Anda di halaman 1dari 44

TUTORIAL

LEPRA
KEPANITERAAN KLINIK IKAKOM 1

Pembimbing :
dr.Tutik

Disusun Oleh:
Kelompok Puskesmas Ciputat
Andre Bastiazeno 2933.1238.2013
Azhariansyah 2933.1239.2013
Azizah Khairina 2944.1265.2013
Ilham Ghifari 2955.1293.2013
Nadira Juanti P 2955.1292.2013
Putri Desti Juita S 2944.1266.2013
Syifa Ramadhani 2933.1237.2013
Tian Tiffani 2955.1294.2013

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya pada kelompok kami, sehingga dapat menyelesaikan laporan
tutorial ini. Shalawat serta salam tidak lupa kami junjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin Ya Rabbal’alamin.
Laporan ini kami buat untuk memenuhi tugas tutorial. Tugas ini ialah hasil
diskusi dari semua anggota kelompok Puskesmas Ciputat. Terimakasih kami ucapkan
pada tutor kami dr. Tutik yang telah membantu kami dalam kelancaran pembuatan
laporan ini. Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
mencari informasi, mengumpulkan data dan menyelesaikan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami pada khususnya dan bagi pada
pembaca pada umumnya.

Laporan kami masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan untuk menambah
kesempurnaan laporan kami.

Jakarta, 18 Mei 2017

Kelompok Puskesmas Ciputat


Skenario

Seorang laki-laki, berusia 35 tahun, datang ke poliklinik RS dengan keluhan jari-jari


tangan kirinya terasa baal sejak satu bulan yang lalu. Pada lengan bawah kiri terdapat
banyak bercak-bercak putih. Pemeriksaan fisis: tampak lesi makulo-anestetik di
daerah lengan bawah kiri.

Pertanyaan:

1. Jelaskan fungsi kulit dan histologi kulit


2. Jelaskan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kusta
3. Jelaskan mekanisme baal pada skenario
4. Jelaskan patomekanisme dari gejala-gejala yang ada pada skenario
5. Jelaskan alur diagnosis berdasarkan pada skenario
6. Jelaskan WD dari kasus di skenario
7. Jelaskan penatalaksanaan pada kasus di skenario
PEMBAHASAN

1. Jelaskan fungsi kulit dan histologi kulit!


Secara mikrokopis kulit terdiri dari tiga lapisan:
1. Epidermis
2. Dermis
3. Lemak subkutan
Epidermis, bagian terluar kulit terbagi menjadi dua lapisan utama: lapisan sel sel tidak
berinti yang bertanduk (stratum korneum atau lapisan tanduk), dan lapisan dalam yaitu
stratum malfigi. Stratum malfigi ini merupakan asal sel sel permukaan bertanduk
setelah mengalami proses diferensiasi. Stratum malfigi dibagi menjadi:
a. Stratum granulosum
b. Lapisan sel basal (stratum germinativum). Lapisan basal sebagian besar terdiri
dari sel sel epidermis yang sebagian besar tidak berdiferensiasi yang terus
menerus mengalami mitosis. Kalau sel ini mengalami mitosis, salah satu sel
anak akan tetap berada dilapisan basal untuk kemudian membelah lagi,
sedangkan sel yang lain bermigrasi keatas menuju stratum spinosum.
c. Stratum spinosum. Sel diferensiasi utama stratum spinosum adalah keratinosit
yang membentuk keratin suat protein fibrosa. Pada waktu keratinosit
meninggalkna stratum spinosum dan bergerak keatas, sel sel ini akan
mengalami perubahan bentuk, orientasi, struktur sitoplasmik dan komposisi.
Proses ini mengakibatkan transformasi dari sel sel yang hidup, aktif mensintesis
menjadi sel sel yang mati dan bertanduk dari stratum korneum, suatu proses
yang dinamakan keratinasi.
Sel utama kedua epidermis (setelah keratinosit) adalah melanosit, ditemukan dalam sel
basal. Perbandingan sel sel basal terhadap melanosit adalah 10:1. Didalam melanosit
disintesis granula granula pigmen yang disebut melanosom. Melanosom mengandung
biokroma coklat yang disebut melanin. Melalui tonjolan tonjolan dendritic yang
panjang, melanosom tersebut dipindahkan ke keratinosit. Setiap melanosit saling
berhubungan melalui tonjolan tonjolan ini dan sekitar 36 keratinosit membentuk apa
yang disebut sebagai unit melanositmelanin epidermis. Jumlah melanin dalam
keratinosit menentukan warna dari kulit. Melanin melindungi kulit dari pengaruh
pengaruh amtahari yang merugikan. Sebaliknya, sinar matahari meningkatkan
pembentukan melanosom dan melanin.

Dermis terletak tepat dibawah epidermis dan terdiri dari serabut serabut kolagen,
elastin dan retikulin. Matriks kulit mnegandung pembuluh pembuluh darah dan saraf
yang menyokong dan saraf yang menyokong dan memberi nutrisi pada epidermis yang
sedang tumbuh. Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel
mast dan neutrofil polimorfonuklear ( PMN ) yang melindungi tubuh dari infeksi dan
invasi benda benda asing. Serabut serabut kolagen khusus menambatkan sel sel basal
epidermis pada dermis.

Dibawah dermis terdapat lapisan kulit ketiga yaitu lemak subkutan. Lapisan ini
merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh dan tempat
penyimpanan energy. Dari sudut kosmetik, lemak subkutan ini mempengaruhi daya
tarik seksual kedua jenis kelamis.

Perubahan hispatologi
1. Di epidermis
a. Hiperkeratosis adalah penebalan stratum korneum. Bila inti inti sel masih terlihat
pada penebalan stratum korneum disebut parakeratosis, sedangkan bila tidak lagi
terlihat inti desebut ortokeratosis. Ada tiga macam ortokeratosis, yaitu padat (
kompak ), seperti anyaman keranjang ( basket – wovwn ) dan berlapis ( lamellar
)
b. Hipergranulosis adalah peneballan stratum granulosum.
c. Hyperplasia adalah epidermis yang menjadi lebih tebal oleh karena sel selnya
bertambah jumlahnya.
d. Ankatosis adalah penebalan stratum spinosum.
e. Hipoplasia adalah epidermis yang menipis oleh karena jumlah selnya berkurang.
f. Hipertrofi adalah epidermis yang menebal oleh karena sel selnya bertambah
besar.
g. Atrofi adalah penipisan epidermis karena sel selnya mengecil dan berkurang,
biasanya disertai rete riges yang mendatar
h. Spongiosis adalah penimbunan cairan di antara sel sel epidermis sehingga celah
diantara sel selnya bertambah renggang.
i. Degenerasi balon adalah edema didalam sel epidermis sehinggal sel menjadi
besar dan bulat, juga disebut degenerasi retikuler.
j. Eksositosis adalah sel sel radang yang masuk kedalam epidermis, dapat pula sel
darah merah
k. Akantolisis adalah hilangnya daya kohesi antar sel sel epidermis sehingga
menyebabkan terbentuknya celah, vesikel atau bula didalam epidermis.
l. Sel diskeratotik adalah sel epidermis yang mengalami keratinisasi lebih awal,
sitoplasma eosinofilik dan intinya kecil, kadang kadang tidak tampak lagi.
m. Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan setempat pada organisme yang masih
hidup.
n. Degenerasi hidropik stratum basale adalah rongga rongga dibawah atau diatas
membrane basalis yang dapat berganung dan terisi serum, sehingga lambat laun
dapat meusak susunan stratum basale yang mula mula teratur sepeti pagar
menjadi tidak teratur. Demikian pula pigmen melanin yang terdapat dalam sel
basal dapat jatuh kedalam dermis bagian atas dan lalu ditangkap oleh melanofag.
o. Celah ( cleft ) adalah sebuah ruangan tanpa cairan epidermis.

2. Di Dermis.
a. Dermis terdiri atas dermis pars papilaris dan dermis pars pars retikularis.
Perubahan perubahan yang terjadi dapat mengenai jaringan ikat atau berupa
serbukan sel radang, juga penimbunan cairan dalam jaringan (edema). Papil
yang memanjang melampaui batas permukaan kulit disebut papilomatosis; pada
keadaan terntentu papil dapat menghilang atau mendatar.
b. Fibrosis adalah jumlah kolagen bertambah seta susunannya berubah, dan
fibroblast bertambah banyak.
c. Skelrosis adalah jumlah kolagen bertambah, susunan berubah, tampak lebih
homogeny dan eosinofilik seperti degenerasi hialin dengan jumlah fibroblast
yang berkurang. Pada proses pedangan berbagai sel dapat ditemukan dalam
dermis, misalnya neutrofil, limfosit, sel plasma, histiosit, dan eosinofil. Sel sel
tersebut dapat tersebar didalam dermis diantara serabut serabut kolagen atau
tersusun disekitar pembuluh darah (perivascular). Dapat pula tersusun didermis
bagian atas sejajar dengan spidermis sehingga menyerupai pita (band like),
disebut likenoid, atau mengelompok membentuk bulatan dengan batas tegas
seperti bola kecil, disebut nodular. Bila masuk kedinding, pembuluh darah
menyebabkan peradangan pembuluh darah (vaskulitis).
d. Granuloma adalah histiosit yang tersusun berkelompok.
e. Jaringan granulasi adalah penyembuhan luka yang terdiri atas jaringan
edematosa, proliferasi pembuluh darah, dan sel radang campuran.

3. Dijaringan Sub kutis


Banyak penyakit kulit yang kelainannya lebih menonjol di jaringan subkutis,
misalnya: eritema nodosum. Scleroderma, dan jamur dalam. Kelainan dapat berupa
peradangan, proses degenerative, nekrosis jaringan atau vaskulitis.
Hasil pemeriksaan hispatologik tidak selalu spesifik untuk setiap penyakit, bahkan
seing pula beberapa penyakit kulit yang berbeda, memberi gambaran histo[atologi
yang mirip. Oleh karena itu data klinis yang lengkap sangat membantu menentukan
kesimpulan pemeriksaan histopatologik (P.A).
2. Jelaskan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kusta!
a. Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan
penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan
karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri,
mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab
tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak
sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga
menurun kemampuannya.
Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus
kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari jenis,
keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta kepemilikan
(Scoeman, 1991). Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami
kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit kusta
menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti, 1997). Penyebab terbesar menurunnya kasus
kusta adalah meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat
sosial ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik 38 pada,
pencahayaan, ventilasi, kepadatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan gizi dapat
terpenuhi.
Faktor sosial ekonomi ini merupakan salah satu karakteristik tentang faktor
orang, perlu mendapat perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi sangat erat
hubungannya dengan pekerjaan dan jenis pekerjaan serta besarnya pendapatan
keluarga juga hubungan dengan lokasi tempat tinggal, kebiasaan hidup keluarga,
termasuk kebiasaan makan, jenis rekreasi keluarga, dan lain sebagainya. Status sosial
ekonomi erat pula hubungannya dengan faktor psikologi individu dan keluarga dalam
masyarakat. Status
ekonomi sangat sulit dibatasi, hubungan dengan kesehatan juga kurang nyata, yang
jelas bahwa kemiskinan erat hubungannya dengan penyakit hanya sulit dianalisa
managemen sebab, dan yang mana akibat. Status ekonomi menentukan kwalitas
makanan, hunian, kepadatan gizi, taraf pendidikan, tersediannya fasilitas air bersih,
sanitasi kesehatan lainnya, besar kecil keluarga, dan tehnologi.
b. Umur
Kebanyakan peneliti melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, karena pada saat
timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering
terkait umur pada saat ditemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Kusta diketahui
terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70
tahun), namun yang 39 terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Berdasarkan
penelitian di RSK Sitanala Tangerang oleh Tarusaraya dkk (1996), dinyatakan bahwa
dari 1153 responden diperoleh hasil bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia
prosuktif 19-55 tahun (76,1%).12) Ghimire (1996), menyatakan bahwa terjadi
kecacatan sekunder pada usia dibawah 30 tahun. Hal ini disebabkan oleh bahaya yang
terpapar pada saat beraktifitas.

c. Jenis kelamin
Penyakit kusta dapat mengenai dari semua jenis kelamin, baik laki-laki maupun
perempuan. Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang kusta dari pada wanita.
Rendahnya kejadian kusta pada wanita disebabkan karena beberapa faktor antara lain
faktor lingkungan dan faktor biologis (Ghimire, 1996).
Tarusaraya, dkk, (1996) tingkat kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada
wanita. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, dan merokok.
Ghimire (1996) penelitian yang dilakukan di Nepal 67% wanita mengalami kecacatan
sekunder.

d. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki semangat spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri dari pendidikan dasar (SD/SMP/Sederajat), pendidikan menengah
(SMA/Sederajat) serta pendidikan tinggi (Diploma/sarjana/magister/spesialis) (UU No
20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional). Status pendidikan berkaitan
denga tindakan pencarian pengobatan penderita kusta. Rendahnya tingkat pendidikan
dapat mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit, halini
dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin parah. Ghimire (1996),
diperoleh hasil bahwa kelompok tidak terpelajar (64%) lebih banyak mengalami
kecacatan sekunder. Hal ini disebabkan pada kelompok terpelajar lebih mengerti dan
mengikuti instruksi tenaga kesehatan.

e. Pekerjaan
Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari
penghasilan dengan bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
terjadinya cacat pada kusta. Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire (1996),
membagi responden dalam dua kategori, yaitu mereka yang bekerja secara “manual
worker” dan “non manual worker”. Diperoleh hasil, 64% pada “manual worker”
mengalami kecacatan sekunder, hal ini disebabkan karena Nepal adalah Negara
pertanian, banyak yang bekerja sebagai petani. Selain itu karena pasien-pasien kusta
lebih suka menyendiri sehingga kegiatan sehari-hari juga dilakukan sendiri.

3. Jelaskan mekanisme baal pada skenario


Patogenesis Kerusakan Saraf pada Sel Schwann oleh M. leprae

1. Pada tipe tuberculosis: karena infiltrasi M. leprae pada sel Schwann, terjadi
reaksi radang hebat, oleh karena reaksi imunologis di dalamnya, timbul
edema, lesi vaskuler, iskemi, nekrosis/perkejuan parenkim saraf.
2. Sel Schwann mempunyai kesanggupan in vitro untuk membuat sejumlah
besar komponen myelin dan lemak-lemak lainnya yang dapat dipakai oleh
M. leprae
3. Sel Schwann yang mengandung M. leprae, dapat menjadi sumber infeksi
primer dan persisten untuk kebocoran basil/antigen basil yang terus
menerus ke dalam sirkulasi yang bertanggung jawab terhadap infeksi yang
menetap atau kambuh.
4. Sel Schwann dari serabut yang tidak bermielin memperlihatkan afinitas
yang lebih besar terhadap M. leprae daripada serabut yang bermielin.
5. Beberapa bukti baru menunjukkan suatu glikoprotein (a-dystroglican) yang
mengikat ke permukaan M. leprae juga terikat pada suatu molekul di
permukaan sel Schwann dan menyediakan mekanisme potensial untuk
internalisasi dari basil oleh sel Schwann.

4. Jelaskan patomekanisme dari gejala-gejala yang ada pada skenario!

a. Bercak-Bercak Putih/Lesi Makulo-anestetik


Penyebab dan mekanisme terjadinya hipopigmentasi pada penyakit lepra belum
diketahui dengan jelas. Terdapat hipotesis bahwa infiltrasi inflamasi local dapat
mengganggu pembentukan pigmen. Mycobacterium leprae mungkin
mengalihkan dihydroxyphenylalanine (DOPA) dari jalur sintesis melanin untuk
kebutuhan metabolismenya sendiri. Melanin dibentuk oleh melanosit dengan
bantuan enzim tirosinase. Melanosit mengandung organel-organel sitoplasma
yang disebut dengan melanosom, tempat pembentukan melanine dari tirosin.
Tirosin diubah menjadi DOPA oleh enzim tirosinase. Dalam melanosit, DOPA
mengalami oksidasi menjadi kuinon, yang mengalami polimerisasi membentuk
pigmen melanine. Berkurangnya DOPA yang diubah menjadi melanin akibat
infeksi M. leprae menyebabkan berkurangnya melanin yang dibentuk, sehingga
mengakibatkan terjadinya hipopigmentasi yang ditandai dengan timbulnya
bercak-bercak putih.

Basil lepra bersifat neurotropic dan menunjukkan kecenderungan untuk


menempati sel dan jaringan yang mengandung banyak katekolamin. Kemudian
histiosit atau sel-sel Schwann dihancurkan yang disebabkan karena respon
imun terhadap M. leprae. Karena area yang mengalami hipopigmentasi
berhimpit atau berdekatan dengan area yang mengalami anestesi, maka bercak-
bercak tersebut bersifat makulo-anestetik.

b. Kerusakan Saraf
Etiologi/Patofisiologi kerusakan saraf dapat dibagi dalam 3 bentuk:
1. Lesi intravasikuler
2. Lesi intraneural-ekstravasikuler
3. Lesi ekstraneural

1. Lesi Intravasikuler
Lesi Intravasikuler disebabkan oleh pengaruh basil secara langsung pada sel
Schwann. Ini merupakan tanda khas tipe lepromatosa. Serangan saraf
tersembunyi dan lambat walaupun terjadinya sangat dini dan menimbulkan
gangguan fungsi saraf yang berat. Keadaan ini dapat berlangsung tanpa rasa
nyeri sebagai gejala awal suatu neuritis akut. Pada batang saraf yang
mengalami infiltrasi basil, terbentuk sikatriks yang menyebabkan fibrosis
dan saraf kaku. Saraf tidak menebal, tetapi terdapat gangguan konduksi.

2. Lesi Intraneural-Ekstravasikuler
Dalam keadaan reaksi kusta oleh karena fenomena imun, terjadi gejala
radang pada batang saraf berupa edema intervasikuler. Fungsi saraf tiba-
tiba berkurang. Fibrosis epineural mencegah perluasan sekunder dari edema
intervasikuler, meningkatkan tekanan intraneural, dan menimbulkan
kerusakan saraf. Terjadi obliterasi vaskuler dan iskemi batang saraf yang
telah mengalami vaskulitis leprosa yang khas sehingga memperberat
pengurangan fungsi saraf.

3. Lesi Ekstraneural
Lesi ekstraneural terjadi karena penekanan dalam saluran osteofibrosa dan
jalan myelin yang sempit seperti Guyon canal untuk nervus ulnaris, carpal
tunnel untuk nervus medianus, supinator tunner untuk lengan atas dan alur
retromaleolarmedialis untuk nervus tibialis posterior.
Gangguan sirkulasi darah yang tiba-tiba dalam saluran yang disebutkan di
atas, kongesti pasif, dan bertambahnya edema menyebabkan iskemi. Mula-
mula fungsi saraf menjadi iritatif, tetapi kemudian berkurang.

Cara/Tempat Masuk M. leprae ke dalam saraf


Masuknya M. leprae ke dalam saraf melalui cara/tempat berikut:
1. Melalui akson yang terbuka ke dalam epidermis/dermis superfisialis diikuti
dengan penembusan epitel. Kemudian M. leprae berjalan sepanjang
eksoplasma.
2. Di fagositosis oleh sel perineurium, lalu menyeberangi endoneurium, dan
sel Schwann.
3. Melalui pembuluh darah endoneural selama bacteriemi.
4. Jelaskan alur diagnosis berdasarkan pada skenario!

Pemeriksaan
Bakterioskopis

pemeriksaan
Anamnesis
fisik

Alur
diagnosis

Pemeriksaan Pemeriksaan
Imunologis Histopatologis

Pada kasus kusta dilakukan pemeriksaan:


Bakterioskopis Dilakukan pengambilan bahan sediaan
dengan cara kerokan kulit minimal 4-6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif.

Indeks Bakteri ditentukan dengan cara:


0: tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang
1+: 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang
2+: 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang
3+: 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang
4+: 11-100 BTA dalam 1 lapang pandang
5+: 101-1000 BTA dalam 1 lapang
pandang
6+ : >1000 BTA dalam 1 lapang pandang
Histopatologis Pada pasien dengan system imunologik
seluler yang tinggi akan tampak gambaran
turbekrl. Tuberkel terdiri atas sel
epiteloid, sel datia Langhans dan limfosit.
Pada pasien dengan system imunologik
seluler yang rendah, tampak sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa yang
merupakan bentuk histiosit yang tidak
mampu memfagosit M. leprae dan bahkan
dijadikan sebagai tempat untuk
berkembang biak.

Imunologis Uji MLPA


(Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination),
Uji ELISA
(Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay),
dan mL dipstick (Mycobacterium leprae
dipstick)

6. Jelaskan WD dari kasus di skenario!


LEPRA
Kusta termasuk penyakit tertua, kata kusta berasal dari bahasa India yaitu kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta merupakan penyakit yang
sangat ditakuti oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada anggot
tubuh terutama bagian kaki. Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae termasuk bakteri gram negatif yang tahan asam.
Mycobacterium leprae sudah tidak terlalu banyak penderitanya saat ini, namun di
beberapa daerah di Indonesia M leprae masih bisa ditemukan.
DEFINISI
Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik ,dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,lalu
kulit dan ukosa traktus respiratorus bagian atas,kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.
ETIOLOGI
Kuman penyebab dari kusta adalah Mycobacterium leprae. M leprae merupakan basil
tahan asam berukuran panjang 4 – 7 µm dan lebar 0,3 – 0,4 µm. Genom M leprae ada
3.3 juta pasang, dengan kurang lebih 1600 gen.3
PATOGENESIS
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginoklusikan M leprae pada kaki mencit dan
berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai sepesimen, bentuk lesi
maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tubuh
diperlukan jumlah minimum M leprae di tempat suntikkan namun jumlah maksimal
tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r,
sehingga kehilangan respon imun selularnya akan menghasilkan granuloma penuh
kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping telinga, kaki
dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi
salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi. Sebenarnya M
leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidak seimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang merangsang
timbulnya granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat sembuh atau progresif.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intesitas
infeksinya.1,3
Telah sedikit dipahami mengenai perbedaan reaksi dari M leprae pada individu yang
berbeda. Kromosom 10p13 merupakan lokus yang mengandung kode dari reseptor
mannose C yang mempunyai peranan penting pada rekasi selluler dari M leprae. Pada
umumnya, kusta ditemukan berkaitan dengan HLA-DR2.
GEJALA KLINIS
Bila kuman M leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas
seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah
tuberkuloid, dan bila keadaan SIS nya rendah akan memberikan gambaran
lepromatosa.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar yakni tuberkuloid 100% merupakan tipe yang stabil. Jadi berarti tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar yakni lepromatosa 100%,
juga merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe
antara Ti dan Li disebut sebagai tipe borderline, berarti campuran antara tuberkuloid
dan lepromatosa. BB adalah tipe cammpurang yang terdiri dari 50% tubekuloid dan
50% lepromatosanya. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya sementara BL dan Li
lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti
dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta
menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa
perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini
Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)
Kusta Indeterminate merupakan kusta yang palin ringan dimana hanya sangat kecil
atau terbatas mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit bakteri yang ditemukan
dan dengan tes lepromin sering kali hanya memberikan positif lemah. Di bawah
mikroskop, dapat dilihat peradangan hanya minimal dan tidak tipikal. Kusta
Indeteminate sering kali hanya pada satu bagian tubuh, asimptomatik, berupa makula
hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm. Kusta indeterminate sering kali
ditemukan di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari ekstremitas. Bila multipel
lesi yang terjadi penyebarannya tidak simetris. Sensasi kulit mungkin sedikit berkurang
namun fungsi dari kelenjar keringat masih normal. Penebalan saraf biasanya hanya
ditemukan pada satu saraf.5
Kusta Lepromatous merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M. leprae
yang progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada lesi kulit. Lesi kulit
umumnya asimetris, kecil, bersinar dan umunya konfluen. Plaq infiltrat memiliki batas
yang tidak tegas dengan warna merah kecoklatan, dimana sering kali berubah
tergantung warna kulit penderita. Tempat yang sering terkena adalah wajah dengan
infiltrasi di bagian depan kepala, dagu, hidung, dan telinga yang sering mengakibatkan
deformitas pada wajah yang disebut leonine facies (lion’s face). Tanda lain yang sering
terjadi adalah madarosis. Dengan berkembangnya penyakit anestesia dan kekeringan
kulit juga akan semakin parah. Daerah tubuh yang hangat akan terhindar seperti bagian
axilla, inguinal, perineum, dan scalp.
Mukosa hidung merupakan bagian yang hampir selalu terserang. Kelainan kronik dari
hidung seperi hemorrhagic sering kali ditemukan pada penderita kusta di daerah
endemis. Serangan M. leprae pada hidung akan menganggu proses pernafasan dan
merusak septum nasal dan mengakibatkan hidung kehilangan substansinya (clover leaf
nose). Mukosa lain seperti bibir, mulut dan laring juga dapat terkena infiltrasi dari M
leprae. Infiltrasi juga dapat mengenai mata dibagian konjungtiva, kornea dan badan
ciliary.5
Kerusakan saraf perifer umumnya muncul dalam waktu yang lama. Kerusakan saraf
tepi mulanya mengenai saraf sensoris dan umumnya simeteris di bagian ekstensor.
Kehilangan sensoris kemudian secara perlahan akan menyebar ke bagian tengah tubuh.
Rasa sakit jarang terjadi karna infeksi M leprae pada saraf sensoris. Saraf otonom juga
terkena dengan ditandai adanya kehilangan fungsi dari kelenjar keringat dan kelainan
vasomotor pembuluh darah tepi. Pada lepromatous leprosi, terkenanya saraf motor
yang besar lebih sering terjadi dibandingkan lepra tipe tubekuloid. Pada keadaan lepra
lepromatosa yang lebih berat bisa mengakibatkan tangan dan kaki mengecil, karena
terjadinya osteoporosis dengan fraktur kompresi. Adanya trauma yang tidak disadari
penderita dan infeksi sekunder juga bisa mengakibatkan kecacatan. Beberapa pasien
memiliki limfeadenopathy. Infiltrat kadang-kadang dapat ditemukan pada testis yang
bisa mengakibatkan kemandulan dan gynecomastia.5
Lepra tuberkuloid merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak terlalu
banyak di tubuh dan keadaan sistem imun seluler tubuh penderita yang masih baik.
Kerusakan saraf juga terjadi tetapi tidak sistemik. Lesi yang terjadi umumnya
asimetris, jumlahnya sedikit, dan menyebar dengan sangat pelan. Mulanya bewarna
merah atau merah keunguan, dan berupa makula atau papula. Kemudai secara perlahan
membesar, dengan batas yang tegas, dan memperlihatkan bagian tengah yang bersih
dengan atrofi yang halus, bersisik dan hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian
gluteus, punggung, wajah dan ekstensor ekstremitas. Hilangnya sensasi, anhidrosis dan
hilangnya rambut juga terjadi.
Inflamasi granul akan mengakibatkan kerusakan pada saraf tepi yang mengakibatkan
hilangnya fungsi saraf tersebut. Gangguan fungsi sensoris merupakan kelainan saraf
yang awal, selanjutnya dapat mengakibatkan paralisis dan akhirnya mengakibatkan
atrofi otot. Kerusakan pada saraf wajah juga dapat terjadi dan mengakibatkan kelainan
ekpresi wajah dimana wajahnya menjadi tidak berekspresi atau Antonine facies.
Paralisis pada otot-otot vocal juga dapa terjadi.5
Masalah yang terberat daripada kusta tuberkuloid adalah bila kerusakan saraf mencapai
di bagian saraf yang menggerakan ekstremitar. Saraf yang terkenan umumny adalah
saraf yang lebih superficialis dan mudah terkena trauma. Kerusakan saraf bisa
mengenai N. ulnaris dan N medialis yang mengakibatkan terjadinya perubahan tangan
yang berbentuk clawing lateral maupun medial. Pada kaki, bila yang terkena adalah
sara peroneal akan mengakibatkan terjadinya foot drop dan bila mengenai saraf tibialis
posterior akan mengakibarkan terjadinya anestesia pada telapak kaki. Sebagai hasil
kerusakan saraf dapat mengakibatkan kulit yang kering, proses penyembuhan yang
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, paralisis otot, respon terhadap trauma yang
kecil. Dalam keadaan ini bila ada trauma kecil seperti menginjak batu, atau bahkan
karna trauma panas pada kulit, penderita tidak akan merasakan apa-apa sehingga bisa
mengakibatkan terjadi kerusakan yang besar.
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler.
Yang termasuk tipe multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I,
TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.1
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-
Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai dengan BTA positif, maka akan
dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta
tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus diobati
dengan rejimen MDT-MB.1
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada
tahun 1995. WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung
lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini dapat di lihat di tabel di bawah ini
Tabel 4. Bagan klinis menurut WHO (1995)

Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat
persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang
harus didasarkan kepada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang
tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab
ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan
sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya. Begitu
juga dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari
tempat mana biopsinya di ambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klini,
dimulai dengan inspkesi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat yang
sederhana misalnya jarum, kapas, tabung rekasi masing-masing air panas dan air
dingin, pensil tinta dan sebagainya.1
Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrat saja atau keduaya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada tidaknya
anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak selalu jelas.
Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri,
kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut
baruah pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2
tabung reaksi.
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang dapat
jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda
Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian
tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-
kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit
sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksan dengan
menggunakan Voluntary Muscle Test (VMT).1
Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsitensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberaoa saraf
superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N.
radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi
tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang
bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1
Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakang menjadi 2 yaitu
deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-
tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer,
terutama kerusakan pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Cacat
sekunder dapat berupa kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1
Gejala-gejala kerusakan saraf karena kusta diantaranya:
N. Ulnaris:
- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- Tidak mampu aduksi ibu jari
- Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- Ibu jari kontraktur
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. Radialis
- Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- Tangan gantung (wrist drop)
- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. popliteal lateralis
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- Kaku gantung (foot drop)
- Kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior
- Anestesia telapak kaki
- Claw toes
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. fasialis
- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus
- Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N.
orbikularis palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-
sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena
infiltrasi granuloa pada tubulus seminiferus testis.1
Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih dahulu cara
membuat diagnosis kedua bentuk polat TT dan LL yang telah diuraikan secara
sistematis pada tabel 1 diatas.
Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid dan kusta tipe neural:
Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang pertama dikemukakan
oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yag berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus
relaps sensitif atau relaps resisiten.
Kusta tipe neural
Kusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut:
- Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
- Ada satu atau lebih pembesara saraf
- Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya
- Bakterioskopik negatif
- Tes Mitsuda umumnya positif
- Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau tipe
nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui dengan pasti
sampai saat ini. Mengenai patofisiologi yang belum jelas tersebut akan diterangkan
secara imunologik. Dimana reaksi imun tubuh kita dapat menguntungkan dan
merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi kusta tergolong di dalamnya.
Reaksi kusta dapat dibedakan menjadi eritema nodosum leprosum (ENL) dan reaksi
reversal atau reaksi upgrading.1
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan timbulnya ENL.
Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena
kompelks imun akibat reaksi antara antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) +
komplemen yang kemudian akan menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya
kompleks imun ini maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit komplek imun.
Kadar antibodi imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe
tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebig
banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobata. Hal
ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan hancur yang kemudian kuman –
kuman lepra ini akan menjadi antigen, dengan demikian akan meningkatkan
terbentuknya komplek imun. Kompleks imun ini terus beredar dalam sirkulasi darah
yang akhirnya dapat mengendap dan melibatkan berbagai organ.1
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
mengakibatkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis,
dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik.
Pada reaksi ENL tidak terjadi perubahan tipe kusta, lain halnya dengan reaksi reversal
yang terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut
reaksi borderline. Yang memegang pernanan utama dalam reaksi kusta ini adalah
sistem imunitas seluler, yaitu bila terjadi peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun
faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat
kuman M leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan
6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak,
oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas yang memiliki peranan untuk menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe
kusta yang termasuk borderline ini dapat berubah menjadi tipe TT dan LL dengan
mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu terjadi perubahan SIS
juga. Begitu pula reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai
peningkatan SIS hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.1
Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta saat ini sudah hampir tidak pernah
digunakan lagi, downgrading merupakan kata yang menggambarkan proses perubahan
ke arah lepromatosa.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema menjadi eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi
infiltrat semakin infiltrat lagi, dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala
neuritis akut perlu diperhatikan karena sangat menentukan prognosis dari pengobatan,
bila ada neuritis maka penggunaan kortikosteroid diperlukan untuk mengurangi reaksi
peradangan.
Pada beberapa kasus kusta dapat ditemukan fenomena Lucio. Fenomena lucio
merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non
nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, di
negara lain prevalensinya rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat
difus, berwarna merah muda, bentuk rak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama pada
ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat akan semakin
eritematosa, disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologik dari fenomena lucio menunjukkan nekrosis epidermal
iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
enodetelial pembuh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel
kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada ENL,
namun dengan imunofloureseni tampak deposti imunoglobulin dan komplemen di
dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin
sangat tinggi pada semua penderita.
DIAGNOSIS
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan
tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi tersebut maka untuk
mendiagnosa kusta dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf
tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok
atau “Cardinal sign”, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritematous) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi
(neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise)
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).
Pemeriksaan kerokan kulit hanya dilakukan pada kasus yang meragukan.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari
tanda-tanda pokok di atas.
Jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek):
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak atau kelainan yang merah atau putih di bagian tubuh
b. Kulit mengkilat
c. Bercak yang tidak gatal
d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
e. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.
c. Adanya cacat (deformitas)
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.

Untuk menegakkan diagnosis secara lengkap dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:


(1) Anamnesis:-keluhan pasien
-riwayat kontak
-latar belakang keluarga
-sosio ekonomi
-adanya penderita dilingkungan keluarga
(2) Pemeriksaan klinis:
(a) Pemeriksaan kulit:
-inspeksi: dengan penerangan yg baik,
lesi kulit harus diperhatikan,juga
kerusakan2 kulit.
Kelainan kulit berupa nodus, infiltrat,jaringan parut, ulcus terutama pada tangan dan
kaki
- palpasi: pemeriksaan rasa raba pd kelainan kulit berupa: -anathesi
-suhu/temperatur
-nyeri/sakit
(b) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya:
Dilakukan palpasi utk memeriksa kelainan saraf apakah ada penebalan atau nyeri
tekan.
Saraf-saraf yg dikenai:
-N. Auricularis magnus
-N. Facialis
-N. Trigeminus
-N. Radialis
-N. Ulnaris
-N. Medianus
-N. Peroneus communis
-N. Tibialis posterior
Untuk test fungsi saraf, selain dilakukan test untuk rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu
seperti yang diatas tadi dengan menggunakan kapas, jarum dan tabung reaksi berisi air
hangat dan dingin.
Juga dilakukan:
-test otonom: -test pinsil Gunawan
-test pilocarpin
-test motoris: Voluntary Muscle test (VMT)
(3) Pemeriksaan Bakteriologis
 tujuan:
1. Membantu menegakan diagnosis penyakit kusta
2. Menentukan klasifikasi tipe kusta
3. Membantu menilai hasil pengobata
 pewarnaan yg dipakai:
1. Ziehl Nielsen
2. Modifikasi Ziehl Nielsen
3.Tan Thian Hok
Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini:
PEMERIKSAAN
Pada penyakit kusta pemeriksaan yang bisa dilakukan umumnya adalah inspeksi, selain
itu pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan anestesi dengan
menggunakan jarum atau kapas seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pemeriksaan
juga bisa dilakukan dengan pemeriksaan dengan menggunakan tinta. Selain
pemeriksaan terserbut ada beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk
menunjang diagnosa kusta.
Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopin digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai degan pewarnaan terhadap basil tahan asam
(BTA), yaitu Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.1
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman,
setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai
jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimmal 2-4 lesi lain yang paling aktif,
berarti yang paling eritamtosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga
tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena atas dasar
pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu
diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan ditempat
yang sama pada pegamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik,
sehingga kerokan jaringan mengadung sedikit mungkin darah yang akan menganggu
gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis melampaui subepidermal
clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengadung sel Virchow
(sel lepra) yang didalamnya mengandung kuman M. leprae. Kerokan jaringan itu
dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan
yang klasik, yaitu Ziehl-Neelsen dan cara-cara lain.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pagi hari
yang ditampung dengan sehelai plastik. Perhatikan sifat cairang hidung tersebut apakah
cair, serosa, bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Cara lain
mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul
atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil di daerah septum nasi,
selanjutnya dikerjakan seperti biasa.
Sediaan mukosa hidung sudah jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M. atipik,
M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif, bila diobati, hasil pemeriksaan
mukosa hidung negatif terlebih dahulu, rasa nyeri saat pengambilan.1
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan, dibedakan bentuk utuh
(solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granuler). Bentuk solid adalah
kuman hidup, sedangkan fragmented dan granuler merupakan bentuk mati. Secara teori
penting untuk membedakan bentuk solid dan nonsolid, berarti membdekan antara M.
leprae yang hidup dan yang mati. Dalam praktik susah untuk membedakan bentuk
yang solid dan yang tidak solid karena dipengaruhi banyak faktor.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalag IB rata-rata semua lesi yang
dibuat sediaan.
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan denan jumlah
solid dan nonsolid.
Rumus :
Syarat perhitungan:
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100 BTA harus
mencapai dalam 1000 sampai 10.000 lapangan pandang
- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus
dicari dalam 100 lapangan.
Ada pendapat bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-nya
tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil atau
diperbesat.
Pemeriksaan Histopatologik
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis, kalau ada kuman M leprae
masuk, tergantung pada sistem kekebalan seluler orang tersebut bila sistem imunitas
selulernya baik maka makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya
histiosit ketempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian
akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab
utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh,
histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasaan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman
atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannnya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak
kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae yaitu antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat
membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit misalnya pada
narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:

- Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)


- Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)
- ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
- ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

PENATALAKSANAAN
A.Non Medikamentosa
 Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra.
 Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi
pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus
rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
 Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di
seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari
pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan.
 Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika
tidak ada tindakan pencegahan.
 Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang
banyak mengandung pelembab, bukan detergen.
 Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit
sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.
 Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
 Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera
mencari pertolongan medis.
 Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh
atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
B.Medikamentosa
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diamniodifeni
sulfon) kemudian kloafizimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan
3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritromisin.
Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug
treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia
sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS karena DDS adalah
obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan
para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah.
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:
- Mencegah dan mengobat resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:
- Efek terapeutik obat
- Efek samping obat
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya

DDS
DDS merupakan obat pertama yang berhasil untuk mengobati M leprae yang dalam
keadaan dorman atau sleeping. Dengan DDS kuman aktif kembali dan akhirnya bisa
mati karena efek DDS. Memang ada beberapa kasus kusta yang resisten terhadap DDS,
kusta yang resisten terhadap DDS adalah tipe multibasiler tidak pernah dilaporkan ada
kusta tipe pausibasiler yang resisten terhadap DDS, karena pad kusta pausibasiler
kadar SIS dalam darah penderita tinggi dan tidak perlu waktu lama untuk membunuh
kuman yang tersisa.
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi
pada penderita yang ditulari oleh M leprae yang telah resisten dan manifestasinya
dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada kadar SIS
penderita. Derajat resistensinya yang rendah dapat diobati degan dosis DDS yang lebih
tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi dari DDS dapat terjadi karena monoterapi DDS, dosis yang terlalu rendah,
minum obat tidak teratur, minum obat tidak adekuat baik dosis maupun lama
pemberiannya, pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun.
Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemina hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksis,
hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglibinemia.

Rifampisin
Rifampisin adalah salah satu obat yang menjadi sala satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg / kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan
tidak boleh diberikan setiap minggu karena efek sampingnya. Efek samping yang dapat
terjadi adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan
erupsi obat.

Klofazimin (lamprene)
Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasti sehingga dpat digunakan pada ENL
dengan dosis yang lebih besar yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul
setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus telah dibuktikan pada tahun
1982.
Efek sampingnya adalah perubahan warna kulit menjadi merah kecoklatan pada kulit
dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis yang
lebih besar. Hal ini bisa terjadi karena Klofazimin merupakan zat warna yang dideposit
terutama pada sel sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat
reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak penggunaan obat dihentikan. Efek
samping lain yang terjadi karena penggunaan dosis besar adalah nyeri abdomen,
nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.

Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini
jarang digunakan. Distribusi protionamid di dalam tubuh tidak merata sehingga kadar
hambat minimalnya sukat ditentukan.
Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang panting aktif terhadap.
Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susuanan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang
membutuhkan penghentian pemakainan obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui haru hati-hati, karena
dalam percobaan pada hewan muda kuinolon mengakibtakan atropati.

Minosiklin
Termasuk kedalam golongan tertasiklin, mempunyai efek bakterisid yang lebih tinggi
dari pada klofazimin tetapi lebih rendah dibandingkan rifampisin. Dosis harian yang
bisa diberikan adalah 100 mg. Efek samping dari penggunaan minoksidil adalah sama
seperti tertrasiklin dapat mengakibatkan berubahnya warna gigi pada anak, kadang-
kadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizzined, dan unsteadiness. Oleh
sebab itu minosiklin tidak boleh diberikan pada anak-anak dan ibu yang hamil.

Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolif dan mempunyai aktivitas baktersid terhadap
M leprae. Pada penderita kusta lepromatosa dosis harian 500 mg dapat membunuh
99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 200 mg.
Sediaan obat-obat di atas merupakan obat dapat di sesuaikan dengan tipe dari kusta,
beberapa terapi kombinasi yang dapat dilakukan adalah:
MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif)
Untuk kusta tipe multibasiler dapat digunakan:
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengunaannya harus diawasi
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari
atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan
syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis harus negatif. Apabila
bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis
negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara kinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta
multibasiler ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif
sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara
sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah
RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis tetap
negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan
atau disebut Releas From Control (RFC).
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian oral dapat
dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT dengan BTA negatif) adalah:
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah
6-9 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan
baru secara klinis, dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksaan RFC. Apabila RFT telah
tercapai tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi diawasi sampai
RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan diberlakukan kembali
antara lain untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta
dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan lesi
2-5 buah, dan penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah.
Sebagai standar pengobatan. WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah
memperpendek masa pengobatan menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan
pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulot 2-5 bulan tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan
DDS sehingga hanya bisa mendapat klofa-zimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400mg dan minoksiklin 100 mg setiap hari
selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400mg atau
minoksiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosterois, antara lain prednisolon.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisolon 15-30 mg
sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi perlu
diberikan 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi
dosisnya, tetapi sebaliknya bia reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai
dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai diberhentikan
sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikesteroid. Dapat ditambahkan
obat analgetik-antipiretik dan sedative atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat-
inap. Ada kemungkinan kortikosteroid dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL
akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu,
sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikostreoid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada
orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat.
Klofazimin kecuali kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg
sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan
secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat
dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi
bewarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih bersifat reversible,
meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan. Masih ada obat-obat lain,
tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penaggulangan ENL ini,obat-obat antikusta
yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan reaksi reversal


Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisolon
40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-
cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf
secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativ kalau
diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh
karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif untuk reaksi
reversal.
Pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta – Direktorat Jendral
Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen Kesehatan
Indonesia dapat dilihat skema di bawah ini.
Tabel 5. Pemberian Prednisolon

Pemberian lampren
ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid
(pemberian prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahakn
klofazimin untuk dewasa 300 mg/ hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan
diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan. Jika ada perbaikan diturunkan
menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutnya kembali ke dosis klofazimin
semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan MDT, atau dihentikan
bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisolon
diturunkan secara bertahap.

Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung
tangan billa bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata
untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari.
Hal ini dimulai dengan memeriksa sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada
tidaknya memar, luka , atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
diminyakyi agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Pada pertemuan yang ketujuh (1977) dibuat amandemen
khusus untuk mata, hal ini dapat di lihat pada tabel di bawah ini.
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0:Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 1:Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2:Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0:Tidak ada kelainan/kerusakan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1:Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang
Tingkat 2:Ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmus, iritis, kekeruhan
kornea) dan atau visus sangat terganggu.

Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke
asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah dengan cara
kekaryaan yaitu dengan memberi lapangan pekerjaan yang sesuai untuk cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri selain
itu dapat dilakukan terapi psikologik.

PROGNOSIS
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa
pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang
menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif.
Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi.
BT, BB, BL, LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara BT, BB
dan BL yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa
berkembang mejadi ENL. Neutritis perifer sering kali mengakibatkan kerusakan saraf
sensoris permanen dan susah untuk ditangan, hanya dapat dikurangi peradangannya
dengan kortikosteroid.

7. Jelaskan penatalaksanaan pada kasus di skenario!


Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diamniodifenil
sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3
obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritromisin.

a. Sulfon
Golongan sulfon merupakan derivat 4.4' diamino difenil sulfon (DDS, dapson)
yang memiliki sifat farmakologi yang sama. Banyak senyawa yang telah
dikembangkan, tetapi secara klinis hanya dapson dan sulfokson yang bermanfaat.

Efek samping
Efek samping sediaan sulfon yang paling sering terlihat adalah hemolysis yang
berhubungan erat dengan besarnya dosis. Hemolysis dapat terjadi pada hampur
setiap pasien yang menerima 200-300 mg dapson sehari. Dosis 100 mg pada orang
normal atau dosis kurang dari 50 mg pada orang yang menderita kekurangan enzim
G6PD tidak menimbulkan hemolysis. Methemoglobulinemia sering pula terlihat,
kadang-kadang diseritai pembentukan Heinz body.
Walaupun sulfon menyebabkan hemolysis, anemia hemolysis jarang terjadi
kecuali bila pasien juga menderita kelainan eritrosit atau sumsum tulang. Tanda
hipoksia akan tampak bila hemolysis sudah demikian berat.
Anoreksia, mual, dan muntah dapat terjadi pada pemberian sulfon. Gejala lain
yang pernah dilaporkan ialah sakit kepala, gugp, sukar tidur, penglihatan kabur,
parestesia, neuropati perifer yang mampu pulih, demam, hematuria, pruritus,
psikosis, dan berbagai bentuk kelainan kulit. Gejala mirip mononucleosis
infeksiosa yang berakibat fatal pernah pula dialporkan.
Sulfon dapat pula menimbulkan reaksi lepromatosis yang analog dengan
reaksi Jarisch-Herxheimer. Sindrom yang disebut “sindrom sulfon” ini dapat
timbul 5-6 minggu setelah awal terapi pada pasien yang bergizi buruk. Gejalanya
dapat berupa demam, malaise, dermatitis eksfoliatif, icterus yang disertai nekrosis
hati, limfadenopati, methemohlobulinemia, dan anemia.
Kontraindikasi
Kontraindikasi sulfon dapat terjadi bila diberikan dalam masa kehamilan, ibu
menyusui, pasien dengan hipersensitivitas, anemia berat, porphyria

b. Rifampisin
Walaupun obat ini mampu menembus sel saraf, dalam pengobatan yang
berlangsung lama masih saja ditemukan kuman hidup. Beberapa pasien yang
minum obat ini selama 10 tahun tidak timbul masalah, tetapi resistensi timbul
dalam 3-4 tahun. Atas dasar inilah penggunaan rifampisin pada penyakit lepra
hanya dianjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini di beberapa Negara
sedang dicoba penggunaan rifampisin bersama dapson untuk M. leprae yang
sensitive terhadap dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau
etionamid untuk M. leprae yang resisten terhadap dapson.
Efek samping
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like-syndrome, dan erupsi kulit.
Kontra indikasi
Rifampisin merupakan kontraindikasi pada gangguan fungsi hati yang berat dan
dengan penyakit kuning, pasien dengan alergi rifampisin, dan untuk pemberian
terhadap wanita hamil dan menyusui agar lebih diperhatikan.

c. Klofazimin (lamprene)
Klofazimin merupakan turunan fenazin yang efektif terhadap basil lepra.
Kedudukan obat ini sekarang ialah sebagai pengganti dalam kombinasi dengan
rifampisin bila basil lepra sudah resisten terhadap dapson. Obat ini tidak saja
efektif untuk lepra jenis lepromatosis, tetapi juga memiliki efek antiradang
sehingga dapat mencegah timbulnya eritema nodosum. Akhir-akhir ini banyak
bukti yang menunjukkan bahwa klofazimin dapat menekan eksaserbasi
lepromatosis.

Efek samping
Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan
pada sclera, sehingga mirip icterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering
merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan
karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel system
retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Pigmentasi bersifat reversible, meskipun
menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi
dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus.
Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.

Kontra indikasi
Penggunaan clofazimine harus dihindari selama kehamilan atau pada ibu menyusui
kecuali benar-benar diperlukan. Pemberian obat harus diubah atau dihentikan
dengan adanya gangguan fungsi hati dan ginjal. Ini harus digunakan dengan hati-
hati bersama dengan diuretik untuk menghindari hipokalemia .

d. Oflosaksin
Oflosaksin merupakan turunan fluoro-kuinolon yang paling aktif terhadap M.
leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg.
Efek samping
Mual, diare, gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan saraf pusat
termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness, dan halusinasi.
Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat.
Kontra indikasi
Kontraindikasi oflosaksin pada orang dengan riwayat hipersensitivitas terkait
dengan penggunaan ofloksasin atau anggota kelompok kuinolon agen
antimikroba. Ofloksasin juga kini dianggap kontraindikasi untuk pengobatan
penyakit tertentu menular seksual oleh beberapa ahli karena resistensi bakteri .
Ekskresi ofloksasin dapat dikurangi pada pasien dengan gangguan fungsi hati
yang berat ( misalnya , sirosis dengan atau tanpa asites ). Ofloxacin juga dianggap
kontraindikasi dalam pediatrik populasi , kehamilan , ibu menyusui , pasien
dengan penyakit kejiwaan dan pada pasien dengan epilepsi atau gangguan kejang
lainnya .

e. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidnya lebih tinggi daripada
klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.
Efek samping
Menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai gejala
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.
Kontraindikasi
Tetrasiklin merupakan kontraindikasi pada pasien yang memiliki reaksi alergi
terhadap minosiklin. Pasien dengan insufisiensi ginjal ( kecuali untuk doxycycline
), gangguan ginjal berat, kehamilan dan anak usia dini . Jangan berikan dengan
garam besi atau dengan antasida yang mengandung kalsium , magnesium atau
aluminium .

f. Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap M. leprae.
Efek samping
Nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan
dengan dosis 2000 mg.
Kontraindikasi
Kontraindikasi klaritomisin pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal,
penyakit jantung, bradikardi, elektrolit yang tidak seimbang (seperti potassium
yang rendah atau sodium level).

Anda mungkin juga menyukai