BLOK HEMATOIMUNOLOGI
Oleh :
Kelompok 5
2014
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN
BLOK HEMATOIMUNOLOGI
Oleh :
Kelompok 5
Asisten
Okmaninta Dinda
(G1A012051)
I. PENDAHULUAN
A. Judul praktikum
Pemeriksaan resistensi osmotik darah cara visual
B. Tanggal praktikum
15 september 2014
C. Tujuan praktikum
1. Untuk mengetahui fragilitas sel darah merah
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fragilitas sel darah
merah
3. Untuk mengetahui aplikasi klinis terkait fragilitas sel darah merah
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel yang
terdapat dalam darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut hemoglobin
yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 2010).
Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid
dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang
mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi
hemoglobin selama masa hidup sel tersebut. Eritrosit berbentu bikonkaf dengan
diameter sekitar 7,5 μm, dan tebal 2 μm namun dapat berubah bentuk sesuai
diameter kapiler yang akan dilaluinya, selain itu setiap eritrosit mengandung
kurang lebih 29 pg hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan jumlah eritrosit
normal sekitar 5,4jt/ μl didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6 mg/dl (Ganong,
2008).
2. Karakteristik Eritrosit :
Karakteristik eritrosit yang utama yaitu perubahan bentuk hal ini
penting karena eritrosit harus bersifat flexible untuk menyusup ke kapiler-
kapiler yang sangat kecil. Peningkatan konsentrasi hemoglobin atau
penurunan fluiditas dapat menurunkan kemampuan berubah bentuk.
Akumulasi dari merman kalsium mengakibatkan sel kaku, berkerut dan
mengurangi kemampuan berubah bentuk. Permeabilitas juga dibutuhkan
seperti H2), Cl-, HCO3- dapat melewati membran secara bebas. Pompa
kation mengatur keseimbangan Na+ dan K-. Deviasi dari permeabilitas
influk Natrium akan mengakibatkan sel berubah bentuk. Karena Secara
fungsi eritrosit berhubungan erat dengan hemoglobin, maka dibawah ini
akan dibahas juga mengenai pembentukan hem sebagai unsure pembentuk
hemoglobin (Komariah, 2009).
Gambar 1. Hasil scanning micrograf elektorn eritrosit manusia (H) Dan kambing
(G), (Komariah, 2009).
B. Fisiologi eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah adalah komponen padat utama dalam darah.
Seorang lelaki dewasa normal memiliki 4,5-6,5 juta eritosit tiap mm3
darahnya. Fungsi utama eritrosit adalah sebagai agen transport oksigen. Untuk
menjalankan fungsi ini, setiap eritrosit mengandung hampir 280 juta molekul
Hemoglobin. Hb memiliki besi (ferro) yang dapat mengikat oksigen
(Hoffmann et all, 2009).
Eritrosit hanya berusia sekitar 120 hari. Perlu diingat bahwa setiap beredar
eritrosit harus melalui berbagai mikrosirkulasi, di mana eritrosit harus menahan
tekanan dan merubah bentuk. Hal ini akan membebani dan mengurangi daya
tahan membran eritrosit hingga akhirnya dihancurkan oleh limpa.
Untuk mengganti eritrosit yang rusak, perlu dibentuk eritrosit baru. Setiap
harinya, sekitar 1012 eritrosit diproduksi baru melaui proses eritropoiesis.
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit. Proses ini dipengaruhi oleh
hormon eritropoietin (EPO) yang diproduksi oleh ginjal. Proses eritropoiesis
secara umum dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut :
1. Tahap Pembelahan (Mitosis)
Tahap ini diawali dari pembelahan dan diferensiasi dari hematopoietic
stem cell menjadi myeloid stem cell. Perubahan ini dipengaruhi oleh IL-1,
IL-6, IL-3 (King & Shenoy, 2014). Myeloid stem cell kemudian akan
berdiferensiasi menjadi erythro progenitor cell. Perubahan in dipengaruhi
oleh GM-CSF (Granulocyte-Monocyte Colony Stimulating Factor) dan
IL-3. Pembelahan kemudian dilanjutkan membentuk proerythroblast,
basophilic erythroblast, hingga polychromatic erythroblast. Pada orang
dewasa, proses ini terjadi pada sumsum tulang pipih/tulang pendek
(Lichtman et all, 2009).
2. Tahap Maturasi (Maturasi)
Polychromatic erytroblast kemudian akan semakin matang menjadi
ortochromatic erythroblast, retikulosit hingga akhirnya menjadi eritrosit
matur. Pada tahap ini terjadi pematangan sel baik secara struktural maupun
fungsional. Selama perkembangan sel darah merah, terjadi hal-hal berikut:
a. Penyusutan ukuran sel
Semakin matur, sel darah merah akan berukuran semakin kecil.
b. Perubahan warna sitoplasma
Semakin matur, sel darah merah akan berwarna semakin merah, Hal
ini terkait denga akumulsi hemoglobin yang produksinya telah dimulai
sejak fase proerythroblast.
c. Perubahan inti
Semakin matur, inti sel akan semakin terkondensasi dan mendekati
pinggir sel. Hingga akhirnya inti sel akan dikeluarkan pada akhir fase
ortochromatic erythroblast. Nukleolus juga akan semakin berkurang
hingga akhirnya hilang sama sekali pada fase polichromatic
erythroblast (Greer et all, 2010).
1) Tahap Pembebasan (Release)
Pada tahap ini sel darah dibebaskan ke peredaran darah perifer.
Sel-sel retikulosit akan keluar dari sumsum dan memasuki
pembuluh darah secara diapedesis melaui celah antarendotel
pembuluh darah.
Keseluruhan proses eritropoiesis berlangsung selama sekitar
tujuh hari. Berikut skema pembentukan eritrosit.
C. Metabolisme eritrosit
Sel darah merah manusia tidak mempunyai mitokondria dan sepenuhnya
tergantung pada glikolisis untuk menghasilkan ATP. Transporter glukosa
GLUT-1, dinyatakan dalam sel darah merah, memiliki afinitas tinggi untuk
glukosa ekstraseluler dan tetap jenuh di bawah konsentrasi fisiologis glukosa.
Heksokinase (HK), yang mengkatalisis langkah awal glikolisis dalam sel darah
merah, juga memiliki Km rendah (afinitas tinggi) untuk glukosa intraseluler.
Dengan demikian, tingkat inisiasi glikolisis dipastikan bahkan ketika
konsentrasi glukosa plasma rendah. ATP dibutuhkan oleh pompa ion untuk
mencegah pembengkakan sel dan juga digunakan dalam banyak proses
enzimatik lainnya endergonik. ATP adalah substrat yang diperlukan untuk dua
tingkat-membatasi langkah awal dalam glikolisis (HK, PFK), namun ATP
berlebih dapat downregulate glikolisis melalui penghambatan PFK. Sebagian
besar glukosa memasuki sel diubah menjadi laktat melalui glikolisis (dalam
model kami, 87,5% di bawah normoxic mapan kondisi), dengan sisanya masuk
pentosa-fosfat jalur (dalam model kami, 12,5%). Rute ini menyediakan
berkurang nicotinamide adenine dinukleotida fosfat (NADPH), yang mencegah
oksidasi sel secara langsung dan tidak langsung melalui konversi glutathione
dari bentuk oksidatif kembali ke bentuk aktif berkurang nya (Kinoshita, 2010).
Salah satu jalur yang paling khas di sel darah merah adalah siklus
Rapoport-Luebering, yang menghasilkan konsentrasi tinggi dari 2,3-
diphosphoglycerate (2,3-BPG), pengalihan glikolisis dari 1,3-
disphosphoglycerate (1,3-BPG ) yang mencegah kelebihan produksi ATP
dengan melewati proses dikatalisis oleh kinase phosphoglycerate (PGK).
Peningkatan 2,3-BPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin ke
jaringan. Dengan cara ini, meskipun mengikat dan pelepasan molekul gas
(oksigen, karbon dioksida, dan sebagainya) melalui hemoglobin tidak
memerlukan energi, pengaturan fluks glikolitik, yang penting untuk menjaga
kapasitas oksigen transportasi melalui pemeliharaan tingkat yang memadai dari
ATP dan 2,3-BPG (Kinoshita, 2010).
Methaemoglobinaemia muncul dari produksi non-fungsional hemoglobin
yang mengandung teroksidasi Fe3+ yang menghasilkan pasokan oksigen
berkurang ke jaringan dan bermanifestasi sebagai sianosis pada pasien. Hal ini
dapat berkembang dengan tiga mekanisme yang berbeda: mutasi genetik yang
mengakibatkan adanya hemoglobin abnormal, kekurangan enzim reduktase
methaemoglobin dan racun-diinduksi oksidasi hemoglobin. Lipatan
hemoglobin normal membentuk saku untuk mengikat haem dan menstabilkan
kompleks dengan molekul oksigen, sekaligus mencegah oksidasi spontan dari
Fe2+ ion chelated oleh Pyrrole haem dan histidine globin. Dalam bentuk normal
M hemoglobin (Hb Ms) asam amino substitusi di atau dekat saku haem
menciptakan kecenderungan untuk membentuk methaemoglobin bukan
oksihemoglobin di hadapan molekul oksigen. Biasanya, hemoglobin terus
mengoksidasi namun akumulasi yang signifikan dari methaemoglobin dicegah
oleh aksi sekelompok enzim reduktase methaemoglobin. Dalam bentuk resesif
autosomal dari methaemoglobinamea ada kekurangan salah satu enzim
reduktase sehingga memungkinkan akumulasi teroksidasi Fe3+ di
methaemoglobin (Percy, 2004).
Gambar 5. Metabolisme Eritrosit
D. Fragilitas eritrosit
B. Cara kerja
1. Mengambil 3cc darah vena pada probandus dengan menggunakan spuit
3cc, torniquet, kapas, dan alkohol. Lalu mengalirkan darah tersebut ke
dalam vacum med yang telah mengandung EDTA.
2. Menyusun 12 tabung reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris, masing-
masing berisi 6 tabung.
3. Menuliskan nomor pada tabung dari kiri ke kanan secara berurutan dari 25
sampai 14 (nomor 25-20 sebagai pengamatan permulaan hemolisis dan 19-
14 sebagai pengamatan hemolisis sempurna).
4. Meneteskan larutan NaCl 0,5% dengan pipet sesuai dengan nomo yang
tertera pada tabung.
5. Meneteskan larutan aquadest pada tiap tabung, sampai volumenya
berjumlah 25 tetes tiap tabung.
6. Konsentrasi NaCl pada masing-masing larutan menjadi: 0,5%; 0,48%;
0,46%; 0,44%; 0,42%; 0,40%; 0,38%; 0,36%; 0,34%; 0,32%; 0,30%; dan
0,28%.
7. Meneteskan 1 tetes darah pada masing-masing tabung dan
mendiamkannya selama 1 jam.
8. Memperhatikan hasilnya dengan melihat percampuran darah dengan
larutan pada tiap barisnya.
C. Nilai normal
Permulaan lisis : pada NaCl 0,44% (0,44 0,02% NaCl)
Hemolisis sempurna : pada NaCl 0,34% (0,34 0,02% NaCl)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Probandus
Nama : Indo Mahardika
Usia : 19 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Dari pemeriksaan daya tahan osmotic visual yang telah kelompok kami
lakukan, di dapatkan hasil bahwa tabung yang mengalami reaksi initial
hemolysis adalah tabung dengan nomer 23, sedangkan tabung yang mengalami
reaksi total hemolysis adalah tabung dengan nomer urut 15. Pada praktikum
kali ini initial hemolysis normal tetapi pada normal hemolysis terjadi
penurunan fragilitas eritrosit.
C. Aplikasi klinis
1. Fragilitas menurun
a. Polistitemia Vera
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti poly
(banyak), cyt (sel), hemia (darah) sedang vera (benar) adalah suatu
penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif dimana terjadi klon
abnormal pada hemopeotik sel induk dengan peningkatan sensitivitas
pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya maturasi yang
berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering
diartikan sama antara polistemia dan eritrosistosis, pada
polisitemia(banyak sel) menggambarkan peningkatan dari total
kuantitas atau volume dari sel darah pada tubuh tanpa memperdulikan
jumlah leukosit atau trombosit. sedangkan peningkatan jumah dan
volume saja dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan
hematrokit adalah lebih benar disebut eritrositosis (Darwin, 2011).
Polisitemia vera merupakan suatu penyakit yang melibatkan unsur-
unsur hemopoetik dalam sumsum tulang mulainnya diam-diam tetapi
progresif, kronik terjadi karena sebagian populasi eritrosit berasal dari
satu klon sel induk darah yang abnormal. Sel induk abnormal ini tidak
memerlukan EPO untuk pematangan , hal ini jelas membedakannya
dari eritosistosis atau polisitemia sekunder dimana EPO meningkat
secara fisiologis (Darwin, 2011).
2) Manifestasi Klinis
3) Patofisiologi
Polisitemia adalah peningkatan jumlah sel darah merah.
Polisitemia primer (polisitemia vera) ditandai dengan peningkatan
jumlah trombosit dan granulosit serta sel darah merah, dan diyakini
sebagai awal terjadinya abnormalitas sel (Corwin,2009).
Polisitemia dapat timbul sebagai akibat hipoksia kronis.
Hipoksia kronis menyebabkan peningkatan pelepasan hormon
ginjal EPO, yang merangsang pembentukan sel darah merah.
Individu yang tinggal didataran tinggi atau mengidap penyakit paru
kronis sering mengalami polisitemia sekunder. Atlit yang
menerima doping darah, yaitu menerima transfusi sendiri dari
kantong sel darah sebelumnya, menunjukkan polisitemia. dan pada
akhirnya, polisitemia dapat bersifat relatif, bukan absolut. Selama
dehidrasi, sebagai contoh, penurunan volume plasma ditunjukan
dengan peningkatan konsentrasi sel darah. Polistemia dengan
berbagai macam sebab dikatikan dengan peningkatan pembentukan
trombus dan peningkatan beban kerja jantung (Corwin, 2009).
4) Komplikasi
Kelebihan sel darah merah dapat dikaitkan dengan komplikasi
lain, kemungkinan Komplikasi :
a) Batu Ginjal
b) Asam urat
c) Gagal jantung
d) Leukemia
e) Myelofibrosis
f) Penyakit ulkus peptikum
g) Trombosis (pembekuan darah, yang dapat menyebabkan stroke
atau serangan jantung)
h) Perdarahan dari lambung atau bagian lain pada saluran
pencernaan
b. Iketerik Obstruktif
Ikterus secara umum dibagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik,
ikterus hepatik dan ikterus post hepatik atau yang disebut ikterus
obstruktif atau surgical jaundice. Ikterus obstruktif adalah suatu gejala
utama penyakit batu empedu dan saluran empedu, dimana terjadi
obstruksi karena batu atau sebab-sebab lain, sehingga aliran bilirubin
yang telah terkonjugasi terganggu. Disebut juga ikterus posthepatik
karena penyebab terjadinya ikterus ini adalah pada daerah posthepatik,
yaitu setelah bilirubin dialirkan keluar hepar. Sedangkan nama
surgical jaundice dipakai karena pada ikterus ini terapi utamanya
adalah dengan pembedahan (Arshat,2010).
2) Patofisiologi
Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase bilirubin
direk sehingga bilirubin tidak dapat diekskresikan kedalam
usushalus dan akibatnya terjadi aliran balik kedalam pembuluh
darah. Akibatnya kadar bilirubin direk meninggi pada lairan darah
dan penderita menjadi ikterik. Ikterus paling pertama terlihat pada
jaringan ikat longgar seperti sublingual dan sklera. Karena kadar
bilirubin darah meningkat maka sekresi bilirubin dari ginjal akan
meningkat sehingga urine akan menjadi gelap dengan bilirubin
urine positif. Sedangkan karena bilirubin yang diekskresikan ke
feaces berkurang maka warna faeces akan menjadi berkurang dan
faeces akan berwarna pucat seperti dempul ( acholis ). Pada
pemeriksaan laboratorium selain kadar bilirubin yang meningkat
dapat juga ditemukan peningkatan alkali fosfatase dan Gamma
GT sebagai penanda terjadinya obstruksi (Kimura, 2009).
Karena tidak adanya empedu maka terjadi malabsorpsi lemak
sehingga terjadi steatorrhea dan diefesiensi vitamin larut dalam
lemak ( Vitamin A, D, E, K). Diefensiensi vitamin K akan
menyebabkan penurunan kadar protrombin darah yang akan
memperpanjan waktu pembekuan darah (Kimura, 2009).
3) Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul dari ikterus neonatorum
terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan
bilirubin indirect pada otak terutama pada korpus striatum,
thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar
ventrikel IV (Ngastiyah, 2005)
Kern ikterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirect pada otak. Kern ikterus ialah ensefalopati
bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan
dengan ikterus berat dan disertai penyakit hemolitik berat dan
pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern iterus
secara klinis berbentuk kelainan syaraf spatis yang terjadi secara
kronik (Markum, 2005).
2. Peningkatan Frgilitas
a. Tranfusi Darah
Tranfusi ialah proses pemindahan darah atau komponen darah dari
seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Bahan-bahan yang dapat d
tranfusikan adalah (Bakta, 2013) :
1) Darah (Whole Blood)
2) Komponen Plasma
Tranfusi darah merupakan pedang bermata dua, yang jika
diberika dengan tepat akan menyelamatkan penderita, tetapi jika
salah diberikan dapat menimbulkan efek samping disebut reaksi
tranfusi bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu,
indikasi tranfusi darah harus diketahui dengan baik. Indikasi
pemberian tranfusi darah sebagai berikut (Bakta, 2013):
a) Defisiensi fakto pembekuan
b) DIC
c) Mengatasi efek warfarin berlebihan
d) Koagulopati dilusional
e) Perdarahan pada penyakit hati
f) TTP
b. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses
hemolisis. Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh
darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-rata eritrosit yaitu
120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (snescence),
yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah cukup umurnya.
Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (ekstravaskuler) yang
membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda (Bakta, 2013).
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada
darah tepi akan direspon oleh tubuh dengan peningkatan eritrosit
dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk
meningkatkan eritropoesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila
derajat hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritosit
sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan
kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut
keadaan hemolisis terkompensasi. Akan tetapi, jika kemampuan
kompensasi sumsum tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang
kita kenal sebagai anema hemolitik. Anemia hemolitik merupakan
anemia yang tidak terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai
memerlukan pendekatan diagnostik yang tepat (Bakta, 2013).
Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan penyebabnya dapat
dilihat sebagai berikut (Bakta, 2013) :
1) Anemia hemolitik karena faktor didalam eritrosit sendiri (intra-
korpuskuler) yang sebagian besar bersifat hereditas-familer.
2) Anemia hemolitik karena faktor diluar eritrosit (ekstra-korpuskuler)
yang sebagian besar bersifat didapat (acquired).
c. Leukimia
Leukemia merupakan keganasan progresif yang terjadi pada
organ hematopoietik yang ditandai dengan adanya perubahan
proliferasi serta perkembangan leukosit dan prekursornya dalam darah
dan sum-sum tulang. Leukemia diklasifikasikan berdasar derajat
diferensiasi sel menjadi leukemia akut dan kronis. Selain itu leukemia
juga diklasifikasikan berdasar tipe sel yang predominan menjadi
myelogenous dan lymphocytic (Dorland, 2012).
Pemeriksaan uji darah lengkap, preparat darah apus, dapat
digunakan untuk mendiagnosis leukemia. Untuk mendiagnosis
leukemia limfoblastik akut, dapat dilakukan bone marrow aspiration
(BMA) atau aspirasi sum-sum tulang. Morfologi sel blas dapat
digunakan untuk membedakan ALL dan AML (acute myeloid
lymphoblastic). Pada ALL dapat ditemukan infiltrasi limfoblas yang
menggantikan elemen sum-sum tulang normal. Limfoblas berukuran
kecil (diameter 14 µm), sitoplasma sedikit dan tidak memiliki granula.
Nukleus tidak memiliki nucleoli (Wu et all, 2012)
Pada salah satu jenis leukemia yaitu leukemia limfoblastik akut
atau acute lymphoblastic leukemia (ALL), didapatkan anemia yang
jelas terlihat secara klinis. Penelitian Ghosh pada tahun 2005
menyatakan bahwa ada peningkatan ketidakstabilan membran,
peningkatan fragilitas osmotik, dan peningkatan hidrofobisitas (Ghosh
et all, 2005).
V. KESIMPULAN
A. Fragilitas sel darah merah probandus adalah normal, karena mulai mengalami
hemolisa pada konsentrasi 0,46% NaCl, sedangkan untuk hemolisa sempurna,
fragilitas menurun, karena telah mengalami hemolisa sempurna pada
konsentrasi 0,30%.
C. Contoh aplikasi klinis yang berkaitan dengan fragilitas sel darah merah adalah
Sferosis (Spherocytosis), Toksisitas obat kimia, Leukemia, dan Anemia
Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia). Aplikasi klinis
fragilitas meningkat adalah Thalassemia α, Thalassemia β, dan Anemia
Definisi Besi untuk fragilitas menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Adoe, DN. 2006. Perbedaan Fragilitas Eritrosit Antara Subyek yang Jarang
dengan yang Sering Terpapar Sinar Matahari. (diakses di
http://eprints.undip.ac.id/21398/1/Desmiyati.pdf, pada 16 September
2014).
Chikezie, P. C., Uwakwe, A. A., & Monago, C. C. 2009. Studies of human HbAA
erythrocyte osmotic fragility index of non malarious blood in the presence
of five antimalarial drugs. (diakses pada
http://www.academicjournals.org/jcab/PDF/Pdf2009/Mar/Chikezie%20et
%20al.pdf, pada 19 September 2013).
Greer, J.P, Foester J, Rodgers GM, et al, . 2010. Wintrobe's Clinical Hematology.
12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9,
Jakarta : EGC.
Guyton & Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit EGC.
Hasegawa, Takeshi, Jennifer L Bragg-Gresham, Ronald L Pisoni, Bruce M
Robinson, Shunichi Fukuhara, Takashi Akiba, Akira Saito, Kiyoshi
Kurokawa, Tadao Akizawa. 2011. “Changes in Anemia Management and
Hemoglobin Levels Following Revision of a Bundling Policy to
Incorporate Recombinant Human Erythropoietin”. Kidney International.
2011;79(3):340-346.
Hoffbrand, A.V, et all. 2005. Hematologi. Jakarta: EGC
Hoffman F, Benz EJ, Shattil SJ. 2009.Hematology: Basic Principles and Practice.
5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone
King, Allison A & Shalini Shenoy. 2014. “Evidence-Based Focused Review of
the Status of Hematopoietic Stem Cell Transplantation as Treatment for
Sickle Cell Disease and Thalassemia” Blood;123(20):3089-3094.
Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U, et al. 2009. Williams Hematology. 8th ed.
New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Pasini EM, Lutz HU, Mann M, Thomas AW. 2010. Red Blood Cell (RBC)
Membrane Proteomics--Part II: Comparative Proteomics and RBC
Pathophysiology. J Proteomics. 2010 Jan 3; 73(3):421-35.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Internal
Publishing.