Anda di halaman 1dari 24

Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

PENGANTAR

Isu-Isu Etis di Sekeliling Kita


Semalam, sebelum Anda tidur, Anda melihat tayangan iklan rokok di televisi yang begitu
menariknya dan membuat Anda berpikir, “Saya mau segagah dan sepemberani aktor
perokok itu!” Kemudian, Anda melihat di akhir iklan rokok ditampilkan tulisan: Merokok
dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan
janin; walau hanya ditampilkan sekejap. Karena Anda ingat bahwa Anda akan memasuki
kuliah Etika untuk Kewirausahaan, maka Anda pun mulai bertanya-tanya, “Apakah etis
sebuah perusahaan rokok menawarkan produknya walau itu merusak kesehatan? Apa
batasannya, termasuk bagaimana mengurangi dampak terhadap begitu banyak remaja yang
meniru merokok seperti aktor rokok yang gagah itu? Sebaliknya, atas dasar apa pemerintah
dapat mengharuskan pabrik rokok memuat pemberitahuan bahwa merokok merusak
kesehatan di akhir iklan seperti itu? Hal itu merugikan pabrik rokoknya bukan?” Kalau Anda
yang punya pabrik rokok dan sudah membayar pajak begitu besar kepada pemerintah,
besar kemungkinan Anda akan bertanya pertanyaan terakhir tadi. Anda pun mulai tergelitik
untuk mencari tahu kira-kira apa batasan boleh dan tidak boleh untuk sebuah iklan, bukan
sekadar pada tataran norma hukum saja tetapi apa batasannya secara moral?

Anda harus kuliah hari ini, dan Anda kemudian pergi mandi. Sementara mandi, Anda pun
berpikir, “Wah, katanya air PAM bergantung pada sungai di kota kita, sementara sungai
mengalami banyak pencemaran limbah air dari industri. Dasar tidak bermoral pengusaha
yang membuang limbah sembarangan tersebut. Bikin susah banyak orang!” Lagi-lagi karena
akan kuliah Etika untuk Kewirausahaan, ketika Anda menggunakan handuk dan berpakaian
Anda teringat berita yang pernah Anda dengar. Beberapa waktu lalu Anda mendengar
bahwa ada perusahaan deterjen yang menggunakan campuran kimia berbahaya, pindah dari
negara maju ke dunia ketiga, karena di negaranya, produknya dilarang. Sementara itu,
hukum di dunia ketiga masih belum melarang hal-hal demikian, termasuk di Indonesia.
Karena Anda bercita-cita menjadi entrepreneur, Anda mulai bertanya-tanya bagaimana
pandangan moral terhadap produk yang sudah dilarang tersebut? Persoalannya, produk itu
memang berbahaya dan dilarang di negara maju tetapi masih terbuka di dunia ketiga yang
memang membutuhkan pembukaan lapangan kerja baru. Lagipula, hukum di negara ketiga
tersebut belum melarang produksi zat berbahaya tersebut digunakan. Jadi bagaimana ini?

Selesai mandi, Anda kemudian sarapan pagi dan di meja Anda terdapat begitu banyak
makanan, dan sambil Anda makan, Anda melihat berita televisi yang menayangkan bencana

Page 1 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

kelaparan terjadi di suatu daerah dan betapa banyak anak yang meninggal di Indonesia
karena malnutrisi. Maka Anda pun berpikir, “Apakah saya punya kewajiban menolong
mereka yang tidak saya kenal itu? Apakah saya harus mengurangi konsumsi saya untuk
menolong mereka yang tidak saya kenal dan kelaparan itu?” Nah, ternyata dalam kehidupan
sehari-hari Anda berhadapan dengan banyak pertanyaan dan persoalan etika. Ya, Anda bisa
melihat begitu banyak problematika moral di koran, mulai dari apakah goyang Inul
termasuk pornografi atau bukan, apakah hak karyawan yang demo menuntut kenaikan gaji
perlu dipenuhi atau tidak mengingat perusahaan sedang menghadapi kelesuan ekonomi,
apakah hukuman mati itu bermoral atau tidak. Bagaimana menentukan batasan mana yang
bermoral dan mana yang tidak?

Sesungguhnya permasalahan moral tidak selalu rumit seperti itu. Terkadang ada banyak isu
moral yang jelas buat Anda, tetapi dilanggar juga. Misalnya Anda tahu menyontek ataupun
memberikan contekan itu tidak baik karena itu melanggar asas keadilan dan juga kejujuran.
Namun, Anda tetap lakukan juga karena beberapa hari sebelumnya Anda malas belajar dan
lebih suka bermain atau pergi menonton. Repotnya, walau tidak belajar, Anda tetap ingin
dapat nilai tinggi; mirip dengan ingin makan banyak dan malas berolah-raga tetapi ingin
tampil sehat dan tidak gendut. Maka problem utama demikian adalah pada soal integritas,
yakni orang tersebut tidak melakukan apa yang diyakininya benar. Orang tahu harus jujur
tetapi ya seringkali berbohong dengan beribu alasan, lebih memilih menyontek daripada
belajar dengan tekun, dan walau tahu menyontek itu tidak baik, ternyata tetap tidak
melakukan moralitas yang diketahuinya. Persoalan moralnya cukup jelas, tinggal bagaimana
menerapkannya secara konsisten saja. Itu sebabnya dari zaman 2000 tahun lalu, Aristoteles
sudah menyatakan yang tahu moral belum tentu memiliki keutamaan moral. Tahu tidak
cukup karena perlu dilakukan baru disebut bermoral baik. Tentu saja bukan melakukan satu
kali yang baik bisa disebut bermoral baik, tetapi dilakukan sebagai kebiasaan atau berulang
kali, baru disebut berkarakter yang baik.

Walau demikian, terkadang permasalahan etika tidak semudah itu. Contoh Corrie Ten Boom
menceritakan bagaimana ia harus berbohong untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi
dari kamp kematian Nazi. Ia pun harus memilih antara jujur atau menyelamatkan sebuah
kehidupan. Maka pertanyaannya adalah apakah bisa dibenarkan berbohong untuk
keselamatan orang lain? Ketika kita harus memilih nilai yang satu dengan mengorbankan
nilai yang lain, maka kita pun memasuki apa yang disebut dilema moral (moral dilemma)
dan terkadang pula kita harus memilih the lesser evil (memilih yang buruknya paling kecil
ketika pilihan di hadapan kita hanya yang buruk dan yang lebih buruk), dan Corrie memilih
berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang-orang Yahudi.

Page 2 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Banyak contoh pelbagai pro dan kontra dalam moralitas yang mengharuskan kita
menimbang dari pelbagai aspek, contohnya: masalah aborsi, euthanasia, kelaparan dunia,
masalah diskriminasi, masalah buruh, masalah perang dan kekerasan, masalah
homeseksualitas, hukuman mati, ketidaktaatan terhadap pemerintah (civil disobidience),
isu-isu biomedis, isu-isu lingkungan, isu kesetaraan gender dan banyak lainnya lagi. Contoh
di hadapan kita saja misalnya pabrik rokok. Kalau tahu itu merusak kesehatan mengapa
pabrik diizinkan berdiri? Jika menutupnya, berapa banyak pajak yang hilang dari pemerintah
dan berapa banyak orang yang harus dipecat dari pekerjaannya? Jika dibiarkan, apakah
hasil yang didapat sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk kesehatan bangsa
kita? Berapa biaya medis yang sudah dikeluarkan juga?

Maka dalam hidup, kita tidak bisa lepas dengan isu-isu etis. Demikian juga entrepreneur
tidak bisa lepas dari isu-isu etis. Di antara isu-isu etis tersebut memang banyak yang jelas
bagi kita mana yang bermoral dan mana yang tidak, tinggal apakah kita mau melakukan
yang kita yakini atau tidak. Para pedagang tahu menjual barang rusak, busuk atau sudah
kadaluarsa secara diam-diam adalah tidak benar. Jadi kebanyakan kalau soal begini mereka
tahu tetapi persoalannya adalah apakah melakukan atau tidak. Namun, ada juga kasus yang
tidak mudah diputuskan mana yang bermoral atau tidak, misalnya seperti situasi-situasi
dilematis di atas. Karena itu, adalah baik kita mulai berlatih berpikir dalam pelbagai situasi
moral yang ada. Dengan demikian kita dilatih berpikir kritis dan mempertajam pertimbangan
moral kita dari pelbagai aspek. Maka soal melakukan adalah atau tidak yang sudah Anda
ketahui, adalah tanggung jawab Anda.

Etika dan Estetika


Apakah semua pertimbangan nilai adalah bidang lingkup etika? Jawabannya tidak. Tidak
semua pertimbangan nilai adalah masalah etika. Contoh, ketika Anda menilai baju mana
yang paling cantik, rumah mana yang lebih apik, taman mana yang lebih indah, musik mana
yang lebih agung, semua itu berkaitan dengan nilai-nilai. Namun, tentu saja bukan nilai-nilai
moral melainkan nilai-nilai keindahan yang merupakan lingkup bidang estetika. Dengan
demikian kita melihat, cabang filsafat yang objek telaah kritisnya adalah nilai, atau dikenal
sebagai axiology memiliki dua bidang yakni estetika berkaitan dengan nilai-nilai keindahan
atau seni dan etika (filsafat moral) yang lingkup penelitian adalah nilai-nilai moral.

Etika dan Maksims


Sesungguhnya kita banyak berurusan dengan apakah suatu tindakan etis atau tidak, akan
tetapi yang sering terjadi adalah kita melakukan itu tanpa lagi memikirkannya. Kita sudah

Page 3 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

terbiasa, kita tidak lagi kritis melihat suatu persoalan. Sadar atau tidak, kita melakukan
tindakan tertentu melalui kebiasaan dan suatu panduan tindakan yang jarang kita uji.
Panduan tindakan yang subjektif ini, yang mengatur tindakan-tindakan ini disebut oleh
Immanuel Kant sebagai maksim. Anda bisa mengadopsi banyak maksim, seperti jangan
berbohong ke temanmu, jangan mempermalukan orang tuamu, harus mendapatkan yang
terbaik untuk dirimu, berbohong boleh asal dibutuhkan dan banyak hal lainnya.

Nah, buat Kant, maksims belum cukup. Harus diuji, sehingga tidak semua maksims dapat
disebut bermoral. Menurut Kant, maksim yang bermoral harus bisa menjadi hukum yang
universal. Kita akan membahasnya di bab selanjutnya. Akan tetapi cukuplah di sini
dijelaskan bahwa, panduan-panduan yang benar-salah, dasar pandangan hidup atau
falsafah kita perlu diuji lagi. Maksim setiap kita perlu diuji lagi.

Seorang penulis, Oliver A. Johnson mengingatkan, “The examination of life, to which


Socrates devoted his life and for which he was willing to die, is the pursuit that philosophers
call ethics.1” (Pengujian hidup - yang Socrates abdikan pada hidupnya, serta memilih mati
untuknya, adalah pencarian yang disebut oleh para filsuf sebagai etika.) Itu sebabnya,
Sokrates mengatakan, “The unexamined life is not worth living”, hidup yang tidak diuji
adalah hidup yang tak pantas dijalani. Mungkin kita belum seperti Sokrates yang memilih
dihukum mati dengan minum racun daripada menolak prinsip-prinsip hidupnya. Namun,
ketika kita masuk dalam refleksi-refleksi dalam etika, ketika kita belajar etika, kita berusaha
mencapainya dan menguji dasar pandangan moral kita, apakah memadai atau tidak.

Sementara ketika maksim itu dianut oleh banyak orang, maka ia menjadi apa yang disebut
norma moral dan kalau dijadikan aturan tertulis dapat berubah menjadi norma hukum. Akan
tetapi dalam hidup kita akan melihat begitu banyak norma yang berbeda dalam masyarakat.
Masyarakat satu mengatakan foto telanjang itu apa pun kondisinya tidak bermoral
sementara masyarakat lainnya mengatakan selama itu untuk seni, diperbolehkan. Maka kita
menemukan adanya norma moral dari agama, norma moral dari adat, norma moral dari
masyarakat atau juga norma hukum yaitu norma tertulis yang diatur oleh pemerintah. Etika
tidak berhenti dengan menyetujui norma-norma ini tetapi mengujinya secara kritis dan
sistematis apakah sungguh itu dapat dibenarkan secara moral. Karena itu segala bentuk
norma moral adalah objek penelitian etika.

Etika dan Moral


Kees Bertens menyatakan bahwa etika adalah refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia

1
Johnson. 1994. hal. 1

Page 4 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk, atau dengan kata lain suatu
refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut normatif.
Dengan demikian, etika berbeda dengan psikologi yang menyelidiki tingkah laku manusia
juga tetapi bukan dari sudut normatif. Etika juga berbeda dari perbincangan para pelawak
ataupun penyair yang berbicara tentang tingkah laku manusia tetapi bukan dengan refleksi
kritis, metodis dan sistematis2.

Hal yang sama dinyatakan oleh Franz Magnis-Suseno, “Etika bukan suatu sumber tambahan
bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan
sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang
mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau
mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.3”

Maka dari penjelasan ini, dapat kita lihat bahwa arti pertama etika adalah ilmu. Dengan
demikian, norma-norma, moralitas adalah objek kajian dari etika, sementara etika itu
adalah ilmunya. Namun, seringkali kerancuan terjadi, etika dipertukarkan dengan norma
moral. Baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, hal ini seringkali dipertukarkan
antara etika dan moral. Maka tidak heran kita sering melihat adanya kalimat, “Tindakannya
tidak beretika!” yang maksudnya adalah “tindakan itu tidak bermoral!” atau bisa kalau mau
bisa juga diganti dengan kalimat “tindakan itu tidak etis” (tindakan yang tidak sesuai
dengan asas perilaku yang disepakati secara umum). Demikianlah walau dalam bahasa
seringkali ini dipertukarkan, namun kita sebagai mahasiswa harus mengetahui perbedaan
antara etika dengan moral.

Etika & Hukum


Kerancuan lain adalah yang berpikir bahwa hukum itu sama dengan suatu tindakan etis.
Banyak norma-norma moral dalam masyarakat yang tidak kita masukkan dalam hukum.
Sebagai contoh, kita tidak akan memasukkan dalam hukum: norma jangan merebut hati
pacar orang lain atau mandi jangan kelamaan sehingga orang lain yang mules perutnya
menunggu terlalu lama, walau secara norma moral mungkin Anda menyetujuinya, bukan?
Cukup Anda diingatkan agar tenggang rasa, empati terhadap orang lain, toh Anda tidak mau
juga diperlakukan demikian oleh orang lain. Hal tersebut tidak dimasukkan dalam hukum,
walau mungkin bisa dalam bentuk aturan di rumah kos kalau bapak atau ibu kos Anda
merasa itu harus diatur.
2
Bertens. 1994. hal. 24-25
3
Magnis-Suseno, 2005. hal. 14

Page 5 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Namun, apakah ada yang dalam aturan atau norma hukum yang bukan merupakan norma
moral? Jawabannya ada. Contohnya? Di Indonesia, ketika Anda berkendaraan, Anda
diharuskan untuk melewati kendaraan lain melalui jalur sebelah kanan, sementara di
Amerika Serikat harus melalui jalur sebelah kiri. Itu bukan soal norma moral tetapi hanya
kesepakatan bersama saja yang diatur dalam peraturan lalu lintas, karena kalau tidak diatur
akan kacau dan terjadi kecelakaan. Maka norma hukum akan mengatur itu agar tidak terjadi
kekacauan, walau bukan termasuk norma moral.

Selain itu, karena hukum diterapkan melalui kekuasaan pemerintah, tidak tertutup
kemungkinan ada hukum yang juga melanggar moralitas atau tidak etis, misalnya hukum
yang melarang ibadah bagi penduduk minoritas, hukum yang memperbolehkan etnis
tertentu dibinasakan misalnya pada kaum gipsi, Yahudi dan sebagainya. Hukum yang
melanggar moralitas sulit mendapatkan pembenaran atau legitimasi walau tetap bisa
dijalankan atau dipaksakan karena kekuasaan.

Kenapa sih kita bicara hal ini panjang lebar? Ternyata karena dalam praktek, banyak orang
yang menaruh dasar etikanya pada hukum. Mereka menganggap sejauh tidak melanggar
hukum, sudah etis. Tentu Anda dapat mengira apa kelemahan dari pandangan ini bukan?

Etika & Etiket


“Jangan menawarkan makanan ke orang lain dengan tangan kiri!” mungkin cocok di
Indonesia, tetapi tidak di negara lain. Jangan berdahak atau pakai sandal adalah lebih
kepada aturan yang berlaku dalam pergaulan, lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini
etiket berlaku hanya pada masyarakat tertentu dan sebaliknya tidak menjadi masalah kalau
misalnya Anda melakukannya sendirian di rumah. Itulah yang dinamakan etiket,
kesepakatan tertentu dalam masyarakat tertentu, yang mungkin tidak tertulis sebagai
norma hukum.

Akan tetapi persoalan etika merujuk pada sesuatu yang lebih mendalam. Etika tidak
bergantung apakah ketika Anda melakukannya sendiri, atau dengan banyak orang lain; juga
pada masyarakat tertentu adalah boleh dilakukan tetapi pada masyarakat lain menjadi tidak
boleh. Etika selalu menguji suatu tindakan dapat berlaku universal, baik Anda sendirian
ataupun dengan banyak orang, di satu tempat ataupun di tempat lain. Maka dari itu, ketika
kita membicarakan mana yang lebih santun: pakai sandal atau sepatu, apakah berdahak di
depan orang itu sopan atau tidak, adalah persoalan-persoalan etiket yang mengacu pada
budaya setempat dan kesepakatan sosial setempat, dan bukan permasalahan etika. Kalau

Page 6 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Anda bicara tentang keadilan, kejujuran, barulah itu menjadi pokok pembahasan etika
karena sifatnya yang lintas masyarakat mana pun, juga termasuk kalau Anda melakukannya
sendiri.

Sekilas Teori-Teori Etika


Baiklah kita melihat secara singkat pelbagai pendekatan etika yang ada:

Divine Command Theories


Sesuatu tindakan itu benar atau tidak secara moral karena itu sesuai dengan apa yang
dikatakan Alkitab, Alquran ataupun kitab suci lainnya maka itu benar. Jadi kalau itu
diperintah oleh Allah maka itu benar, sedangkan yang salah adalah yang dilarang oleh Allah.
Dalam etika, pendekatan ini disebut sebagai Divine Command Theories. Akhir-akhir ini kita
justru melihat kekerasan dan pembunuhan dilakukan atas nama Tuhan dan agama dengan
dasar pendekatan etika Divine Command Theory. Dalam hal ini kita bisa mempertanyakan
interpretasi mereka, tahu darimana itu sesuai kehendak Allah atau perintah Allah? Mengapa
perintah Allah yang satu sangat ditekankan sementara perintah Allah yang lain diabaikan?
Akan tetapi kalau dari segi pendekatan, kritik cukup tajam terhadap teori ini dikemukakan,
Socrates dalam bukunya Plato yang berjudul Euthyphro, “Apakah perilaku seseorang itu
benar karena dewa-dewa/ Tuhan memerintahkannya? Ataukah Tuhan memerintahkannya
karena hal itu benar?” Maka kita melihat banyak juga kaum agamawan yang menolak
pendekatan Divine Command Theories, dan memegang teori-teori etika lainnya seperti teori
deontologi, teleologis ataupun theory of natural law ataupun juga Virtue Theory.

Theory of Natural Law


Menurut Theory of Natural Law yang diformulasikan Thomas Aquinas (1225-1274). Tuhan
adalah maha rasional, menciptakan tatanan rasional dan kita yang adalah gambar Allah,
adalah agen rasional. Rasionalitas adalah esensi natur manusia, baik mereka orang yang
percaya Tuhan ataupun tidak, sehingga mereka memiliki kemampuan dalam kesadaran dan
rasional yang sama ketika berhadapan dengan pertimbangan moral. Itu sebabnya bisa
terjadi kaum agamawan tidak lebih bermoral dibandingkan mereka yang ateis, ketika
mereka lalai menggunakan kemampuan rasional dan kesadarannya. Dua hal yang
ditekankan oleh Theory of Natural Law, pertama rasionalitas dan kedua adalah natural. Yang
baik adalah yang natural. Homoseksualitas misalnya, bagi penganut teori ini dinilai tidak
baik karena merupakan tingkah laku yang tidak natural. Namun tentu bisa juga
dipertanyakan lagi, jikalau seks adalah untuk prokreasi, apakah salah mereka yang
melakukan seks walau setelah menopause?

Page 7 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Ethical Egoism
Selain itu, ada teori yang berpendapat bahwa yang bermoral adalah sejauh itu baik buat
saya. Jadi jika itu baik buat saya, itu benar, dan “biarlah tiap-tiap orang memperhatikan
kepentingannya sendiri saja.” Tentu saja dari kacamata ini, tidak dapat diartikan dengan
tidak boleh menolong orang lain. Menolong orang lain boleh-boleh saja, tetapi itu sejauh
tidak bertentangan dengan kepentingan diriku. Maka pandangan ini mewakili apa yang
disebut Ethical Egoism. Salah satu tokoh yang kuat mendukung pandangan ini adalah Ayn
Rand (1905-1982). Akan tetapi kita juga sadar, dalam kondisi tertentu, hanya melihat
kepentingan diri sendiri saja tidak memberikan kebaikan lebih besar dibandingkan jikalau
masing-masing mau mengalah.

Deontologi
Ada juga pandangan yang melihat “Lakukan sesuatu secara benar, dan benar atau tidaknya
suatu tindakan bukan bergantung pada hasil atau berapa banyak keuntungan yang Anda
dapat tetapi berapa benar tindakan itu sendiri, seberapa tindakan tersebut sesuai dengan
kewajiban atau hak dan nilainya yang paling intrinsik.” Misalnya jujur itu baik, walau karena
jujur nilai Anda tidak sebagus mereka yang menyontek. Hasil tidak mempengaruhi apakah
jujur itu bermoral atau tidak. Maka kita lihat ini mewakili pandangan deontologi. Pendukung
teori dapat disebut Immanuel Kant (1724-1804) dengan teori kewajibannya, juga mereka
yang mendukung teori hak seperti Ronald Dworkin (1931-?) dan pandangan serupa juga
tercermin dalam Declaration of Human Rights. Nanti kita akan melihat pandangan ini lebih
jauh.

Utilitarianisme
Ada lagi yang melihat sejauh mana itu membuat dunia semakin baik. Semakin banyak orang
mendapatkan hasil yang baik dari suatu tindakan, maka tindakan itu baik. Jika ini yang Anda
anut, maka pandangan Anda mirip dengan pandangan utilitarianisme atau disebut juga
dengan konsekuensialisme. Pembenaran suatu tindakan pada hasil ke semakin banyak
orang yang senang (dikemukakan oleh Jeremy Bentham) ataupun ke semakin banyak orang
yang bahagia (John Stuart Mill). Sebaliknya makin banyak orang yang dirugikan, seperti
kasus lumpur Lapindo, berarti tindakan itu tidak baik. Varian pendekatan ini contohnya
adalah stakeholders approach yang menggunakan prinsip ini.

Virtue Theory
Di samping itu ada juga yang mengatakan mengapa kita harus fokus pada tindakan.
Mengapa kita tidak melihat bagaimana agar seseorang menjadi orang baik, bagaimana
seseorang memiliki keutamaan? Maka pandangan yang lebih menekankan pada to be

Page 8 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

daripada to do, itu mewakili apa yang disebut teori-teori keutamaan (Virtue Theory), yang
didukung oleh Aristotle (384-322 SM) dan juga sejalan dengan pandangan Thomas Aquinas.
Buat teori ini jauh lebih penting melihat pada karakter seseorang daripada tindakannya,
atau sering dikatakan lebih melihat pohon daripada buahnya.

Relativisme
Dari pelbagai teori etika, tentu juga kita dapat melihat beberapa keberatan juga terhadap
kebenaran moral. Mereka yang menyatakan tidak ada yang namanya baik yang universal
atau tidak adanya kebenaran moral. Kritik pertama datang dari mereka yang berpendapat
bahwa baik atau tidak tergantung dengan budaya saja. Yang disebut baik oleh budaya
tertentu, tidak baik oleh budaya yang lain. Pandangan ini dikenal sebagai Cultural
Relativism. Sementara, mereka yang menolak adanya kebenaran moral, tetapi bukan
karena budaya tetapi tergantung pada sikap seseorang, dan sikap seseorang ini tidak bisa
dikatakan benar atau salah, maka pandangan ini disebut Ethical Subjectivism dengan
pendukungnya David Hume (1711-1776).

Etika Deskriptif
Demikian, kita sudah mulai merambah beberapa teori etika secara singkat dan padat. Selain
teori yang menyoroti benar atau salah tersebut secara normatif (etika normatif), ada juga
pembahasan etika yang disebut etika deskriptif, yang lebih mencoba mendeskripsikan suatu
moral tetapi tidak melakukan penilaian benar atau salahnya tindakan ataupun nilai
(normatif). Contoh etika deskriptif misalnya adalah perkembangan moral seseorang. Dalam
hal ini, etika berhutang pada teori psikologi, misalnya Jean Piaget (1896-1980) yang
meneliti perkembangan moral anak-anak, dan juga Lawrence Kohlberg (1927-1988) yang
melahirkan enam tahap perkembangan moral. Selain itu, bersama bidang sosiologi,
antropologi ataupun sejarah, etika deskriptif melakukan penelitian misalnya bagaimana
hubungan antara kepercayaan suku tertentu dan hukuman yang diterapkan oleh mereka.
Sekali lagi tanpa menilai benar atau salah seperti yang dilakukan etika normatif.

Cabang-Cabang Etika
Etika secara umum dibagi dua yakni etika umum (ethics) dan etika terapan (applied ethics).
Menurut K. Bertens, sejak akhir 1960-an, teori etika mulai membuka diri bagi topik-topik
konkret dan aktual sebagai objek penyelidikannya. Perkembangan baru ini sering disebut
etika terapan (applied ethics). Awalnya topik-topik konkret itu dimulai ilmu-ilmu biomedis,
karena di situ kemajuan ilmiah menimbulkan banyak masalah etis yang baru. Orang mulai
dikejutkan dengan pertanyaan-pertanyaan etis terhadap bayi tabung, rekayasa genetika
hingga kloning dan sebagainya. Tidak lama kemudian etika terapan memperluas

Page 9 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

perhatiannya ke topik-topik aktual lainnya seperti lingkungan hidup, persenjataan nuklir,


dan salah satunya yang juga berkembang sejak tahun 1970-an adalah etika bisnis (business
ethics). Seperti dikutip oleh Bertens dari DeGeorge, diduga pada tahun 1987 di Amerika
Serikat saja diberikan lebih dari 500 kuliah etika bisnis yang melibatkan lebih dari 400.000
mahasiswa dan dalam dekade 1990-an etika bisnis banyak diajarkan secara global dan
bukan saja terbatas pada negara-negara Barat4.

Mengapa Etika untuk Kewirausahaan?


Lantas dimana posisi Etika untuk Kewirausahaan ini? Apakah ia sama dengan Etika Bisnis?
Beberapa persoalan dalam Etika Bisnis memang menjadi persoalan dari Etika untuk
Kewirausahaan, tetapi ada beberapa perbedaan karena lingkup entrepreneur/wirausahawan
yang memiliki ciri khas dan persoalannya sendiri dibandingkan para manajer atau para
pebisnis.

Entrepreneur atau wirausahawan didefinisikan oleh Bolton dan Thompson sebagai “a person
who habitually creates and innovates to build something of recognised value around
perceived opportunities.”5 Seperti dinyatakan ulang oleh Robert D. Hirsch, penyamaan
manajer bisnis dan entrepreneur gagal menangkap keunikan dan kecenderungan agresif,
independensi, inovasi, keberanian mengambil risiko dari para entrepreneur. Dalam beberapa
hal, penekanan seorang entrepreneur adalah pada self-employed atau pemilik yang dalam
memulai usahanya, ia harus mengambil risiko dan menggali peluang, sementara manajer
bisnis bisa saja memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan atau mengalokasi sumber
dayanya tetapi dengan risiko yang berbeda dengan wirausahawan. Entrepreneur dapat
seorang pendiri, pemilik sekaligus manajer bisnis dari suatu perusahaan.6

Selain itu, lingkup studi entrepreneurship sendiri berkembang pesat, membedakan dirinya
dari bisnis. Tahun 1990-an tercatat sebagai lahirnya pendidikan entrepreneurship/
kewirausahaan. Saat ini, entrepreneurship pun bukan saja mencakup business
entrepreneurship saja tetapi juga social entrepreneurship yang bertujuan sebagai agen
perubahan sosial melalui penciptaan enterprise yang bersifat sosial, seperti yang dinyatakan
oleh Ashoka Fellows in India, April 2000, "Tatkalau entrepeneur bisnis tumbuh dalam
kompetisi dan keuntungan, entrepreneur sosial memiliki motivasi yang berbeda: sebuah
komitmen untuk memimpin melalui keterlibatan semua aktor dalam masyarakat dan sebuah
4
Bertens. 2004. hal.43.
5
Bill Bolton & John Thompson, Entrepreneurs – Talent, Temperament, Technique, Elseiver Butterworth-Heinemann,
London. 2005 hal. 16
6
Artikel Bucar, Branko, Hisrich, Robert D berjudul Ethics of business managers vs. entrepreneurs, dalam Journal of
Developmental Entrepreneurship, Apr 2001 dapat dilihat pada
http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3906/is_200104/ai_n8935476/pg_1

Page 10 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

dedikasi untuk mengubah sistem dan polamasyarakat."7

Demikianlah kita berharap, seperti yang dinyatakan Lisa Getzler-Linn dan June Ferrill dalam
makalahnya bahwa para entrepeneur yang besar kemungkinan menjadi agen ekonomi dan
sosial di kemudian hari,
“Idealnya, entrepreneur selalu mencari keputusan etis. Mereka mengenali peluang,
tetapi bukan si aji mumpung; mereka mengejar sumber daya secara agresif, tetapi
tidak beringas; mereka harus fleksibel, tetapi tidak mengorbankan integritas mereka;
mereka egois tetapi tidak haus kekuasaan; dan mereka harus senantiasa bijaksana,
dapat dipercaya dan konsisten dalam rangka membangun hubungan bisnis yang akan
menopang mereka secara kokoh sepanjang karir mereka. Entrepreneurship harus
dikenal sebagai suatu pengejaran yang bernilai, terhormat dan berketeladanan.”8”

Melihat alasan-alasan di atas, maka Etika untuk Kewirausahaan ini diadakan. Namun, sama
dengan studi etika lainnya, tujuan kuliah etika untuk kewirausahaan bukanlah mengambil
alih tanggung jawab para wirausahawan dalam bidang moral. Pengambil keputusan tetaplah
harus pelaku moral atau wirausahawan itu sendiri didasarkan pada kebebasan. Karena itu,
etika tidak memaksa seseorang melakukan sesuatu walau ia mengajak pelaku moral
mempertimbangkan dan melakukan sesuai dengan nilai-nilai yang diakuinya benar. Maka,
mengingat kewirausahaan begitu rawan dengan godaan menghalalkan pelbagai cara untuk
mencapai keuntungan serta adanya pelbagai risiko yang harus diperhitungkan bukan saja
dari aspek keuntungan tetapi juga dari aspek moral, maka tujuan perkuliahan kita adalah
agar:
1. Mahasiswa bukan saja memahami teori etika tetapi dapat menggunakan
pendekatan-pendekatan etika yang ada di dalam penerapan kewirausahaan
2. Mahasiswa dapat berpikir kritis dan bertanggung jawab dengan memahami
argumentasi-argumentasi moral serta dampak dari sebuah pilihan tindakan dan
sikap yang dipilihnya.

7
Lihat di www.ashoka.org: While a business entrepreneur may thrive on competition and profit, a social
entrepreneur has a different motivation: a commitment to leading through inclusiveness of all actors in society and a
dedication to changing the systems and patterns of society.
8
Tulisan Lisa Getzler-Linn, Lehigh University dan June Ferrill, Rice University dalam artikel “Creating a Brand of
Ethics Specific to Entrepreneurship Education and Embedding It in the Curriculum” hal.131. “Ideally,
entrepreneurs seek positive ethical decisions. They identify opportunities, but are not opportunistic; they pursue
resources aggressively, but are not ruthless; they must be flexible, but must not compromise their integrity; they
should be egoistic, but not power hungry; and they must, at all times, be prudent, trustworthy, and consistent in
order to build business relationships that will stand them in good stead for their entire careers. Entrepreneurship
must (and with right ought to) be recognized as a valued, respectable, valiant pursuit.”

Page 11 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut untuk melihat seberapa Anda paham


dengan bacaan di atas:
1. Mengapa “asal tidak melanggar hukum” tidak sama dengan bermoral menurut etika?
Bisakah Anda memberikan contoh yang tidak melanggar hukum tetapi melanggar
moral, dan sebaliknya melanggar hukum tetapi ternyata tidak melanggar moral?
2. Baik etika dan estetika melakukan kajian mana nilai yang baik dan tidak baik. Apa
perbedaannya? Bisa berikan contoh?
3. Apakah memakai sandal bisa dikategorikan pelanggaran etis? Apa perbedaan etika
dengan etiket?
4. Apa bedanya moral dan etika?
5. Perbedaan menilai suatu tindakan itu bermoral atau tidak bisa dilihat juga dari
hasilnya atau dilihat dari tindakannya, melahirkan dua pandangan etika. Bisakah
Anda menjelaskannya?
6. Apa perbedaan antara etika normatif dengan etika deskriptif?
7. Jika seseorang mengaku melakukan perintah Tuhan untuk membunuh orang lain,
apa kelemahan dari pandangan ini?
8. Mengapa belajar etika saja tidak otomatis membuat orang dapat disebut berkarakter
mulia/etis?

Page 12 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Bab I
Bagaimana Menilai Peluang?

Jelaslah bahwa sebuah peluang harus dinilai. Salah satu penilaian adalah apakah memang
peluang tersebut menguntungkan dari sudut bisnis atau tidak, apakah ia layak dijalani atau
tidak. Dalam bukunya, Clueless in Starting a Business, May Lwin dkk. menyatakan bahwa
berdasarkan data statistik, 40% dari bisnis baru mengalami kegagalan pada tahun pertama
operasi mereka. Dalam kurun waktu lima tahun, 80% persen dari bisnis yang baru mulai
tersebut gagal. Dalam waktu sepuluh tahun, kurang dari 10% dari bisnis ini masih tetap
eksis9.

Bagaimana menilai peluang? Tentu yang pertama-tama adalah pertanyaan apakah peluang
itu menguntungkan? Tanpa profit, keberlangsungan perusahaan atau organisasi tidak dapat
terjaga. Yang jelas, etika tidak memandang negatif terhadap profit karena studi etika justru
menyadari bahwa keuntungan adalah unsur hakiki dalam bisnis. Akan tetapi, keuntungan
menjadi tidak etis ketika ini dijadikan satu-satunya tujuan dari sebuah perusahaan
mengalahkan faktor-faktor lainnya seperti moralitas. Kita tidak akan masuk lebih banyak
bagaimana caranya memperhitungkan apakah peluang itu menguntungkan atau tidak dari
segi bisnis, karena seharusnya ini menjadi subjek perkuliahan entrepreneurship juga bisnis,
akan tetapi cukuplah di sini disinggung mengenai satu parameter dari bisni: expected value.

Expected Value
Dari artikelnya berjudul, “Membedakan Investasi dan Spekulasi”, Roy Sembel menyebutkan
suatu parameter yang disebutnya konsep nilai harapan (expected value) untuk
membedakan investasi dengan spekulasi . Rumusnya sederhana, walau untuk mendapatkan
10

besaran-besaran variabelnya memerlukan suatu analisis yang kompleks, belum lagi


terkadang ketidaktersediaan informasi yang akurat di Indonesia, yang dapat kita pandang
sebagai risiko:

Expected Value = X1.Y1 - X2.Y2


Secara sederhana, simbol ini didefinisikan sebagai berikut:
X1 = Besar keuntungan bila menang/ sukses
Y1 = Peluang untuk menang/ sukses
X2 = Besar kerugian bila kalah
Y2 = Peluang untuk kalah

9
Lwin. 2005. hal. 17
10
Sembel. 1999. hal. 74-75.

Page 13 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Dari rumus sederhana ini, menurutnya dapat diukur secara rata-rata bahwa para penjudi
expected value-nya adalah negatif atau dikondisikan untuk kalah. Peluang untuk menang
dalam berjudi adalah kecil sementara peluang menang bagi bandar judi umumnya lebih
besar. Sebaliknya, dari investasi jangka panjang di pasar modal bukanlah judi karena dalam
jangka panjang rata-rata pasar modal mengalami kenaikan positif, belum lagi jika ditambah
dengan analisis investasi dan keuangan yang memadai sehingga dapat memilah mana
investasi yang sehat dan yang tidak. Namun, dari sini kita juga dapat melihat bahwa terjun
begitu saja dalam bisnis tanpa kalkulasi dan analisis bisa jadi merupakan sebuah “judi”. Itu
sebabnya, kita selalu menekankan apa yang disebut Calculated Risk Taker.

Selain kewajiban menilai suatu peluang apakah memang benar menguntungkan atau tidak,
apakah dari segi keberlangsungan bisa jalan atau tidak, kita juga memiliki kewajiban untuk
menilai apakah sebuah peluang baik atau tidak secara moral. Untuk itu, kita dapat
menggunakan dua pendekatan etika bersama-sama: pendekatan utilitarianisme dan
pendekatan deontologi untuk menilainya secara moral.

Pendekatan Utilitarianisme
Adalah Jeremy Bentham (1748-1832) berpendapat bahwa ada satu
prinsip moral yang utama yakni Prinsip Utilitas (bahasa Latin: utilis =
manfaat). Prinsip ini menuntut agar setiap kali kita menghadapi
pilihan dari antara tindakan-tindakan alternatif atau kebijakan sosial,
kita mengambil satu pilihan yang mempunyai konsekuensi, yang
secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang yang terlibat di
dalamnya. Apa yang baik adalah yang berguna dan Bentham
merumuskan bahwa yang berguna itu haruslah memberikan
kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin pihak
(the greatest happines for the greatest number). Lantas apa yang disebut kebahagiaan
menurut Bentham? Menurutnya, kehidupan manusia ditentukan oleh dua tetapan dasar:
nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Karena itu tujuan moral tindakan manusia
adalah memaksimalisasikan perasaan nikmat dan meminimalisasikan perasaan sakit.
Utilitarianisme sering juga dinyatakan sebagai bagian dari pendekatan teleologis (bahasa
Yunani: telos = tujuan) karena baik tidaknya suatu perbuatan diukur tercapai tidaknya
tujuan dari perbuatan, atau hasilnya dari perbuatan tersebut (konsekuensialisme).

John Stuart Mill (1806-1873) membela pendekatan utilitarianisme dan memperbaikinya


dalam beberapa hal. Pertama, bahwa Mill menolak kenikmatan itu bukan hanya kenikmatan
jasmani saja tetapi juga kenikmatan rohani, misalnya nikmat estetis ataupun kebijaksanaan,

Page 14 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

dan kenikmatan rohani lebih luhur daripada kenikmatan jasmani. Karena itu, utilitarianisme
tidak bisa dituduh hanya memperhatikan kenikmatan jasmani saja; seperti ungkapan Mill
yang terkenal, “It is better to be a human being dissatisfied
than a pig satisfied; better to be Socrates dissatisfied than a
fool satisfied.” (Lebih baik menjadi seseorang yang tak puas
daripada seekor babi yang tak puas, lebih baik menjadi
Socrates yang tidak puas daripada seorang bodoh yang tidak
puas).
Kedua, Mill membantah tuduhan bahwa utilitarianisme adalah
etika yang egois karena justru utilitarianisme mengusahakan
kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena
dampak dari tindakan kita. Ketiga, tujuan hidup manusia
adalah kebahagiaan, maka ukuran suatu tindakan adalah
berapa banyak ia bisa memberikan kebahagiaan. Maka dalam
hal ini, ketika orang menginginkan keutamaan ataupun uang, semua itu hanya dilihat
sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaanlah sesungguhnya yang
diinginkan oleh semua orang. Itu sebabnya pendekatan utilitarianisme ini seringkali disebut
juga social hedonisme.

Utilitarian Calculator
Untuk setiap tindakan, utilitarian mengajak kita mengadakan perhitungan:
1. Berapa banyak orang yang terkena dampaknya baik yang membuatnya tidak bahagia
atau negatif (dolors) maupun yang positif atau bahagia (hedons).
2. Seberapa besar dampaknya.
3. Hitung dengan cara yang sama pada alternatif-alternatif yang ada.
4. Pilihlah tindakan yang menghasilkan paling banyak memberikan jumlah kebahagiaan
dengan perhitungan hedons dikurang dolors.

Stakeholders Benefit
Pendekatan stakeholders benefit timbul untuk mengimbangi apa yang disebut stockholders
benefit, yakni manfaat hanya dilihat dari sisi para pemilik saham (shareholders) saja, baik
individu maupun institusi. Melalui pendekatan stakeholders benefit, asas manfaat diperluas
pada semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan perusahaan tersebut baik dari
internal perusahaan termasuk di dalamnya tentu saja para pemilik saham (stockholders),
para karyawan, para manajer, maupun dari eksternal perusahaan seperti para pemasok,
konsumen, masyarakat di sekitar pabrik, masyarakat luas, pemerintah bahkan juga
lingkungan hidup.

Page 15 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Maka ketika tujuan perusahaan adalah untuk bermanfaat bagi semua stakeholders, mudah
bagi kita melihat kesamaannya dengan prinsip utilitarian yang mengusahakan memberikan
kebahagiaan bagi sebanyak mungkin pihak (walau pada pendekatan stakeholders tidak
mengandaikan semua pihak, tetapi hanya yang dianggap berkepentingan saja) dan prioritas
tiap kepentingan ini dapat tidak sama dalam pendekatan stakeholders sementara
pendekatan utilitarian akan melihat berapa banyak orang yang mendapatkan manfaatnya
dengan prioritas yang dianggap sama.

Beberapa contoh isu moral dan stakeholders yang harus diperhitungkan dampaknya:
1. Menaikkan gaji karyawan? (stockholders, karyawan, pesaing, pemerintah daerah)
2. Jika PT Lapindo dijual ke pihak lain? (stockholders, karyawan PT Lapindo,
masyarakat dan pabrik-pabrik di sekitarnya yang kena lumpur, pemerintah,
pembeli PT Lapindo, lingkungan)
3. Jika Anda ingin memulai usaha baru (rekan, keluarga, jaringan usaha,
masyarakat, lingkungan)

Pendekatan Deontologi
Berbeda dengan pendekatan utilitarianisme,
pendekatan deontologi (bahasa Yunani: deon =
kewajiban) melihat benar atau tidaknya tindakan
Anda tidak ada hubungannya dengan hasil dari
tindakan Anda. Tokoh pendukung pendekatan ini
adalah Immanuel Kant (1724-1804). Kita tidak
masuk penguraian panjang pandangan Kant di sini
tetapi cukuplah langsung kita melihat beberapa
prinsip yang ia kemukakan11. Pertama, menurut
Kant kepandaian, semangat, kehormatan,
kesehatan dapat menjadi jahat jika tidak
didasarkan pada kehendak baik. Kehendak baik,
adalah sesuatu yang baik pada dirinya, bahkan ketika kita, karena situasi dan walau sudah
diusahakan, tidak mencapai hasil yang diinginkan. Kegunaan dan hasil tidak bisa
meniadakan nilai dari kehendak baik. Kedua, kita masuk dalam pertanyaan, kalau demikian
kehendak baik macam apa? Menurut Kant, kehendak baik untuk melakukan kewajiban. Kant
tidak membuat daftar mana yang menjadi tindakan bermoral dan mana yang tidak, tetapi ia

11
Untuk studi lebih lanjut tentang Immanuel Kant, silakan baca buku-buku karangan Franz Magnis-Suseno: 13
Model Pendekatan Etika hal. 151-173 dan juga 13 Tokoh Etika hal. 137-158 yang diterbitkan Kanisius. Beberapa
penjelasan tentang Kant dalam buku ini didapat dari buku-buku ini.

Page 16 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

memberikan rumusan untuk menilai suatu tindakan apakah itu bermoral atau tidak.
Rumusannya itu disebutnya sebagai Imperatif Kategoris, suatu kewajiban yang
unconditional yang dinyatakannya demikian: “Bertindaklah menurut maksim yang pada saat
sama Anda menghendaki maksim itu menjadi hukum yang universal.”12

Maksim menurut Kant adalah panduan subjektif yang menuntun tindakan. Karena itu, setiap
maksim harus diuji, apakah dapat menjadi hukum umum. Ketika prinsip itu sekaligus dapat
kita kehendaki berlaku bukan hanya bagi kita, tetapi juga umum, maka prinsip itu sudah
menjadi prinsip moral. Maka menurut Kant, ketika Anda melakukan sesuatu menurut suatu
maksim, atau panduan subjektif Anda, maka tanyakan pada diri Anda, apakah Anda mau
semua orang melakukan hal yang sama yang Anda lakukan tersebut? Apakah
menguniversalkan prinsip dari tindakan Anda tersebut tidak menghasilkan kontradiksi? Maka
jelas, jika Anda tidak bersedia menerima aturan itu diberlakukan untuk setiap orang, maka
Anda tidak boleh mengikuti aturan itu, dan tindakan itu secara moral tidak diperbolehkan.

Kant juga menyatakan Imperatif Kategoris sebagai berikut, “Bertindaklah sedemikian


sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, entah pada dirimu sendiri atau pada orang
lain, selalu sebagai tujuan dan bukan semata-mata sebagai sarana.”13

Melalui pernyataan ini, apa yang dimaksud Kant dengan menjadikan orang sekadar sarana
atau alat? Apakah kalau saya ingin mencairkan cek, maka saya memanfaatkan teller dari
bank sebagai alat, karena tanpanya saya tidak memperoleh uang tunai? Bukan itu maksud
Kant, karena masing-masing pihak menyetujui bagiannya dalam transaksi walau mereka
saling membantu. Memanfaat orang lain sebagai sarana atau alat adalah melibatkan mereka
dalam sebuah rencana tindakan yang pada dasarnya tidak dapat mereka setujui, dalam hal
ini memaksa mereka. Pemberian harapan palsu atau dengan menipu, walau berhasil adalah
juga memperlakukan penerima janji sebagai alat atau benda dan bukan sebagai manusia.
Penghormatan terhadap martabat manusia, makhluk rasional yang bertanggung jawab dan
dapat mengambil keputusan mereka sendiri dinilai Kant tercakup dalam memperlakukan
manusia sebagai tujuan. Dengan demikian, kita tidak pernah boleh memanipulasi orang atau
menggunakan orang untuk memperoleh tujuan kita sendiri semata tetapi menghargai dan
mengembangkan kapasitas mereka untuk memilih secara bebas bagi diri mereka sendiri.

Akhirnya Kant menyatakan “Tidak ada yang lebih mengerikan daripada tindakan seseorang

12
Miller. 1984. hal 424. “Act only according to that maxim by which you can at the same time will that it should
become a universal law.”
13
Miller. 1984. hal. 428: “Act in such a way that you always treat humanity, whether in your own person or in the
person of any other, never simply as a means, but always at the same time as an end.”

Page 17 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

yang harus takluk kepada kehendak pihak lain.”14 Bagi Kant, moralitas juga mengandaikan
adanya kebebasan kehendak untuk melakukan sesuatu yang baik. Moralitas tidak bisa
dipaksakan (heteronomi) tetapi harus si pelaku moral itu sendiri yang menghendaki dan
menjalankannya (otonomi). Itu sebabnya para pengajar etika tidak boleh mengambil alih
tanggung jawab dengan memaksakan tindakan moral bagi peserta didik. Adalah kebebasan
dan tanggung jawab pelaku moral mengambil keputusannya dalam tindakan bermoral.

Mengapa kita perlu mempelajari pendekatan deontologis? Amitai Etzioni mencatat bahwa
banyak perusahaan yang tidak memotong upah selama periode pengangguran yang parah,
demikian juga industri hiburan dan olah raga tidak menaikkan harga karcis yang akan habis
terjual bagi peristiwa populer disebabkan oleh satu hal: komitmen moral. Walau para
perusahaan tersebut memiliki peluang untuk memperoleh laba lebih banyak melaluinya
ataupun pengurangan biaya upah, tetapi hal itu dilepas karena adanya komitmen moral.
Komitmen moral atau dalam bahasa Kant, kehendak baik menjadi sesuatu dasar pengambil
keputusan yang bernilai lepas bahwa itu terkadang tidak membuat kita lebih untung.

Contoh lain aplikasi pendekatan deontologi. BBC Indonesia dalam websitenya pada tanggal 6
Juli 200615 melaporkan adanya tiga orang ditahan di Amerika Serikat dengan tuduhan
mencuri rahasia resep Coca Cola dan menawarkan ke saingan beratnya, Pepsi. Ketiganya,
termasuk diantaranya seorang pegawai di kantor pusat Coca Cola, dituduh mencoba
menjual dokumen-dokumen rahasia dan sebuah contoh minuman baru dengan harga US$ 1
juta. Uniknya, pesaing Coca Cola yakni Pepsi justru memberitahukan kasus ini kepada Coca
Cola, yang melaporkan kepada FBI. Pepsi mengatakan bahwa persaingan boleh saja sengit,
tetapi harus dilakukan dengan adil dan sah. Dalam hal ini, Pepsi tidak menilai sekadar dari
keuntungan yang didapat melalui resep rahasia Coca Cola walau peluang itu ada, tetapi
lebih kepada tindakan yang adil, dan Pepsi pun sadar bahwa mereka pun tidak mau
diperlakukan demikian oleh karyawannya, mencuri resepnya dan menjualnya terhadap Coca
Cola.

Golden Rule
Salah satu varian dari pendekatan deontologi, walau kita melihat ada sedikit perbedaan
dibandingkan dengan pendekatan Kant, namun kita melihat ada banyak kesamaannya juga
yakni golden rule. Dalam bukunya, “Tidak Ada Yang Namanya Etika Bisnis”, John Maxwell
menyatakan hanya ada satu aturan yang dapat berlaku pada semua segi kehidupan
termasuk dalam bisnis yakni kaidah emas (golden rule). Maka Maxwell menyatakan bahwa
ada dua aspek penting dalam etika: Yang pertama adalah standar untuk diikuti (dan
14
Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsaf dan Ilmuwan, Kanisius. Yogyakarta. 2007. hal. 59
15
http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2006/07/060706_pepsi.shtml

Page 18 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

menurut Maxwell adalah golden rule). Yang kedua adalah kemauan atau komitmen untuk
mengikutinya.16 Tentu saja kita juga dapat melihat kelemahan pendekatan Maxwell yang
menaruh etika hanya semata-mata pada rumusan golden rule saja. Kita bisa melihat bahwa
seorang sadomasokis tentu saja secara etis tidak bisa dibenarkan menggunakan rumusan
golden rule dan dalam hal ini rumusan imperatif kategoris Kant jauh lebih memadai. Walau
begitu, dalam etika, apa yang dinyatakan Maxwell yakni golden rule diakui pentingnya.
Kekuatan golden rule adalah rumusannya begitu mudah tetapi ternyata untuk itu pun
seringkali kita gagal atau lalai melakukannya.

Mirip dengan Imperatif Kategoris Kant, ada baiknya kita mengetahui berikut daftar golden
rule atau kaidah emas yang terdapat dalam beberapa tradisi atau ajaran agama-agama di
dunia17:
1) Mungkin versi tercatat tertua – yang dituang dalam kalimat positif – berasal dari
Zoroaster (628-551 SM): "That which is good for all and any one, for whomsoever--
that is good for me...what I hold good for self, I should for all. Only Law Universal is
true Law" (Gathas, 43.1).
2) Konfucius (551-479 SM), ketika ditanya "Is there one word which may serve as a
rule of practice for all one's life?" Ia berkata: "Do not to others what you do not want
done to yourself" (Analects, 12.2 & 15.23). Konfucius juga menyatakan dalam versi
berbeda: "What I do not wish others to do to me, that also I wish not to do to them"
- Analects, 5.11.
3) Pendiri Jainisme yakni Vardhamana, yang dikenal juga sebagai Mahavira
("Pahlawan Besar, 540-468 SM); dalam berbagai kitab suci Jainisme: "A man should
wander about treating all creatures as he himself would be treated" (Sutrakri - tanga
1.11.33). "One who you think should be hit is none else but you.... Therefore, neither
does he cause violence to others nor does he make others do so" - Acarangasutra
5.101-2.
4) Pendiri agama Budha yakni Siddhartha Gautama, dikenal juga sebagai Budha
("Orang yang Tercerahkan", 563-483 SM); dalam beberapa kitab suci agama Budha
menyatakan: "Comparing oneself to others in such terms as `Just as I am so are
they, just as they are so am I,' he should neither kill nor cause others to kill" Sutta
Nipata 705). "Here am I fond of my life, not wanting to die, fond of pleasure and
averse from pain. Suppose someone should rob me of my life.... If I in turn should
rob of his life one fond of his life.... How could I inflict that upon another?" -

16
Maxwell. 2004. hal. 41
17
Kumpulan kaidah emas dari pelbagai agama-agama dan kepercayaan ini dari tulisan Leonard Swidler, “Toward a
Universal Declaration of a Global Ethic” dengan alamat website: http://astro.ocis.temple.edu/~dialogue/geth.htm.
Teks kitab suci sengaja dibiarkan dalam bentuk bahasa Inggrisnya.

Page 19 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Samyutta Nikaya v.353.


5) Cerita kepahlawanan Hindu, Mahabharata, abad ke-3 SM, menyebutkan kaidah
emas yang diekspresikan baik dalam kalimat positif dan negatif, sebagai rumusan
segenap ajaran Hindu, "Segenap Dharma": "Vyasa says: Do not to others what you
do not wish done to yourself; and wish for others too what you desire and long for for
yourself--this is the whole of Dharma; heed it well" -Mahabharata, Anusasana Parva
113.8.
6) Dalam kitab Leviticus/ Imamat (disusun pada abad ke-5 SM, walaupun beberapa
materinya mungkin lebih tua dari itu) versi Ibrani dari kaidah emas dinyatakan
secara positif: "You shall love your neighbor as yourself" - Lev. 19: 18.
7) Kitab deuterokanonika, Tobit ditulis sekitar 200 SM berisi versi kalimat negatif –
seperti juga kebanyakan dari kaidah emas yang ada: "Never do to anyone else
anything that you would not want someone to do to you" - Tobit 4:15.
8) Pendiri utama Rabbinic Judaism, Rabbi Hillel, yang hidup satu generasi sebelum
Yesus, mengajarkan kaidah emas adalah inti dari Taurat dan "sisanya adalah catatan
penjelasan": "Do not do to others what you would not have done to yourself" -
Btalmud, Shabbath 31a.
9) Mengikuti tradisi Yahudi, Yesus menyatakan kaidah emas dalam bentuknya yang
positif, dan berkata itulah ringkasan Taurat dan nabi-nabi: "Do for others just what
you want them to do for you" (Luke 6:31); "Do for others what you want them to do
for you: this is the meaning of the Law of Moses [Torah] and of the teachings of the
prophets" - Matthew 7:12.
10) Pada abad ke-7 sezaman Rasul Mohammad sudah menyatakan: "Noblest Religion
is this-- that you should like for others what you like for yourself; and what you feel
painful for yourself, hold that as painful for all others too." Dan lagi: "No man is a
true believer unless he desires for his brother that which he desires for himself." -
Hadith: Muslim, chapter on iman, 71-2; Ibn Madja, Introduction, 9; Al-Darimi,
chapter on riqaq; Hambal 3, 1976. Pernyataan pertama dikutip dari Bhagavan Das,
The Essential Unity of All Religions (1934), p. 298
11) Kaidah emas juga ditemukan dalam beberapa agama-agama yang berkitab
seperti: "One going to take a pointed stick to pinch a baby bird should first try it on
himself to feel how it hurts" - A Yoruba Proverb (Nigeria), dikutip dari Andrew Wilson,
ed., World Scripture (New York: Paragon House, 1991), p. 114.
12) Pada akhir abad ke-19, pendiri Baha'isme, Baha'ullah, menulis: "He should not
wish for others that which he doth not wish for himself, nor promise that which he
doth not fulfill." - Gleanings from the Writings of Baha'u'llah, terjemahan oleh Shoghi
Effendi (Wilmette, IL: Baha'i Publishing Trust, 2d ed., 1976)

Page 20 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

13) Pada tahun 1915 suatu bentuk varian Budha, Won Budhisme, didirikan di Korea
oleh Maha Guru Sotaesan. Dalam pengajaran yang ia tinggalkan, ditemukan bentuk
kaidah emas lain: "Be right yourself before you correct others. Instruct yourself first
before you teach others. Do favors for others before you seek favors from them."
"Ordinary people may appear smart in doing things only for themselves, but they are
really suffering a loss. Buddhas and Bodhisattvas may appear to be stupid in doing
things only for others, but eventually they benefit themselves." – Kitab Suci Won
Buddhisme (Iri, Korea: Won Kwang Publishing Co., rev. ed. 1988), pp. 309f.

Dengan demikian, dalam rangka menilai peluang bagaimana kita mengujinya melalui prinsip
etika yang sudah kita pelajari? Dalam hal ini kita menguji sebuah tindakan etis atau tidak
melalui alur sederhana yang merupakan penggabungan dua pendekatan yang ada:
1. Identifikasi permasalahannya, pro dan kontranya, dan rumuskan tindakan Anda.
2. Tentukan apakah tindakan Anda lebih banyak membawa kebaikan bagi masyarakat/
banyak pihak atau malah mendatangkan kerugian bagi banyak pihak? (utilitarian
kalkultor dan stakeholder approach). Masukkan juga “lingkungan dan generasi
berikut” sebagai salah satu komponen stakeholders Anda (pandangan Hans Jonas).
3. Apakah tindakan Anda didasarkan pada hukum moral dan nilai-nilai di hati Anda?
(deontologi Kant dan virtue theory Aristoteles). Apakah tindakan Anda tersebut
sesuai dengan nilai-nilai yang dianut perusahaan/ institusi Anda?
4. Bagaimana jika tindakan Anda dilakukan orang lain, sementara Anda atau orang
yang Anda kasihi yang terkena dampaknya, apakah Anda juga setuju? (golden rule)
5. Apakah tindakan tersebut bisa menjadi hukum yang universal dan tidak
mengacaukan tatanan masyarakat? (deontologi Kant dan kode etik profesional)
6. Jika ada satu yang jawabannya tidak dari pertanyaan di atas, secara kreatif, apa
rumusan tindakan Anda yang baru agar jawabannya menjadi ya untuk pertanyaan-
pertanyaan di atas sekaligus solusi dalam permasalahan Anda?

Tentu saja selain penilaian apakah sesuai dengan moralitas atau tidak, penilaian dari
kelayakan bisnis, dan apakah peluang tersebut sesuai dengan passion dan talenta Anda,
yakni bidang yang memungkinkan munculnya kreativitas terbaik Anda harus dilakukan juga.
(*)

Beberapa pertanyaan untuk membantu kita menguji pemahaman kita atas bacaan di atas:
1. Menurut Anda apakah bandar judi melakukan spekulasi atau investasi? Bagaimana
expected value membantu kita melihat hal ini? Bagaimana dengan pandangan etika?
2. Apa yang menjadi kelemahan pandangan John Maxwell dalam bukunya “Tidak Ada
Page 21 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Yang Namanya Etika Bisnis” dibandingkan pandangan Immanuel Kant?


3. Mengapa pengajar etika tidak boleh memaksakan pandangan etikanya? Dari tiga
prinsip yang dikemukakan Kant, prinsip yang manakah yang bertentangan
dengannya?
4. Dapatkah Anda menerapkan pendekatan etika yang ada terhadap permasalahan
etika yang Anda temui?
5. Berikan contoh aplikasi pendekatan deontologi dan utilitarian!
6. Apa persamaan dan perbedaan stakeholder approach dan utilitarianism?

Daftar Pustaka
1. Bertens, Kees. Etika. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Seri Filsafat Atma Jaya: 15.
1994.
2. Bertens, Kees. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius. Yogyakarta. Seri Filsafat Atma Jaya : 21.
2000.
3. Bolton, Bill & Thompson, John. Entrepreneurs Talent, Temperament, Technique. London.
Edisi ke-2. 2005
4. Johnson, Oliver A. Ethics Selection from Classical and Contemporary Writers. Harcourt
Brace College Publishers. United States. Seventh Edition. 1994.
5. Keraf, Sony A. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Kanisius. Yogyakarta. Edisi Baru.
1998.
6. Lwin, May., Khoo, Adam., dan Aitchison, Jim. Clueless in Starting a Business. PT. Bhuana
Ilmu Populer. Jakarta. 2005.
7. Magnis-Suseno, Franz. 13 Model Pendekatan Etika. Kanisius. Yogyakarta. 1997.
8. Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika. Kanisius. Yogyakarta. 1997.
9. Maxwell, John C. Tidak Ada yang Namanya Etika Binis. Interaksara. Batam. 2004.
10. May, Larry., Collins, Shari., dan Wong, Kai. Etika Terapan I Sebuah Pendekatan
Multikultural. PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. 2001.
11. Miller, L. ED, Questions Matter An Invitation to Philosophy. McGraw Hill. Colorado. 1984.
12. Rachels, James. Filsafat Moral. Kanisius. 2004.
13. Sembel, Roy. Berpikir Ekonomis di Masa Krisis, Gagasan Akademis yang Perlu Diketahui
para Praktisi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 1999.
14. Simon Petrus L. Tjahjadi. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Kanisius. Yogyakarta. 2007
15. Velasquez, Manuel G. Etika Bisnis, Konsep dan Kasus. Andi Offset. Yogyakarta. Edisi
ke-5. 2005

Page 22 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Lampiran Kisah Entrepreneur

Perempuan Terkaya di Tengah Banyaknya Miliarder


Tiongkok yang Terlibat Pidana
Sumber tulisan: www.jawapos.com Rabu, 08 Nov 2006

source foto: http://www.forbes.com/lists/2006/74/biz_06china_Yan-Cheung_V8WZ.html


Catatan: Penulisan nama Yin Zhang versi majalah Forbes adalah “Yan Cheung”

Kerja Keras untuk Mendapatkan Setiap Sen

Saat banyak rekannya jatuh terjerat skandal mulai korupsi hingga penggelapan pajak, Zhang Yin*
tetap percaya diri. Perempuan yang mencatatkan diri dalam sejarah Tiongkok sebagai perempuan
pertama yang berada di urutan teratas daftar orang terkaya, yakin dirinya tetap bertahan.

"Saya bekerja keras untuk mendapatkan setiap sen," ujar perempuan berusia 49 tahun itu.
Berdasar data yang dirilis Akuntan Rupert Hoogewerf pertengahan Oktober lalu, Zhang tercatat
sebagai orang terkaya Tiongkok dengan kekayaan senilai USD 3,4 miliar (sekitar Rp 30,8
triliun). Namun berdasar data yang dirilis majalah Forbes, dia "hanya" berada di urutan kelima
dengan nilai kekayaan USD 1,5 miliar (sekitar Rp 13,6 triliun).

Menurut Forbes, perhitungan tersebut berbeda karena mereka tak memasukkan nilai kekayaan
suaminya, Liu Ming Chung, 44, dan adiknya, Zhang Chengfei, 38, di Nine Dragons Paper Co.,
perusahaan kertas yang mereka kelola bersama. Kalau kekayaan ketiganya digabung, mereka
menjadi keluarga terkaya di Tiongkok.

Zhang menegaskan, perusahaannya menerapkan sistem transparansi dalam masalah keuangan.


"Sebagai perusahaan yang terdaftar di bursa efek, laporan keuangan Nine Dragon bisa diakses
siapa saja. Lihat saja, nilai saham kami terus naik karena semuanya transparan," jelas putri
pensiunan militer itu.

Page 23 of 24
Diktat Kuliah Etika untuk Kewirausahaan – Johan Hasan

Nine Dragon yang menjadi perusahaan pengolah kertas terbesar di Tiongkok, tercatat dalam
bursa efek Hongkong sejak Maret lalu. Nilai saham mereka terus naik terutama sejak mereka
mengumumkan keuntungan mereka tahun 2006 mencapai CNY 1,38 miliar (sekitar Rp 1,5
triliun) atau naik empat kali lipat dari tahun sebelumnya.

Anak pertama dari delapan bersaudara itu mengaku, reputasi merupakan salah satu hal penting
yang harus dijaga dalam dunia usaha. Hal itu dia pelajari saat beruhubungan dengan mitra
usahanya di AS.

Karena itu, dia berharap semua perusahaan Tiongkok mampu menerapkan profesionalitas serta
standar internasional dalam berbisnis. "Sebelum kita masuk pasar internasional, kita harus punya
rencana jangka panjang dan yakin bisa mendapatkan keuntungan," tegasnya.

Bisnis Zhang memang berhubungan dengan pengusaha AS dan Eropa karena sejak 1980-an.
Perusahaannya mengimpor sampah kertas dari kedua wilayah tersebut, lalu mengolahnya menjadi
kertas karton.

Jutawan Tiongkok yang masuk dalam daftar orang terkaya, satu-persatu tersangkut masalah
hukum. Yang terbaru adalah Huang Guanyu alias Wo Kwong Yu.

Pendiri Gome Appliances ini dimintai keterangan soal penilepan utang yang juga melibatkan
saudaranya. Dalam daftar Rupert Hoogewerf dia berada di urutan kedua sedangkan dalam daftar
Forbes, dia berada di urutan pertama.

Sebelumnya, ada Zhang Rongkun yang dalam daftar Forbes 2005 berada di urutan ke 16.
Beberapa waktu lalu dia ditahan akibat korupsi.

Lalu ada Zhou Zhengyi yang pernah masuk dalam urutan sebelas daftar orang terkaya Tiongkok
versi Forbes. Pada 2003 dia ditahan karena penipuan dan manipulasi saham. Kini dia tengah
menjalani masa hukumannya selama tiga tahun. (ap/bloomberg/any)

Page 24 of 24

Anda mungkin juga menyukai