Jiptummpp GDL Mithafebri 40863 3 Babii
Jiptummpp GDL Mithafebri 40863 3 Babii
TINJAUAN PUSTAKA
niloticus dan jenis Mozambigue yang lebih dikenal dengan nama mujair.
dan ramping, dengan sisik berukuran besar. Matanya besar, menonjol, dan bagian
tepinya berwarna putih. Gurat sisi (linea literalis) terputus dibagian tengah badan
kemudian berlanjut, tetapi letaknya lebih ke bawah dari pada letak garis yang
memanjang di atas sirip dada. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur
mempunyai jari-jari keras dan tajam seperti duri. Sirip punggungnya berwarna
hitam dan sirip dadanya juga tampak hitam. Bagian pinggir sirip punggung
berwarna abu-abu atau hitam (Amri, 2002). Ikan nila secara morfologi dapat
Ikan Nila memiliki lima sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada
(pectoral fin), sirip perut (venteral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor (caudal
fin). Sirip punggung memanjang, dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas
sirip ekor. Ada sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil. Sirip
4
anus hanya satu buah dan berbentuk agak panjang. Sementara itu, sirip ekornya
berbentuk berbentuk bulat dan hanya berjumlah satu buah (Amri, 2002).
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Fillet ikan adalah bagian daging ikan yang diperoleh dengan penyayatan
ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari kepala hingga mendekati ekor.
Tulang belakang dari tulang rusuk yang membatasi badan dengan rongga perut
tidak terpotong pada waktu penyayatan. Daging fillet yang diperoleh dengan cara
penyayatan seperti ini tulang atau duri ikan yang ikut umumnya hanya sedikit
5
sekali. Lebih lanjut dinyatakan bahwa produk fillet ikan lebih rentan terhadap
kontaminasi dan penurunan mutu daripada ikan utuh. Penerapan rantai dingin dan
Fillet ikan adalah daging ikan tanpa sisik dan tulang (kadang-kadang juga
tanpa kulit) diambil dari kedua sisik badan ikan, kadang-kadang kedua potongan
saling bergandengan yang dikenal dengan nama butterfly fillet (Suptijha dkk,
2008).
Macam-macam fillet ikan adalah fillet berkulit (skin-on fillet), fillet tidak
berkulit (skinless fillet), fillet tunggal (singel fillet) yaitu daging ikan yang disayat
memanjang tulang belakang dan fillet kupu-kupu (butterfly fillet) yaitu dua fillet
tunggal yang dihubungkan sesamanya oleh bagian yang tidak terpotong (Rogers
dkk, 2004)
Merupakan tanaman tahunan, tidak berkayu, terdiri dari pelepah daun, daun,
bunga dan umbi. Kimpul di Indonesia memiliki nama yang berbeda – beda,
dibeberapa daerah antara lain : Taleus hideung, kimpul bodas, kimpul bejo
(Sunda), bentul, akinpul linjik (Jawa), tales campa (Madura). Kimpul adalah salah
satu jenis talas-talasan yang tumbuh pada kondisi diantaranya kandungan humus
dan air yang cukup, tumbuh optimal pada ketinggian 250 – 1.100 meter dpl, dapat
tumbuh diberbagai curah hujan tetapi optimum pada curah hujan rata-rata 1000
mm per tahun, suhu optimum pertumbuhan 21-27˚C dan pH tanah antara 5,5 – 5,6
6
(Marinih, 2005). Adapun tanaman dan umbi kimpul dapat dilihat pada Gambar 2
dan 3.
adalah :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Arecales
Famili : Araceae
Genus : Xanthosoma
“Monocotylae“. Daunnya hijau muda karena tangkai daunnya yang hijau muda
mempunyai garis ungu. Bentuk umbi kimpul silinder hingga agak bulat, terdapat
internode atau ruas dengan beberapa bakal tunas. Kulit umbi mempunyai tebal
sekitar 0,01 – 0,1 cm, sedangkan korteksnya setebal 0,1 cm. Kimpul dengan umur
panen antara 4-5 bulan hasil yang diperoleh adalah antara 4-5 ton umbi basah per
7
hektar. Kandungan komposisi umbi kimpul berdasarkan Daftar Komposisi Bahan
Edible coating adalah suatu lapisan tipis yang rata, dibuat dari bahan yang
oksigen, lipida dan zat terlarut) atau sebagai pembawa (carrier) bahan tambahan
makanan seperti bahan pengawet untuk meningkatkan kualitas dan umur simpan
polisakarida), lipid (asam lemak) dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid).
Edible coating yang dibuat dari hidrokoloid mempunyai ketahanan yang baik
terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik namun ketahanan uap air
sangat rendah akibat sifat hidrofiliknya. Kelebihan dari lipid yaitu ketahanan
terhadap O2 dan CO2 yang baik, namun kegunaannya dalam bentuk murni
sebagai coating terbatas. Edible coating dari bahan komposit dapat meningkatkan
8
kelebihan dari bahan hidrokoloid dan lipid serta mengurangi kekurangannya
(Julianti, 2006).
Metode pencelupan merupakan metode yang paling digunakan untuk daging, ikan,
sayur dan buah. Pada metode pencelupan, produk akan dicelupkan kedalam
larutan yang digunakan sebagai bahan coating. Lama waktu pencelupan bukan hal
membuat edible menjadi aktif. Ada berbagai jenis bahan aktif yang dapat
digunakan, tetapi masing-masing mempunyai sifat yang khas (Lim dkk, 2010).
Sifat edible aktif tergantung pada komponen penyusunnya, yaitu komponen utama
(ketengikan dapat dihambat) (5) Sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami
9
a. Hidrokoloid
apabila pengendalian migrasi uap air tidak menjadi hal yang mempengaruhi atau
lemak. Kebanyakan dari edible packaging yang dihasilkan memiliki sifat mekanis
struktural dari produk yang mudah pecah. Kemudahan larut dalam air edible
packaging dari hidrokoloid ini merupakan satu keunggulan yang sangat baik
dalam situasi dimana edible packaging tersebut ikut dikonsumsi bersama produk
akan larut dan idealnya tidak mengubah rasa maupun aroma dari produk makanan
alginat, pectin dan pati (Harris, 2001). Hidrokoloid yang digunakan dalam
pembuatan Edible film dapat berupa protein (kolagen, gelatin, protein kacang
kedelai, corn zein dan wheat gluten) atau polisakarida seperti selulosa dan
turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum
arab dan gum karaya), xanthan, kitosan dan lain-lain (Varavinit, 2008).
10
macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya,
a. Plasticizer
dari coating berbasis pati, salah satu jenis plasticizer yang digunakan adalah
kelarutan. begitu pula dengan penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik juga
tinggi pada edible coating berbasis pati (Bourtoom, 2007). Plasticizer berfungsi
hidrogen dan meningkatkan jarak antar molekul dari polimer pati. Penggunaan
dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalent). Rumus
kimia gliserol adalah C3H8O3, dengan nama kimia 1,2,3 propanatriol. Berat
molekul gliserol adalah 92,1 massa jenis 1,23 g/cm2 dan titik didihnya 209°C.
Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan,
11
mengikat air, dan menurunkan Aw. Gliserol dapat meningkatkan sorpsi molekul
b. CaCl2
tekstur. Hal ini disebabkan terbentuknya ikatan antara kalsium dengan pektat
membentuk kalsium pektat yang tidak larut dalam air. Kalsium klorida merupakan
salah satu jenis garam yang terdiri dari unsure kalsium (Ca) dan klorida (Cl).
Garam ini berwarna putih dan mudah larut dalam air. Kalsium klorida tidak
berbau, tidak berwarna dan tidak mudah terbakar. Kalsium klorida termasuk
dalam tipe ion halide dan padat pada suhu kamar, karena sifat higroskopisnya
kalsium klorida harus disimpan dalam container kedap udara rapat tertutup
(Winarno, 1997).
Bahan yang digunakan dalam edible film memiliki flavor dan tekstur yang
antara rantai protein karena pengaruh tipe, intensitas dan distribusi pada interaksi
air, kohesi, kekerasan, kekuatan mekanik dan sifat pembawa dari bahan, dimana
2003).
12
2.7 Jahe (Zingiberaceae officinale)
Jahe merupakan salah satu bumbu yang paling penting dan luas
luas penanaman sampai 10.000 hektar dan produksi sekitar 77.000 ton dan
yang mengandung minyak volatile dan non-volatil, senyawa pedas, resin, pati,
protein dan mineral. Komponen tersebut bervariasi tiap jenis jahe dan kondisi
jahe. Berdasarkan bentuk dan warna rimpangnya jahe dibedakan atas 3 jenis yaitu
jahe putih kecil biasa disebut jahe emprit, jahe besar sering disebut jahe gajah atau
badak, dan jahe merah atau jahe suntil (Prayitno, 2002). Adapun bentuk rimpang
13
Gambar 5. Jahe Emprit (Majalahtim, 2013)
Menurut Paimin, dkk (2000) secara botanis tanaman jahe dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Divisio : Pteridophyta
Class : Monochotyledoneae
Ordo : Scitamineae
Family : Zingiberceae
Genus : Zingiber
ukuran, bentuk dan warna rimpangnya. Umumnya dikenal 3 varietas jahe, yaitu :
1. Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah atau jahe badak
menggembung dari kedua varietas lainnya. jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik
saat umur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe
olahan.
2. Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe sunti atau jahe emprit
14
Ruasnya kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini
selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar
daripada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe
ini cocok untuk ramuan obat atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya
3. Jahe merah
Rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil.
Sama seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua dan juga memiliki
kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil, sehingga cocok untuk
ramuan obat-obatan.
kimia yang terkandung dalam jahe terdiri dari minyak menguap (volatile oil), dan
ada minyak tidak menguap (non volatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk
jenis minyak menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi aroma
yang khas, kandungan minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu
komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas. Komponen terbesar penyusun
jahe segar adalah air. Komposisi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
15
oleoresin jahe bisa mencapai 3%. Jahe merah oleoresin sangat tinggi, sedangkan
jahe badak atau gajah hanya mengandung sedikit oleoresin (Rahayu, 2000).
melebihi tokoferol. Jahe seperti halnya jenis rempah-rempah yang lain juga
antimikrobia dan antioksidan yang berasal dari kandungan gingerol dan shogaol
(Zakaria, 2000).
yakni gingeron dan gingerol. Studi lain melaporkan sifat antimikrobia dari
homolog fenolik keton. Gingerol sangat tidak setabil dengan adanya panas dan
pada suhu tinggi akan berubah menjadi shogaol. Shogaol lebih pedas
dibandingkan gingerol dan akan menjadi komponen utama pada jahe kering.
16
Kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman jahe-jahean
terutama dari golongan flavonoid, fenol, terpenoid dan minyak atsiri. Senyawa
seringkali dalam keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat
diperdagangkan dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya dalam kondisi mati
ikan akan segera mengalami kemunduran mutu. Setelah mati, maka pada ikan
tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa, bau, rupa dan tekstur. Aktivitas
kimiawi adalah terjadinya oksidasi lemak daging oleh oksigen. Oksigen yang
terkandung dalam udara mengoksida lemak daging ikan dan menimbulkan bau
tengik. Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan
komponen-komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan aktivitas kimia.
Aktivitas kimia menghasilkan komponen yang yang lebih sederhana. Kondisi ini
lebih disukai bakteri sehingga memicu pertumbuhan bakteri pada tubuh ikan
(Sumiati, 2008).
17
Selama hidup, ikan tidak mengalami proses pembusukan karena memiliki
ikan dapat terbentuk secara fisik (kulit dan sisik) maupun fisiologis (antibodi).
normal. Ikan mengandung lemak dengan persentase yang berbeda dan sebagian
besar berupa lemak tidak jenuh yang memiliki beberapa ikatan rangkap. Lemak
dengan ikatan rangkap demikian bersifat tidak stabil dan relatif mudah mengalami
segar yang disimpan pada suhu rendah. Mikrobia dan enzim yang dihasilkan dapat
berperan dalam proses ketengikan lemak, tetapi proses oksidasi lemak lebih
untuk fillet ikan yaitu untuk organoleptik minimal 7, cemaran mikrobia (ALT
negatif, Vibrio cholera negatif) dan cemaran kimia (Raksa maksimal 1 mg/kg,
kenampakan, bau dan tekstur. Skor yang diperoleh pada pengujian organoleptik
18
berdasarkan SNI 01-2729.1-2006 dibagi menjadi 3 kriteria yaitu kategori ikan
segar dengan nilai organoleptik 7-9, kategori ikan agak segar dengan nilai
organoleptik 5-6 dan kategori ikan tidak segar dengan nilai organoleptik 1-3.
Fase ini ditandai dengan lender yang terlepas dari kelenjar dibawah kulit di
sekeliling tubuh ikan. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari
glukoprotein dan musin. Pelepasan lender ini merupakan reaksi alami ikan yang
sedang mati terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang
terlepas dan menyelimuti tubuh kurang lebih 1 - 2,5% dari berat tubuhnya
Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak serta secara kimiawi
ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan keratin fosfat. Sirkulasi darah
berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen
Fase ini ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras. Rigor mortis
terjadi pada saat-saat siklus kontraksi relaksasi antara miosin dan aktin diddalam
myofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen. Pada fase ini,
sumber energi atau ATP akan bekurang akibat aktivita enzim ATPase yang diikuti
oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. perubahan glikogen menjadi asam
Pada fase rigor mortis pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2 – 6,6. Tinggi
rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan
19
pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat dan basa-basa
menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan proses pembusukan berlangsung
(Junianto, 2003).
meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis yaitu terjadinya
penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan
(FAO, 1995). Enzim yang berperan adalah enzim katepsin (dalam daging), enzim
tripsin, kemotripsin dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari
mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan
pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Selain itu dihasilkan pula
sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang disebabkan pada waktu asam
20
bakteri. Pertumbuhan bakteri yang semakin cepat membuat proses kerusakan juga
kerusakan asam-asam amino, seperti asam glitamat, asam aspartat, lisin, histidin
glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi
2006).
21