Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN

BLOK HEMATOIMUNOLOGI

PEMERIKSAAN RESISTENSI OSMOTIK DARAH CARA VISUAL

Oleh :
Kelompok 5

1. Mila N.S G1A013030


2. Diptyo Fajar S G1A013060
3. Nurrokhmah K G1A013064
4. Elsy Emmily G G1A013065
5. Ahmad Fauzi G1A013066
6. M Angga Kurniawan G1A013087
7. Ajeng Oktri D G1A013090
8. Indo Mahardika G1A013116
9. Karunia Putri G1A013117

Asisten : Okmaninta Dinda


(G1A012051)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2014
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN
BLOK HEMATOIMUNOLOGI

PEMERIKSAAN RESISTENSI OSMOTIK DARAH CARA VISUAL

Oleh :
Kelompok 5

10. Mila N.S G1A013030


11. Diptyo Fajar S G1A013060
12. Nurrokhmah K G1A013064
13. Elsy Emmily G G1A013065
14. Ahmad Fauzi G1A013066
15. M Angga Kurniawan G1A013087
16. Ajeng Oktri D G1A013090
17. Indo Mahardika G1A013116
18. Karunia Putri G1A013117

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Biokimia


Kedokteran blok Hematoimunologi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu
Kesehatan Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Diterima dan disahkan


Purwokerto, 22 September 2014

Asisten

Okmaninta Dinda
(G1A012051)
I. PENDAHULUAN

A. Judul praktikum
Pemeriksaan resistensi osmotik darah cara visual

B. Tanggal praktikum
15 september 2014

C. Tujuan praktikum
1. Untuk mengetahui fragilitas sel darah merah
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fragilitas sel darah
merah
3. Untuk mengetahui aplikasi klinis terkait fragilitas sel darah merah
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Struktur eritrosit

Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel yang
terdapat dalam darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut hemoglobin
yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 2010).
Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid
dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang
mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi
hemoglobin selama masa hidup sel tersebut. Eritrosit berbentu bikonkaf dengan
diameter sekitar 7,5 μm, dan tebal 2 μm namun dapat berubah bentuk sesuai
diameter kapiler yang akan dilaluinya, selain itu setiap eritrosit mengandung
kurang lebih 29 pg hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan jumlah eritrosit
normal sekitar 5,4jt/ μl didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6 mg/dl (Ganong,
2008).

1. Komposisi Membran Eritrosit


Komposisi membran eritrosit seperti juga membran sel lainnya yaitu
terdiri dari (Komariah, 2009) :
Trilaminar structure
a. Protein
1) Integral : perpanjangan dari permukaan luar ke dalam
Integral (glycophorin A, B, C dan pita 3), pita 3 merupakan tempa
mengikatkan cytoskeleton terhadap lapisan lipid juga sebagai
anion pertukaran protein (Komariah, 2009).
2) Perifer : permukaan sitoplasma di bawah lapisan lemak
Perifer (dibentuk dari membran skeleton) yang berkontribusi
terhadap bentuk sel, stabilitas membran, perubahan bentuk dan
viscoelastic. Terdiri dari spectrin, actin, ankyrin dan pita 4.1
(Komariah, 2009).
b. Lipid Membran eritrsit :
95% lipid terdiri dari kolesterol tidak teresterifikasi yang akan
berpengaruh terhadap area permukaan, permeabilitas cation pasif
Phospholipid bilayer mobilitasnya berkontribusi terhadap fluiditas
membran. 5% sisanya terdiri dari glicolipid dan Free fatty acids.
(Komariah, 2009).

2. Karakteristik Eritrosit :
Karakteristik eritrosit yang utama yaitu perubahan bentuk hal ini
penting karena eritrosit harus bersifat flexible untuk menyusup ke kapiler-
kapiler yang sangat kecil. Peningkatan konsentrasi hemoglobin atau
penurunan fluiditas dapat menurunkan kemampuan berubah bentuk.
Akumulasi dari merman kalsium mengakibatkan sel kaku, berkerut dan
mengurangi kemampuan berubah bentuk. Permeabilitas juga dibutuhkan
seperti H2), Cl-, HCO3- dapat melewati membran secara bebas. Pompa
kation mengatur keseimbangan Na+ dan K-. Deviasi dari permeabilitas
influk Natrium akan mengakibatkan sel berubah bentuk. Karena Secara
fungsi eritrosit berhubungan erat dengan hemoglobin, maka dibawah ini
akan dibahas juga mengenai pembentukan hem sebagai unsure pembentuk
hemoglobin (Komariah, 2009).
Gambar 1. Hasil scanning micrograf elektorn eritrosit manusia (H) Dan kambing
(G), (Komariah, 2009).

B. Fisiologi eritrosit

Eritrosit atau sel darah merah adalah komponen padat utama dalam darah.
Seorang lelaki dewasa normal memiliki 4,5-6,5 juta eritosit tiap mm3
darahnya. Fungsi utama eritrosit adalah sebagai agen transport oksigen. Untuk
menjalankan fungsi ini, setiap eritrosit mengandung hampir 280 juta molekul
Hemoglobin. Hb memiliki besi (ferro) yang dapat mengikat oksigen
(Hoffmann et all, 2009).

Fungsi eritrosit tersebut didukung oleh struktur eritrosit. Eritrosit matur


tidak memiliki nukleus, ribosom ataupun mitokondria. Oleh karena itu, seluruh
volume sel dipenuhi oleh hemoglobin sehingga fungsi transport oksigen dapat
dioptimalkan. Tidak adanya ribosom dan mitokondria menunjukkan bahwa
eritrosit tidak menghasilkan energi (ATP) menggunakan oksigen, melainkan
secara anerob melaui beberapa jalur, seperti jalur glikolitik dan jalur heksosa
monofosfat. Artinya, eritrosit tidak menggunakan oksigen yang ditransport
olehnya sama sekali. Bentuk eritrosit yang bikonkaf juga akan memperbesar
luas permukaan sel, sehingga area difusi gas akan menjadi lebih luas dan
pertukaran gas menjadi lebih optimal (Martini, 2012).

Eritrosit hanya berusia sekitar 120 hari. Perlu diingat bahwa setiap beredar
eritrosit harus melalui berbagai mikrosirkulasi, di mana eritrosit harus menahan
tekanan dan merubah bentuk. Hal ini akan membebani dan mengurangi daya
tahan membran eritrosit hingga akhirnya dihancurkan oleh limpa.

Untuk mengganti eritrosit yang rusak, perlu dibentuk eritrosit baru. Setiap
harinya, sekitar 1012 eritrosit diproduksi baru melaui proses eritropoiesis.
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit. Proses ini dipengaruhi oleh
hormon eritropoietin (EPO) yang diproduksi oleh ginjal. Proses eritropoiesis
secara umum dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut :
1. Tahap Pembelahan (Mitosis)
Tahap ini diawali dari pembelahan dan diferensiasi dari hematopoietic
stem cell menjadi myeloid stem cell. Perubahan ini dipengaruhi oleh IL-1,
IL-6, IL-3 (King & Shenoy, 2014). Myeloid stem cell kemudian akan
berdiferensiasi menjadi erythro progenitor cell. Perubahan in dipengaruhi
oleh GM-CSF (Granulocyte-Monocyte Colony Stimulating Factor) dan
IL-3. Pembelahan kemudian dilanjutkan membentuk proerythroblast,
basophilic erythroblast, hingga polychromatic erythroblast. Pada orang
dewasa, proses ini terjadi pada sumsum tulang pipih/tulang pendek
(Lichtman et all, 2009).
2. Tahap Maturasi (Maturasi)
Polychromatic erytroblast kemudian akan semakin matang menjadi
ortochromatic erythroblast, retikulosit hingga akhirnya menjadi eritrosit
matur. Pada tahap ini terjadi pematangan sel baik secara struktural maupun
fungsional. Selama perkembangan sel darah merah, terjadi hal-hal berikut:
a. Penyusutan ukuran sel
Semakin matur, sel darah merah akan berukuran semakin kecil.
b. Perubahan warna sitoplasma
Semakin matur, sel darah merah akan berwarna semakin merah, Hal
ini terkait denga akumulsi hemoglobin yang produksinya telah dimulai
sejak fase proerythroblast.
c. Perubahan inti
Semakin matur, inti sel akan semakin terkondensasi dan mendekati
pinggir sel. Hingga akhirnya inti sel akan dikeluarkan pada akhir fase
ortochromatic erythroblast. Nukleolus juga akan semakin berkurang
hingga akhirnya hilang sama sekali pada fase polichromatic
erythroblast (Greer et all, 2010).
1) Tahap Pembebasan (Release)
Pada tahap ini sel darah dibebaskan ke peredaran darah perifer.
Sel-sel retikulosit akan keluar dari sumsum dan memasuki
pembuluh darah secara diapedesis melaui celah antarendotel
pembuluh darah.
Keseluruhan proses eritropoiesis berlangsung selama sekitar
tujuh hari. Berikut skema pembentukan eritrosit.

Gambar 2. Hematopoiesis, (Greer et al, 2010).

Gambar 3. Eritropoiesis, (Martini,2012)


1. Regulasi eritropoiesis

Agar dapat berlangsung normal, sumsum tulang harus memperoleh


nutrisi yang cukup meliputi asam amino, vitamin B12, asam folat, zat besi,
dsb. Zat-zat tersebut utamanya diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang
merupakan kandungan utama dari eritrosit.

Eritropoiesis diatur secara langsung oleh hormon eritropoietin, dan


secara tidak langsung oleh hormon tiroksin, androgen, dan hormon-
hormon pertumbuhan. Eritropoietin adalah suatu hormon peptida berupa
glikoprotein yang dihasilkan oleh sel-sel peritubular ginjal. Sekresi
eritropoietin dipicu oleh kondisi hipoksia. Protein pembawa heme akan
merasakan kebutuhan oksigen dan kemudian merangsang sintesa serta
pelepasan eritropoietin ke peredaran darah. Interaksi antara Eritropoietin
dan sel-sel dengan reseptor tertentu akan memberikan stimulus pada sel-
sel sumsum tulang yang kemudian akan diterjemahkan sebagai
peningkatan produksi sel darah merah (Hasegawa et all, 2011).

Eritropoietin memiliki dua fungsi utama. Pertama, eritropoietin akan


meningkatkan laju pembelahan hematopoietic stem cell dan proeritroblas.
Kedua, ia akan mempercepat maturasi eritrosit dengan mempercepat
sintesis hemoglobin (King & Shenoy, 2014).

Setelah 120 hari, eritrosit akan dihancurkan oleh makrofag pada


limpa, liver, ataupun sumsum tulang. Penghancuran sel darah merah ini
utamanya terjadi pada limpa. Sel-sel darah merah tua yang telah kaku dan
memiliki fragilitas tinggi akan mengalami ruptur saat melewati saluran
sempit pada limpa. Sel-sel yang telah ruptur ini kemudian akan dimakan
(fagositosis) oleh sel-sel makrofag pada limpa, hepar, ataupun sumsum
tulang (Tortora, 2009).

Eritrosit yang telah ruptur akan mengeluarkan hemoglobin. Hb


kemudian akan dipecah menjadi heme dan globin. Selanjutnya kedua
substansi ini akan mengalami jalur degradasinya masing-masing. Globin
akan dipecah menjadi asam-asam amino dan digunakan kembali untuk
sintesa protein. Heme akan melepas ion Fe2+ yang kemudian akan
ditangkap oleh transferin untuk masuk ke siklus besi agar dapat digunakan
kembali. Sementara molekul porfirin yang tersisa akan diubah menjadi
bilirubin yang kemudian digunakan untuk zat warna urin dan feses
(Tortora, 2009).

Gambar 4. Regulasi eritrosit, (Tortora, 2009).

C. Metabolisme eritrosit
Sel darah merah manusia tidak mempunyai mitokondria dan sepenuhnya
tergantung pada glikolisis untuk menghasilkan ATP. Transporter glukosa
GLUT-1, dinyatakan dalam sel darah merah, memiliki afinitas tinggi untuk
glukosa ekstraseluler dan tetap jenuh di bawah konsentrasi fisiologis glukosa.
Heksokinase (HK), yang mengkatalisis langkah awal glikolisis dalam sel darah
merah, juga memiliki Km rendah (afinitas tinggi) untuk glukosa intraseluler.
Dengan demikian, tingkat inisiasi glikolisis dipastikan bahkan ketika
konsentrasi glukosa plasma rendah. ATP dibutuhkan oleh pompa ion untuk
mencegah pembengkakan sel dan juga digunakan dalam banyak proses
enzimatik lainnya endergonik. ATP adalah substrat yang diperlukan untuk dua
tingkat-membatasi langkah awal dalam glikolisis (HK, PFK), namun ATP
berlebih dapat downregulate glikolisis melalui penghambatan PFK. Sebagian
besar glukosa memasuki sel diubah menjadi laktat melalui glikolisis (dalam
model kami, 87,5% di bawah normoxic mapan kondisi), dengan sisanya masuk
pentosa-fosfat jalur (dalam model kami, 12,5%). Rute ini menyediakan
berkurang nicotinamide adenine dinukleotida fosfat (NADPH), yang mencegah
oksidasi sel secara langsung dan tidak langsung melalui konversi glutathione
dari bentuk oksidatif kembali ke bentuk aktif berkurang nya (Kinoshita, 2010).
Salah satu jalur yang paling khas di sel darah merah adalah siklus
Rapoport-Luebering, yang menghasilkan konsentrasi tinggi dari 2,3-
diphosphoglycerate (2,3-BPG), pengalihan glikolisis dari 1,3-
disphosphoglycerate (1,3-BPG ) yang mencegah kelebihan produksi ATP
dengan melewati proses dikatalisis oleh kinase phosphoglycerate (PGK).
Peningkatan 2,3-BPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin ke
jaringan. Dengan cara ini, meskipun mengikat dan pelepasan molekul gas
(oksigen, karbon dioksida, dan sebagainya) melalui hemoglobin tidak
memerlukan energi, pengaturan fluks glikolitik, yang penting untuk menjaga
kapasitas oksigen transportasi melalui pemeliharaan tingkat yang memadai dari
ATP dan 2,3-BPG (Kinoshita, 2010).
Methaemoglobinaemia muncul dari produksi non-fungsional hemoglobin
yang mengandung teroksidasi Fe3+ yang menghasilkan pasokan oksigen
berkurang ke jaringan dan bermanifestasi sebagai sianosis pada pasien. Hal ini
dapat berkembang dengan tiga mekanisme yang berbeda: mutasi genetik yang
mengakibatkan adanya hemoglobin abnormal, kekurangan enzim reduktase
methaemoglobin dan racun-diinduksi oksidasi hemoglobin. Lipatan
hemoglobin normal membentuk saku untuk mengikat haem dan menstabilkan
kompleks dengan molekul oksigen, sekaligus mencegah oksidasi spontan dari
Fe2+ ion chelated oleh Pyrrole haem dan histidine globin. Dalam bentuk normal
M hemoglobin (Hb Ms) asam amino substitusi di atau dekat saku haem
menciptakan kecenderungan untuk membentuk methaemoglobin bukan
oksihemoglobin di hadapan molekul oksigen. Biasanya, hemoglobin terus
mengoksidasi namun akumulasi yang signifikan dari methaemoglobin dicegah
oleh aksi sekelompok enzim reduktase methaemoglobin. Dalam bentuk resesif
autosomal dari methaemoglobinamea ada kekurangan salah satu enzim
reduktase sehingga memungkinkan akumulasi teroksidasi Fe3+ di
methaemoglobin (Percy, 2004).
Gambar 5. Metabolisme Eritrosit

D. Fragilitas eritrosit

Fragilitas eritrosit adalah reaksi membran eritrosit untuk melawan tekanan


osmosis media di sekelilingnya, guna mengetahui berapa besar fragilitas atau
daya tegang dinding eritrosit dapat diketahui dengan menaruh eritrosit
kedalam berbagai larutan (biasanya NaCl) dengan tekanan osmose beragam.
Konsentrasi larutan dengan tekanan osmosis tertentu akan memecah eritrosit,
yang menunjukkan fragilitas eritrosit .Darah mengandung berjuta-juta eritrosit
yang umurnya tidak sama. Umur eritrosit sangat berpengaruh terhadap daya
fragilitasnya. Dalam uji fragilitas darah di laboratorium mulai terjadinya
hemolisis awal (initial hemolysis) ditentukan sebagai titik awal fragilitas
eritrosit, sedangkan apabila semua sel eritrosit mengalami lisis (total
hemolysis) ditentukan sebagai fragilitas total.
Membran sel pada eritrosit sangat fleksibel namun tidak elastis, yang
berarti bahwa sel dapat rusak (lisis) jika kemasukan air kedalam sel yang
mendekati volume yang kritis. Bahwa ketahanan eritrosit untuk lisis dapat
diukur dengan meningkatkan konsentrasi larutan NaCl atau yang dinamakan
dengan test fragilitas. Ketahanan sel darah merah untuk lisis ini dipengaruhi
oleh volume dari sel darah merah.Uji fragilitas darah ini dilakukan
sehubungan dengan gangguan sistema hemopoitik dikarenakan pada penyakit
tertentu fragilitas pada eritrosit dapat menigkat atau menurun (Dharmawan,
2002).
Tes fragibilitas osmotik membantu dalam penegakkan diagnosis anemia
yang mana terdapat perubahanpada sel darah merah pasien. Ketika sel darah
merah berada dalah lautan Nacl, maka sel darah akan menghisap air sebanyak-
banyaknya hingga sel membengkak dan mencapai volume kritis kemudian
hemolisis. Konsentrasi larutan intraseluler, yang direfleksikan oleh fragilitas
membran sel darah merah, dapat membantu dalam menyatakan kondisi
fungsional sel (Pal P, Pal GK, 2005).

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi eritrosit

Indeks fragilitas eritrosit dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya


adalah lingkungan, kondisi fisiologis dan kondisi patologis (Chikezie, 2009).
Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi fragilitas osmotik eritrosit:
1. Umur Eritrosit
Peningkatan tahanan osmotik dipengaruhi oleh umur eritrosit. Pada
eritrosit matur akan terjadi penurunan kemampuan pompa Na+K+ATPase
untuk mengeluarkan ion natrium ke luar sel sehingga terjadi penumpukan
ion natrium dalam sel. Hal ini mengakibatkan menurunnya integritas
membran eritrosit sehingga eritrosit menjadi mudah pecah.10,14,16
Penurunan fragilitas eritrosit pada kelompok II kemungkinan disebabkan
karena adanya eritrosit muda akan lebih tahan terhadap larutan hipotonis
dibanding eritrosit yang tua (Adoe, 2006).
2. Aktivitas fisik
Besarnya oksigen otot dalam latihan dapat diduga tekanan oksigen
darah arteri menjadi menurun tajam selama kegiatan latihan berat dan
tekanan karbon dioksida dalam darah vena meningkat jauh diatas normal
sehingga ikatan eritrosit-O2 cenderung lebih melemah dibandingkan
ikatan eritrositCO2, dan sebagai balancing atas rusaknya eritrosit akibat
laju darah saat latihan berat, maka pada latihan intensitas sedang lebih
memberi peluang penggantian eritrosit lewat matang menjadi baru dan
terdapat eliminasi fragilitas darah baru akibat latihan berat (Guyton, 2014).
3. Alkohol
Pasien alkoholik yang dirawat dan 0-4 pasien alkoholik yang dirawat
jalan mengalami anemia megaloblastik. Anemia pada alkoholik berkaitan
dengan defisiensi folat. Alkohol mengganggu sirkulasi enterohepatik
,menghambat absorbsi asam folat karena menghambat kerja enzim
pterylglutamat hidrolase yang menghidrolisis poliglutamat menjadi
monoglutamat .Produksi heme dihambat oleh ethanol (alkohol) yang
ditandai dengan peningkatan aktivitas inhibitor translasi globin yang diatur
hemin (hemin –activated inhibitor ). Alkohol menyebabkan peningkatan
fragilitas eritrosit dengan kecenderungan terjadi hemolisis osmotik . Efek
tersebut akan lebih besar bila dikombinasi dengan merokok (Zuhri, 2007).
4. Vitamin E
Aktivitas zat radikal bebas dalam tubuh bisa dicegah oleh zat
antioksidan, yang berfungsi menghentikan aktivitas radikal bebas dan
melindungi sel yang sehat dari kerusakan. Vitamin E merupakan suatu zat
penyapu radikal bebas lipofilik dan antioksidan paling banyak di alam.
Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi
melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari
oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksidase lipid dengan
cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya
ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan
tidak merusak. Vitamin E berfungsi sebagai pelindung terhadap
peroksidasi lipid di dalam membran (Suhartono, et al. 2007, dalam
Noradina, 2011).
5. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah hasil oksidasi molekul di dalam tubuh.
Sebenarnya, jika diproduksi dalam jumlah yang sesuai, radikal bebas
dibutuhkan bagi kesehatan dan fungsi tubuh, yaitu untuk memerangi
peradangan, membunuh bakteri merugikan serta mengendalikan tonus otot
polos pembuluh arah dan organ lain dalam tubuh. Tapi bila diproduksi
melebihi batas, radikal bebas dapat menyerang sel-sel tubuh. Radikal
bebas dapat mengganggu integritas sel dan dapat bereaksi dengan
komponen-komponen sel, baik komponen struktural (molekul-molekul
penyusun membran) maupun komponen fungsional (protein, enzim-enzim,
DNA) dengan merusak sel pada komponen protein, DNA dan membran sel
(polyunsaturated fatty acids), sehingga membran selnya rusak dan
menyebabkan gangguan pada integritas sel (Suhartono, et all. 2007, dalam
Noradina, 2011).
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. 12 buah Tabung reaksi
b. Rak tabung reaksi
c. Pipet
d. Vacum med
e. Spuit 3 cc
f. Torniquet
g. Kapas
2. Bahan
a. NaCl 0,5%
b. EDTA
c. Kapas dan alkohol

B. Cara kerja
1. Mengambil 3cc darah vena pada probandus dengan menggunakan spuit
3cc, torniquet, kapas, dan alkohol. Lalu mengalirkan darah tersebut ke
dalam vacum med yang telah mengandung EDTA.
2. Menyusun 12 tabung reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris, masing-
masing berisi 6 tabung.
3. Menuliskan nomor pada tabung dari kiri ke kanan secara berurutan dari 25
sampai 14 (nomor 25-20 sebagai pengamatan permulaan hemolisis dan 19-
14 sebagai pengamatan hemolisis sempurna).
4. Meneteskan larutan NaCl 0,5% dengan pipet sesuai dengan nomo yang
tertera pada tabung.
5. Meneteskan larutan aquadest pada tiap tabung, sampai volumenya
berjumlah 25 tetes tiap tabung.
6. Konsentrasi NaCl pada masing-masing larutan menjadi: 0,5%; 0,48%;
0,46%; 0,44%; 0,42%; 0,40%; 0,38%; 0,36%; 0,34%; 0,32%; 0,30%; dan
0,28%.
7. Meneteskan 1 tetes darah pada masing-masing tabung dan
mendiamkannya selama 1 jam.
8. Memperhatikan hasilnya dengan melihat percampuran darah dengan
larutan pada tiap barisnya.

Mengambil darah vena 3cc EDTA

Menyusun 12 tabung reaksi  2 baris masing- masing 6 buah

Memberi nomor 25-20 (initial hemolysis), 19-14 (total hemolysis)

Meneteskan NaCl 0,5% sesuai nomor tabung

Menambahkan aquadest tiap tabung sampai volumenya 25 tetes

Menambahkan 1 tetes darah tiap tabung, mendiamkan selama 1 jam

Melihat hasil initial hemolysis dan total hemolysis

C. Nilai normal
Permulaan lisis : pada NaCl 0,44% (0,44  0,02% NaCl)
Hemolisis sempurna : pada NaCl 0,34% (0,34  0,02% NaCl)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Probandus
Nama : Indo Mahardika
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

Dari pemeriksaan daya tahan osmotic visual yang telah kelompok kami
lakukan, di dapatkan hasil bahwa tabung yang mengalami reaksi initial
hemolysis adalah tabung dengan nomer 23, sedangkan tabung yang mengalami
reaksi total hemolysis adalah tabung dengan nomer urut 15. Pada praktikum
kali ini initial hemolysis normal tetapi pada normal hemolysis terjadi
penurunan fragilitas eritrosit.

Gambar 6. reaksi initial hemolytik


Gambar 7. reaksi total hemolytic
B. Pembahasan
Pada praktikum pemeriksaan daya tahan osmotic visual kali ini, kami
mengamati adanya 2 reaksi yaitu reaksi initial hemolysis dan reaksi total
hemolysis. Reaksi initial hemolysis adalah suatu reaksi hemolisis awak yang di
jadikan sebagai titik awal fragilitas eritrosit sedangkan reaksi total hemolysis
adalah reaksi dimana semua eritrosit sudah mengalami lisis (pecah). Pada
pemeriksaan kali ini reaksi initial hemolysis diamati dari tabung deret pertama
yaitu tabung dengan nomer urut 25 – 20 , sedangkan reaksi total hemolysis
dapat diamati pada tabung deret kedua dengan nomer urut 19 – 14. Dari hasil
pemeriksaan yang dilakukan pada darah probandus, didapatkan reaksi initial
hemolysis terjadi pada tabung bernomor 23 (larutan NaCl 0,46% tetes
ditambah dengan aquades 2 tetes), sedangkan reaksi total hemolysis terjadi
pada tabung bernomor 15 (larutan NaCl 0,30% tetes ditambah dengan aquades
10 tetes). Penentuan tabung mana yang terjadi reaksi initial hemolysis
diperoleh dengan melihat tabung mana yang mempunyai endapan darah
dengan kandungan eritrosit paling banyak. Pembacaan reaksi total hemolysis
diperoleh dari tidak adanya pengendapan dan larutan yang dihasilkan berwarna
merah muda pada tabung. Warna merah muda ini diperoleh karena adanya
percampuran antara darah dan larutan NaCl yang sudah homogen. Nilai
Normal yang dijadikan patokan dalam menentukan pemeriksaan ini, yaitu :
1. Permulaan Lisis : pada NaCl 0,44 % (0,44 ± 0,02 % NaCl)
2. Hemolisis Sempurna : pada NaCl 0,34 % (0,34 ± 0,02 % NaCl)
Dilihat dari nilai permulaan lisis, sampel whole blood probandus normal,
tetapi bila dilihat dari nilai hemolisis sempurna sampel whole blood probandus
dikatakan mengalami penurunan fragilitas. Hasil pemeriksaan fragilitas
eritrosit mengalami penurunan. Hal ini bisa terjadi karena memang eritrosit
dari sampel darah yang mungkin bisa di pengaruhi oleh beberapa factor.
Adapun factor – factor yang mempengaruhi hasil dari praktikum kali ini adalah
sebagai berikut ;
1. Sampel darah ( Probandus )
Sampel darah yang dari probandus ini sangat berpengaruh terhadap
hasil, adapun beberapa hal yang mempengaruhi hal ini adalah aktifitas
fisik yang sebelumnya telah dilakukan oleh probandus sehingga
mempengaruhi hasil dari sampel.
2. Praktikan
Human error atau biasa dikenal sebagai kesalahan manusia/ praktikan
dapat terjadi ketika praktikum berlangsung. Misalnya, kesalahan dalam
perhitungan waktu inkubasi yang tidak tepat dan akurat, serta kesalahan
pengukuran banyaknya larutan yang digunakan atau karena pemeriksaan
fragilitas eritrosit ini dikerjakan secara berkelompok, dan ada beberapa
orang yang meneteskan NaCl, akuades, dan sampel darah (bukan satu
orang yang meneteskan) sehingga sangat mungkin hasilnya tidak sama
banyak tiap tetes.
3. Alat praktikum
Hasil akhir praktikum dapat pula dipengaruhi oleh alat yang
digunakan. Sebagai contoh adalah alat praktikum yang tidak steril dan
adanya bahan pencemar yang menggangu praktikum.

C. Aplikasi klinis
1. Fragilitas menurun
a. Polistitemia Vera
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti poly
(banyak), cyt (sel), hemia (darah) sedang vera (benar) adalah suatu
penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif dimana terjadi klon
abnormal pada hemopeotik sel induk dengan peningkatan sensitivitas
pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya maturasi yang
berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering
diartikan sama antara polistemia dan eritrosistosis, pada
polisitemia(banyak sel) menggambarkan peningkatan dari total
kuantitas atau volume dari sel darah pada tubuh tanpa memperdulikan
jumlah leukosit atau trombosit. sedangkan peningkatan jumah dan
volume saja dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan
hematrokit adalah lebih benar disebut eritrositosis (Darwin, 2011).
Polisitemia vera merupakan suatu penyakit yang melibatkan unsur-
unsur hemopoetik dalam sumsum tulang mulainnya diam-diam tetapi
progresif, kronik terjadi karena sebagian populasi eritrosit berasal dari
satu klon sel induk darah yang abnormal. Sel induk abnormal ini tidak
memerlukan EPO untuk pematangan , hal ini jelas membedakannya
dari eritosistosis atau polisitemia sekunder dimana EPO meningkat
secara fisiologis (Darwin, 2011).

1) Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase :


a) Gejala awal (early symptoms )
Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan
tidak selalu adan kelainan walaupun telah diketahui melalui tes
laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48 %),
telinga berdenging (43 %), mudah lelah (47 %), gangguan
daya ingat, susah bernafas (26 %), hipertensi (72 %), gangguan
penglihatan (31 %), rasa panas pada tangan / kaki (29 %),
pruritus (43 %), perdarahan hidung, lambung (24 %), sakit
tulang (26 %) (Prenggono,2008).
b) Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi
Sebagai penyakit progresif, pasien Polisitemia Vera
mengalami perdarahan / trombosis, peningkatan asam urat (10
%) berkembang menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus
peptikum (Prenggono,2008).
c) Fase Splenomegali (Spent phase )
Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase
splenomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan Sum-sum tulang
dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan tranfusi
meningkat, hati dan limpa membesar (Prenggono,2008).

2) Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan


jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang
kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah
sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju
transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan
terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul
karena terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa :
a) Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan
viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan
(Prenggono,2008) :
i. Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh
lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat
penggumpalan eritrosit.
ii. Penurunan laju transport oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya
oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena
terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark)
seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan
ekstremitas.
b) Penurunan shear rate.
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi
hemostasis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel. Hal
tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan walaupun
jumlah trombosit > 450.000/mm. Perdarahan terjadi pada 10 -
30 % kasus Polisitemia Vera, manifestasinya dapat berupa
epistaksis, ekimosis dan perdarahan gastrointestinal.
(Prenggono,2008).
c) Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm3).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada Polisitemia
Vera tidak ada korelasi trombositosis dengan trombosis
(Prenggono,2008).
d) Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia
vera. Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder
hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular (Prenggono,2008).
e) Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia Vera.
Sebagaimana halnya splenomegali, hepatomegali juga
merupakan akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis
ekstramedular (Prenggono,2008).
f) Gout.
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan
splenomegali adalah sekuentrasi sel darah makin cepat dan
banyak dengan demikian produksi asam urat darah akan
meningkat. Di sisi lain laju fitrasi gromerular menurun karena
penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10%
kasus polisitemia (Prenggono,2008).
g) Defisiensi vitamin B dan asam folat.
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan
defisiensi asam folat dan vitamin B12. Hal ini dijumpai pada ±
30% kasus Polisitemis Vera karena penggunaan untuk
pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak
tersaturasi pengikat vitamin B12(Unsaturated B12 Binding
Capacity) dijumpai meningkat > 75% kasus (Prenggono,2008).
h) Muka kemerah-merahan (Plethora )
Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir,
konjungtiva hiperemis sebagai akibat peningkatan massa
eritrosit (Prenggono,2008).
i) Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala,
cepat lupa,vertigo, tinitus, perasaan panas. (Prenggono,2008).
j) Manifestasi perdarahan (10-20 %)
Dapat berupa epistaksis, ekimosis, perdarahan gastrointestinal
menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi karena
peningkatan viskositas darah akan menyebabkan ruptur
spontan pembuluh darah arteri. Pasien Polisitemia Vera yang
tidak diterapi beresiko terjadinya perdarahan waktu operasi
atau trauma (Prenggono,2008).

3) Patofisiologi
Polisitemia adalah peningkatan jumlah sel darah merah.
Polisitemia primer (polisitemia vera) ditandai dengan peningkatan
jumlah trombosit dan granulosit serta sel darah merah, dan diyakini
sebagai awal terjadinya abnormalitas sel (Corwin,2009).
Polisitemia dapat timbul sebagai akibat hipoksia kronis.
Hipoksia kronis menyebabkan peningkatan pelepasan hormon
ginjal EPO, yang merangsang pembentukan sel darah merah.
Individu yang tinggal didataran tinggi atau mengidap penyakit paru
kronis sering mengalami polisitemia sekunder. Atlit yang
menerima doping darah, yaitu menerima transfusi sendiri dari
kantong sel darah sebelumnya, menunjukkan polisitemia. dan pada
akhirnya, polisitemia dapat bersifat relatif, bukan absolut. Selama
dehidrasi, sebagai contoh, penurunan volume plasma ditunjukan
dengan peningkatan konsentrasi sel darah. Polistemia dengan
berbagai macam sebab dikatikan dengan peningkatan pembentukan
trombus dan peningkatan beban kerja jantung (Corwin, 2009).
4) Komplikasi
Kelebihan sel darah merah dapat dikaitkan dengan komplikasi
lain, kemungkinan Komplikasi :
a) Batu Ginjal
b) Asam urat
c) Gagal jantung
d) Leukemia
e) Myelofibrosis
f) Penyakit ulkus peptikum
g) Trombosis (pembekuan darah, yang dapat menyebabkan stroke
atau serangan jantung)
h) Perdarahan dari lambung atau bagian lain pada saluran
pencernaan

b. Iketerik Obstruktif
Ikterus secara umum dibagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik,
ikterus hepatik dan ikterus post hepatik atau yang disebut ikterus
obstruktif atau surgical jaundice. Ikterus obstruktif adalah suatu gejala
utama penyakit batu empedu dan saluran empedu, dimana terjadi
obstruksi karena batu atau sebab-sebab lain, sehingga aliran bilirubin
yang telah terkonjugasi terganggu. Disebut juga ikterus posthepatik
karena penyebab terjadinya ikterus ini adalah pada daerah posthepatik,
yaitu setelah bilirubin dialirkan keluar hepar. Sedangkan nama
surgical jaundice dipakai karena pada ikterus ini terapi utamanya
adalah dengan pembedahan (Arshat,2010).

1) Gejala & Manifestasi Klinis


a) Manifestasi klinis dari ikterus obstruktif ialah
b) sklera berwarna kuning.
c) kulit kekuning-kuningan.
d) feses berwarna pekat.
e) urin berwarna teh
f) pruritus.
g) Fatik
h) anoreksia

2) Patofisiologi
Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase bilirubin
direk sehingga bilirubin tidak dapat diekskresikan kedalam
usushalus dan akibatnya terjadi aliran balik kedalam pembuluh
darah. Akibatnya kadar bilirubin direk meninggi pada lairan darah
dan penderita menjadi ikterik. Ikterus paling pertama terlihat pada
jaringan ikat longgar seperti sublingual dan sklera. Karena kadar
bilirubin darah meningkat maka sekresi bilirubin dari ginjal akan
meningkat sehingga urine akan menjadi gelap dengan bilirubin
urine positif. Sedangkan karena bilirubin yang diekskresikan ke
feaces berkurang maka warna faeces akan menjadi berkurang dan
faeces akan berwarna pucat seperti dempul ( acholis ). Pada
pemeriksaan laboratorium selain kadar bilirubin yang meningkat
dapat juga ditemukan peningkatan alkali fosfatase dan Gamma
GT sebagai penanda terjadinya obstruksi (Kimura, 2009).
Karena tidak adanya empedu maka terjadi malabsorpsi lemak
sehingga terjadi steatorrhea dan diefesiensi vitamin larut dalam
lemak ( Vitamin A, D, E, K). Diefensiensi vitamin K akan
menyebabkan penurunan kadar protrombin darah yang akan
memperpanjan waktu pembekuan darah (Kimura, 2009).

3) Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul dari ikterus neonatorum
terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan
bilirubin indirect pada otak terutama pada korpus striatum,
thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar
ventrikel IV (Ngastiyah, 2005)
Kern ikterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirect pada otak. Kern ikterus ialah ensefalopati
bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan
dengan ikterus berat dan disertai penyakit hemolitik berat dan
pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern iterus
secara klinis berbentuk kelainan syaraf spatis yang terjadi secara
kronik (Markum, 2005).

c. Anemia Defesiensi Besi


Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan
besi kosong sehingga mengakibatkan pembentukan Hb berkurang
(Sudoyo, 2009). Anemia ini ditandai oleh anemia hipokromik
mikrositik. Dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka
defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu (Sudoyo, 2009):
1) Deplesi besi: cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk
eritropoiesis belum terganggu.
2) Eritropoiesis defisiensi besi: cadaangan besi kosong, penyediaan
besi untuk eritropoiesis terganggu, tetapi belum timbul anemia
secara laboratorik.
3) Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia
defisiensi besi.

Gejala umum anemia dijumpai apabila kadar hemoglobin turun


dibawah 7-8gr/dl. Gejalanya berupa badan lemah, lesu, cepat lelah,
mata berkunang-kunang serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan
jaringan dibawah kuku (Sudoyo, 2009).

Gejala khas defisiensi besi adalah sebagai berikut (Sudoyo, 2009):


1) Koilonychia: kuku sendok, kuku rapuh bergaris-garis vertikal dan
menjadi cekung.
2) Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
3) Stomatitis angularis: keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4) Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipopharing.
5) Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.

2. Peningkatan Frgilitas
a. Tranfusi Darah
Tranfusi ialah proses pemindahan darah atau komponen darah dari
seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Bahan-bahan yang dapat d
tranfusikan adalah (Bakta, 2013) :
1) Darah (Whole Blood)
2) Komponen Plasma
Tranfusi darah merupakan pedang bermata dua, yang jika
diberika dengan tepat akan menyelamatkan penderita, tetapi jika
salah diberikan dapat menimbulkan efek samping disebut reaksi
tranfusi bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu,
indikasi tranfusi darah harus diketahui dengan baik. Indikasi
pemberian tranfusi darah sebagai berikut (Bakta, 2013):
a) Defisiensi fakto pembekuan
b) DIC
c) Mengatasi efek warfarin berlebihan
d) Koagulopati dilusional
e) Perdarahan pada penyakit hati
f) TTP

b. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses
hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh
darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-rata eritrosit yaitu
120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (snescence),
yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah cukup umurnya.
Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (ekstravaskuler) yang
membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda (Bakta, 2013).
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada
darah tepi akan direspon oleh tubuh dengan peningkatan eritrosit
dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk
meningkatkan eritropoesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila
derajat hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritosit
sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan
kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut
keadaan hemolisis terkompensasi. Akan tetapi, jika kemampuan
kompensasi sumsum tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang
kita kenal sebagai anema hemolitik. Anemia hemolitik merupakan
anemia yang tidak terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai
memerlukan pendekatan diagnostik yang tepat (Bakta, 2013).
Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan penyebabnya dapat
dilihat sebagai berikut (Bakta, 2013) :
1) Anemia hemolitik karena faktor didalam eritrosit sendiri (intra-
korpuskuler) yang sebagian besar bersifat hereditas-familer.
2) Anemia hemolitik karena faktor diluar eritrosit (ekstra-korpuskuler)
yang sebagian besar bersifat didapat (acquired).

Proses hemolisis akan menimbulkan, sebagai berikut (Bakta, 2013) :

1) Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia.


Hemolisis dapat terjadi perlahan-lahan sehingga dapat diatasi oleh
mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba
sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin. Tergantung
derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis ringan sampai sedang
maka sumsum tulang masi dapat melakukan kompensasi 6 sampai
8 kali normal sehingga tidak terjaddi anemia. Keadaan ini disebut
keadaan hemolitik terkompensasi. Akan tetapi, apabila derajat
hemolisis berat maka mekanisme kompensasi tidak dapat
mengatasi hal tersebut sehingga terjadi anemia hemolitik. Derajat
penurunan hemoglobin dapat bervariai dari ringan sampai sedang.
Penurunan hemoglobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi sering
sekali sangat cepat (lebih dari 2 g/dl dalam waktu seminggu).
2) Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis
berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Hemolisis ekstravaskuler
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai
dibandingkan dengan hemolisis intravaskuler. Hemolisis
terjadi pada sel marofag dari sistem retikuloendothelial (RES)
terutama pada lien, hepar, dan sumsum tulang karena sel ini
megandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi karena
kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibodi),
presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunkan
fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang relatif
kecil dan suasana relatif hipoksik akan memberi kesempatan
destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme
fragmentasi.
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang
akan dikembalikan ke protein pool, serta besi yang
dikemblikan ke makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan
dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan
gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan
albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam
hati menjadi bilirubin direk kemudian dibung melalui empedu
sehingga meeningkatan sterkobilonogen dalam feses dan
urobilinogen dalam urine. Sebagan hemoglobin aan dilepas
keplasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar
haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah hemolisis
intravaskuler.
b) Hemolisis Intravaskuler
Pemecahan eritrosit intravaskuler menyebabkan lepasnya
hemoglobin bebas kedalam plasma. Hemoglobin beebasi ini
akan diikat oleh haptoglobin (suatu globin alfa) sehingga kadar
haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-
haptoglobin akan dibersihkan oleh hati dan RES dalam
beberap menit. Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka
akan terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut
sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami
oksidasi menjadi methemoglobin sehingga terjadi
methemoglobinemia. Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu
glikoprotein beta-1) kemudian ditangkap oleh sel hepatosit.
Hemoglobin bebas akan keluar melalui urine sehingga
terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus
ginjal akan diserap oleh sel epitel kemudian besi disimpan
dalam bentuk hemosiderin, jika epitel megalami deskuamsi
maka hemosiderin dibuang melalui urine (hemosiderinuria)
yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronik.

c) Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoesis


Dektruksi eritrosit dalam darah tepi akan merangsang
mekanisme biofeedback (melalui eritropoetin) sehingga
sumsum tulang meningkatkan eritropoesis. Sumsum tulang
normal dapat meningkatkan eritropoesis 6-8 kali lipat.
Peningkatan ini ditandai oleh peningkatan jumlah eritroblast
(normoblast) dalam sumsum tulang sehingga terjadi
hiperplasia normoblastik.
Peningkatan normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik
normoblast basofilik, normoblast polikromatofilik, ataupun
normoblast asidofilik atau otokromatik. Sel eritrosit muda yang
mash mengandung sisa inti (RNA) disebut sebagai reetikulosit
akan dilepaskan kedarah tepi sehingga menjadi retikulositosis
darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak merata (ada sel
yang lebih gelap) disebut polikromasia. Produksi sistem lain
dalm sumsum tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi
leukositosis dan trombositosis ringan.

Terdapat tujuh protein yang berkurang pada eritrosit


anemia hemolitik. Salah satunya adalah defisiensi NHE-1 yang
menyebabkan bentuk eritrosit berubah (menjadi sferosit) dan
berimplikasi pada peningkatan fragilitas eritrosit sehingga
mudah terjadi hemolisis (Gilligan et all., 2011). Perlu
diketahui pula bahwa identifikasi protein unik pada eritrosit
dapat menjadi salah satu penanda eritrosit untuk penyakit
sistemik secara spesifik (Pasini et all., 2010). Dapat
disimpulkan bahwa fragilitas eritrosit pada penyakit anemia
hemolitik autoimun meningkat (Ghosh, 2010), hal tersebut
berkaitan dengan adanya defisiensi protein membran eritrosit
sehingga terbentuk sferosit serta autoantibodi yang terbentuk
dalam tubuh penderita untuk melawan antigen pada eritrosit.

c. Leukimia
Leukemia merupakan keganasan progresif yang terjadi pada
organ hematopoietik yang ditandai dengan adanya perubahan
proliferasi serta perkembangan leukosit dan prekursornya dalam darah
dan sum-sum tulang. Leukemia diklasifikasikan berdasar derajat
diferensiasi sel menjadi leukemia akut dan kronis. Selain itu leukemia
juga diklasifikasikan berdasar tipe sel yang predominan menjadi
myelogenous dan lymphocytic (Dorland, 2012).
Pemeriksaan uji darah lengkap, preparat darah apus, dapat
digunakan untuk mendiagnosis leukemia. Untuk mendiagnosis
leukemia limfoblastik akut, dapat dilakukan bone marrow aspiration
(BMA) atau aspirasi sum-sum tulang. Morfologi sel blas dapat
digunakan untuk membedakan ALL dan AML (acute myeloid
lymphoblastic). Pada ALL dapat ditemukan infiltrasi limfoblas yang
menggantikan elemen sum-sum tulang normal. Limfoblas berukuran
kecil (diameter 14 µm), sitoplasma sedikit dan tidak memiliki granula.
Nukleus tidak memiliki nucleoli (Wu et all, 2012)
Pada salah satu jenis leukemia yaitu leukemia limfoblastik akut
atau acute lymphoblastic leukemia (ALL), didapatkan anemia yang
jelas terlihat secara klinis. Penelitian Ghosh pada tahun 2005
menyatakan bahwa ada peningkatan ketidakstabilan membran,
peningkatan fragilitas osmotik, dan peningkatan hidrofobisitas (Ghosh
et all, 2005).
V. KESIMPULAN

A. Fragilitas sel darah merah probandus adalah normal, karena mulai mengalami
hemolisa pada konsentrasi 0,46% NaCl, sedangkan untuk hemolisa sempurna,
fragilitas menurun, karena telah mengalami hemolisa sempurna pada
konsentrasi 0,30%.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi fragilitas sel darah merah adalah


1. Alkohol
2. Radikal bebas
3. Vitamin E
4. Usia eritrosit
5. Aktivitas fisik

C. Contoh aplikasi klinis yang berkaitan dengan fragilitas sel darah merah adalah
Sferosis (Spherocytosis), Toksisitas obat kimia, Leukemia, dan Anemia
Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia). Aplikasi klinis
fragilitas meningkat adalah Thalassemia α, Thalassemia β, dan Anemia
Definisi Besi untuk fragilitas menurun.
DAFTAR PUSTAKA

Adoe, DN. 2006. Perbedaan Fragilitas Eritrosit Antara Subyek yang Jarang
dengan yang Sering Terpapar Sinar Matahari. (diakses di
http://eprints.undip.ac.id/21398/1/Desmiyati.pdf, pada 16 September
2014).

Bakta I Made, 2013. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Chikezie, P. C., Uwakwe, A. A., & Monago, C. C. 2009. Studies of human HbAA
erythrocyte osmotic fragility index of non malarious blood in the presence
of five antimalarial drugs. (diakses pada
http://www.academicjournals.org/jcab/PDF/Pdf2009/Mar/Chikezie%20et
%20al.pdf, pada 19 September 2013).

Dorland WAN. 2012. Kamus Kedokteran Dorland (alih bahasa: Huriawati


Hartanto, dkk). Jakarta: EGC.

Ganong, William F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta : EGC.


Ghosh AK. 2010. Mayo Clinic Internal Medicine Board Review 9th Edition.
Oxford: Oxford University Press.

Ghosh S, Bandyopadhyay S, Bhattacharya DK, Mandal C. 2005. Altered


erythrocyte membrane characteristics during anemia in childhood acute
lymphoblastic leukemia. Ann Hematol. 2005 Feb; 84(2):76-84.

Greer, J.P, Foester J, Rodgers GM, et al, . 2010. Wintrobe's Clinical Hematology.
12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9,
Jakarta : EGC.
Guyton & Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit EGC.
Hasegawa, Takeshi, Jennifer L Bragg-Gresham, Ronald L Pisoni, Bruce M
Robinson, Shunichi Fukuhara, Takashi Akiba, Akira Saito, Kiyoshi
Kurokawa, Tadao Akizawa. 2011. “Changes in Anemia Management and
Hemoglobin Levels Following Revision of a Bundling Policy to
Incorporate Recombinant Human Erythropoietin”. Kidney International.
2011;79(3):340-346.
Hoffbrand, A.V, et all. 2005. Hematologi. Jakarta: EGC
Hoffman F, Benz EJ, Shattil SJ. 2009.Hematology: Basic Principles and Practice.
5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone
King, Allison A & Shalini Shenoy. 2014. “Evidence-Based Focused Review of
the Status of Hematopoietic Stem Cell Transplantation as Treatment for
Sickle Cell Disease and Thalassemia” Blood;123(20):3089-3094.

Komariah, Maria. 2009. Metabolisme Eritrosit. Diakses di :


http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/05/metabolisme_eritrosit.pdf tanggal 16 September
2014 21:57.

Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U, et al. 2009. Williams Hematology. 8th ed.
New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Martini, Nath, dan Bartholomew. 2012. Fundamentals of Anatomy and


Physiology 9th Edition. San Francisco: Pearson.

Noradina. 2011. Pengaruh Vitamin E Terhadap Fragilitas Osmotik Eritrosit Pada


Mencit (Mus Musculus L.) Jantan Dewasa Yang Dipapari Tuak. (diakses
di
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22471/4/Chapter%20II.pdf
, pada tanggal 19 September 2013).

Pasini EM, Lutz HU, Mann M, Thomas AW. 2010. Red Blood Cell (RBC)
Membrane Proteomics--Part II: Comparative Proteomics and RBC
Pathophysiology. J Proteomics. 2010 Jan 3; 73(3):421-35.

Sabio, Hernan, et all. 2011. Thalassemia-like Phenotype in a Novel Complex


Hemoglobinopathy With α, β, δ Globin Chain Abnormalities. Journal of
Pediatric Hematology/Oncology: December 2011 - Volume 33 - Issue 8 - p
589–591.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Internal
Publishing.

Tortora, Gerard J. & Bryan Derrickson. 2009. Principles of Anatomy and


Physiology 12th edition. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Zuhri, Saifudin, dkk. 2007. “Hubungan Antara Kadar Timah (Pb) Hitam dalam
Darah dengan Kadar Hemoglobin (Hb) “, Jurnal Ilmu Kesehatan(Journal
of Health Science) , Vol. 2, No.4

Anda mungkin juga menyukai