Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara terpadat di dunia. Dengan jumlah penduduk 260 juta
jiwa, menjadikan Indonesia negeri terpadat keempat di dunia. Jumlah penduduk yang cukup
besar tersebut menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki permasalahan yang cukup
dinamis. Tak terkecuali di bidang kesehatan. Adapun majunya suatu bangsa dapat dilihat dari
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas SDM tersebut merupakan cerminan Indeks
Pembangunan Manusia yang meliputi tiga faktor utama yaitu pendidikan, pendapatan perkapita,
dan tentunya kesehatan.

Tingkat kesehatan yang tinggi akan menciptakan kondisi masyarakat yang lebih
sejahtera. Sehingga tingkat kesehatan menjadi faktor penting dalam keberhasilan pembangunan.
Tingkat kesehatan masyarakat yang tinggi tak bisa lepas dengan kualitas pelayanan kesehatan
yang memadai. Dalam salah satu poin Nawacita yang sering digaungkan pemerintah, salah
satunya yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia, yaitu di bidang pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan yang baik didukung oleh semakin cakapnya tenaga kesehatan
beserta lengkapnya fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat,
bidan, dan lainnya merupakan tonggak bagi majunya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Salah satu prioritas dalam Nawacita Jokowi adalah “meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia melalui Indonesia Sehat”.

Saat ini di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), peran tenaga kesehatan seperti
apoteker menjadi semakin penting. Keberadaan andil apoteker sebagai agen pelayan kesehatan
masyarakat mulai dikenal oleh masyarakat. Saat ini peran apoteker di era Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yaitu meliputi pemastian tercapainya ketersediaan, keterjangkauan, dan
penggunaan obat yang rasional yang dapat ditempuh melalui praktik pelayanan kefarmasian.

Memastikan tercapainya ketersediaan obat dari hulu sampai ke hilir merupakan tanggung
jawab seorang apoteker distributor, sehingga ketersediaan obat di berbagai fasilitas yankes dapat
terjamin. Selain itu pelayanan kefarmasian di fasilitas yankes juga merupakan tugas dan
wewenang dari apoteker. Peran apoteker di fasilitas kesehatan meliputi dua aspek penting yaitu
aspek manajemen dan aspek pharmaceutical care. Aspek manajemen meliputi pemilihan
perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, dan pengendalian obat. Sedangkan
aspek pharmaceutical care/ klinik meliputi pelayanannya kepada pasien.

Sehingga peran apoteker sebagai tenaga kesehatan tidak sebatas pada penjualan obat
semata, namun melayani pasien sebagai upaya penggunaan obat yang rasional. Melalui era JKN
ini, adapun paradigma pharmacy services di negeri ini mulai bergeser dari pelayanan farmasi
yang cenderung drug oriented menuju pelayanan farmasi yang patient oriented sehingga sisi
pharmaceutical care lebih dikedepankan. Mengapa hal ini harus dilakukan? Karena sudah
saatnya apoteker memberikan edukasi dalam pelayanan kefarmasian yang baik (Good Pharmacy
Practice) kepada pasien, sehingga pengobatan bisa lebih terjangkau, aman, efisien, rasional dan
bertujuan untuk menjamin keselamatan pasien (patient safety). Hal ini senada dengan peran dan
tanggung jawab dalam keprofesian, dimana pelayanan kefarmasian merupakan bagian penting
dalam pelayanan kesehatan.

Selain itu, peran apoteker kini semakin luas seperti melakukan pelayanan kefarmasian di
fasilitas pelayanan kefarmasian seperti apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik,
toko obat, ataupun praktik bersama (Kemenkes, 2009). Menurut Permenkes no. 74 tahun 2016,
Praktik pelayanan farmasi di puskesmas tidak hanya sebatas pelayanan farmasi klinik, namun
apoteker juga memiliki wewenang untuk untuk mengelola obat dan bahan medis habis pakai,
pengendalian mutu yanfar dan upaya pemberdayaan masyarakat, ikut serta dalam upaya
preventif prolanis, pengadaan obat untuk tuntas 144 diagnosa, program rujuk balik, dan yang
paling penting adalah konseling atau pemberian informasi obat.

Kemudian dengan semakin lebarnya peluang apoteker di lingkup pelayanan masyarakat


ini, pemerintah berharap agar apoteker semakin meningkatkan kualitasnya sebagai tenaga
kesehatan. Adapun perubahan pada sistem pelayanan kesehatan dalam era JKN ini memberikan
peluang bagi apoteker untuk berkontribusi kepada kendali mutu dan biaya obat. Pemerintah
setiap tahunnya memperbarui sistem formularium nasional yang berisi daftar obat yang terbukti
berkhasiat, aman, dan terjangkau sebagai acuan untuk pelayanan resep. Manfaat Fornas sebagai
bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu sebagai acuan penetapan obat dalam
JKN, serta meningkatkan penggunaan obat yang rasional, dapat juga mengendalikan mutu dan
biaya pengobatan, serta mengoptimalkan pelayanan kepada pasien. Selain itu, Fornas juga dapat
memudahkan perencanaan dan penyediaan obat, serta meningkatkan efisiensi anggaran
pelayanan kesehatan (Sitanggang, 2013).

Selain itu pemerintah juga berharap kepada apoteker-apoteker di negeri ini untuk
meningkatkan kompetensi lebih besar mengingat program pendidikan farmasi yang
berkelanjutan semakin berkembang. Pemerintah semakin membuka lebar kesempatan ini dengan
gelontoran dana beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri melalui LPDP. Kemudian,
dengan adanya akreditasi puskesmas oleh pemerintah semakin memberikan peluang besar bagi
apoteker untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, meningkatkan pelayanan yang berrientasi
pada pasien, perawatan oleh tim kesehatan, meningkatkan outcome pasien melalui pelaksanaan
manajemen penggunaan obat.

Selain peran apoteker di bidang pelayanan di fasilitas kesehatan, peran apoteker dalam
pemerintahan tak kalah penting. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat
dari produk-produk makanan dan obat-obatan yang berbahaya. Di era globalisasi ini, dengan
semakin majunya teknologi informasi, transportasi, dan semakin bebasnya perdagangan
internasional antarnegara menyebabkan mudahnya produk obat-obatan dan makanan menyebar
dan menjangkau ke seluruh strata masyarakat. Oleh karena itu perlu pengawasan secara intensif
terhadap peredaran produk-produk obat dan makanan tersebut. Pengawasan tersebut dilakukan
secara nasional melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan. Melalui BPOM, keterlibatan
apoteker untuk turut serta menyehatkan masyarakat sangat krusial. Saat ini di Indonesia sudah
lebih dari 200 industri farmasi berizin, ratusan industri herbal yang terdaftar di Badan POM,
ditambah ribuan industri makanan, kosmetik yang memasarkan produk mereka kepada semua
lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan andil negara dalam mengawasi peredaran
produk obat-obatan dan makanan di negeri ini. Disini, letak apoteker mendapatkan peran
strategis. Apoteker yang dibekali ilmu mengenai seluk beluk obat-obatan, kosmetik, dan
makanan sudah selayaknya ikut serta mencerdaskan masyarakat mengenai obat-obatan dan
makanan yang layak. Melalui Badan POM, apoteker-apoteker harus bisa melakukan pengaturan
regulasi dan fungsi pengawasan terhadap produk-produk yang beredar di pasar.

Selain peran apoteker di birokrasi pemerintahan, apoteker juga memiliki peran untuk
melakukan riset dan menemukan senyawa-senyawa obat yang bermanfaat untuk dunia medis
melalui lembaga-lembaga riset nasional seperti LIPI, Eijkman Isntitute, dan sebagainya.
Apoteker tidak hanya menguasai pelayanan masyarakat di lapangan saja, namun apoteker juga
dibekali ilmu untuk melakukan riset dan pengembangan senyawa obat. Di bidang industri,
apoteker juga memiliki wewenang untuk memastikan obat-obatan yang diproduksinya sudah
terbukti aman dan terbukti memiliki efikasi yang bagus.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 260 juta jiwa, Indonesia juga memiliki
permasalahan yang kompleks. Oleh karena perdagangan bebas, produk-produk obat-obatan,
kosmetik, makanan yang keluar masuk dalam negeri juga bermacam-macam. Mulai dari produk
obat-obatan legal sampai ilegal beredar di masyarakat. Hal yang menjadi perhatian adalah
keberadaan obat-obatan ilegal tersebut bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu dan
merugikan orang lain. Tahun 2017 ini menjadi perhatian publik ketika pengawasan tenaga
kesehatan dan Badan POM kecolongan terhadap peredaran obat yang sudah dilarang diproduksi
sejak 2013 yaitu PCC. Obat yang bisa disalahgunakan ini beredar dan dikonsumsi masyarakat
sehingga menyebabkan korban jiwa. Disini sudah selayaknyalah seharusnya tugas apoteker
untuk mengawasi beredarnya produk obat-obatan di masyarakat. Sehingga hal demikian tidak
terulang lagi.

Disamping besarnya peran seorang apoteker di dunia kesehatan pada era sekarang ini,
tantangan masa depan seorang apoteker juga besar. Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 9.300
lebih puskesmas yang sudah melakukan pelayanan kepada masyarakat, namun menurut data dari
kementerian kesehatan jumlah puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan apoteker hanyalah
berjumalah sekitar 2.200 puskesmas. Artinya sebagian besar puskesmas di Indonesia tidak ada
apoteker yang melayani masyarakat. Hal inilah yang menjadikan tantangan seorang apoteker
untuk mau mengabdi di tengah masyarakat walaupun berada di tempat-tempat jauh dan terpencil
di negeri ini. Lantas, akan muncul sebuah pertanyaan, apakah peran apoteker yang berada di
puskesmas tersebut sudah menjalankan peran dan fungsinya ? Menurut penelitian oleh
kemenkes, jumlah puskesmas yang memiliki apoteker sebagai penanggungjawab ruang farmasi
hanyalah berkisar 30 persen saja, artinya sebagian besar puskesmas penanggung jawab ruang
farmasi adalah bukan seorang apoteker. Selain itu, peran apoteker untuk memberikan konsultasi
obat hanya 17 persen, maknanya adalah sebagian besar apoteker tidak melakukan peran dan
fungsinya sebagai konsultan obat-obatan kepada masyarakat. Selain itu mayoritas apoteker di
puskesmas juga tidak melakukan pelayanan konseling.
Kesenjangan fasilitas kesehatan di Indonesia. Kesenjangan faskes dan yankes di
Indonesia timur masih menjadi tantangan bagi Indonesia.

Peran apoteker sebagaimana fungsinya untuk pharmaceutical care sangat dibutuhkan


dalam berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain. Melalui kolaborasi antar tenaga
kesehatan ini, harapannya penanganan pasien bisa terbebas dari kejadian mediacation error, drug
related problem. Sehingga penggunaan obat menjadi lebih cost effective. Apoteker juga harus
memiliki kemampuan berkomunikasi dan farmakoterapi yang baik. Tantangan apoteker di era
JKN ini memerlukan perubahan paradigma apoteker untuk meningkatkan kompetensinya
dibidang masing-masing. Selain itu keterbatasan tenaga kefarmasian dalam kualitas dan
kuantitas mengharuskan kita semua harus berbenah dari dalam.

Oleh karena itu, di bidang farmasi sangat diperlukan kerja sama antar semua stake holder
untuk meningkatkan mutupelayanan kefarmasian. Kemudian, apoteker haruslah meningkatkan
motivasi dan kompetensinya untuk memberikan pelayanan langsung sedekat mungkin kepada
pasien dan masyarakat sesua dengan standar pelayanan kefarmasian.

Dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa, negara dengan penduduk terpadat keempat
sungguh ironis ketika Indonesia hanya menyisihkan 2,5 persen dari GDP nya di bidang
kesehatan atau peringkat 150 an dari 190an negara. Padahal dengan GDP urutan ke-16 dunia,
namun hanya sedikit menggelontorkan dana di bidang kesehatan. Adapun tahun 2017 ini
pemerintah menargetkan untuk meningkatkan anggaran APBN untuk kesehatan sebesar 5 persen,
kendati pendanaan kemungkinan besar juga akan terpusat di Indonesia barat saja.

Anggaran Kesehatan APBN2017

Kabar baiknya adalah, anggaran untuk kesehatan negara mulai diperhatikan pemerintah

14. Anggaran Kesehatan - Sasaran

Sasaran APBN di bidang kesehatan di era 2017. Kendati pendanaan semakin besar, tantangan
faskes, yankes, tenkes di Indonesia bagian timur masih menjadi PR bagi pemerintah.
Daftar Pustaka
ANONIM, 2013, FORMULARIUM NASIONAL KENDALIKAN MUTU DAN BIAYA
PENGOBATAN. DIAKSES DARI
HTTP://BINFAR.KEMKES.GO.ID/2013/06/FORMULARIUM-NASIONAL-KENDALIKAN-
MUTU-DAN-BIAYA-PENGOBATAN/#.WCBQJ83TTIU DIAKSES PADA TANGGAL 27
SEPTEMBER 2017
ANONIM, 2015. MAJALAH MEDISINA : REPOSISI APOTEKER INDONESIA. DIAKSES
DARI HTTP://WWW.MAJALAHMEDISINA.COM/IAI/?P=308. DIAKSES PADA TANGGAL
27 SEPTEMBER 2017.
ANONIM, 1992, UNDANG-UNDANG RI NO.23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN,
DEPKES RI, JAKARTA.
ANONIM, 1996, GOOD PHARMACY PRACTICE IN COMMUNITY AND HOSPITAL
PHARMACY SETTINGS, WHO, GENEVA.
KEMENTERIAN KESEHATAN, 2009, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO
36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN, REPUBLIK INDONESIA, JAKARTA.
KEMENTERIAN KESEHATAN, 2004, UU REPUBLIK INDONESIA NO. 40 TAHUN 2004
TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL, REPUBLIK INDONESIA, JAKARTA.
KEMENTERIAN KESEHATAN, 2013, BUKU PEGANGAN JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL (JKN) DALAM SJSN. REPUBLIK INDONESIA, JAKARTA.
KEMENTERIAN KESEHATAN, 2004, KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI,
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK. REPUBLIK INDONESIA,
JAKARTA.
NUH, M., 2014. KUALITAS SDM MENENTUKAN KEMAJUAN SUATU BANGSA.
DIAKSES DARI
HTTPS://WWW.FACEBOOK.COM/KEMDIKBUD.RI/POSTS/523580461084732 DIAKSES
TANGGAL 28 SEPTEMBER 2017.
SITANGGANG, MAURA, 2014. APOTEKER PUNYA PERAN PENTING DALAM
SUKSESKAN JKN. DIAKSES DARI HTTP://WARTA-APOTEKER.COM/APOTEKER-
PUNYA-PERAN-PENTING-SUKSESKAN-JKN/ DIAKSES TANGGAL 28 SEPTEMBER
2017.
https://www.kemenkeu.go.id/apbn2017

SUMBER GAMBAR :
HTTPS://LUTVIARESTA.WORDPRESS.COM/2016/12/27/KELEBIHAN-DAN-
KELEMAHAN-PEMBANGUNAN-DI-INDONESIA/
HTTP://SWIPERXAPP.COM/2017/01/10/PERAN-APOTEKER-BINTANG-TUJUH/

Anda mungkin juga menyukai