Anda di halaman 1dari 4

Social control is the process whereby conformity to norm is maintained in a society.

Without social control, society and human system would not be possible. We can see instances of

social control by simply calling attention to everyday, taken for granted events around us. Your

professor shows up each day at approximately the correct time, so do you. Most students sit

quietly in the class, most are polite and follow the proper procedure for asking question. We all

drive on the right side of the road, stop at red light, and use our turn signal. We go to the bank

and we are sure that people will be there to help us. These are common place events, but they are

what make society possible. Despite tendencies for deviation, most people most of the times are

willing to occupied key status positions, recognize relevant norm and play appropriate rules.

Kontrol sosial adalah proses penyesuaian norma ditegakkan dalam masyarakat. Tanpa

kontrol sosial, aturan masyarakat dan manusia tidak mungkin ada. Kita dapat melihat contoh dari

kontrol sosial dengan memperhatikan sehari-harinya, dari kejadian-kejadian di sekitar kita.

Dosen kalian datang tepat waktu setiap hari, dan kalian juga. Kebanyakan siswa duduk dengan

tenang di dalam kelas, sebagian besar sopan dan mengikuti aturan yang sesuai untuk bertanya.

Kita semua berkendara di sisi kanan jalan, berhenti pada saat lampu merah, dan menyalakan

rihting saat belok. Kita pergi ke bank dan yakin bahwa akan ada orang di sana untuk membantu

kita. Ini merupakan peristiwa-peristiwa umum, tapi itulah yang memungkinkan masyarakat ada.

Di samping kecenderungan untuk menyimpang, kebanyakan orang sepanjang waktu ingin

mendapatkan posisi, mengetahui norma yang berhubungan dan menjalankan aturan-aturan yang

sesuai.
Jembatan

Biasanya terbuat dari batang kayu yang kokoh yang telah dibawa dengan susah payah
oleh para pekerja yang berjuang berhari-hari untuk membawanya ke sungai. Itu diletakkan
dengan potongan-potongan bambu yang akan berbunyi seperi music setiap kali kalian berjalan di
atasnya. Aku suka menikmati bersepeda melewati potongan-potongan bambu itu ketika masih
kecil. Seperti bersepeda di atas alat musik Gambang.
Itu ketika aku masih kecil, aku rasa, tak berdosa, tapi sekarang banyak hal sudah berubah.
Sekarang, ketika aku kembali ke desa, aku melihat jembatan musik goyang tua itu hilang.
Sekarang desa sudah jauh lebih kokoh, aku rasa, jembatan yang lebih bagus yang terbuat dari
bati yang dipotong dan dipasang dengan baik; tapi kurang menyenangkan.
Kemajuan dan perubahan sudah dating, bahkan pada desa kecil ku, dimana aku kembali
setelah bertahun-tahun pergi.
Mungkin aku kembali berharap tidak ada yang berubah.
Aku tahu bahwa aku sudah banyak berubah, bahwa aku sudah mengalami banyak hal,
tapi mungkin aku berharap segalanya tetap seperti semula.
Mungkin aku mengharapkan jembatan goyang tua ku dan musiknya.

***

Aku menyeberangi jembatan itu bertahun-tahun lalu, ketika aku meninggalkan desa ku
untuk ke kota besar. Mereka berkata bahwa kamu seharusnya “tak pernah membakar jembatan di
belakangmu”, dan aku takkan pernah membakar jembatan bambu tua itu dan tak pernah ingin
membakar jembatan ke desa ku atau pun keluarga ku. Tapi kadang, apa yang kita inginkan bukan
yang kita dapat atau apa yang kita akan pilih untuk terjadi pada kita.
Aku tumbuh di desa kecil itu dan memiliki kenangan bahagia masa kecilku di sana, tapi
saat aku tumbuh, sepertinya semangat petualanganku tumbuh dengan cepat, juga.
Aku memiliki ingatan yang jelas tentang jembatan bambu tua itu karena aku akan sering
menyeberanginya ketika meninggalkan desa kami dan menuju kota terdekat dari Madiun.
Kehidupan desa bukan untuk ku, dan meskipun Madiun tidak dapat benar-benar
dikatakan “kota besar”, itu memberi ku rasa dari jalan hidup yang sedikit berbeda; kehidupan
dengan lebih banyak perbedaan dan perubahan. Segera aku bertemu dengan orang-orang yang
mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu, cara bicara yang berbeda, dan
perbedaan mereka mulai membuatku berbeda dari orang-orang di desa ku.
Apakah aku salah untuk menginginkan sesuatu yang lebih dalam kehidupanku daripada
hanya dengan kehidupan desa yang sederhana itu? Aku tak berfikir begitu dan lalu aku
bertengkar dengan ayah ku untuk mengejar kehidupan yang ku pilih. Bukan kehidupan yang dia
pilih untuk dirinya dan bukan juga yang dia pilihkan untuk ku, tapi aku tidak dapat kembali.
Aku harus melakukan apa yang benar untuk ku.
Pada hari aku meninggalkan desa kami, ayah ku berjalan sekitar 20 meter di belakang ku,
sepanjang jalan menuju jembatan. Sesampainya aku di jembatan, aku mendengan dia batuk dan
aku menengok untuk melihatnya menatap ku dengan sorotan mata yang tajam.
Itu hampir seperti dia sedang menantang ku, melihat ku seperti aku takkan berani
menyeberangi jembatan itu. Aku berbalik dan menentang dia, aku melangkahkan kaki ku dengan
hati-hati pada potongan bambu saat menyeberangi jembatan itu. Bambu itu berbunyi dengan
keras dan kadang aku merasa bambu itu menjepit langkah kaki ku yang berat, tapi aku tetap terus
berjalan.

***

Aku tak pernah menengok ke belakang. Aku mengarahkan diriku untuk kehidupan dan
karir ku.
Dari Madiun, aku pergi ke Surabaya dan menemukan pekerjaan dengan sebuah
perusahaan dagang internasional. Ambisi dan arah ku membuat ku mendapatkan pengakuan di
dalam perusahaan dan tiba waktunya, aku dikirim ke Eropa dan Amerika untuk berlatih dan
belajar.
Semua ini semakin mengubahku, dan kehidupan desa dan keluarga ku memudar menjadi
asing. Sedikit demi sedikit, aku merasa seperti masa lalu ku asing bagi ku.
Aku akan mengirim kartu pos dan surat untuk keluarga ku, tapi balasan mereka
menunjukkan ku betapa berbedanya aku sekarang. Tahun-tahun berlalu, dan meskipun aku sering
memikirkan mereka, aku tetap tak dapat membuat diriku kembali. Rasanya aneh dan dalam
beberapa hal, aku takut mengetahui perubahan ku.
Tapi sekarang aku berdiri di depan jembatan batu yang berada di tempat jembatan bambu
ku pernah berdiri.
Kenapa akhirnya aku kembali? Karena aku harus kembali.

***

Ayah ku telah mati dan aku harus kembali, tapi aku kembali dengan begitu banyak
kekhawatiran dan keraguan. Aku mulai berjalan ke jembatan dan saat itu, aku melihat ibuku
perlahan mendekat di sisi lain. Aku mempercepat untuk mencoba dan mencapai dia secepatnya,
tapi dia berteriak, “Jangan, berhenti di sana. Tunggu aku di jembatan!”
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, aku melakukan apa yang diperintahkan,
aku menuruti ibu ku.
Dia mendekat perlahan dan aku takut untuk bicara. Saat dia akhirnya sampai di jembatan,
kata-kata meledak dari mulutku, tapi dia hanya mengangkat jarinya dan berkat, “Dia dan
dengarkan.”
Lagi, aku melakukan apa yang diperintahkan.
Dia berkata: “Sepanjang tahun-tahun yang berlalu itu, ketika kamu menentang ayahmu
dan menyeberangi jembatan yang berada dimana jembatan ini berdiri. Kamu tidak menoleh ke
belakan untuk melihat apa yang terjadi.”
Aku meluruskan punggung ku dan siap untuk menjelaskan dan melanjurkan pertentangan
ku, tapi ibu mengabaikan ku.
“Ayah mu berlutut hari itu dan menangis, tapi ketika dia berhenti menangis, dia berbalik
pada ku dan berkata, ‘Anak itu akan melakukan hal besar. Meskipun dia menentang ku, aku tahu
pergi untuk melakukan yang terbaik untuknya dan hidupnya.’”
“Lalu dia memutuskan bahwa dia akan membangun jembatan baru untuk desa; jembatan
tempat kita berdiri sekaran. Dia tidak mengizinkan siapa pun membantunya. Dia berkata dia aka
membangunnya sendiri, untuk anaknya. Itu akan menjadi jembatan untuk anaknya kembali
padanya.”
“Meskipun dia telah tiada sekarang, jembatan ini masih ada. Percayalah padaku, anak ku
yang tersayang, dengan itu dia menyambutmu pulang ke rumah sekarang.”
Saat berkata begitu dia menunjuk ke tulisan ujung jembatan, yang berbunyi:
“Selamat dating, anak ku. Meskipun kamu telah berpergian jauh, kamu selalu ada di sini
di hati ku. Sekarang kamu telah menyeberangi jembatan yang aku bangun untuk mu dan aku
bahagia melihat mu di rumah lagi.”
Sesak, tak dapat berkata-kata, aku berbalik pada ibu ku dan aku menyadari, meskipun aku
menjelajahi dunia dan melakukan begitu banyak hal berbeda, aku tetap dari desa kecil di Jawa
ini, masih bagian dari keluarga ku.
Semoga ayah ku istirahat dengan tenang. Aku mencintainya dan kedua jembatan kami –
jembatan bambu tua masa kecilku dan jembatan batu yang dibangun ayah untuk ku.
Aku berdiri di atas jembatan itu sekaran dan tahu bahwa dia melihatku, menyambut ku
pulang.
ORANG TERAKHIR YANG BERTAHAN

Di sana di berdiri, sendiri bertahan dari hiruk-piruk pembangunan yang merusak pemandangan
pedesaan Bali.

Ada sepetak kecil tanah yang terhimpit antara perumahan mewah dan sungai yang berada
di belakang rumah ku. Itu merupakan lahan kecil yang sangat diinginkan para pengembang di
area ini. Pepohonan yang berjajar di sungai merupakan rumah bagi begitu banyak burung dan
pada malam hari katak-katak bernyanyi sepanjang malam.

Itu merupakan lahan padi sederhana untuk standar Bali, 50 are dalam ukuran local
(sekitar 50 meter persegi). Hanya sekitar 30 are yang masih dapat ditanami. Sisanya terlalu
kering sekarang. Perumahan memperlambat aliran air, tapi sebagian besar saluran air tersumbat
sampah sehingga menyebabkan lahan kering.

Tetap saja, petani datang setiap hari untuk merawat lahannya dan memaksa agar dapat
panen dua kali dalam setahun. Area lain yang teraliri air dengan baik dapat memperoleh tiga
panen dalam setahun, tapi menunggu hujan datang kelihatannya membutuhkan waktu yang lama
di pojok Bali ini.

Aku bertanya jika ada sebuah Klian Subak atau pengatur irigasi, orang yang bertugas
untuk memastikan semua lahan menperoleh aliran air yang cukup. Memang ada sebuah Klian,
tapi terhalang oleh gunungan sampah yang menyumbat pada saluran air.

Selama musim hujan lahan yang tidak terpakai tidak dapat menyerap air yang terlalu
banyak dan airnya meluber menyeberangi jalan, dengan cepat memindahkan gundukan-
gundukan sampah dari sisi jalan yang satu ke sisi yang lain.

Tapi, di samping momok kehidupan modern, Orang Terakhir yang Bertahan di Seminyak
berada di sana siang malam untuk memeriksa lahannya. Aku sering melihatnya hanya berdiri dan
melihat-lihat untuk waktu yang lama. Dia membelaikan tangannya pada batang padi yang
memanjang, mencabut rumput liar, dan mengusir burung-burung. Hubungannya dengan lahan itu
sudah sangat lama. Tidak diragukan lagi kakek buyut-kakek buyutnya berdiri di sana dan
menatap batang padi yang menguning di siang hari. Dan semua berharap dan berdo’a pada tuhan
untuk panen yang baik.

Aku sering bersandar di pagar dan melihat perkembangan padi itu. Aku kagum oleh
prosesnya. Disamping semua bentuk pertanian modern, padi ditanam, dipanen dan dikupas
dengan cara lama. Itu melelahkan, pekerjaan yang secara fisik melelahkan, semua dikerjakan
dengan tangan.

Aku prihatin melihat sekelompok wanita datang dengan topi kerucut mereka, yang
dipakai di seluruh Asia sepanjang abad. Mereka bergerak dengan cepat, memotong dengan sabit
mereka, membuat

Anda mungkin juga menyukai