Anda di halaman 1dari 18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus, L.)

Jenis nila masuk ke Indonesia pertama kali adalah jenis Oreochromis

niloticus dan jenis Mozambigue yang lebih dikenal dengan nama mujair.

Berdasarkan morfologinya, ikan Nila umumnya memiliki bentuk tubuh panjang

dan ramping, dengan sisik berukuran besar. Matanya besar, menonjol, dan bagian

tepinya berwarna putih. Gurat sisi (linea literalis) terputus dibagian tengah badan

kemudian berlanjut, tetapi letaknya lebih ke bawah dari pada letak garis yang

memanjang di atas sirip dada. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur

mempunyai jari-jari keras dan tajam seperti duri. Sirip punggungnya berwarna

hitam dan sirip dadanya juga tampak hitam. Bagian pinggir sirip punggung

berwarna abu-abu atau hitam (Amri, 2002). Ikan nila secara morfologi dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan Nila (Sandi, 2012)

Ikan Nila memiliki lima sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada

(pectoral fin), sirip perut (venteral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor (caudal

fin). Sirip punggung memanjang, dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas

sirip ekor. Ada sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil. Sirip

4
anus hanya satu buah dan berbentuk agak panjang. Sementara itu, sirip ekornya

berbentuk berbentuk bulat dan hanya berjumlah satu buah (Amri, 2002).

Kandungan komposisi ikan nila berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi ikan nila per 100 gram


Kandungan Gizi Kandungan Gizi
Energi (kal) 89,00 Besi (mg) 1,50
Protein (g) 18,70 Vitamin A (RE) 6,00
Lemak (g) 1,00 Vitamin C (mg) 0
Karbohidrat (g) 0 Vitamin B (mg) 0,03
Kalsium (mg) 96,00 Air (g) 79,70
Fosfor (mg) 29,00 BOD (%) 80,00
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004)

Sedangkan klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus, L.) menurut Prihatman

(2009), adalah sebagai berikut :

Kelas : Osteichthyes

Sub-kelas : Acanthoptherigii

Ordo : Percomorphi

Sub-ordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus.

2.2 Fillet Ikan

Fillet ikan adalah bagian daging ikan yang diperoleh dengan penyayatan

ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari kepala hingga mendekati ekor.

Tulang belakang dari tulang rusuk yang membatasi badan dengan rongga perut

tidak terpotong pada waktu penyayatan. Daging fillet yang diperoleh dengan cara

penyayatan seperti ini tulang atau duri ikan yang ikut umumnya hanya sedikit

5
sekali. Lebih lanjut dinyatakan bahwa produk fillet ikan lebih rentan terhadap

kontaminasi dan penurunan mutu daripada ikan utuh. Penerapan rantai dingin dan

kebersihan yang ketat merupakan persyaratan utama agar memperoleh produk

yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan (Irawan, 2010).

Fillet ikan adalah daging ikan tanpa sisik dan tulang (kadang-kadang juga

tanpa kulit) diambil dari kedua sisik badan ikan, kadang-kadang kedua potongan

saling bergandengan yang dikenal dengan nama butterfly fillet (Suptijha dkk,

2008).

Macam-macam fillet ikan adalah fillet berkulit (skin-on fillet), fillet tidak

berkulit (skinless fillet), fillet tunggal (singel fillet) yaitu daging ikan yang disayat

memanjang tulang belakang dan fillet kupu-kupu (butterfly fillet) yaitu dua fillet

tunggal yang dihubungkan sesamanya oleh bagian yang tidak terpotong (Rogers

dkk, 2004)

2.3 Kimpul (Xanthasoma sagittifolium)

Tanaman kimpul merupakan tanaman asli daerah tropika Amerika.

Merupakan tanaman tahunan, tidak berkayu, terdiri dari pelepah daun, daun,

bunga dan umbi. Kimpul di Indonesia memiliki nama yang berbeda – beda,

dibeberapa daerah antara lain : Taleus hideung, kimpul bodas, kimpul bejo

(Sunda), bentul, akinpul linjik (Jawa), tales campa (Madura). Kimpul adalah salah

satu jenis talas-talasan yang tumbuh pada kondisi diantaranya kandungan humus

dan air yang cukup, tumbuh optimal pada ketinggian 250 – 1.100 meter dpl, dapat

tumbuh diberbagai curah hujan tetapi optimum pada curah hujan rata-rata 1000

mm per tahun, suhu optimum pertumbuhan 21-27˚C dan pH tanah antara 5,5 – 5,6

6
(Marinih, 2005). Adapun tanaman dan umbi kimpul dapat dilihat pada Gambar 2

dan 3.

Gambar 2. Tanaman Kimpul (Ente, 2012) Gambar 3. Umbi kimpul (Dokumen


pribadi, 2015)

Menurut Marinih (2005) adapun klasifikasi dari tanaman umbi kimpul

adalah :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Arecales

Famili : Araceae

Genus : Xanthosoma

Spesies : Xanthosoma sagittifolium

Kimpul tergolong tumbuhan berbunga ” Agiospermae ” dan berkeping satu

“Monocotylae“. Daunnya hijau muda karena tangkai daunnya yang hijau muda

mempunyai garis ungu. Bentuk umbi kimpul silinder hingga agak bulat, terdapat

internode atau ruas dengan beberapa bakal tunas. Kulit umbi mempunyai tebal

sekitar 0,01 – 0,1 cm, sedangkan korteksnya setebal 0,1 cm. Kimpul dengan umur

panen antara 4-5 bulan hasil yang diperoleh adalah antara 4-5 ton umbi basah per

7
hektar. Kandungan komposisi umbi kimpul berdasarkan Daftar Komposisi Bahan

Makanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan zat makanan umbi kimpul per 100 gram


Kandungan Gizi Kandungan Gizi
Energi (kal) 145,00 Besi (mg) 1,40
Protein (g) 12,50 Abu (%) 1,00
Lemak (g) 0,40 Vitamin C (mg) 2,00
Karbohidrat (g) 34,20 Serat (g) 1,50
Kalsium (mg) 26,00 Air (g) 69,20
Fosfor (mg) 54,00 BOD (%) 85,00
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kandungan karbohidrat kimpul

cukup tinggi sehingga dapat dijadikan edible coating.

2.4 Edible Coating

Edible coating adalah suatu lapisan tipis yang rata, dibuat dari bahan yang

dapat dimakan, dibentuk diatas komponen makanan (coating). Edible coating

dapat berfungsi sebagai bahan penahan (barrier) perpindahan massa (kelembapan,

oksigen, lipida dan zat terlarut) atau sebagai pembawa (carrier) bahan tambahan

makanan seperti bahan pengawet untuk meningkatkan kualitas dan umur simpan

makanan (Santoso dkk, 2004).

Bahan dasar pembuatan edible coating adalah hidrokoloid (protein,

polisakarida), lipid (asam lemak) dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid).

Edible coating yang dibuat dari hidrokoloid mempunyai ketahanan yang baik

terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik namun ketahanan uap air

sangat rendah akibat sifat hidrofiliknya. Kelebihan dari lipid yaitu ketahanan

terhadap O2 dan CO2 yang baik, namun kegunaannya dalam bentuk murni

sebagai coating terbatas. Edible coating dari bahan komposit dapat meningkatkan

8
kelebihan dari bahan hidrokoloid dan lipid serta mengurangi kekurangannya

(Julianti, 2006).

Metode aplikasi coating terdiri dari metode dipping (pencelupan),

spraying (penyemprotan), casting (penuangan) dan aplikasi penetasan terkontrol.

Metode pencelupan merupakan metode yang paling digunakan untuk daging, ikan,

sayur dan buah. Pada metode pencelupan, produk akan dicelupkan kedalam

larutan yang digunakan sebagai bahan coating. Lama waktu pencelupan bukan hal

yang penting, tetapi yang terpenting adalah kesempurnaan pelapisan permukaan

komoditas dengan ketebalan yang rata (Siswina, 2011).

2.5 Active Edible Coating

Penambahan bahan aktif ke dalam larutan edible diperlukan untuk

membuat edible menjadi aktif. Ada berbagai jenis bahan aktif yang dapat

digunakan, tetapi masing-masing mempunyai sifat yang khas (Lim dkk, 2010).

Sifat edible aktif tergantung pada komponen penyusunnya, yaitu komponen utama

maupun tambahan, jenis dan jumlahnya. Beberapa keuntungan yang diperoleh

dari penggunaan edible coating yaitu: (1) Menurunkan Aw permukaan bahan

sehingga kerusakan oleh mikroorganisme dapat dihindari (2) Memperbaiki

struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi mengkilat (3)

Mengurangi terjadinya dehidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah (4)

Mengurangi kontak oksigen engan bahan sehingga oksidasi dapat dihindari

(ketengikan dapat dihambat) (5) Sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami

perubahan dan (6) Memperbaiki penampilan produk (Santoso dkk, 2004).

2.6 Bahan Edible Coating

2.6.1 Bahan Utama

9
a. Hidrokoloid

Hidrokoloid dapat digunakan sebagai bahan pembentuk edible packaging

apabila pengendalian migrasi uap air tidak menjadi hal yang mempengaruhi atau

diperhitungkan. Edible packaging yang dibentuk dari bahan hidrokoloid ini

memiliki sifat penghambat yang baik terhadap oksigen, karbondioksida dan

lemak. Kebanyakan dari edible packaging yang dihasilkan memiliki sifat mekanis

yang sangat baik sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan perpaduan

struktural dari produk yang mudah pecah. Kemudahan larut dalam air edible

packaging dari hidrokoloid ini merupakan satu keunggulan yang sangat baik

dalam situasi dimana edible packaging tersebut ikut dikonsumsi bersama produk

makanannya yang terlebih dahulu harus dipanaskan sebelum dimakan. Selama

proses pemanasan produk makanan tersebut, edible packaging dari hidrokoloid

akan larut dan idealnya tidak mengubah rasa maupun aroma dari produk makanan

tersebut. Untuk dapat meningkatkan kemampuannya menghambat uap air maka

diperlukan penambahan komponen lainnya yang bersifat hidrofobik seperti lemak

(Rodrigues dkk, 2006).

Hidrokoloid banyak diperoleh dari protein utuh, selulosa dan turunannya,

alginat, pectin dan pati (Harris, 2001). Hidrokoloid yang digunakan dalam

pembuatan Edible film dapat berupa protein (kolagen, gelatin, protein kacang

kedelai, corn zein dan wheat gluten) atau polisakarida seperti selulosa dan

turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum

arab dan gum karaya), xanthan, kitosan dan lain-lain (Varavinit, 2008).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang

banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, umbi-umbian. Berbagai

10
macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya,

serta lurus atau bercabang (Koswara, 2006).

2.6.2 Bahan Tambahan

Selain bahan utama, pada pembuatan edible coating perlu ditambahkan

bahan tambahan untuk memperbaiki karakteristik dari edible coating. Berikut

adalah bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan edible coating :

a. Plasticizer

Jenis dan konsentrasi dari plasticizer akan berpengaruh terhadap kelarutan

dari coating berbasis pati, salah satu jenis plasticizer yang digunakan adalah

gliserol. Semakin banyak penggunaan plasticizer maka akan meningkatkan

kelarutan. begitu pula dengan penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik juga

akan meningkatkan kelarutnya dalam air. Gliserol memberikan kelarutan paling

tinggi pada edible coating berbasis pati (Bourtoom, 2007). Plasticizer berfungsi

untuk meningkatkan elastisitas dari coating dengan mengurangi derajat ikatan

hidrogen dan meningkatkan jarak antar molekul dari polimer pati. Penggunaan

plasticizer yang terlampau banyak akan meningkatkan permeabilitas terhadap uap

air (Kim dkk, 2002).

Gliserol dan sorbitol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki

kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan

intramolekular (Jojo, 2008). Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat

dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalent). Rumus

kimia gliserol adalah C3H8O3, dengan nama kimia 1,2,3 propanatriol. Berat

molekul gliserol adalah 92,1 massa jenis 1,23 g/cm2 dan titik didihnya 209°C.

Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan,

11
mengikat air, dan menurunkan Aw. Gliserol dapat meningkatkan sorpsi molekul

polar seperti air. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya

meningkatkan fleksibilitas film (Bertuzzi dkk, 2007).

b. CaCl2

Kalsium Klorida (CaCl2) banyak digunakan sebagai bahan pengeras

tekstur. Hal ini disebabkan terbentuknya ikatan antara kalsium dengan pektat

membentuk kalsium pektat yang tidak larut dalam air. Kalsium klorida merupakan

salah satu jenis garam yang terdiri dari unsure kalsium (Ca) dan klorida (Cl).

Garam ini berwarna putih dan mudah larut dalam air. Kalsium klorida tidak

berbau, tidak berwarna dan tidak mudah terbakar. Kalsium klorida termasuk

dalam tipe ion halide dan padat pada suhu kamar, karena sifat higroskopisnya

kalsium klorida harus disimpan dalam container kedap udara rapat tertutup

(Winarno, 1997).

Bahan yang digunakan dalam edible film memiliki flavor dan tekstur yang

dapat diterima konsumen dan fleksibel, sehingga diperlukan penambahan bahan

tambahan seperti CaCl2. Penambahan CaCl2 berpengaruh pada modifikasi kohesi

antara rantai protein karena pengaruh tipe, intensitas dan distribusi pada interaksi

intermolekuler. Penambahan CaCl2 pada formulasi edible film digunakan sebagai

agen crosslinking. Agen crosslinking digunakan untuk meningkatkan resistensi

air, kohesi, kekerasan, kekuatan mekanik dan sifat pembawa dari bahan, dimana

berinteraksi dengan sifat optik. Ikatan crosslinking dari protein dapat

meningkatkan kekuatan menahan kebocoran dan menurunkan WVP (Zheng dkk,

2003).

12
2.7 Jahe (Zingiberaceae officinale)

Jahe merupakan salah satu bumbu yang paling penting dan luas

penggunaannya di seluruh dunia. Disebabkan permintaan yang tinggi, jahe

tersebar sampai negara-negara tropis maupun subtropis dari wilayah Cina-India.

Negara-negara penghasil jahe yakni : India, Cina, Thailand, Nigeria, Indonesia,

Brasil, Jepang, Malaysia, Srilanka dan negara-negara kepulauan pasifik lainnya

dan Indonesia sendiri merupakan penghasil penting lainnya, dimana mempunyai

luas penanaman sampai 10.000 hektar dan produksi sekitar 77.000 ton dan

penanamannya dipusatkan di kepulauan Jawa-Sumatra (Suprapti, 2007). Rimpang

jahe dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rimpang Jahe (Kompasiana, 2012)

Konsekuensi dari semakin meluasnya pemanfaatan pada jahe adalah

meningkatnya permintaan dari tahun ke tahun. Jahe merupakan tanaman khas

yang mengandung minyak volatile dan non-volatil, senyawa pedas, resin, pati,

protein dan mineral. Komponen tersebut bervariasi tiap jenis jahe dan kondisi

jahe. Berdasarkan bentuk dan warna rimpangnya jahe dibedakan atas 3 jenis yaitu

jahe putih kecil biasa disebut jahe emprit, jahe besar sering disebut jahe gajah atau

badak, dan jahe merah atau jahe suntil (Prayitno, 2002). Adapun bentuk rimpang

jahe emprit dapat dilihat pada Gambar 5.

13
Gambar 5. Jahe Emprit (Majalahtim, 2013)

Menurut Paimin, dkk (2000) secara botanis tanaman jahe dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

Divisio : Pteridophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Class : Monochotyledoneae

Ordo : Scitamineae

Family : Zingiberceae

Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale

2.7.1 Jenis – Jenis Jahe

Menurut Prayitno (2002) jahe dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan

ukuran, bentuk dan warna rimpangnya. Umumnya dikenal 3 varietas jahe, yaitu :

1. Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah atau jahe badak

Rimpangnya lebih besar atau gemuk, ruas rimpangnya lebih

menggembung dari kedua varietas lainnya. jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik

saat umur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe

olahan.

2. Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe sunti atau jahe emprit

14
Ruasnya kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini

selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar

daripada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe

ini cocok untuk ramuan obat atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya

3. Jahe merah

Rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil.

Sama seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua dan juga memiliki

kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil, sehingga cocok untuk

ramuan obat-obatan.

2.7.2 Komposisi Jahe

Kandungan senyawa kimia secara umum memiliki komponen senyawa

kimia yang terkandung dalam jahe terdiri dari minyak menguap (volatile oil), dan

ada minyak tidak menguap (non volatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk

jenis minyak menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi aroma

yang khas, kandungan minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu

komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas. Komponen terbesar penyusun

jahe segar adalah air. Komposisi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi jahe segar per 100 gram


Kandungan Gizi Kandungan Gizi
Energi (kal) 51,00 Besi (mg) 1,60
Protein (g) 1,50 Vitamin A (SI) 30,00
Lemak (g) 1,00 Vitamin C (mg) 4,00
Karbohidrat (g) 10,10 Vitamin B (mg) 0,20
Kalsium (mg) 21,00 Air (g) 86,20
Fosfor (mg) 39,00
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004)
Kandungan minyak atsiri jahe merah 2,58-2,72% dan jahe emprit 1,5-3,3%

dihitung berdasarkan berat kering. Kandungan oleoresin ini berbeda-beda,

15
oleoresin jahe bisa mencapai 3%. Jahe merah oleoresin sangat tinggi, sedangkan

jahe badak atau gajah hanya mengandung sedikit oleoresin (Rahayu, 2000).

Beberapa komponen bioaktif dalam ekstrak jahe antara lain (6)-gingerol,

(6)-shogaol, diarilheptanoid dan curcumin mempunyai aktivitas antioksidan yang

melebihi tokoferol. Jahe seperti halnya jenis rempah-rempah yang lain juga

memiliki kemampuan mempertahankan kualitas pangan yaitu sebagai

antimikrobia dan antioksidan yang berasal dari kandungan gingerol dan shogaol

(Zakaria, 2000).

2.7.3 Jahe Sebagai Antimikrobia

Komponen minyak yang berperan dalam memberikan efek antimikrobia

yakni gingeron dan gingerol. Studi lain melaporkan sifat antimikrobia dari

gingerol terhadap Bacillus subtilis, Escherihia coli dan Mycrobacterium. Nilai

MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dari jahe melawan Clostridium

botulinum (bakteri yang menyebabkan keracunan makanan berat) ditunjukkan

sekitar kira-kira 2.000 μg/ml (Suprapti, 2007).

Gingerol merupakan komponen utama dari jahe yaitu merupakan senyawa

homolog fenolik keton. Gingerol sangat tidak setabil dengan adanya panas dan

pada suhu tinggi akan berubah menjadi shogaol. Shogaol lebih pedas

dibandingkan gingerol dan akan menjadi komponen utama pada jahe kering.

Gingerol dan shogaol mampu bertindak sebagai antioksidan primer terhadap

radikal lipida. Gingerol dan shogaol mempunyai aktivitas antioksidan karena

mengandung cincin benzene yang mengandung gugus hidroksil (Zakaria, 2000).

16
Kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman jahe-jahean

terutama dari golongan flavonoid, fenol, terpenoid dan minyak atsiri. Senyawa

metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan Zingiberaceae ini umumnya dapat

menghambat pertumbuhan patogen yang merugikan kehidupan manusia,

diantaranya bakteri Escherchia coli, Basillus subtilis, Straphylococcus aureus,

jamur Neurospora sp, Rhizopus sp dan Penicillium sp (Nursal dkk, 2006).

2.8 Penurunan Mutu Ikan

Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan

seringkali dalam keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat

diperdagangkan dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya dalam kondisi mati

ikan akan segera mengalami kemunduran mutu. Setelah mati, maka pada ikan

akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah kepada terjadinya pembusukan.

Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya aktivitas enzim,

kimiawi dan bakteri.

Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak bagian-bagian

tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa, bau, rupa dan tekstur. Aktivitas

kimiawi adalah terjadinya oksidasi lemak daging oleh oksigen. Oksigen yang

terkandung dalam udara mengoksida lemak daging ikan dan menimbulkan bau

tengik. Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan

komponen-komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan aktivitas kimia.

Aktivitas kimia menghasilkan komponen yang yang lebih sederhana. Kondisi ini

lebih disukai bakteri sehingga memicu pertumbuhan bakteri pada tubuh ikan

(Sumiati, 2008).

17
Selama hidup, ikan tidak mengalami proses pembusukan karena memiliki

kandungan glikogen dan pertahanan alami. Mekanisme pertahanan alami pada

ikan dapat terbentuk secara fisik (kulit dan sisik) maupun fisiologis (antibodi).

Proses pembusukan akan berlangsung dengan segera setelah ikan mengalami

kematian, karena mekanisme pertahanan alaminya sudah tidak berfungsi secara

normal. Ikan mengandung lemak dengan persentase yang berbeda dan sebagian

besar berupa lemak tidak jenuh yang memiliki beberapa ikatan rangkap. Lemak

dengan ikatan rangkap demikian bersifat tidak stabil dan relatif mudah mengalami

proses oksidasi. Selama penyimpanan, reaksi oksidasi yang terjadi akan

menghasilkan senyawa-senyawa yang berperan pada pembentukan aroma, cita

rasa dan penampakan.

Oksidasi lemak merupakan penyebab utama penurunan kualitas pada ikan

segar yang disimpan pada suhu rendah. Mikrobia dan enzim yang dihasilkan dapat

berperan dalam proses ketengikan lemak, tetapi proses oksidasi lemak lebih

dominan sebagai penyebab proses ketengikan (Bahar, 2006).

Berdasarkan SNI 01-2696.1-2006 syarat mutu dan keamanan pangan

untuk fillet ikan yaitu untuk organoleptik minimal 7, cemaran mikrobia (ALT

maksimal 5,0x105 koloni/g, Escherchia coli maksimal <2 APM/g, Salmonella

negatif, Vibrio cholera negatif) dan cemaran kimia (Raksa maksimal 1 mg/kg,

Timbal maksimal 0,4 mg/kg, Cadnium maksimal 0,1 mg/kg).

Secara sederhana untuk mengetahui kerusakan ikan dapat diamati dengan

pengujian organoleptik. Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang

bersifat subjektif dengan menggunakan indera yang ditujukan untuk mengamati

kenampakan, bau dan tekstur. Skor yang diperoleh pada pengujian organoleptik

18
berdasarkan SNI 01-2729.1-2006 dibagi menjadi 3 kriteria yaitu kategori ikan

segar dengan nilai organoleptik 7-9, kategori ikan agak segar dengan nilai

organoleptik 5-6 dan kategori ikan tidak segar dengan nilai organoleptik 1-3.

2.8.1 Perubahan Pre Rigor Mortis

Fase ini ditandai dengan lender yang terlepas dari kelenjar dibawah kulit di

sekeliling tubuh ikan. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari

glukoprotein dan musin. Pelepasan lender ini merupakan reaksi alami ikan yang

sedang mati terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang

terlepas dan menyelimuti tubuh kurang lebih 1 - 2,5% dari berat tubuhnya

(Murniyanti dan Sunarman, 2000).

Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak serta secara kimiawi

ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan keratin fosfat. Sirkulasi darah

berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen

didalam jaringan (Eskin, 1990).

2.8.2 Perubahan Rigor Mortis

Fase ini ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras. Rigor mortis

terjadi pada saat-saat siklus kontraksi relaksasi antara miosin dan aktin diddalam

myofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen. Pada fase ini,

sumber energi atau ATP akan bekurang akibat aktivita enzim ATPase yang diikuti

oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. perubahan glikogen menjadi asam

laktat terjadi pada proses glikolisis (Eskin, 1990).

Pada fase rigor mortis pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2 – 6,6. Tinggi

rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan

kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga

19
pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat dan basa-basa

menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan proses pembusukan berlangsung

maka pH daging akan naik mendekati basa. Tingkat keparahan pembusukan

disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa, semakin banyal

senyawa yang terbentuk maka akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan

(Junianto, 2003).

2.8.3 Perubahan Post Rigor

Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang

meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis yaitu terjadinya

penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan

(FAO, 1995). Enzim yang berperan adalah enzim katepsin (dalam daging), enzim

tripsin, kemotripsin dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari

mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan

protein (preteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan

(Dwiari dkk, 2008).

Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Mula-mula protein

dipecah menjadi mlekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi

protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi protease, alu pecah menjadi

pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Selain itu dihasilkan pula

sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang disebabkan pada waktu asam

nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam

lemak dan gliserol (Murniyati dan Sunarman, 2000).

Senyawa yang terbentuk selama proses autolisis disukai oleh bakteri

pembusuk. Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh

20
bakteri. Pertumbuhan bakteri yang semakin cepat membuat proses kerusakan juga

berjalan semakin cepat. Aktivitas bakteri dapat mengakibatkan terjadinya

kerusakan asam-asam amino, seperti asam glitamat, asam aspartat, lisin, histidin

dan arganin. Asam-asam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu

timbulnya senyawa biogenic amin. Senyawa-senyawa seperti asam amino,

glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi

produk yang dapat digunakan sebagai indicator pembusukan (Kristoffersen dkk,

2006).

21

Anda mungkin juga menyukai