء
merupakan bentuk jamak dari kata “khalif ) ” ( خليفtanpa huruf “ha’ ) “ ( الهاءkarena kata
ini bermakna al-fa’il (kata benda yang menunjukkan pelaku suatu perbuatan). Kata
“khalif” ini adalah asal kata dari “khalifah ) ( خليفة.” Penambahan huruf “ha’ ) ”( الهاء
6
Ibid, halaman 22
7
Hizbut Tahrir Britain, The Method to Re-Estasblish the Khilafah and Resume the Islamic Way of
Life, (London: al-Khilafah Publication, 2000), halaman 88-100
2
padanya adalah mubalaghah (bentuk pernyataan yang dilebihkan/pleonastic) sehingga
menjadi sifat spesifik bagi orang tertentu.8
Menurut Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi (1283 H./1866 M.- 1332 H./1914 M.),
seorang ulama besar dari Syam (Syiria) menuliskan dalam tafsirnya, bahwa firman Allah
dalam Qs. al-Baqarah ayat 30:
وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل في األرض خليفة أي قوما يخلف بعضهم بعضا قرنا بعد قرن كما قال تعالى وهو
9
) 561 : الذي جعلكم خالئف األرض ( األنعام
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan Pemelihara kamu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah,” maksudnya (menjadikan) suatu
kaum menggantikan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, satu generasi sesudah
generasi sebelumnya, sebagaimana firman Allah ta’ala: “Dan Dia-lah yang menjadikan
kamu para khalifah (di) bumi.” (Qs. al-An’am: 165)
Menurut al-Imam al-Qurthubi, kata “khalifah” itu bermakna fa’il (pelaku pekerjaan),
yaitu يخلف من كان قبله من المالئكة في األرض أو من كان قبله من غير المالئكة على ما رويyang
menggantikan orang yang sebelumnya berupa malaikat yang menetap di bumi atau orang
yang sebelumnya (yang tinggal di bumi) dari selain malaikat atas dasar suatu riwayat.
Makna “khalifah” dalam Qs. al-Baqarah ayat 30 ini menurut Ibnu Mas’ud, Ibn ‘Abbas
dan seluruh pakar tafsir adalah Nabi Adam ‘alaihi al-salam, demikian dikeluarkan oleh
al-Imam al-Thabari dalam tafsirnya10. Nabi Adam adalah khalifatullah dalam
melaksanakan hukum-hukum-Nya dan perintah-perintah-Nya, karena ia adalah awwalu
rasulin (orang yang mula-mula diutus oleh Allah) ke bumi11.
هذه األية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع لتجتمع به الكلمة وتنفذ به أحكام الخليفة وال خالف: الرابعة
في وجوب ذلك بين األمة وال بين األئمة إال ما روي عن األصم حيث كان عن الشريعة أصم وكذلك كل من قال بقوله
إنها غير واجبة في الدين بل يسوغ ذلك وإن األمة متى أقاموا حجهم وجهادهم: واتبعه على رأيه و مذهبه قال
وتناصفوا فيما بينهم وبذلوا الحق من أنفسهم وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها وأقاموا الحدود على من
!وجبت عليه أجزأهم ذلك وال يجب عليهم أن ينصبوا إماما يتولى ذلك
8
Muhammad Ibrahim al-Khafnawi, Mu’jam Gharib al-Fiqh wa al-Ushul, (Kairo: Dar al-Hadits,
1430/2009), hal. 233
9
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi al-musamma Mahasin al-Ta’wil, (Kairo: Dar Ihya’
al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1376/1957), Juz 1, Cetakan ke-1, halaman 94
10
Al-Thabari, Jilid 1, halaman 479, 480
11
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-
Mubayyin li Ma Tadlammanahu min al-Sunnah wa Ayi al-Furqan, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1427/2006), Cetakan ke-1, Jilid 1, hal. 394, 395
3
) 66 : يادوود انا جعلناك خليفة في األرض (ص: إني جاعل في األرض خليفة وقوله تعالى: ودليلنا قول هللا تعالى
يجعل منهم خلفاء إلى: ) أي11 : وعد هللا الذين ءامنوا وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في األرض ( النور: وقال
12
غير ذلك من اآلي
Keempat: ayat ini (yakni penggalan firman Allah Qs. al-Baqarah ayat 30) adalah
landasan (dalil) dalam pengangkatan imam dan khalifah yang karenanya ia didengar dan
ditaati, yang dengannya supaya sepakat dalam satu kata dan dengannya hukum-hukum
dari khalifah dilaksanakan. Tidak ada perbedaan terkait kewajiban itu (mengangkat
pemimpin) di antara umat dan para imam, kecuali apa yang diriwayatkan oleh al-Asham
(yaitu ‘Abd al-Rahman bin Kaisan, Syaikh al-Mu’tazilah, wafat tahun 201 H.) di mana ia
tuli dari syari’ah, demikian juga setiap orang yang menyatakan, mengikuti pendapatnya
dan madzhabnya. Ia (al-Asham) berkata, “Sesungguhnya (mengangkat) khalifah itu
bukan kewajiban dalam agama, yang demikian itu hanyalah merupakan kebolehan.
Sesungguhnya apabila umat telah menunaikan haji, jihad mereka dan saling bersikap adil
dalam apa yang di antara mereka, memberikan hak dari diri mereka, mereka membagikan
ghanimah (harta rampasan perang), fai’ dan sedekah kepada yang pantas menerimanya,
mereka menegakkan al-hudud (sanksi pidana yang ditentukan oleh teks al-Qur’an)
kepada orang yang wajib menanggungnya, maka yang demikian itu sudah cukup dan
tidak wajib bagi mereka untuk mengangkat imam (pemimpin) untuk menangani semua
itu.”
Adapun dalil kami adalah firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan satu
khalifah di bumi,” firman Allah, “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami telah
menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi,” (Qs. Shad: 26) dan firman Allah, “Allah
telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa
Dia pasti akan menjadikan mereka penguasa di bumi…” (Qs. al-Nur: 55), maknanya:
Allah akan menjadikan di antara mereka khulafa’ (para khalifah)
Mencermati penafsiran di atas, sangat jelas bahwa firman Allah dalam Qs.al-Baqarah
ayat 30 menyebut kata “khalifah” bukan dalam pengertian dan tidak pula berkonotasi
atau memberikan petunjuk yang jelas untuk menciptakan pemimpin (khilafah) politik,
sistem pemerintahan atau bentuk Negara dalam Islam.
Qs. al-Baqarah ayat 30 di atas dan Qs.Shad ayat 26 yakni firman Allah yang artinya, “Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” adalah dua
ayat yang paling sering dipakai untuk melegitimasi sistem politik dalam Islam
sebagaimana dilakukan HTI dan para pegiat khilafah lainnya. Padahal Qs. al-Baqarah
ayat 30 yang menyebut kata “khalifah” bermakna sebagai khalifatullah (pengganti Allah)
dalam memakmurkan bumi melalui peran manusia dengan berbagai kesempurnaan yang
melekat padanya. Sedangkan Qs. Shad ayat 26 bermakna lebih menunjukkan kepada
tugas untuk memberikan keputusan hukum di antara manusia secara benar dan adil di
mana hal ini ditujukan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam. Jadi, kedua ayat tersebut sama
sekali tidak menunjukkan makna “khalifah” sebagai entitas kepemimpinan politik untuk
12
Ibid.
4
menegakkan sistem khilafah islam yang bersifat internasional (al-khilafah al-islamiyyah
al-‘alamiyyah) sebagaimana ditafsirkan oleh HTI.
Hanya HTI saja yang mewajibkan penegakan sistem khilafah dengan kewajiban
mengangkat satu orang khalifah13 sedangkan di dunia ini hanya boleh ada satu
kekhilafahan saja. Dalam hal ini sebuah buku berbahasa Arab berjudul Ajhizat Daulat al-
Khilafah menjelaskan sebagai berikut,
يجب أن يكون المسلمون جميعا في دولة واحدة وأن يكون لهم خليفة واحد ال غير ويحرم شرعا أن يكون للمسلمين في
14
العالم أكثر من دولة واحدة وأكثر من خليفة واحد
“Semua orang muslim wajib berada di dalam satu negara dan (wajib) hanya memiliki
satu khalifah, tidak ada yang selainnya. Menurut syara’ haram bagi orang-orang muslim
memiliki lebih banyak dari satu negara di dunia ini dan (haram) memiliki lebih dari satu
khalifah.”
Padahal tidak ada seorang pun dari ulama madzhab Sunni dalam kitab-kitab mereka yang
mewajibkan hanya ada satu negara yang sah di dunia yang sangat luas ini yang wajib
berada dalam genggaman kekuasaan satu orang khalifah. Kitab-kitab fikih empat
madzhab hanyalah mewajibkan pengangkatan pemimpin (nashb al-imam) sebagaimana
kewajiban tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan al-ijma’ (konsensus
ulama). Tidak ada satupun teks-teks fikih klasik itu menyebut kata “khilafah”
sebagaimana yang dimaksudkan oleh HTI. Bahkan, tidak ada satu pun dalil nash (teks al-
Qur’an dan al-Sunnah) yang secara sharih (jelas dan nyata) menyatakan wajib
mendirikan khilafah sebagaimana yang dimaksudkan oleh HTI.
Dalam hal ini HTI telah melakukan pengalihan makna kata khalifah yang disebut dalam
al-Qur’an dan yang tercantum dalam kitab-kitab fikih klasik kepada makna khilafah
sebagai sistem politik dan pemerintahan atau bentuk negara islami yang bersifat
internasional (al-khilafah al-islamiyyah al-‘alamiyyah), suatu makna yang sedikitpun
tidak dimaksudkan oleh para ulama pada masa lalu itu, lebih-lebih untuk konteks saat ini
di mana seluruh dunia telah terbagi-bagi menjadi negara bangsa (nation state).
Dengan demikian cukup jelas, bahwa HTI sengaja mengutip teks-teks baik berupa ayat
al-Qur’an yang menyebutkan kata khalifah dan derivasinya, mengutip penjelasan para
mufasir terkait ayat tersebut dan juga mengutip pendapat para ahli fikih tentang hukum
nasb al-imam (pengangkatan pemimpin) adalah sekedar klaim pembenar sepihak dan
(seluruh kutipan itu) pada hakikatnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan upaya
13
‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-hukmi fi al-Islam, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat,
2002/1422), halaman 43. Menurut ‘Abd al-Qadim Zallum, ia seorang pimpinan tertinggi Hizbut
Tahrir saat ini, bahwa hanya wajib mengangkat satu orang khalifah saja berdasarkan hadits
riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri dari Rasulullah SAW., beliau bersabda, “Apabila dua
khalifah dibaiat maka bunuhlah yang lain (salah satu) dari keduanya.”
14
Ajhizat Daulah al-Khilafah fi al-Hukmi wa al-Idarah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat,
2005/1426), halaman 37
5
penegakan kembali khilafah sebagaimana yang dimaksudkan dan diperjuangkan oleh
HTI, yakni dalam makna sistem politik dan pemerintahan atau bentuk negara.
Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh al-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pada 28
Jumada al-Tsaniah 1372 H. atau bertepatan dengan tanggal 14 Maret 1953 atau 1372 H.
di Al-Quds15 (Baitul Maqdis), Palestina dan baru memasuki Indonesia tahun 1980-an dan
kemudiaan diberi nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sama sekali tidak memiliki bukti
nyata turut andil dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia,
memerdekakannya dari cengkeraman mereka, mempertahankan kemerdekaan dan HTI
sama sekali tidak terlibat dalam perintisan berdirinya NKRI, namun paling lantang
memperjuangkan tegaknya kembali sistem dan bentuk negara khilafah islamiyyah,
padahal HTI di Indonesia adalah satu-satunya organisasi Islam yang dikendalikan oleh
suatu kepemimpinan asing yang agendanya secara fundamental transnasional.
NKRI adalah hasil kesepakatan final bersama seluruh rakyat Indonesia dalam mendirikan
negara. Ide dan tujuan HTI yang berjuang untuk mendirikan negara berbentuk khilafah
islamiyyah adalah bentuk pengkhianatan atas konsensus kebangsaan (al-mu’ahadah al-
wathaniyyah) dan bukti nyata perlawanan terhadap kesepakatan final seluruh rakyat
Indonesia tentang bentuk negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu.
Sikap HTI jelas menentang sikap kebangsaan dan kenegaraan seluruh pendiri bangsa,
khususnya perjuangan mendirikan NKRI itu yang tidak bisa sama sekali dipisahkan dari
perjuangan para ulama/para kyai NU, para santri dan warga NU. Pernyataan ini bukanlah
omong kosong karena dapat dibuktikan oleh banyaknya tokoh NU yang bergelar sebagai
Pahlawan Nasional seperti Hadrat al-Syaikh Hasyim Asy’ari16, KH. Abdul Wahid
Hasyim17, KH. Zainul Mustofa18 dari Tasik Malaya, Jawa Barat, KH. Wahhab
Hasbullah19, KH. Idham Chalid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, Jawa
Timur.
15
Hizb al-Tahrir, ( Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 1985/1405), halaman 17
16
Hadratusy-Syaikh Hasyim Asy’ari adalah pendiri sekaligus Rais Akbar NU yang pernah
mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945. Ditetapkan sebagai pahlawan
nasional pada 17 Nopember 1964 berkat jasanya yang besar bagi negara dengan melawan penjajah
dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
17
Beliau adalah salah seorang anggota Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
18
KH. Zainal Mustofa yang pernah menjadi Wakil Rais Syuriah NU secara terang-terangan
melawan para penjajah Belanda dan juga turut mengusir penjajah Jepang. Atas jasanya yang besar
bagi rakyat Indonesia itu beliau dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1972.
19
KH. Abdul Wahhab Hasbullah sejak tahun 1924 telah mengusulkan dibentuknya perhimpunan ulama
untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis. Selain sebagai salah seorang pendiri NU (dan pernah
menjabat posisi Rais Aam PBNU), sebelumnya beliau adalah pendiri Tashwirul Afkar, pendiri Nahdlatut
6
Oleh sebab itu, setelah Indonesia merdeka para ulama NU sepanjang masa berjuang keras
tak kenal lelah untuk mengisi kemerdekaan dengan membangun bangsa dan negara,
mempertahankan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Hal ini sejalan dengan perintah dan
tujuan agama yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umum dan menghindarkannya dari
segala macam kemafsadatan. Dan yang terpenting adalah bahwa para ulama, tokoh NU
dan warganya selalu berada di barisan terdepan mengawal dan turut menjaga keutuhan
dan kedaulatan NKRI. Keutuhan dan kedaulatan NKRI sebagai warisan ulama NU dan
para pendiri bangsa selainnya untuk selamanya harus dijaga dari segala ancaman baik
yang muncul dari dalam maupun dari luar. Belajar kepada sejarah perjuangan dan
berdirinya NKRI kita perlu merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang pada intinya
menyatakan bahwa menurut hukum Islam menegakkan NKRI hukumnya wajib ‘ain
(kewajiban bagi setiap muslim) dan termasuk jihad fi sabilillah.
Menurut hukum Islam, NKRI adalah negara yang sah. Wilayah NKRI adalah wadah
besar untuk hidup bersama secara harmonis bagi seluruh rakyatnya yang memiliki
identitas sangat beragam. Di dalamnya dijamin kebebasan beragama. Setiap umat Islam
bisa dengan bebas mengamakan ajaran agamanya, bebas beribadah, bisa bertakwa
sesempurna mungkin dan tidak pula terhalang untuk berdakwah.
Hizbut Tahrir (HT) menyatakan bahwa al-‘aqidah al-islamiyyah adalah dasar (azas)
negara…dan dalam waktu yang bersamaan adalah azas konstitusi dan perundang-
undangan yang bersifat syar’i21 di setiap zaman dan tempat 22. Menurut HT pada negara
Tujjar, pendiri Madrasah Nahdlatul Wathan yang ketiganya adalah cikal bakal organisasi NU. Anugerah
sebagai Pahlawan Nasional ditetapkan pada tanggal 8 Nopember 2014.
20
Allah berfirman, )501 : “ واعتصموا بحبل هللا جميعا وال تفرقوا (ال عمرانDan berpeganglah kamu semua
kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Ali Imran: 103). Mengutip perkataan
Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi menulis, فإن هللا يأمر باأللفة وينهى عن الفرقة فإن
“ الفرقة هلكة والجماعة نجاةmaka sesungguhnya Allah memerintahkan sikap lemah lembut dan
melarang perpecahan, sesungguhnya bercerai berai itu kerusakan sedangkan bersatu itu
keselamatan.” Syams al-Din al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Riyadl: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
[t.th.]), Jilid 4, halaman 159
21
Min Mansyurat Hizb al-Tahrir, Muqaddimah al-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu, (Beirut-
Lebanon: Dar al-Ummat, 2009/1430), halaman 4
22
Ibid, halaman 6
7
islam (al-daulah al-islamiyyah) tidak boleh ada ide, paham, hukum dan ukuran kecuali
yang bersumber pada al-‘aqidah al-islamiyyah.23 Dalam buku Muqaddimah al-Dustur
tertulis sebagai berikut,
فال تسمح بمفهوم غير منبثق عنها فال يسمح بمفهوم الديمقراطية أن يتبنى في الدولة ألنه غير منبثق عن العقيدة
اإلسالمية فضال عن مخالفته للمفاهيم المنبثقة عنها
“Tidak boleh ada paham selain yang bersumber darinya (al-‘aqidah al-islamiyyah),
negara tidak diperkenankan mengadopsi paham demokrasi karena tidak bersumber dari
al-‘aqidah al-islamiyyah, lebih-lebih paham demokrasi itu bertentangan dengan paham-
paham yang bersumber darinya.”24
Kutipan di atas cukup membuktikan bahwa HTI selain anti terhadap platform bersama
yang mengikat seluruh warga negara dan bangsa Indonesia yaitu dasar negara dan
ideologi Pancasila dan juga anti kepada UUD 1945, UU dan peraturan-peraturan di
bawahnya, karena bukan digali dari al-‘aqidah al-islamiyyah, dan juga cukup
menjelaskan bahwa HTI juga tidak mengakui eksistensi demokrasi, padahal NKRI
ditegakkan berdasarkan demokrasi Pancasila.
Dengan demikian ide dan aktivitas HTI pada hakikatnya juga tidak menyetujui para
perumus Pancasila dan UUD 1945 yang di antara mereka adalah para ulama besar NU
yang mereka adalah anggota BPUPKI seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur dan
lain-lain. Selanjutnya melalui Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Sukorejo,
Asembagus, Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 telah disepakati Deklarasi
Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam yang bunyinya antara lain, “Pancasila sebagai
dasar dan falsafah NKRI bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak
dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama....Penerimaan dan
pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya dari umat Islam untuk
menjalankan syari’at agamanya.”
Kita tidak boleh melupakan sejarah dan tentulah wajib belajar darinya, bahwa sejak
menjelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 ide untuk mewujudkan Negara Islam
sudah mengancam keutuhan NKRI, sebagaimana ide untuk mendirikan Darul Islam (DI)
dengan diproklamirkannya Negara Islam Indonesia (NII) oleh imamnya, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewiryo, dengan prinsip bahwa negara berdasarkan Islam, bentuk
pemerintahan Khilafah Islamiyah yang memberlakukan hukum Islam tertinggi, yaitu al-
Qur’an dan al-Sunnah, serta meyatakan bahwa negara berkewajiban untuk membuat
undang-undang berlandaskan syariat Islam, sedangkan orang-orang yang menolak cita-
cita atau ide tersebut mereka kafirkan dan karenanya mereka perangi.
23
‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-hukmi fi al-Islam, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2002/1422)
halaman 19
24
Ibid, halaman 7
8
Bahkan DI/TII dalam rentang waktu yang relatif lama (1947-1962) juga memaklumkan
permusuhan, perlawanan dan pemberontakan terbesarnya di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan Selatan terhadap pemerintahan RI yang baru saja
berdiri secara sah . Dalam kasus ini pemerintah RI bersama rakyat menumpas para
pemberontak DI/TII dan mengekskusi mati tokoh utamanya, Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiryo, demi mengamankan dan menyelamatkan negara kita.
Sikap tegas pemerintah RI menumpas DI/TII tersebut sudah benar dan sejalan dengan
tuntunan ajaran Islam, karena beberapa alasan berikut: (1) menghindari cita-cita dan
sikap pengkhianatan terhadap konsensus bangsa Indonesia; (2) menghindari terjadinya
disintegrasi bangsa dalam wadah NKRI; (3) mencegah meluasnya saling benci dan
permusuhan, menghindari pertumpahan darah akibat perang saudara dan melindungi
segenap warga negara Republik Indonesia.
Menurut hukum Islam, NKRI adalah negara yang sah dan pemerintahannya juga
pemerintahan yang sah. Ajaran agama Islam melarang rakyatnya melakukan
pemberontakan kepada pemerintah yang sah. Ajaran Islam justru memberikan pernyataan
perlunya taat kepada makhluk, termasuk pemerintah yang sah, sepanjang tidak
diperintahkan untuk maksiat (durhaka) kepada Allah. Al-Imam al-Nawawi menegaskan
adanya ijma’ (konsensus) ulama, bahwa melakukan tindakan makar atau memberontak
terhadap pemerintahan yang sah adalah haram, meski pemerintahan fasik atau zalim.
25
وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجمع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين
‘Adapun keluar dari ketaatan kepada pemerintah dan memeranginya maka hukumnya
haram berdasarkan ijma’al-muslimin, meskipun mereka fasik dan zalim.”
Bahwa Hizbut Tahrir secara terang-terangan menyatakan dalam buku berbahasa Arab
yang dipublikasikannya, bahwa demokrasi adalah sistem kekafiran (nidzamu kufrin) yang
haram mengambilnya, menerapkannya dan haram pula menyeru kepadanya26. Terkait
pandangannya tentang demokrasi salah seorang pucuk pimpinan Hizbut Tahrir, ‘Abd al-
Qadim Zallum, dalam bukunya menulis,
25
Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,
1392), Jilid 12, halaman 229
26
‘Abd al-Qadim Zallum, al-Dimoqratiyyah Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw al-Da’wah
ilaiha, hal. 1
9
الديمقراطية التي سوقها الغرب الكافر إلى بالد المسلمين هي نظام كفر ال عالقة لها باإلسالم ال من قريب وال من بعيد
وهي تناقض مع أحكام اإلسالم تناقضا كليا في الكليات وفي الجزئيات
“Demokrasi yang dipasarkan oleh Barat yang kafir ke negara-negara kaum muslim
adalah sistem kekafiran (nidzamu kufrin), Islam tidak ada hubungan dengannya, tidak
dari dekat dan tidak pula dari jauh. Demokrasi menentang hukum-hukum Islam dengan
penentangan yang bersifat menyeluruh, baik dalam perkara yang bersifat universal (al-
kulliyyat) dan perkara yang bersifat parsial (al-juz’iyyat).27
Penolakan terhadap demokrasi juga diungkapkan dalam buku berbahasa Arab yang
dijadikan sumber rujukan dan diadopsi oleh Hizbut Tahrir, Ajhizat Daulah al-Khilafah,
sebagai berikut,
والخالصة إن الديمقراطية نظام كفر ليس ألنها تقول بانتخاب الحاكم فليس هذا هو الموضوع األساس بل ألن األمر
28
إن الحكم إال هلل: األساس في الديمقراطية هو جعل التشريع للبشر وليس هلل رب العالمين وهللا سبحانه يقول
Penolakan HTI terhadap sistem demokrasi dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia—dengan demikian—membawa konsekwensi yang diwujudkan
oleh HTI dengan cara tidak melibatkan diri dalam setiap proses demokrasi, yakni tidak
mengikuti proses pemilihan umum presiden, pemilihan umum legislatif dan pemilihan
kepala daerah.
Penolakan HTI secara mutlak terhadap demokrasi sesungguhnya tidak sejalan dengan
ajaran Islam. Ada banyak nilai-nilai atau substansi demokrasi yang sejalan dan bahkan
terdapat dalam ajaran Islam, seperti demokrasi untuk melawan kesewenang-wenangan
para tiran jelas tidak bisa disebut sebagai kemungkaran apalagi kekafiran. Contoh
lainnya, bahwa Islam sepakat dengan demokrasi terkait pemilihan pemimpin. Dalil
terkuat untuk topik memilih pemimpin adalah bahwa Islam mengingkari seseorang yang
menjadi imam shalat atas para makmum yang membencinya, maka demikian pula
pandangan kita dalam masalah politik. Dan tentu ada banyak hal lain dalam demokrasi
yang tidak serta merta diberi stigma kufr (kekafiran) seperti pemilihan umum, meminta
fatwa, memenangkan suara terbanyak, multi partai, kebebasan pers, independensi hakim,
hak minoritas dan sebagainya.
27
Ibid, halaman 2
28
Ajhizah Daulat al-Khilafah fi al-Hukmi wa al-Idarah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2005/1426),
Cetakan ke-1, halaman 17
10
Sesungguhnya agama Islam tidak pernah melarang adopsi suatu gagasan dari non
muslim, sebagaimana Rasulullah menerima ide dari Persia untuk membuat parit pada
perang Khandaq, sebagaimana beliau memanfaatkan tawanan yang terdiri dari orang-
orang musyrik untuk mengajarkan baca tulis kepada umat Islam masa itu. Demikian
halnya beliau juga bisa menerima ide pemberian cap atau stampel pada surat-surat yang
dikirimkan kepada para raja. Dan juga Umar bin al-Khaththab bersedia menerima ide
administrasi perkantoran dan pengadministrasian jizyah (pajak).
Dari sini, tidaklah niscaya bahwa penerimaan terhadap demokrasi bermakna mengganti
hukum Allah, karena tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Demokrasi yang perlu
dibangun dan berlaku di negara-negara muslim adalah yang sejalan dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam hal politik seperti kewajiban memilih
pemimpin, pengakuan atas musyawarah untuk mufakat, nasehat, perintah untuk berbuat
kebajikan, pelarangan terhadap kemungkaran, melawan kezaliman dan sebagainya.
Selanjutnya HTI juga melarang kecintaan kepada tanah air (nasionalisme) dalam apa pun
istilahnya sebagaimana ditulis oleh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam buku Nidzam al-Hukmi
fi al-Islam, sebuah buku yang mengulas lebih luas dan diadopsi dari Kitab Nidzam al-
hukmi fi al-Islam yang disusun oleh pendiri Hizbut Tahrir, Taqiy al-Din al-Nabhani
sebagai berikut,
وال يجوز أن يكون لمفهوم القومية أي اعتبار ألنه غير منبثق عن العقيدة اإلسالمية فضال عن أن المفاهيم المنبثقةعنها
29
جاءت تذمه وتنهى عنه وتبين خطره وال يصح أن يكون لمفهوم الوطنية أي وجود ألنه غير منبثق عن هذه العقيدة
“Tidak boleh ada paham kebangsaan apapun ungkapannya, karena hal itu tidak
bersumber dari al-‘aqidah al-islamiyyah, lebih-lebih konsep-konsep yang bersumber dari
al-‘aqidah al-islamiyyah mengecamnya, melarangnya dan menjelaskan bahayanya. Dan
(juga) tidak sah adanya paham nasionalisme apa pun wujudnya karena nasionalisme tidak
berasal dari akidah ini.”
Lahirnya negara-negara bangsa (nation state) di seluruh wilayah dunia dengan bentuknya
sesuai kesepakatan masing-masing para pendirinya merupakan kenyataan yang tidak bisa
diingkari oleh manusia yang berakal sehat. Sebagaimana senyatanya tidak dapat diingkari
bahwa tidak ada satu pun negara di dunia ini yang memiliki sistem pemerintahan dan
bentuk negara al-khilafah al-islamiyyah, apalagi yang bersifat al-‘alamiyyah
(internasional) di bawah komando satu khalifah untuk mengatur umat manusia sedunia.
29
‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2002/1422),
halaman 19, 20
11
Menegakkan kembali al-khilafah al-islamiyyah pada saat semua negara di dunia ini telah
sepakat menjadi nation state (negara bangsa), sebagaimana NKRI, merupakan ilusi atau
kemungkinan yang sangat sulit dicapai karena beberapa alasan:
(1) Umat manusia, khususnya umat Islam yang senyatanya menganut berbagai madzhab
dan aliran yang sangat beragam, tidak akan menyepakati siapa khalifahnya dan
mustahil tunduk pada satu sistem pemerintahan al-khilafah al-islamiyyah
sebagaimana diperjuangkan oleh HTI dan yang sejenisnya.
(2) Terjadi perebutan kekuasaan, perubahan sistem pemerintahan dan bentuk negara
berpotensi besar menimbulkan sengketa, mengakibatkan perpecahan, konflik dan
pertumpahan darah, dan bahaya besar lainnya,
(3) Tidak akan ada sejengkal wilayah kekuasaan dan kedaulatan satu negara bangsa pun
yang diserahkan secara damai dan gratis kepada HTI dan yang semisalnya,
(4) Sangat tidak mungkin menyatukan berbagai negara dengan bentuk negara yang
sangat beragam itu (sedangkan nyata-nyata tidak satupun negara bangsa di dunia ini
yang berbentuk negara al-khilafah al-islamiyyah).
(5) Negara yang ada saat ini di seluruh penjuru dunia, khususnya NKRI, tidak dapat
dibubarkan dengan alasan membentuk ulang negara dengan sistem khilafah. UUD
1945 Pasal 37 ayat 5 menegaskan “Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”
1. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin
melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya, kendati
tidak dalam konsep yang utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip
dasar (mabadi’ asasiyyah). Dalam hal ini Islam telah memberikan panduan
(guidance) yang cukup bagi umatnya.
2. Mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan manusia
akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan para ulama terkemuka, antara lain:
a. Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din:
الدين والملك توأمان فالدين أصل والسلطان حارس فما ال أصل له فمهدوم وما ال حارس له فضائع
12
b. Syaikh al-Islam Taqiy al-Din Ibn Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah fi
Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah:
إن والية أمر الناس من أعظم واجبات الدين إذ ال قيام للدين إال بها
“Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan
lahiriah”.
“Yang menjadi pegangan pokok adalah sesuatu yang diberi nama, bukan nama itu
sendiri”
13
14