Oleh:
Dokter Pembimbing:
REFERAT
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
JUDUL
Patogenesis Tinea Kapitis
Hari :
Tanggal :
Mengetahui
Dokter Pembimbing
ii
KATA PENGATAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berbagai kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan untuk menyelesaikan
referat dengan judul “Patogenesis Tinea Kapitis” Referat ini penulis susun
sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo.
Dalam menyelesaikan referat ini, tentu tak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Sylvia
Marfianti Sp.KK selaku pembimbing SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Penulis sadar bahwa “tak ada gading yang tak retak’, begitupun dengan
refrat ini, masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini sehingga masih
jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap referat ini
bermanfaat bagi para pembacanya khususnya rekan rekan sejawat dokter muda
yang sedang menjalani stase di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD dr.
Moh. Saleh Probolinggo. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat penulis harapkan
agar kedepannya referat ini bisa lebih sempurna.
Penulis memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat beberapa kesalahan
dalam referat ini. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih. Semoga
referat ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tinea kapitis umumnya lebih banyak menyerang anak anak dari pada
orang dewasa, dimana kurang dari 3 % dewasa yang terjangkit. Penderita
dapat terinfeksi dari kontak dengan penderita lain dan hewan. Secara klinis,
tinea capitis ditandai oleh terdapatnya satu atau lebih alopesia dengan bentuk
yang tidan teratur, dikarenakan rusaknya pada tingkat yang bervariasi dari
folikel rambut.4
Menurut penelitian dari Ornella et al (2013), dikatakan tinea capitis
umumnya terjadi pada anak saat masa pre-pubertas dan sangat jarang pada
dewasa dengan frekuensi 2,6%. Hal tersebut dikatakan rambut pada orang
dewasa relatif resisten terhadap kolonisasi dermatophyta, mungkin karena
sifat fungistatik rantai panjang asam lemak dari sebum yang dihasilkan setelah
pubertas dan faktor imunologi yang tidak diketahui, dapat menjelaskan
sedikitnya angka kejadian pada orang dewasa.4
Faktor yang juga penting terhadap terjadinya tinea capitis adalah
gangguan imunitas seperti pada pasien diabetes melitus, dan penggunaan oral
kortikosteroid yang berkepanjangan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah Tinea Kapitis tersebut?
2. Bagaimana epidemiologi tinea kapitis di Indonesia?
3. Bagaimana patogenesis tinea kapitis?
4. Bagaimana cara mendiagnosis tinea kapitis?
5. Bagaimana pengobatan tinea kapitis?
6. Bagaimana prognosis tinea kapitis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu tinea kapitis.
2. Untuk mengetahui epidemiologi tinea kapitis di indonesia.
3. Untuk mengetahui patogenesis tinea kapitis.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosa tinea kapitis.
5. Untuk mengetahui pengobatan tinea kapitis.
6. Untuk mengetahui prognosis tinea kapitis.
2
1.4 Manfaat
Bisa mengetahui lebih banyak tentang tinea kapitis sehingga dapat mencegah
dan mengobati penyakit tersebut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri
dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies
Epidermophyton.1
Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi jamur
pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut, 11
spesies Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies
Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.1
Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia
adalah: Trichophyton rubrum (T. rubrum), berdasarkan penelitian di RS Dr.
Cipto Mangun Kusumo Jakarta tahun 1980. Pada penelitian yang dilakukan di
Surabaya pada 2006–2007 ditemukan spesies terbanyak yang berhasil dikultur
adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), T. mentagrophytes (7,3%).1
Tinea kapitis merupakan jenis dermatofitosis yang menyerang kulit
kepala dan rambut sekitarnya, dimana disebabkan oleh berbagai spesies dari
genus Trichophyton dan Microsporum kecuali T. Concentricum.1
5
1. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”).
2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai
kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk
menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu,
menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat
berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang.
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
pembentukan respon pejamu.
6
atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit
karena tergantung pada jenis strainnya.
7
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan
respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat.
Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah
(immunocompromized), cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau
menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid
membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non
patogenik. Mekanisme pertahannan tubuh tersebut terdiri menjadi 2 yaitu
mekanisme pertahanan non spesifik dan spesifik.
1. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami
terdiri dari :
a. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai
barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara
kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga
dapat menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi
epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis,
termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat
reaksi imun yang dimediasi sel T.
b. 2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi
berupa pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis
yang terdiri dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat
menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme
oksidatif.
c. 3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated
transferrin dan 2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat
melawan invasi dermatofit.
2. Mekanisme Pertahanan Spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan
baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI).
Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type
Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan
8
klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi.
Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga
berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun
spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.
9
Gambar 2.2 Gray Patch Ringworm5
2. Kerion
Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang
yang padat disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum caniis dan
Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak
kurang bila penyebabnya adalah Trichophyto violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap, parut yang
menonjol kadang – kadang dapat terbentuk.
10
yang terkena infeksi patah, tepat pada rambut yang penuh spora. Ujung
rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu
black dot, Ujung rambut yang patah kalau tumbuh kadang – kadang masuk ke
bawah permukaan kulit.
2.6 Diagnosis 3
1. Gelaja Klinis
Dipertimbangkan diagnosis tinea kapitis bila pada anak-anak dengan
kepala berskuama, alopesia, limfadenopati servikal posterior atau
limfadenopati aurikuler posterior atau kerion. Juga termasuk pustul atau abses,
dissecting cellulitis atau black dot
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Lampu Wood
Rambut yang tampak dengan jamur M. canis, M. audouinii dan M.
ferrugineum memberikan fluoresen warna hijau terang oleh karena adanya
bahan pteridin. Jamur lain penyebab tinea kapitis pada manusia
memberikan fluoresen negatif artinya warna tetap ungu1 yaitu M. gypsium
dan spesies Trichophyton (kecuali T. schoenleinii penyebab tinea favosa
11
memberi fluoresen hijau gelap). Bahan fluoresen diproduksi oleh jamur
yang tumbuh aktif di rambut yang terinfeksi.
b. KOH
Kepala dikerok dengan objek glas, atau skalpel no.15. Juga kasa basah
digunakan untuk mengusap kepala, akan ada potongan pendek patahan
rambut atau pangkal rambut dicabut yang ditaruh di objek glas selain
skuama, KOH 20% ditambahkan dan ditutup kaca penutup. Hanya
potongan rambut pada kepala6 harus termasuk akar rambut, folikel rambut
dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi hifa dan artrokonidia. Yang
menunjukkan elemen jamur adalah artrokonidia oleh karena rambut-
rambut yang lebih panjang mungkin tidak terinfeksi jamur. Pada
pemeriksaaan mikroskop akan tampak infeksi rambut ektotrik yaitu
pecahan miselium menjadi konidia sekitar batang rambut atau tepat
dibawah kutikula rambut dengan kerusakan kutikula. Pada infeksi
endotrik, bentukan artrokonidia yang terbentuk karena pecahan miselium
didalam batang rambut tanpa kerusakan kutikula rambut.
c. Kultur
Memakai swab kapas steril yang dibasahi akua steril dan digosokkan
diatas kepala yang berskuama7 atau dengan sikat gigi steril dipakai untuk
menggosok rambut-rambut dan skuama dari daerah luar di kepala, atau
pangkal rambut yang dicabut langsung ke media kultur. Spesimen yang
didapat dioleskan di media Mycosel atau Mycobiotic (Sabourraud dextrose
agar + khloramfenikol + sikloheksimid) atau Dermatophyte test medium
(DTM). Perlu 7 - 10 hari untuk mulai tumbuh jamurnya7. Dengan DTM
ada perubahan warna merah pada hari 2-3 oleh karena ada bahan fenol di
medianya, walau belum tumbuh jamurnya berarti jamur dematofit positif.
2.7 Diagnosis Banding3
1. Diagnosis banding tinea kapitis berskuama dan keradangan minimal
a. Dermatitis seborhoik
Keradangan yang biasanya terjadi pada sebelum usia 1 tahun atau
sesudah pubertas yang berhubungan dengan rangsangan kelenjar sebasia6.
12
Tampak eritema dengan skuama diatasnya sering berminyak, rambut yang
terkena biasanya difus, tidak setempat1. Rambut tidak patah. Distribusi
umumnya di kepala, leher dan daerah-daerah pelipatan. Alopesia
sementara dapat terjadi dengan penipisan rambut daerah kepala, alis mata,
bulu mata atau belakang telinga. Sering tampak pada pasien penyakit
syaraf atau immunodefisiensi
b. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik yang berat dan luas mungkin mengenai kepala
dengan skuama kering putih dan halus. Khas tidak berhubungan dengan
kerontokan rambut, bila ada biasanya karena trauma sekunder karena
garukan kepala yang gatal. Disertai lesi dermatitis atopik di daerah lain.
c. Psoriasis
Psoriasis kepala khas seperti lesi psoriasis dikulit, plak eritematos
berbatas jelas dan berskuama lebih jelas dan keperakan diatasnya, 6 dan
rambutrambut tidak patah1. Kepadatan rambut berkurang di plak psoriasis
juga meningkatnya menyeluruh dalam kerapuhan rambut dan kecepatan
rontoknya rambut telogen. 10% psoriasis terjadi pada anak kurang 10
tahun dan 50% mengenai kepala6 , dan sering lesi psoriasis anak terjadi
pada kepala saja, maka kelainan kuku dapat membantu diagnosis psoriasis
d. Ptiriasis amiantasea
Adalah tumpukan skuama dalam masa yang kusut. Dermatitis kepala
lokalisata yang non infeksius yang tidak diketahui sebabnya. Skuama yang
putih tebal melekat sering dijumpai mengikat batang rambut proksimal.
Kepala dapat tampak beradang. Rontok rambut sementara dapat terjadi
dengan pelepasan manual skuama yang melekat. Kelainan kulit dilain
tempat yang menyertai biasanya tidak ada, namun dapat mempunyai
penyakit yang menyertai, yaitu Dermatitis atopik atau keradangan kulit
lainnya. Ada yang menganggap sebagai psoriasis dini.
13
Alopesia areata mempunyai tepi yang eritematus pada stadium
permulaan, tetapi dapat berubah kembali ke kulit normal1,6. Juga jarang
ada skuama dan rambut-rambut pada tepinya tidak patah tetapi mudah
dicabut.
b. Trikotilomania
Khas adanya alopesia yang tidak sikatrik berbatas tidak jelas karena
pencabutan rambut oleh pasien sendiri. Umumnya panjang rambut
berukuran macam-macam pada daerah yang terkena. Tersering di kepala
atas, daerah oksipital dan parietal yang kontra lateral dengan tangan
dominannya. Kadang-kadang ada gambaran lain dari kelainan
obsesifkompulsif misalnya menggigit-gigit kuku, menghisap ibu jari atau
ada depresi atau kecemasan.6 Dapat disertai efek efluvium telogen yaitu
berupa tumbuhnya kembali rambut yang terlambat atau rontoknya rambut
meningkat sebelum tumbuh kembali.
c. Pseudopelade
Dari kata Pelade yang artinya alopesia areata. Pseudopelade adalah
alopesia sikatrik progresif yang pelan-pelan, umumnya sebagai sindroma
klinis sebagai hasil akhir dari satu dari banyak proses patologis yang
berbeda (yang diketahui maupun yang tidak diketahui), walaupun klinis
spesifik jenis tidak beradang selalu dijumpai misalkan karena likhen
planus, lupus eritematus stadium lanjut.
14
2.8 Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Penting untuk memeriksa adanya kontak di rumah ataupun di sekolah
pada anak-anak yang menularkan dengan gejala asimtomatik maupun kasus
tinea kapitis yang ringan. Ketokonazol atau selenium sulfide shampoo dapat
membantu dalam memberantas penularan yang asimtomatik.5
2. Medikamentosa
Pengobatan untuk tiea kapitis tidak dianjurkan menggunakan topikal
karena tidak efektif, untuk itu infeksi yang mengenai daerah berambut
memerlukan pengobatan oral. Di Amerika Serikat pengobatan standar untuk
tinea kapitis adalah menggunakan Griseofulvin, sedangkan golongan Triazol
dan Alilamin menunjukkan keamanan, efikasi, dan manfaat lebih karena
penggunaannya yang memerlukan waktu singkat, selain itu sejak tahun 2007
Terbinafin juga direkomendasikan untuk pengobatan tinea kapitis pada anak
berusia diatas 4 tahun, khususnya yang disebabkan oleh T. tonsurans.2
a. Griseofulvin
Dosis Anak
15
Micronized: 15 mg/kgBB/hari, maksimal 500 mg/hari.
Ultramicronized: 10 mg/kg/hari
Lama pengobatan : Setidaknya 6 minggu sampai beberapa bulan,
penyerapan lebih baik dengan makanan berlemak.
Dosis Dewasa
“Gray patch” tinea kapitis: 250 mg selama 1 atau 2 bulan.
“Black dot” tinea kapitis: pengobatannya lebih lama dan dosis yang
digunakan lebih tinggi berlanjut sampai KOH dan kultur negarif.
Untuk kerion: 250 mg selama 4-8 minggu, kompres hangat, dan antibiotik
diberikan jika infeksi disebabkan oleh Staphylokokus.5
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, dimana gejalanya biasanya
sefalgia, dizziness, insomnia, gangguan traktus digestivus berupa nausea,
vomiting dan diare, selain itu griseofulvin juga bersifat fotosensitif dan
dapat mengganggu hepar.2
b. Ketokonazol
Ketokonazol juga efektif untuk dermatofitosis karena bersifat fungistatik.
Pada kasus tinea kapitis dapat diberikan ketokonazol sebanyak 200
mg/hari selama 4-6 minggu, untuk anak dosisnya 5 mg/kgBB/hari, dan
untuk dewasa dapat diberikan 200-400 mg/hari. Ketokonazol merupakan
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.5
c. Itrakonazol
Pemberian itrakonazol kapsul dengan 100 mg atau oral solution (10
mg/mL), lamanya pengobatan 4-8 minggu. Dosis pada anak 5
mg/kgBB/hari, dan dosis untuk dewasa 200 mg/hari. Tidak boleh diminum
bersama antasida atau H2 blocker oleh karena absorbsinya perlu suasana
asam. Bila diberikan bersama phenytoin dan H2 antagonis akan
meningkatkan kadar kedua obat tersebut. Sedang kadar Itrakonazol akan
lebih rendah bila diberikan bersamaan rifampisin, isoniasid, phenytoin dan
karbamazepin. Monitor laboratorium fungsi hepar dan darah lengkap bila
pemakaian lebih 4 minggu.3
16
d. Terbinafin
Terbinafin bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin, sediaannya berupa tablet dengan dosis 250 mg. pengobatan
dengan terbinafin selama 2-3 minggu dengan dosis 62,5-250 mg sehari
bergantung berat badan.2
Bila disebabkan oleh M. canis perlu pengobatan selama 6-8 minggu
dimana lebih sukar untuk dibasmi daripada disebabkan oleh Trichophyton
oleh karena virulensinya atau karena infeksi ektotriknya masih belum
diketahui. Diberikan untuk anak umur > 2 tahun. Monitor laboratorium
fungsi liver dan darah lengkap diperiksa bila pemakaian lebih 6 minggu.3
2.9 Komplikasi
Dalam beberapa kasus, tinea kapitis dapat menyebabkan kerion
peradangan dan rasa sakit yang parah pada kulit kepala. Kerion muncul akibat
pengelupasan pembengkakan sehingga nanah menjadi kering dan menjadi
tebal, akibat pengerasan kulit kepala menjadi kuning. Rambut dapat menjadi
rontok atau dapat dengan mudah patah. Kerion dapat disebabkan oleh reaksi
yang kuat dari jamur dan dapat menyebabkan luka permanen serta rambut
rontok.6
2.10 Prognosis
Tinea kapitis tipe Gray patch sembuh sendirinya dengan waktu, biasanya
permulaan dewasa. Semakin meradang reaksinya, semakin dini selesainya
penyakit, yaitu yang zoofilik (M. canis, T. mentagrophytes dan T.
verrucosum). Infeksi ektotrik sembuh selama perjalanan normal penyakit
tanpa pengobatan. Namun pasien menyebarkan jamur penyebab kelain anak
selama waktu infeksi. Sebaliknya infeksi endotrik menjadi kronis dan
berlangsung sampai dewasa. T. violacaum, T. tonsurans menyebabkan infeksi
tetap, pasien menjadi vektor untuk menyebarkan penyakit dalam keluarga dan
masyarakat1, pasien seharusnya cepat diobati secara aktif untuk mengakhiri
infeksinya dan mencegah penularannya.3
17
BAB III
RINGKASAN
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan
oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik,
kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi gambaran klinis yang berat yang disebut
kerion.
Tinea kapitis umumnya lebih banyak menyerang anak anak dari pada orang
dewasa, dimana kurang dari 3 % dewasa yang terjangkit. Pasien tinea kapitis
terbanyak pada masa anak-anak < 14 tahun 93,33% anak laki-laki lebih banyak
(54,5%) dibanding anak perempuan (45,5%). Penderita dapat terinfeksi dari
kontak dengan penderita lain dan hewan. Secara klinis, tinea capitis ditandai oleh
terdapatnya satu atau lebih alopesia dengan bentuk yang tidan teratur, dikarenakan
rusaknya pada tingkat yang bervariasi dari folikel rambut.
Faktor yang juga penting terhadap terjadinya tinea capitis adalah gangguan
imunitas seperti pada pasien diabetes melitus, dan penggunaan oral kortikosteroid
yang berkepanjangan.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus
jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan
diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang.
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan
pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon
pejamu.
Tablet griseofulvin adalah pengobatan yang efektif dan aman, sebagai obat
lini pertama (gold standard). Obat lini kedua yaitu Itrakonazol, terbinafin atau
kalau terpaksa dengan flukonazol diberikan untuk pasien yang tidak sembuh
dengan griseofuvin, atau dapat sebagai obat jamur lini pertama. Terapi ajuvan
18
dengan shampo anti jamur untuk membasmi serpihan (fomites) yang terinfeksi,
mengevaluasi serta penanganan kontak yang dekat dengan pasien.
19
DAFTAR PUSTAKA
20