Anda di halaman 1dari 7

JUDUL JURNAL : Application of a Hierarchical Model for City Competitiveness in Cities of

India

PENULIS : Shaleen Singhal, Stanley McGreal, Jim Berry

KUMPULAN JURNAL : Cities

TAHUN TERBIT : 2013

DESKRIPSI :

Saat ini, sebagian besar kota di dunia menggunakan regenerasi dan strategi bisnis terkait
sektor properti untuk meningkatkan daya saingnya. Kota-kota besar di dunia yang menjadi aset
nasional, meningkatkan produktivitasnya dengan memanfaatkan peluang untuk mengembangkan
sekaligus menarik perhatian dunia bisnis. Di sisi lain, kota-kota yang menghadapi permasalahan
penurunan ekonomi, ketidakstabilan sosial, serta permasalahan ekonomi dan lingkungan menjadi
beban bagi perekonomian nasional sehingga membutuhkan strategi yang lebih efektif untuk
meningkatkan daya saingnya. Pada umumnya, kota dengan tingkat daya saing yang tinggi merupakan
kota yang memiliki tingkat kerjasama yang baik antara sektor publik dan sektor privat untuk menarik
kegiatan bisnis dan investasi sekaligus mempromosikan peran administarsi publik, sektor bisnis
eksisting dan ketertarikan masyarakat untuk memeroleh keuntungan dari persaingan yang ada.

Untuk mengetahui sejauh mana tingkat daya saing kota dipengaruhi oleh regenerasi kota dan
strategi bisnis terkait properti, diperlukan sebuah pemodelan hirarkis. Melalui pemodelan ini, dapat
diketahui komponen-komponen utama yang dapat memengaruhi daya saing suatu kota. Selain itu
dapat diketahui pula faktor-faktor pendukung komponen utama yang memberikan pengaruh paling
besar bagi peningkatan daya saing kota. Dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut, maka dapat
ditentukan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dari suatu kota.

PENJELASAN :

Fenomena daya saing kota sejatinya bersifat multi dimensi dan kompleks dimana terdapat
banyak perbedaan opini dan pandangan. Salah satu pandangan mengenai daya saing kota dinyatakan
oleh Singhal, Berry dan McGreal yang mendefinisikan bahwa daya saing merupakan sebuah fenomena
yang berhubungan dengan usaha dari suatu kota untuk meningkatkan performanya dengan
memanfaatkan peluang baru untuk berkembang sekaligus melawan permasalahan yang ada melalui
cara-cara berkelanjutan.

Di India, daya saing kota-kota yang ada dinilai melalui beberapa penelitian. Salah satunya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Jones Lang Lasalle Meghraj (JLLM, 2007). Penelitian tersebut
menilai daya saing kota berdasarkan daya tarik suatu kota untuk mendatangkan investasi yang dinilai
berdasarkan pergerakan aktif dana real estate. Dari penilaian tersebut, terbentuk klasifikasi kota yang
terbagi dalam tiga tingkatan yaitu Tier I (main metropolitan cities), Tier II (emerging metros), dan Tier
III (town). Selain penelitian dari JLLM, terdapat beberapa penelitian lain yang mengevaluasi daya saing
kota-kota di India. Berikut ditampilkan ringkasan beberapa penelitian tersebut.

Sumber Penelitian Indikator Daya Saing yang Digunakan


JLLM, 2007 a Daya tarik bagi investasi
Tingkat kesejahteraan kota; Pemerintahan; Lingkungan
Ernst and Young and FICCI, 2007
Bisnis; Infrastruktur; Indeks Kualitas Hidup
Kondisi Permintaan; Kondisi Faktor; Konteks Khusus dalam
IFC, 2010 Strategi Perusahaan; Persaingan sekaligus Dukungan dari
Industri yang Saling Berhubungan
JLLM, 2007 b Aktivitas Retail; Peluang Properti

Dari berbagai penelitian tersebut, terbentuk beberapa klasifikasi kota-kota di India


berdasarkan kemampuan daya saingnya. Klasifikasi tersebut selanjutnya digunakan oleh peneliti
untuk menentukan studi kasus dalam melakukan evaluasi pemodelan daya saing kota-kota di India.

Dalam jurnal ini, pemodelan daya saing yang digunakan disusun berdasarkan regenerasi
perkotaan dan strategi bisnis terkait properti. Pemodelan ini menggabungkan indikator dari tingkatan
tertinggi (Tier 1) dan tingkatan terendah (Tier 4). Tier 1 mewakili komponen daya saing kota.
Sedangkan Tier 4 mewakili faktor kunci yang memengaruhi daya saing kota. Pendekatan ini
selanjutnya diuji dan dinilai menggunakan aplikasi delphi dan teknik proses analisis hierarki dengan
analisis multi kriteria. Berikut ditampilkan rincian dari indikatortingkatan teratas (Tier 1) hingga
tingkatan terendah (Tier 4)

Tingkatan Indikator
Tier 1 Daya Saing Kota
Strategi Regenerasi Perkotaan
Tier 2
Strategi Bisnis terkait Properti
Kebijakan Publik
Sumber Daya
Tier 3
Pengelolaan Lingkungan
Badan Usaha Milik Pemerintah
Lingkungan Fisik - Komitmen Infrastruktur
- Menciptakan Peluang Pengembangan
- Sistem Perencanaan yang Proaktif
Tier 4 - Place Making
- Lingkungan yang Responsif
- Performa Properti
- Citra Bangunan Kota
- Optimalisasi Ecological Footprint
Sosial Kapital - Angkatan Kerja dan Peningkatan Pendapatan
- Kualitas Populasi dengan Skill yang Tepat
- Kapasitas Bangunan dan Peningkatan Kualitas Tenaga
Kerja
- Perjanjian Komunitas dan Citra Bangunan
Keuangan - Menciptakan Potensi Keuangan dan Kapasitas Investasi
- Promosi Pertumbuhan Bisnis pada Regenerasi Area
yang Ditargetkan
- Penggunaan Insentif Fiskal pada Area Tertinggal
Pengembangan - Menciptakan Keuntungan Strategi Lokasional
- Place Manajemen dan Kontribusinya pada Performa
Bisnis
- Menciptakan Sinergitas antara Sektor Komersil
- Promosi Insentif untuk Memfasilitasi Regenerasi
Kawasan
- Meningkatkan kontribusi bisnis untuk Regenerasi
Daerah Tertinggal
- Promosi Tanggung Jawab Lingkungan pada
Pengembangan Properti
- Menciptakan Penghasilan Tambahan untuk Regenerasi
Perkotaan
Investasi - Promosi Insentif Fiskal untuk Menarik Investasi
- Menciptakan Pilihan Investasi
- Melaporkan dan Mempromosikan Kebijakan Bisnis
- Peningkatan Nilai Bisnis
Pengguna Potensial - Pertumbuhan Bisnis
- Pengelolaan Rantai Persediaan
- Pengelolaan Sumber Daya Manusia
- Responsifitas kepada Pelanggan dan Kualitas
Komunikasi
- Memfasilitasi Real Estate dan Sinergitas Bisnis
- Performa Lingkungan Bisnis

Pemodelan ini selanjutnya diuji dengan cara diterapkan pada studi kasus yang telah dipilih
sebelumnya. Dengan mempertimbangkan klasifikasi kota dari penelitian-penelitian sebelumnya,
peneliti memilih studi kasus pada lima kota di India, yaitu Kota Delhi, Mumbai, Bangalore, Jaipur, dan
Lucknow. Pemilihan kota-kota ini mewakili berbagai pusat utama regenerasi / pembaharuan kota
dengan profil ekonomi yang berbeda-beda di India. Kota Delhi, Mumbai, dan Bangalore
merepresentasikan Tier I atau main metropolitan cities. Sedangkan Kota Jaipur dan Lucknow
merepresentasikan Tier III atau town.

Setelah menentukan studi kasus bagi pemodelan tersebut, peneliti menetapkan partisipan
yang menjadi narasumber utama dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, partisipan diwawancarai
untuk memeroleh skor atau penilaian daya saing suatu kota berdasarkan indikator-indikator yang
telah ditentukan sebelumnya. Penilaian ini berupa penilaian angka dalam rentang 0-10 pada setiap
variasi dalam performa daya saing kota.
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 15 orang yang merupakan para profesional dalam
bidang pengembangan/regenerasi perkotaan atau bidang bisnis/properti. Dari bidang
pengembangan/regenerasi perkotaan, partisipan meliputi para perencana, pegawai pemerintah serta
dewan kota. Sedangkan dari bidang bisnis/properti, partisipan meliputi para pengembang, profesional
dari institusi investasi, penyewa, serta agen dan konsultan real estate.

Dari wawancara tersebut, diperoleh penilaian mengenai daya saing dari setiap studi kasus
yang ada. Penilaian ini disajikan dalam tiga tingkatan hirarkis. Tingkatan teratas membandingkan
keseluruhan performa daya saing dari masing-masing kota. Tingkatan kedua menunjukkan performa
daya saing dari setiap kota berdasarkan 6 komponen dari indikator Tier 4 dalam pemodelan hirarkis.
Sedangkan tingkatan ketiga menunjukkan evaluasi mengenai performa dari setiap kota dinilai dari 32
faktor yang dikelompokkan dalam 6 komponen tersebut.

Pada tingkatan teratas, terdapat tiga kota yang memiliki penilaian performa daya saing paling
baik, yaitu Kota Delhi, Jaipur, dan Bangalore. Kota Delhi memiliki nilai performa daya saing sebesar
30,47 yang diikuti oleh Jaipur sebesar 30,33 dan Bangalore sebesar 30,17. Dari penilaian tersebut,
terlihat bahwa nilai yang dimiliki oleh ketiga kota itu memiliki perbedaan yang kurang signifikan. Hal
ini mengindikasikan bahwa sejatinya Kota Jaipur dan Kota Bangalore memiliki potensi untuk
berkembang menjadi pusat perkotaan seperti Kota Delhi. Sedangkan Kota Mumbai dan Lucknow
memiliki nilai daya saing yang relatif rendah yaitu sebesar 27,93 dan 24,60. Hal ini sesuai dengan
pengelompokkan awal dimana kota Lucknow berada pada kategori Tier 3 atau town.

Pada tingkatan kedua, performa daya saing dari setiap kota dinilai berdasarkan 6 komponen
yang memengaruhi daya saing kota. Enam komponen tersebut meliputi lingkungan fisik, sosial kapital,
keuangan, pengembangan, investasi, dan pengguna potensial. Hasil penilaian ini menunjukkan bahwa
masing-masing studi kasus memiliki keunggulan pada komponen daya saing yang berbeda.

Studi kasus pertama adalah Kota Delhi yang memeroleh nilai terbesar pada performa
komponen lingkungan fisik dan keuangan. Menurut para partisipan, Kota Delhi unggul dalam dua
komponen tersebut karena Delhi memiliki status sebagai ibukota nasional. Selain itu, Kota Delhi juga
menunjukkan kemampuannya dalam bidang keuangan dengan memanfaatkan pengembangan
infrastruktur, khususnya adanya Delhi Metro Rail, jalan layang baru, serta menjadi penyelenggara
acara besar seperi 2010 Commonwealth Games.

Studi kasus kedua adalah Kota Jaipur yang memeroleh nilai terbesar pada performa
komponen pengembangan dan lingkungan fisik. Kota Jaipur mampu memaksimalkan performanya
pada dua komponen tersebut karana Jaipur merupakan kota tujuan wisata internasional. Selain itu
karena jarak Kota Jaipur yang relatif dekat dengan Kota Delhi, mampu menjadikan Kota Jaipur sebagai
lokasi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pengembangan Kota Delhi. Hal ini memberikan pengaruh
bagi Kota Jaipur dalam mengembangkan infrastruktur beruoa jalan, rel, dan jalur udara serta berfokus
pada pewujudan pengembangan potensi.

Studi kasus selanjutnya merupakan Kota Bangalore yang memiliki performa daya saing terbaik
dalam komponen investasi, sosial kapital, dan pengguna potensial. Pada Kota Bangalore, nilai terbesar
dimiliki oleh komponen pengguna potesial. Hal ini sesuai dengan pendapat para partisipan bahwa Kota
Bangalore mampu menunjukkan perpaduan dari berbagai kebudayaan sehingga tercipta karakter
kosmopolitan bagi Bangalore. Hal ini juga didukung dengan adanya kehadiran para pekerja muda
berpendidikan sekaligus adanya pertumbuhan sektor industri. Selain itu, Kota Bangalore juga
menunjukkan adanya dominasi sektor teknologi informasi berskala global. Namun, di sisi lain, Kota
Bangalore masih memerlukan pengembangan pada bidang bioteknologi dan pelayanan keuangan.
Dimana infrastruktur yang ada masih belum mampu memfasilitasi pertumbuhan kota. Selain itu
Bangalore juga memerlukan kebijakan publik yang lebih proaktif untuk memperkuat kerjasama antara
sektor publik dan privat.

Pada studi kasus di Kota Mumbai, nilai performa daya saing kota paling baik terletak pada
komponen sosial kapital. Berdasarkan opini para partisipan, Kota Mumbai memiliki masyarakat
berkarakter wirausahawan yang diiringi dengan adanya bakat-bakat yang berkualitas. Di sisi lain, para
partisipan penelitian juga menitikberatkan pada terbatasnya perubahan yang terjadi di Kota Mumbai.
Terbatasnya perubahan tersebut menunjukkan sedikitnya usaha Kota Mumbai untuk meningkatkan
infrastrukturnya sekaligus menciptakan peluang pegembangan. Hal ini mengakibatkan daya saing Kota
Mumbai melemah.

Studi kasus terakhir pada Kota Lucknow menunjukkan bahwa nilai performa daya saing kota
Lucknow berada di bawah rata-rata yang dimiliki oleh kota-kota lainnya dalam seluruh komponen.
Para partisipan berpendapat bahwa walaupun kota Lucknow telah berusaha aktif secara politis,
namun kerjasama antara sektor publik dan privat masih tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
Kota Lucknow membutuhkan dukungan dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya tarik
kota dibandingkan dengan kota-kota yang terletak di sekitar Kota Delhi. Kota Lucknow juga
membutuhkan kemampuan pemerintah dalam mengembangkan infrastrukturnya untuk menarik
sektor bisnis sekaligus menciptakan lingkungan kerja yang berkualitas.

Pada tingkatan ketiga, hasil analisis menunjukkan evaluasi terhadap performa daya saing
setiap kota ditinjau dari 6 komponen daya saing kota. Dimana setiap kota memiliki keunggulan pada
satu atau dua komponen. Pada Kota Jaipur, performa daya saing terbaik ada pada komponen
lingkungan fisik. Namun Jaipur masih pelru mengembangkan faktor performa properti. Pada Kota
Delhi, performa daya saing terbaik ada pada komponen keuangan. Khususnya pada faktor penciptaan
potensi keuangan dan kapasitas investasi. Sedangkan Kota Bangalore memiliki keunggulan pada
beberapa komponen yaitu sosial kapital, investasi, dan pengguna potensial.

Berdasarkan hasil studi kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa Kota Delhi, Jaipur dan
Bangalore memiliki performa daya saing paling baik. Sedangkan Kota Mumbai masih tertinggal karena
masih berfokus pada peningkatan performa daya saing walaupun telah berstatus sebagai metro city.
Di sisi lain, Kota Lucknow menunjukan potensi paling besar untuk dikembangkan dalam enam bidang
komponen yang telah dievaluasi.

KESIMPULAN :

Pemodelan hirarkis untuk menguji daya saing kota dapat mengevaluasi sejauh mana daya
saing kota dapat ditingkatkan melalui keterkaitannya dengan regenerasi perkotaan dan strategi bisnis
terkait properti. Pemodelan ini menunjukkan bahwa kota dengan daya saing yang baik seharusnya
berusaha untuk membangun keunggulan dan memperkuat hubungannya melalui strategi regenerasi
/ pembaharuan dan strategi bisnis terkait properti untuk meningkatkan daya saingnya di tingkat
global.

Di sisi lain, kota dengan daya saing yang rendah masih membutuhkan dorongan untuk
memperkuat strategi pengembangan yang telah ada. Dorongan tersebut diharapkan dapat membantu
dalam pengembangan potensi dan sumber daya yang ada untuk memulihkan daya saing kota dalam
skala global. Sebagai contoh adalah Kota Lucknow yang membutuhkan dorongan politik dan bisnis
untuk membantu meningkatkan kualitas lingkungan bisnis sekaligus mobilisasi sumber daya yang ada.

Secara umum, penerapan model ini pada studi kasus-studi kasus yang ada, menunjukkan
pentingnya mengadopsi pendekatan yang lebih luas dan inklusif terhadap daya saing kota dengan
potensi untuk menguji lebih lanjut keadaan lokal dalam memperkuat pengambilan keputusan dan
strategi promosi untuk masing-masing kota.

Sejatinya, pemodelan ini dapat diterapkan di Indonesia. Dimana Indonesia juga memiliki kota-
kota dengan keberagaman daya saing, baik kota dengan daya saing tinggi, maupun kota dengan daya
saing rendah. Salah satu kota dengan performa daya saing tinggi adalah Kota Jakarta. Secara umum,
karakteristik Kota Jakarta memiliki kemiripan dengan Kota Delhi yang juga memiliki performa daya
saing yang baik. Kedua kota ini memiliki peran sebagai ibukota nasional yang memiliki keunggulan
dalam bidang keuangan. Oleh karena itu, Kota Jakarta dapat mengikuti strategi yang digunakan oleh
Kota Delhi dalam meningkatkan daya saingnya. Yaitu dengan melakukan pengembangan pada faktor-
faktor dalam komponen keuangan berupa penciptaan potensi keuangan dan kapasitas investasi serta
mempromosikan pertumbuhan bisnis kota Jakarta pada skala global.

LESSON LEARNED :

Dari penjelasan dalam jurnal tersebut, penulis dapat memeroleh pemahaman mengenai
beberapa hal sebagai berikut.

1. Bagaimana daya saing kota memengaruhi produktivitas suatu kota


2. Bagaimana meningkatkan daya saing kota berdasarkan keterkaitannya dengan regenerasi
perkotaan dan strategi bisnis terkait properti
3. Bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memberikan pengaruh bagi daya
saing suatu kota
4. Bagaimana menentukan tindakan pengembangan daya saing kota yang sesuai dengan
karakteristik suatu kota berdasarkan faktor-faktor utama yang memengaruhi daya saing
kota

Anda mungkin juga menyukai