Anda di halaman 1dari 4

ANTARA DAUROH DAN KAJIAN RUTIN

Alhamdulillah kita sangat bergembira dan senang dengan semakin banyaknya


kajian-kajian besar semacam tabligh akbar yang kami rasa semakin sering
intensitasnya. Kita juga sangat bergembira jika ada ustadz atau ulama ternama
dengan ilmunya yang masyaAllah serta akhlaknya yang bisa menjadi panutan,
datang memberikan ilmu dan contoh akhlak mulia walaupun sebentar. Intinya
kita sangat bergembira bisa melihat langsung sosok dan teladan yang selama ini
mungkin kita hanya membaca bukunya, mendengar kajiannya atau hanya
menonton videonya. Jika dibandingkan dahulunya, bisa dibilang agak jarang
kajian akbar dengan mengundang ustadz atau ulama ternama.

Memang pengajian akbar seperti ini sangat bagus. Sebuah taman surga dunia,
rekreasi me-recharge keimanan (asalkan niatnya ikhlas, bukan sekedar untuk
kopdar, jualan, bisnis apalagi “cuci mata”). Sangat bagus juga bagi mereka yang
baru mengenal hidayah dan bagi orang awam.

Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bagi mereka yang sudah lama mendapat
hidayah menuntut ilmu (udah ngaji beberapa tahun). Sebaiknya belajar agama
jangan hanya pengajian akbar saja yang umumnya hanya TEMATIK, tetapi ingat
juga kajian rutin, misalnya rutin setiap pekan terlebih terkurikulum membahas
kitab tertentu sampai tuntas.

Beberapa Fenomena yang dinasehatkan oleh ustadz, agar kita menjauhinya


(nasehat bagi yang sudah lama “ngaji”):

1. Sudah lama “ngaji” tapi jarang atau tidak pernah ikut pengajian rutin pekanan
walaupun hanya sekali seminggu. Misalnya membahas kitab tauhid sampai
selesai.

2. Kalau ada ustadz atau ulama ternama/terkenal datang, baru ikut kajian akbar
dengan jumlah peserta yang banyak (inipun semoga ikhlas, bukan sekedar untuk
kopdar, jualan, bisnis apalagi “cuci mata”). kalau tidak ada maka tidak kajian dan
menuntut ilmu

3. Belajar agama sistem “semau gue”, sudah hanya tematik saja, itupun kalau
senang sama ustadz dan ulama tertentu saja. Kalau bukan ustadz idolanya,
agak malas. Atau kalau tema yang tidak ia terlalu senangi, maka tidak datang
kajian.

Perlu diingat bahwa belajar agama itu sama dengan belajar ilmu dunia yang
lainnya:
-Jika mau masuk Fakultas Kedokteran atau UT misalnya, perlu belajar kan?
Masuk surga juga perlu belajar

-Belajar di kedokteran (misalnya), belajarnya dengan kurikulum mulai dari hal


yang dasar. Maka sama belajar agama terkurikulum mulai belajar dari yang
dasar semisal Tauhid-Aqidah dasar, fikh keseharian.

-Jika kuliah dikedokteran tidak ikut rutin kuliah atau bolong-bolong kuliah tentu
kurang baik. Nah, begitu juga belajar agama, hanya belajar ketika ada kajian
tematik saja, tentu hasilnya kurang maksimal.

-Jika kita belajar matematika tidak dari dasar, kemudian hanya ikut workshop
tertentu saja (tematik), tentu sangat susah dan tidak menarik belajar dan
menyelesaikan soal matematika. Tetapu bagi mereka yang menguasai dari
dasar sanga menarik matematika. Soal terasa sebagai “makanan” yang siap
dilahap dan merupakan tantangan.

Begitu juga belajar agama, jika belajarnya hanya kajian tematik saja (ingat ini
bagi mereka yang sudah lama ngaji). Tentu hasilnya tidak maksimal dan tentu
“kurang” terasa nikmatnya beragama dan “surga dunia”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

‫أن في الدنيا جنة من لم يدخلها ال يدخل جنة اآلخرة‬


“Sesungguhnya di dunia ada surga, barangsiapa yang tidak memasukinya, maka
ia tidak akan masuk surga di akhirat.”[1]

Tentu saja surga di dunia itu adalah kebahagiaan dengan petunjuk agama yang
benar.

Hendaknya kita sebagai seorang muslim, apalagi yang notabenernya sudah


lama “ngaji”

1. Belajar agama secara ta’shili (bertahap dan terkurikulum), tetapi istiqamah


meskipun hanya seminggu sekali (masa’ sih untuk belajar agama benar-benar
tidak ada waktu luang??) karena bisa jadi ada yang punya kesibukan dan
amanah yang lebih penting. Jika bisa lebih dari sekali seminggu bahkan bisa
mengatur waktu maka bisa lebih banyak

2. Belajar agamanya hendaknya dengan kitab/kurikulum dan bukan HANYA


kajian tematik, atau kajian rutin tetapi tidak istiqamah.Bukan belajar “semau gue”,
mau datang kajian bisa, tidak datang juga tidak masalah, belajar agama juga
tidak sistematis atau belajar secara ta’siliy [belajar dari dasar] sehingga belajar
agama terkesan berat dan membosankan dan tentu bukan ketenangan yang
didapat.

3. Istiqamah ketika kajian rutin, tidak loncat-loncat pembahasannya dari kitab


satu ke kitab yang lainnya. Sabar dalam menuntut ilmu agama.

Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata mengenai hal


ini,

‫ أو من كل فن قطعة ثم يترك؛ ألن هذا الذي يضر‬،‫أال يأخذ من كل كتاب نتفة‬


‫ في‬: ‫ فمثالً بعض الطالب يقرأ في النحو‬،‫ ويقطع عليه األيام بال فائدة‬،‫الطالب‬
‫ مرة‬:‫وكذلك في الفقه‬.. .‫ ومرة في األلفية‬،‫األجرومية ومرة في متن قطر الندي‬
‫ ومرة في شرح‬، ‫ ومرة في المغني‬،‫ ومرة في عمدة الفقه‬،‫في زاد المستقنع‬
‫ ولو‬،ً‫ هذا في الغالب ال يحص ُل علما‬، ‫ وهلم جرا‬،‫ وهكذا في كل كتاب‬،‫المهذب‬
ً‫حصل علما ً فإنه يحصل مسائل ال أصوال‬
“Janganlah mempelajari buku sedikit-sedikit, atau setiap cabang ilmu sepotong-
sepotong kemudian meninggalkannya, karena ini membahayakan bagi penuntut
ilmu dan menghabiskan waktunya tanpa faidah,

misalnya:
sebagian penuntut ilmu memperlajari ilmu nahwu, ia belajar kitab Al-Jurumiyah
sebentar kemudian berpindah ke Matan Qathrun nadyi kemudian berpindah ke
Matan Al-Alfiyah..

Demikian juga ketika mempelajari fikih, belajar Zadul mustaqni sebentar,


kemudian Umdatul fiqh sebentar kemudian Al-Mughni kemudian Syarh Al-
Muhazzab, dan seterusnya.

Cara seperti Ini umumnya tidak mendapatkan ilmu, seandainya ia memperoleh


ilmu, maka ia tidak memperoleh kaidah-kaidah dan dasar-dasar.”[2]

4. Sebagaimana kita bersusah payah dan bersabar belajar , menghapal dan


memahami untuk ilmu dunia dan agar sukse ilmu dunia. Begitu juga dengan ilmu
agama dan untuk masuk surga.
Yang namanya belajar baik ilmu dunia maupun akhirat tentu bersabar dan butuh
perjuangan. Terlebih lagi ilmu agama yang mungkin tidak
ada/sedikit “keuntungan dunia” bagi sebagian orang yang kurang imannya.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata,

‫ ولكن من طلبه بذلة‬،‫ال يطلب هذا العلم من يطلبه بالتملل وغنى النفس فيفلح‬
‫ أفلح‬،‫ وخدمة العلم‬،‫ وضيق العيش‬،‫النفس‬
“Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan, merasa puas
jiwanyakemudian ia menjadi beruntung, akan tetapi ia harus menuntut ilmu
dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup dan berkhidmat untuk
ilmu, maka ia akan beruntung.”[3]

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata,

‫وال يستطاع العلم براحة الجسد‬


“Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-
sungguh)”[4]

Marilah kita wahai para guru …para pendidik rajin menuntut ilmu…kalau bukan
kita yang rajin dan kalau bukan kita yang memberi contoh…maka siapa lagi ?

Artikel www.muslimafiyah.com

Anda mungkin juga menyukai