Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah


Residensi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan dalam proses belajar
mengajar. Residensi rumah sakit adalah proses belajar mengajar yang melibatkan
mahasiswa secara aktif dalam kegiatan administrasi rumah sakit dalam rangka
untuk memperoleh pengalaman praktis tentang operasional pelayanan di rumah
sakit dengan pendekatan sistem dan pemecahan rumah sakit.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan perorangan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan
yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan.
Penyelenggaraan upaya kesehatan dirumah sakit mempunyai karakteristik dan
organisasi yang sangat kompleks.
Perkembangan zaman yang begitu pesat menuntut perubahan pola pikir bangsa-
bangsa di dunia termasuk Indonesia dari pola pikir tradisional menjadi pola pikir
yang modern dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang kesehatan. World
Health Organization (WHO) menghimpun beberapa negara di dunia untuk sepakat
mencapai Universal Health Coveraage (UHC) pada tahun 2014. Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di
Indonesia, mewajibkan setiap penduduk memiliki akses terhadap pelayanan
kesehatan yang menyeluruh dan bermutu agar dapat melangsungkan hidup. Pola
pembayaran yang diterapkan JKN di fasilitas kesehatan lanjutan (rumah sakit)
adalah pola pembayaran prospektif . Pola Pembayaran prospektif dikenal dengan
Casemix yaitu pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri
klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang
mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper.
Sistem Casemix saat ini banyak digunakan sebagai dasar sistem pembayaran
kesehatan di beberapa negara. Agar rumah sakit tetap mampu bersaing secara
sehat, dapat tumbuh dan berkembang sukses sesuai dengan visi dan misinya,

1
rumah sakit perlu merespon perubahan tersebut dengan cepat dan tepat. Salah satu
bentuk respon terhadap perubahan tersebut adalah manajemen rumah sakit
memahami sistem casemix dan dapat mengimplementasikannya di rumah sakit.
Di Negara Cina telah mulai menggunakan. Sistem Casemix sejak tahun 2009,
sebuah penelitian di Xianmen China membuktikan bahwa sistem Casemix lebih
tepat dalam memperkirakan estimasi pembiayaan sehingga membantu manajemen
dalam mengendalikan biaya rumah sakit. Sistem Casemix ini di Indonesia disebut
Indonesian Case Based Groups (INACBG’s). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Pasal 1 Ayat 3
menetapkan “Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut
Tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan
kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur”. Selanjutnya,
pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur menggunakan kode yang sudah
digunakan secara international yaitu International Classification of Diseases
version 10 (ICD 10) dan International Classification of Diseases version 9
Clinical Modification (ICD 9 CM). Kesalahan dalam pengkodean diagnosis dan
prosedur dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi rumah sakit, ketika
mengalami under code, sebaliknya jika over code maka klaim ke BPJS tidak akan
diterima, dan ada kemungkinan dianggap fraud (kecurangan).
System casemix di RS Kabupaten Tangerang berdiri sejak 2 Juli 2017 dalam
melaksanakan kegiatannya system casemix di RS Kabupaten Tangerang belum
memiliki pedoman kerja, Standar operasional prosedur dan standar pemecahan
masalah yang jelas.

I.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami gambaran penyelenggaraan Casemix di Rumah Sakit
Umum Kab.Tangerang Tahun 2018.

2
2. Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan residensi secara khusus dan memperoleh :
• Memahami pengorganisasian di ruang casemix RSU Kab.Tangerang
• Memahami Sumber Daya Manuasia (SDM) di ruang Casemix RSU
Kab.Tangerang
• Memahami alur pelayanan Casemix RSU Kab.Tangerang
• Memberikan masukan kepada Manajemen RSU Kab.Tangerang dapat
berupa evaluasi, saran, usulan atau ide perbaikan terhadap masalah-masalah yang
ada dalam pelayanan Casemix RSU Kab.Tangerang dengan harapan dapat
membuat perubahan yang lebih baik lagi.

I.3. Manfaat Residensi


1. Bagi Rumah Sakit
a. Rumah Sakit dapat memanfaatkan mahasiswa residensi dalam membantu
mencarikan solusi dalam menyelesaikan masalah yang ada.
b. Rumah Sakit dapat memanfaatkan kegiatan residensi ini sebagai evaluasi dan
control kegiatan operasional di unit mahasiswa melakukan pengamatan

2. Bagi Program Studi Magister Administrasi Rumah Sakit


a. Hasil kegiatan residensi menjadi umpan balik bagi pengembangan materi
kurikulum dan metode pembelajaran di program Studi MARS URINDO
b. Terbinanya jaringan kerja sama yang sangat potensial bagi pengembangan
Program Studi MARS URINDO.

3. Bagi Mahasiswa
a. Mendapatkan gambaran yang nyata dalam menerapkan hasil perkuliahan pada
proses administrasi rumah sakit tempat residensi
b. Meningkatkan kemampuan melakukan pengkajian terhadap suatu masalah
melalui pendekatan pemecahan masalah

3
4. Ruang Lingkup Residensi
Pelaksanaan kegiatan residensi dilakukan di Rumah Sakit umum Kabupaten
Tangerang yang beralamat di Jalan Ahmad Yani No 9, Sukaasih Kec.Tangerang,
Banten 15111. Wawancara dilakukan dengan Koordinator unit casemix 1 orang,
penerima berkas 2 orang, verifikator 2 orang, petugas koding 2 orang, petugas
grouping 2 orang dan petugas klaim 1 orang. Dengan demikian sumber data yang
didapat untuk menyelesaikan tugas residensi ini berjumlah 10 ( sepuluh ) orang
informan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.I. Pengertian Sistem Casemix


Menurut Department of Health, State of Western Australia (2011),
Casemix dapat merujuk pada campuran kasus (mix of cases) yang meliputi
rentang dan jenis kasus dari pasien yang dilayani oleh rumah sakit atau pelayanan
kesehatan lainnya. Sistem Casemix membantu perencanaan dan manajemen dari
sistem pelayanan kesehatan (Department of Health, State of Western Australia,
2011). Adapun definisi dari Sistem casemix menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 27 tahun 2014 adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan
mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya
perawatan yang mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan
software grouper (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 27 Tahun 2014).
Menurut Department of Health, State of Western Australia: “Casemix
classifications put patients into clinically meaningful groups that use similar
health-care resources. By doing so, the clinical activity, quality and cost-
efficiency of different hospitals can be compared”(Department of Health, State of
Western Australia, 2011). Kedua pengertian tersebut mempunyai makna yang
sama. Di Indonesia, Casemix (case based payment) dan sudah diterapkan sejak
Tahun 2008 sebagai metode pembayaran pada program Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), yaitu metode pembayaran prospektif. Sistem casemix
saat ini banyak digunakan sebagai dasar sistem pembayaran kesehatan di negara-
negara maju dan 14 sedang dikembangkan di negara-negara berkembang
(Department of Health, State of Western Australia, 2011).

2. Perkembangan Sistem Casemix


Ide tentang Sistem Casemix berawal dari ketika seorang ahli bedah Amerika
Serikat bernama Ernest A Codman mengusulkan beberapa metode untuk
menstandarisasi sistem outputs dan outcomes dari rumah sakit, untuk dapat
membandingkan lamanya tinggal di rumah sakit dari beberapa rumah sakit. Buku
yang ditulisnya berjudul “The Product of Hospital” dipublikasikan pertama kali

5
pada tahun 1914. Pada tahun 1913, Ernest A Codman di the Philadelphia County
Medical Society in 1913 mengatakan bahwa masalah sebenarnya dari seluruh
rumah sakit adalah menjawab sebuah pertanyaan “apa yang terjadi pada kasus-
kasus?...... kita harus menformulasikan metode pelaporan rumah sakit yang
menunjukkan sedekat mungkin hasil-hasil dari pengobatan yang diberikan pada
institusi-institusi yang berbeda. Laporan ini harus dibuat dan dipublikasikan oleh
setiap rumah sakit dengan cara yang seragam, sehingga memungkinkan untuk
dibandingkan antara hasil rumah sakit yang satu dengan rumah sakit lainnya.
Dengan laporan seperti itu sebagai titik awal untuk mulai menanyakan tentang
manajemen dan efisiensinya. Pemikiran yang serupa secara implisit terjadi pada
sebuah studi di pembiayaan rumah sakit United Kingdom Inggris dari pertengahan
tahun 1960-an dengan pertanyaan, mengapa rumah sakit dengan lamanya tinggal
di rumah sakit atau jumlah pasien yang sangat berbeda menghasilkan pengeluaran
yang serupa. Studi ini kemudian dilakukan oleh seorang ahli ekonomi Amerika
Serikat, Martin Feldstein, dengan masalah yang sama kemudian dikembangkan
secara signifikan Diagnosis Related Group (DRGs), oleh Professors Robert Fetter,
John Thompson, and colleagues at Yale University. Hal ini Berkembang dari
persyaratan registrasi perawatan medis sampai kepada ketergantungan yang
sangat pada perkembangan teknologi informasi (IT) selama tahun 1960-an - 1970-
an dalam kaitannya dengan penemuan cara untuk mengukur dan menentukan
biaya output rumah sakit. Beberapa versi dari sistem DRGs dikembangakan,
pertama pada tahun 1973 terdiri dari 54 Major Diagnostic Categories (MDCs)
comprising 333 DRGs. Versi original yang terakhir pada rangkaian ini
dikembangkan oleh Universitas Yale adalah Health Systems Management Group
dan diharapkan untuk menunjukkan sistem klasifikasi inpatient yang membedakan
jumlah sumber daya rumah sakit yang dibutuhkan untuk memberikan perawatan
dan secara klinis koheren dalam arti kelompok itu menyebabkan timbulnya
serangkaian respon klinis yang dihasilkan dari pola sumber daya yang serupa.
Klasifikasi tersebut akhirnya ditangani oleh the Health Care Financing
Administration (HCFA) di AS yang mempunyai 470 DRGs terdiri dari 23 Major
Diagnostic Categories (MDCs) (The New Zealand Casemix Project Group. 2015).
Di New Zeland mulai dikembangkan tahun 1990-an dengan didirikannya the

6
Health Funding Authority (HFA) yang ditugasi menyatukan pendekatan 4
regional menjadi satu sistem pendanaan dan pembelian. Pada masa transisi New
Zeland mengadopsi sistem DRGs dari Australia’s state of Victoria. Model
pendanaan ini meliputi beberapa struktur dan kebijakan tentang length of stay
(LOS) yang sesuai dengan sektor kesehatan di New Zealand’s health sector. Pada
tahun 1999, New Zeland pertama kali menggunakan kerangka kerja Casemix
secara nasional, yang juga ditetapkan a national Casemix (Cost Weights) Project
Group yang berlanjut sampai sekarang (The New Zealand Casemix Project Group.
2015). Di Indonesia perkembangan Sistem Casemix ini diawali dengan
ditetapkannya UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(UU SJSN). Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun
2006 dengan nama INADRG (Indonesia- Diagnosis Related Group).
Implementasi pembayaran dengan INADRG dimulai pada 1 September 2008 pada
15 rumah sakit vertikal, dan pada 1 Januari 2009 diperluas pada seluruh rumah
sakit yang bekerja sama untuk program Jamkesmas. Pada tanggal 31 September
2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG (Indonesia Diagnosis
Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) seiring dengan
perubahan grouper dari 3M Grouper ke UNU (United Nation University)
Grouper. Dengan demikian, sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013,
pembayaran kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam
Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) menggunakan INA-CBG. Sejak
diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali
perubahan besaran tarif, yaitu tariff INA-DRG Tahun 2008, tarif INA-CBG
Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun 2014. Tarif INA-CBG mempunyai 1.077
kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat inap dan 288 kode
grup/kelompok rawat jalan, menggunakan sistem koding dengan ICD-10 untuk
diagnosis serta ICD-9-CM untuk prosedur/tindakan. Pengelompokan kode
diagnosis dan prosedur dilakukan dengan menggunakan grouper UNU (UNU
Grouper). UNU- Grouper adalah Grouper casemix yang dikembangkan oleh
United Nations University (UNU). Pada tahun 2011 ditetapkan UU No. 24

7
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), disusul dengan
berbagai peraturan untuk melaksanakan UU tersebut, seperti:
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013;
 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan;
 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan
Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional;. Sejak 1 Januari 2014, mulai
diberlakukan sistem pembayaran pelayanan kesehatan melalui BPJS. INA
CBG (Indonesia Case Base Group) adalah sistem casemix yang khusus
dikembangkan oleh United Nations University-International Institute for
Global Health (UNUIIGH), bagi Kementerian Republik Indonesia. UNU-
IIGH adalah pusat penelitian dan pelatihan dari UNU, salah satu lembaga
di bawah naungan PBB (United Nations) (Aljunid, Syed Mohamed, et al.
2014). RS di Indonesia menggunakan sofware INA CBGs untuk
melakukan pengkodean (koding) untuk mendapatkan tarif INA CBGs
yang kemudian diklaim pembayarannya ke BPJS Kesehatan.
 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk
Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA- CBGs).

3. Koding INA CBGs


a. Pengertian Koding INA CBGs
Koding INA CBGs merupakan suatu sistem pengklasifikasian penyakit
yang mengkombinasikan antara sekelompok penyakit dengan karakteristik klinis
serupa dengan biaya perawatan disuatu rumah sakit. Penyakit dengan karakteristik
klinik 21serupa biasanya membutuhkan sumber daya yang hampir sama sehingga
biaya perawatan juga sama (Tim Coding NCC).Secara teknis, koding adalah
kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai dengan
International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems

8
disingkat ICD– 10 serta memberikan kode prosedur sesuai dengan International
Classification of Diseases Revision Clinical Modification disingkat ICD
– 9 CM. Koding sangat menentukan dalam sistem pembiayaan prospektif yang
akan menentukan besarnya biaya yang dibayarkan ke Rumah Sakit (Permenkes,
No. 27Tahun 2014). Dasar Pengelompokan dengan menggunakan ICD– 10
jumlahnya 14.500 kode, dan ICD – 9 CM jumlahnys 8.500 kode. Untuk
mengkombinasikan kode diagnosa dan prosedur tidak mungkin dilakukan secara
manual, maka diperlukan yang namanya “Grouper“. Koding diagnosis dan
prosedur adalah proses pengklasifikasian data (diagnoses dan prosedures) &
penentuan code (sandi) nomor/ alfabet/ atau alfanumerik untuk mewakilinya (Tim
Coding NCC). Data untuk mengkoding berasal dari rekam medis yaitu data
diagnosis dan tindakan/prosedur yang terdapat pada resume medis pasien.

b. Tujuan Koding
Koding mempunyai beberapa tujuan, yaitu (Tim Coding NCC):
1) Untuk memudahkan pencatatan, pengumpulan dan pengambilan kembali
informasi sesuai diagnose ataupun tindakan medis-operasi yang diperlukan
(uniformitas sebutan istilah/medical terms).
2) Memudahkan entry data ke database komputer yang tersedia (satu code
bisa mewakili beberapa terminologi yang digunakan para dokter)
3) Menyediakan data yang diperlukan oleh sistem pembayaran/penagihan
biaya yang dijalankan/diaplikasi. Contoh: Di USA, Australia, Singapore
dll. ada DRGs (Diagnosis Related Group System) di Indonesia saat ini
juga ada INA-CBG
4) Memaparkan indikasi alasan mengapa pasien memperoleh
asuhan/perawatan/pelayanan (justifikasi runtunan kejadian)
5) Menyediakan informasi diagnoses dan tindakan (medis/operasi) bagi: -
riset, - edukasi dan - kajian asesment kualitas keluaran/outcome (legal dan
otentik).

9
c. Pemanfaatan Koding INA CBGs
Koding INA CBGs dapat dimanfaatkan untuk (Tim Coding NCC):
1) Sistem Pelaporan (SIMRS)
2) Sitem pembayaran DRGs/CBGs
3) Registrasi kanker
4) Sertifikasi medis penyebab kematian
5) Data base RS (Penelitian)

d. Sumber Data Koding (Tim Coding NCC)


1) Data demografi pasien
2) Resume medis
3) Laporan operasi
4) Hasil pemeriksaan penunjang (P.A, Patklin,Radiologi)
5) Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

4. Tarif INA-CBGs
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang disebut Tarif INA-CBG’s
adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada
pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur (PM Kes, No. 59 Tahun 2014).
Tarif INA-CBGs yang digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) per 1 Januari 2014 diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
(PM Kes, No. 27Tahun 2014).Sebagian besar penjelasan tentang tarif INA-CBGs
ini mengambil dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 27 Tahun 2014 Tentang
Petunjuk Teknis INA-CBGs, dengan beberapa prinsip sebagai berikut:
a. Pengelompokan Tarif 7 kluster rumah sakit, yaitu :
1) Tarif Rumah Sakit Kelas A
2) Tarif Rumah Sakit Kelas B
3) Tarif Rumah Sakit Kelas B Pendidikan
4) Tarif Rumah Sakit Kelas C
5) Tarif Rumah Sakit Kelas D
6) Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional

10
7) Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional
Pengelompokan tarif berdasarkan penyesuaian setelah melihat besaran Hospital
Base Rate (HBR) sakit yang didapatkan dari perhitungan total biaya pengeluaran
rumah sakit. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari satu rumah sakit,
maka digunakan Mean Base Rate. Kode INA-CBGs dan deskripsinya tidak selalu
menggambarkan diagnosis tunggal tetapi bisa merupakan hasil satu diagnosis atau
kumpulan diagnosis dan prosedur.
b. Regionalisasi, tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga
Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
c. Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBGs versi 4.0
untuk kasus – kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group
(CMG), meliputi :
1) Special Prosedure
2) Special Drugs
3) Special Investigation
4) Special Prosthesis
5) Special Groups Subacute dan Kronis

Top up pada special CMG tidak diberikan untuk seluruh kasus atau kondisi,
tetapi hanya diberikan pada kasus dan kondisi tertentu. Khususnya pada beberapa
kasus atau kondisi dimana rasio antara tarif INA-CBGs yang sudah dibuat berbeda
cukup besar dengan tarif RS. Penjelasan lebih rinci tentang Top Up dapat dilihat
pada poin D.
d. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan
dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit
berdasarkan surat keputusan penetapan kelas yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan RI.
e. Tarif INA-CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen
sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun
non-medis. Untuk Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan kelas, maka tarif
INA-CBGs yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit Kelas D sesuai

11
regionalisasi masing-masing. Penghitungan tarif INA CBGs berbasis pada data
costing dan data koding rumah sakit. Data costing didapatkan dari rumah sakit
terpilih (rumah sakit sampel) representasi dari kelas rumah sakit, jenis rumah sakit
maupun kepemilikan rumah sakit (rumah sakit swasta dan pemerintah), meliputi
seluruh data biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit, tidak termasuk obat yang
sumber pembiayaannya dari program pemerintah (HIV, TB, dan lainnya). Data
koding diperoleh dari data koding rumah sakit PPK Jamkesmas. Untuk
penyusunan tarif JKN digunakan data costing 137 rumah sakit pemerintah dan
swasta serta 6 juta data koding (kasus).
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013,
mengamanatkan tarif ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun. Upaya
peninjauan tarif dimaksudkan untuk mendorong agar tarif makin merefleksikan
actual cost dari pelayanan yang telah diberikan rumah sakit. Selain itu untuk
meningkatkan keberlangsungan sistem pentarifan yang berlaku, mampu
mendukung kebutuhan medis yang diperlukan dan dapat memberikan reward
terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan dengan outcomeyang baik.
Untuk itu keterlibatan rumah sakit dalam pengumpulan data koding dan data
costing yang lengkap dan akurat sangat diperlukan dalam proses updating tarif.

Lahirnya Undang‐undang Sistem Jaminan Sosial Nasional atau SJSN Nomor 40


tahun 2004 merupakan bentuk pemberian kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini setiap
penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. UU
SJSN ini dibentuk sesuai dengan amanat UUD 45 khususnya pasal 28 ayat
3, pasal 34 ayat 2, dan Pembukaan UUD 45 alinea keempat tentang paham negara
kesejahteraan (Welfare State).

Agar hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana amanat konstitusi dapat
terwujud, maka UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN ini menyatakan bahwa
program jaminan sosial bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia,
yang pencapaiannya akan dilakukan secara bertahap (dimana tahapan-tahapan ini

12
dapat kita lihat dalam Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-
2019). Dan dalam Implementasinya program jaminan kesehatan akan menjadi
prioritas yang akan dijalankan terlebih dahulu.

Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2011 Program jaminan kesehatan sebagai


bagian dari SJSN ini selanjutnya akan dijalankan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial atau BPJS, dan sesuai pasal 60 ayat 1 UU tentang BPJS ini
menyatakan bahwa BPJS kesehatan akan mulai beroperasi per tanggal 1 Januari
2014. Dan selanjutnya PERPRES Nomor 12 tahun 2013 khususnya pasal 36
tentang kerjasama BPJS dan rumah sakit dapat menjadi dasar bagi bentuk
kerjasama antara BPJS dan rumah sakit

Moral hazard adalah terminologi yang biasa timbul dalam sistem asuransi, maka
untuk menghindari moral hazard BPJS akan membayar fasilitas kesehatan secara
prospektif, khususnya dengan cara kapitasi atau INA CBG’s. Hal ini tertuang
dalam PERPRES No 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, pasal 39 tentang
cara pembayaran fasilitas kesehatan. Kedua cara pembayaran ini adalah cara
pembayaran borongan yang memaksa dokter dan rumah sakit untuk efisien namun
dengan tetap menjaga kualitas layanannya. Dokter dan rumah sakit di suatu
wilayah yang memiliki indeks harga atau indeks kemahalan yang sama akan
dibayar dengan besaran sama. Wilayah ini dibagi menjadi 4 wilayah regional
yaitu: regional I meliputi Jawa – Bali, regional II meliputi Sematera, regional III
meliputi Kalimantan, Sulawesi dan NTB, dan terakhir regional IV meliputi
Maluku, Maluku Utara, NTT, Papua dan Papua Barat. Dengan demikian
persaingan sehat antar dokter dan rumah sakit terjadi berdasarkan kualitas
layanan, bukan lagi berdasarkan pada tarif. Sehingga Tujuan sistem INA CBG’s
untuk mendorong peningkatan mutu, mendorong layanan yang berorietasi pasien,
mendorong efisiensi, tidak memberikan reward kepada provider yang
melakukan over treatment dan mendorong untuk terlaksananya pelayanan tim
(berupa koordinasi atau kerjasama antar provider) dapat terwujud

Apa itu INA CBG’s?, Masih terlintas di benak kita pertanyaan yang sempat
mengemuka ketika terjadi kekisruhan pada sistem Kartu Jakarta Sehat di Jakarta,

13
karena ternyata masih banyak pihak yang berkepentingan yang belum memahami
apa itu INA CBG’s

Sistem casemix menurut Aljunid Syed Mohammed (?) adalah suatu alat untuk
mengklasifikasikan berbagai kondisi pasien kedalam group terkait dengan
konsumsi sumberdaya seperti yang diperkirakan melaui LOS, biaya perawatan,
atau biaya layanan harian. Ciri-cirinya terdiri dari (1) penyakit yang mempunyai
gejala klinis yang sama, (2) pemakaian sumber daya yang sama (biaya perwatan
yang sama).

Sistem casemix sesungguhnya telah diimplementasikan di Indonesia dibawah


skema JAMKESMAS semenjak tahun 2006. Digunakan oleh sekitar 1350 rumah
sakit di seluruh Indonesia dan mencakup sekitar 75 juta orang. Dan tahun 2010
INA DRG’s diganti menjadi INA CBG’s.

Dasar pengelompokan INA CBG’s adalah menggunakan ICD – 10 untuk


diagnosis yang terdiri dari 14.500 kode, dan ICD – 9 CM untuk prosedur atau
tindakan yang terdiri dari 7.500 kode yang kemudian dikelompokan menjadi 1077
kode group INA-CBG’s yang terdiri dari 789 kode rawat inap dan 288 kode
rawat jalan. INA CBG’s ini dijalankan dengan menggunakan UNU grouper dari
UNU – IIGH (United Nation University International Institude for Global Health).
UNU Grouper adalah internasional grouper yang prioritasnya ditujukan untuk
negara berkembang atau negara-negara miskin karena diberikan dengan biaya
yang rendah atau bahkan gratis hal ini bisa terjadi karena sifatnya yang open
source.

Tarif INA CBG’s tahun 2012 merupakan proses rasionalisasi tahun 2012 yang
menggunakan data coding serta data costing tahun 2010 yang terdiri dari dari 100
rumah sakit di Indonesia. Tarif ini diberlakukan mulai 1 januari 2013 melalui SK
Menkes RI Nomor 440/MENKES/SK/XII/2012.

BAGAIMANA TARIF INA-CBG’s tahun 2014 nanti atau yang akan kita kenal
menjadi TARIF BPJS?, proses pembuatannya diharapkan selesai bulan Juli 2013.
Tarif INA CBG’s ini terdiri dari 1077 kelompok tarif 2013 dengan perhitungan

14
data costing 2011 ditambah dengan 7 spesial CMG (Casemix Main Group).
Prosesnya melibatkan banyak pihak seperti: RS (baik negeri dan swasta) untuk
input data costing dan coding, Asosiasi RS, dan organisasi profesi.

Selanjutnya tarif INA CBG’s kedepan menurut Aljunid Syed Mohammed (?)
terdiri dari tarif akut ditambah dengan 7 spesial CMG (yang masih dalam proses).
Klaim terpisah terdiri dari: acute, sub-acute, chronic, special procedures, special
prosthesis, special drugs, special investigations, ambulatory package, dan dental
development

jika sistem jaminan sosial ini bertujuan baik lalu mengapa masih banyak rumah
sakit yang khawatiran menghadapinya?, kekhawatiran yang timbul dalam
penerapan sistem INA CBG’s ini terletak pada beberapa hal yaitu:

Pertama, terkait dengan tarif, kekhawatiran terkait tarif adalah jika pemerintah
menetapkan premi terlalu rendah maka BPJS-pun akan membayar rendah kepada
rumah sakit, apalagi jika BPJS mengenakan tarif yang lebih rendah dengan tujuan
untuk meningkatkan keuntungannya. Hal ini tentu akan merugikan rumah sakit,

Kedua BPJS bisa menggunakan kekuatanya untuk menetapkan tarif secara


sepihak (karena BPJS sebagai pembayar tunggal)

Ketiga, karena rumah sakit pemerintah diwajibkan untuk bekerja sama dengan
BPJS, maka sebagian besar rumah sakit akan menjadi peserta BPJS. Hal ini akan
menjadikan BPJS menjadi sangat kuat, sehingga akan menjadi penentu dominan
dalam penentuan kerjasama dengan rumah sakit lain yang belum bekerja sama,
karena rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS akan mengalami
tekanan bisnis yang bisa berujung kepada kebangkrutan,

Keempat, bila pembayaran klaim oleh BPJS kepada rumah sakit tidak tepat waktu.

15
Selanjutnya rumah sakit bisa mengalami kerugian dalam kerjasamanya dengan
BPJS jika:

Pertama, tarif BPJS terlalu rendah

Kedua, rumah sakit tidak memahami kode dan biaya sebenarnya dari setiap
diagnosis penyakit,

Ketiga, rumah sakit tidak memiliki Clinical Pathway minimal untuk penyakit-
penyakit yang masuk dalam kategori minimal 10 besar di rumah sakitnya
sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi tidak efisien,

Keempat, dokter terutama dokter spesialis malas mengisi rekam medis dengan
baik, sehingga diagnosa baik primer maupun sekunder tidak tertuliskan dengan
baik,

Keempat, kesalahan dalam menginput diagnosis penyakit ke software INA CBG’s


sehingga biaya yang dibayarkan ke rumah sakit tidak sesuai dengan klaim.

Agar bisa bekerjasama dengan BPJS maka rumah sakit perlu mempersiapkan diri
dengan baik sesuai dengan ketentuan UU rumah sakit dan akreditasi rumah sakit
terbaru (akreditasi RS 2012) atau JCI, yaitu dengan:

Menyiapkan pelayanan yang semakin bermutu dengan berorientasi pada


keselamatan pasien,

Mampu meningkatkan efisiensi dengan tetap melaksanakan kendali mutu dan


kendali biaya dalam memberikan pelayanan,

Menyiapkan sistem keuangan yang baik agar mampu menghasilkan informasi unit
cost.

16
Kemudian untuk menghindari kerugian hal yang dapat dilakukan oleh rumah sakit
adalah dengan perlu memperhatikan hal-hal berikut:

Sistem CODING.

Dokter dan Koder mempunyai peran yang penting dalam penerapan sistem kode
INA-CBG’s, karena diagnosa dan prosedur atau tindakan yang telah dituliskan
oleh dokter selanjutnya diberi kode yang sesuai berdasarkan pada ICD-10 & ICD
9-CM oleh CODER. Kesalahan dalam pemberian kode diagnosa dan prosedur
akan mempengaruhi klaim pelayanan kesehatan di rumah sakit .

Peran dokter di sini adalah menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan
sekunder (bila ada) sesuai dengan ICD 10. Menulis seluruh prosedur atau tindakan
yang telah dilaksanakan sesuai dengan ICD – 9CM. Dan kemudian membuat
resume medis pasien secara lengkap dan jelas selama pasien dirawat di rumah
sakit. Karenanya ketersediaan rekam medis dan resume medis yang baik menjadi
sangat penting.

Peran coder selanjutnya melakukan kodifikasi dari diagnosis dan prosedur atau
tindakan yang diisi oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD 10 untuk
diagnosa dan ICD 9 CM untuk prosedur atau tindakan

Pada keadaan adanya informasi yang dapat menunjukkan bahwa dokter salah
menulis penempatan diagnosis utama atau sekunder tidak mengikuti aturan ICD
yang benar maka rumah sakit perlu untuk (1) melakukan klarifikasi atau minta
penjelasan kepada dokter yang merawat, (2) Jika tidak mungkin gunakan
peraturan reseleksi pada ICD (volume 2 MB1 s/d MB5)

Diagnosa utama atau diagnosa primer adalah diagnosa akhir yang dipilih dokter
pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber
daya atau hari rawatan paling lama (LOS paling lama). Diagnosa sekunder adalah
diagnosa selain diagnosa utama yang muncul atau sudah ada sebelum dan selama
dirawat di rumah sakit. Diagnosa sekunder terdiri dari diagnosa penyerta
(comorbidity) dan diagnosa penyulit (complication). Permasalahan yang bisa

17
terjadi adalah diagnosa sekunder atau diagnosa penyerta & diagnosa penyulit ini
sering lupa atau tidak tertulis sehingga akan menyebabkan klaim menjadi lebih
kecil

Untuk menghindari ketidak lengkapan pencatatan terkait dengan diagnosis primer


dan sekunder ini terutama jika dokter tidak menuliskannya dengan lengkap, maka
perlu dibentuk tim verifikator internal bisa dari dokter umum atau perawat yang
bertugas memberitahukan dokter tersebut bahwa yang bersangkutan belum
menuliskan diagnosisnya dengan lengkap atau diagnosis sekundernya belum
tertuliskan.

Penyusunan CLINICAL PATHWAYS

Banyak pengertian dan definisi dari Clinical Pathway, diantaranya menurut


Firmanda ( 2007) dan Rivani (2009) yang memberikan definisi yang hampir
identik yaitu Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan
terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien
berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan dan standar
pelayanan tenaga kesehatan lainnya yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur
dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit”.

Di sisi lain ada pula yang mendefinisikan Clinical Pathway sebagai “suatu konsep
perencanaan pelayanan terpadu yang dilakukan oleh dokter, perawat dan seluruh
komponen rumah sakit untuk membuat suatu prosedur dan diagnosa dengan
meminimalkan lama perawatan, pemakaian alat dan terapi namun tetap
memaksimalkan kualitas pelayanan” (tim RS PKU Aisyiyah Ponorogo, 2013).

Untuk keberhasilan pelaksanaan Clinical Pathway komitmen dokter merupakan


hal sangat penting, karena Clinical Pathway akan menjadi acuan untuk informasi
perhitungan unit cost guna mencapai pengendalian biaya dan pengendalian mutu.
Hal ini sesuai dengan tujuan dari penyusunan Clinical Pathway yaitu untuk
membuat standarisasi pemeriksaan dan perawatan pasien yang memiliki pola
tertentu, dan data dari Clinical Pathway selanjutnya akan menjadi masukan bagi
perhitungan pembiayaan INA CBG’s agar terjadi kendali mutu dan kendali biaya.

18
Dari semua aktifitas pelayanan Clinical Pathway seperti visite, tindakan, obat-
obatan, alkes dan lain lain yang telah dilakukan selanjutnya diinformasikan
kepada Tim Costing, dan Tim Costing akan mengisi form Clinical Pathway sesuai
dengan tarif yang berlaku di RS, untuk membandingkan Biaya total akan dengan
Tarif INA-CBG’s.

Ciri-cirinya dari Clinical Pathway adalah:

Pertama, Clinical Pathway merupakan dokumen tertulis berbentuk Form,

Kedua, Pelayanan dalam Clinical Pathway bersifat multidisiplin,

Ketiga, Tidak semua penyakit dibuat Clinical Pathway-nya. Clinical Pathway


efektif dan efisien untuk penyakit yang perjalanannya predictable,

Keempat, Clinical Pathway tidak dibuat untuk memperoleh rincian biaya


perawatan

Sedangkan kriteria untuk membentuk Clinical Pathway adalah: Volume


tinggi, Biaya tinggi, Risiko tinggi, dan Kasus tunggal

Rumah sakit hendaknya memiliki minimal 10 Clinical Pathway untuk kasus


terbanyak atau 10 besar penyakit di eumah sakitnya masing-masing

Sistem Costing

Tujuan dari costing adalah tercapainya efisiensi di rumah sakit melalui


pengendalian biaya (cost containtment). Hal-hal yang perlu disiapkan dalam
sistem costing adalah:

 Perhitungan Unit cost,


 Clinical Pathway,
 Dan penyusunan Kebijakan RS yang terkait dengan: Obat & alkes,
Pemeriksaan Penunjang, jasa medis, BHP dan lain lainnya untuk tujuan
efisiensi

19
Untuk itu rumah sakit perlu membentuk tim costing yang bertugas menghitung
unit cost pelayanan dengan mendasarkan perhitunganya pada Clinical Pathway
dan membandingkanya dengan tarif INA-CBG’s, tentunya dengan harapan
pendapatan total akan lebih besar daripada biaya yang telah dikeluarkan

Beberapa hal yang terjadi di rumah sakit terkait dengan pelaksanaan


JAMKESMAS selama ini adalah:

Pertama, jika ada postensi rugi maka pasien selanjutnya akan di rujuk

Kedua, banyak RS mengalami kerugian dikarenakan: (1) visitasi dokter yang


terlalu banyak, (2) biaya obat mencapai hampir 40%, (3) banyaknya kasus-kasus
dengan LOS tinggi, (4) adanya kasus-kasus operasi besar khusus yang memakan
biaya operasional mahal dengan LOS yang tinggi, (4) penggunaan AMHP yang
mahal, (5) adanya pemberian snack dalam penyediaan gizi

Cara menghindari kerugian tersebut bisa dilakukan oleh RS dengan: (1)


Membatasi visitasi dokter dengan 1kali per hari (2) melakukan pengawasan
formularium dengan ketat, (3) melakukan pemulangan secara administratif
maksudnya di sini pasien secara fisik tidak dipulangkan tetapi hanya dipulangkan
secara administrasi saja, karena itu keluarga pasien akan kembali ke puskemas
untuk mendapatkan rujukan kembali. Selama masa pengurusan rujukan biaya
pasien selama 1-2 hari ditanggung oleh rumah sakit, (4) Alat Medik Habis Pakai
(AMHP) menggunakan kualitas yang lebih rendah, (6) menghilangkan porsi snack
dalam pemberian gizi ternyata memberikan penghematan yang cukup besar bagi
rumah sakit.

Berdasarkan cara-cara penghematan yang dilakukan memang tampak adanya


moral hazard dalam tingkatan yang rendah, dan penurunan dari kualitas
pelayanan, walaupun secara keseluruhan tidak menurunkan kualitas pelayanan
medik yang diberikan.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pemberlakuan BPJS 2014 janganlah
dipandang sebagai suatu ancaman, melainkan sebuah peluang bagi rumah sakit

20
untuk meningkatkan pendapatannya. Rumah sakit akan mampu bertahan hidup
jika mempersiapkan diri dengan baik asalkan mampu menjaga standar mutu dan
standar biaya, selanjutnya rumah sakit perlu memperhatikan bagaimana ketiga
pilar di yang telah disebutkan yaitu sistem coding, clinical pathway dan sistem
costing bisa dilaksanakan dengan baik yang tentunya perlu didukung dengan
kebijakan yang tepat terkait obat, alkes dan pelayanan lainnya untuk tercapainya
efisiensi, karenanya kerugian yang terjadi bisa dihindari.

21
BAB III
GAMBARAN UMUM UNIT CASEMIX

A. Visi, Misi, Nilai – Nilai dan Moto RSU Kabupaten Tangerang


1. Visi
Menjadi Rumah Sakit Rujukan Spesialistik Terbaik Untuk Wilayah
Tangerang dan Sekitarnya pada tahun 2013

2. Misi
Menyelenggarakan pelayanan pelayanan secara komprehensif yang
meliputi :

1) Memberikan pelayanan rujukan untuk seluruh jenis spesialisasi.


2) Memberikan pelayanan dengan mempertahankan status sebagai
penyelenggara PPK BLUD Penuh
3) Memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin sesuai dengan
prosedur

3. Falsafah
1) Kesejahteraan karyawan rumah sakit mutlak diperhatikan atau
ditingkatkan agar terwujud kontribusi pengabdian yang tinggi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2) Kepuasan pelanggan merupakan hal utama yang harus dijadikan
sebagai dasar orientasi dalam pelayanan rumah sakit.
3) Keberhasilan misi rumah sakit hanya dapat diwujudkan melalui suatu
system yang dapat menciptakan budaya kebersamaan, keterbukaan
disertai profesionalisme yang menjunjung etos kerja yang tinggi.

4. Motto
BERTEMU KASIH : Bersih, Tertib, Bermutu dan Kasih Sayang

22
B. Struktur Organisasi

DIREKTUR

WADIR

PELAYANAN

KEPALA INSTALASI
CASEMIX

KOORDINATOR
CASEMIX

DOKTER
PENERIMA PENARIK
YANG KODER PENGENTRY
BERKAS KLAIM
MEREVISI

23
Unit casemix RS Umum Tangerang berada dibawah wakil direktur pelayanan.
Memiliki 21 orang karyawan terdiri dari
1. S1 Kedokteran 3 orang
2. S1 Umum 3 orang
3. D3 Profesi Rekam Medis 3 orang
4. D3 Umum 3 orang
5. SMA 9 orang

C. Fasilitas dan Peralatan


Alur Rawat Jalan

Penerima Koder Entry + Grouping


Berkas

BPJS Tarik TXT

Alur Rawat Inap

Penerima Koder
Verifikasi Medis
Berkas

Entry +
BPJS Tarik TXT
Grouping

Alur pelayanan pasien di rumah sakit dari bagian pendaftaran pasien rawat jalan
dan rawat inap, setelah pasien teregistrasi di data rumah sakit maka pasien akan
mendapatkan pelayanan sesuai dengan keluhan. Pelayanan medis dilakukan oleh
petugas medis dan paramedis. Petugas pemberi pelayanan medis terdiri dari para
dokter (medis), dan paramedis yaitu bidan, dan perawat. Dalam menjalankan

24
tugas para dokter, bidan dan perawat menjalankan sesuai dengan SOP atau
clinical pathway yang telah ditentukan sebagai sebuah standar pelayanan di rumah
sakit. Clinical pathway adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang
merangkum setiap langkah kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis,
standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan kesehatan lainnya
( Rivani,2009). Setiap pasien yang mendapat pelayaan medis, maka data pasien
akan tercatat pada rekam medis. Seuai dengan Permenkes No. 269/
Menkes/Per/III/2008, rekam medis merupakan suatu berkas yang berisikan catatan
dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari pengisian rekam medis adalah untuk
menunjang tercapainya tertib administrasi dalam upaya peningkatan pelayanan
kesehatan di rumah sakit (Wijono, 2000). Petugas yang bertugas dalam pencatatan
dan penyimpanan data pasien di rumah sakit adalah petugas rekam medis. Petugas
rekam medis memiliki peranan penting dalam pelaksanaan program JKN, ini
karena dalam 20 pengklaiman berdasarkan kesesuaian diagnosis dan posedur
pada tagihan dengan kode ICD 10 dan ICD 9 CM (dengan melihat buku ICD 10
dan ICD 9 CM atau softcopy-nya).Semua bagian di rumah sakit bekerja sama agar
dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien. Namun dalam
pelaksanaannya terkadang terdapat kendala, seperti mengalami kendala pencairan
klaim. Masalah ini ditemukan pada penelitian Sunarto, 2011, pada penelitian ini
kendala pencairan klaim terjadi karena harus disesuaikan dengan mekanisme
keuangan daerah (Sunarto, 2011) Pada setiap rumah sakit yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan terdapat petugas verifikator. Untuk menjalankan
tugasnya dalam melakukan verifikasi klaim, verifikator wajib memastikan
kesesuaian diagnosis dan posedur pada tagihan dengan kode ICD 10 dan ICD 9
CM (dengan melihat buku ICD 10 dan ICD 9 CM atau softcopy-nya). Ketentuan
koding mengikuti panduan koding yang terdapat dalam Juknis INA-CBGs (BPJS
Kesehatan, 2014).
Tarif INA-CBGs untuk rumah sakit pemerintah dan swasta adalah sama,
perbedaannya yaitu pada kelompok kelas rumah sakit. Oleh karena itu di era JKN
rumah sakit harus berlomba untuk meningkatkan akreditasi rumah sakitnya.

25
Dengan ditetapkannnya metode pembayaran INA-CBGs, terjadi perubahan cara
pandang dan perilaku dalam pengelolaan rumah sakit serta pelayanan terhadap
pasien. Rumah sakit dituntut untuk merubah cara pandang dari pola pembayaran
fee for service ke pembayaran INA-CBGs, 21 dari mulai tingkat manajemen
rumah sakit, dokter dan seluruh karyawan rumah sakit. Rumah sakit provider
BPJS kesehatan setelah menangani pasien peserta BPJS Kesehatan maka dapat
mengajukan klaim ke pihak BPJS Kesehatan. Pengesahan tagihan dilakukan oleh
direktur/kepala fasilitas kesehatan lanjutan dan petugas verifikator BPJS
Kesehatan. Klaim pada FKRTL diajukan secara kolektif oleh rumah sakit kepada
BPJS Kesehatan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya dengan kelengkapan
administrasi umum yang terdiri dari (BPJS, tanpa tahun):
a) Surat perintah rawat inap
b) Surat Eligibilitas Peserta (SEP).
c) Resume medis yang mencantumkan diagnosa dan prosedur serta ditandatangani
oleh dokter penanggung jawab Pelaksanaan JKN di Fasilitas Kesehatan Lanjutan
2.3.1 Beberapa upaya yang sebaiknya dilakukan rumah sakit sebagai pemberi
pelayanan
pada fasilitas kesehatan lanjutan adalah:
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014.
1) Membangun Tim Rumah Sakit
Manajemen dan profesi serta komponen rumah sakit yang lain harus mempunyai
persepsi dan komitmen yang sama serta mampu bekerja sama untuk menghasilkan
produk pelayanan rumah sakit yang bermutu dan cost efective. Bukan sekedar
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai tim semua komponen rumah
sakit harus memahami tentang konsep tarif paket, dimana dimungkinkan suatu
kasus atau kelompok CBG tertentu mempunyai 22 selisih positif dan pada kasus
atau kelompok kasus CBG yang sama pada pasien berbeda ataupun pada
kelompok CBG lain mempunyai selisih negatif. Surplus atau selisih positif pada
suatu kasus atau kelompok CBG dapat digunakan untuk menutup selisih negatif
pada kasus lain atau kelompok CBG lain (subsidi silang). Sehingga pelayanan
rumah sakit tetap mengedepankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

26
2) Meningkatkan Efisiensi
Efisiensi tidak hanya dilakukan pada sisi proses seperti penggunaan sumber daya
farmasi, alat medik habis pakai, lama rawat, pemeriksaan penunjang yang
umumnya menjadi area profesi tetapi juga pada sisi input seperti perencanaan dan
pengadaan barang dan jasa yang umumnya menjadi area/tanggung jawab
manajemen. Sisi proses umumnya lebih menekankan pada aspek efektifitas
sedangkan sisi input umumnya lebih menekankan aspek efisiensi. Keduanya
harus mampu berinteraksi untuk menghasilkan produk pelayanan yang cost
effective. Sisi proses dalam hal melakukan efisiensi juga harus mampu
mengurangi atau bahkan menghilangkan pelayanan yang berlebih dan tidak
diperlukan (over treatment dan atau over utility). Seperti penggunaan/pemilihan
obat yang berlebihan dan pemeriksaan penunjang yang tidak selektif dan tidak
kuat indikasinya. Efisiensi juga harus dilakukan pada biaya umum seperti
penggunaan listrik, air, perlengkapan kantor dan lain-lain. Inefisiensi pada sisi
input maupun proses akan berpengaruh pada ongkos/biaya produksi pelayanan
rumah sakit yang mahal.23
3) Memperbaiki Mutu Rekam Medis
Tarif INA-CBGs sangat ditentukan oleh output pelayanan yang tergambar pada
diagnosis akhir (baik diagnosis utama maupun diagnosis sekunder) dan prosedur
yang telah dilakukan selama proses perawatan. Kelengkapan dan mutu dokumen
rekam medis akan sangat berpengaruh pada koding, grouping dan tarif INA-
CBGs.
4) Memperbaiki Kecepatan dan Mutu Klaim
Kecepatan dan mutu klaim akan mempengaruhi cash flow rumah sakit.
Kecepatan klaim sangat dipengaruhi oleh kecepatan penyelesaian berkas rekam
medis. Sehingga rumah sakit harus menata sistem pelayanan rekam medis yang
baik agar kecepatan dan mutu rekam medis bisa memperbaiki dan meningkatkan
cash flow rumah sakit.
5) Melakukan Standarisasi
Perlu terus dibangun standard input dan proses di tingkat rumah sakit. Standard
input misalnya farmasi, alat medik habis pakai. Perlu dibuat formularium rumah
sakit (perencanaan), perlu dibuat standar pengadaan obat rumah sakit (e-katalog

27
dan atau lelang), standar penulisan resep misal dokter hanya menulis nama
generik sedangkan obat yang diberikan berdasar hasil/perolehan pengadaan.
Standar proses misalnya PPK/SPO dan atau clinical pathway.
Keputusan/penetapan standar proses akan sangat berpengaruh pada pembuatan
keputusan pada standar input. 24
6) Membentuk Tim Casemix/Tim INA-CBG Rumah Sakit
Tim Casemix/Tim INA-CBGs rumah sakit akan menjadi penggerak membantu
melakukan sosialisasi, monitoring dan evaluasi implementasi INA-CBGs di
rumah sakit.
7) Memanfaatkan Data Klaim
Data INA-CBGs rumah sakit dapat digunakan/dimanfaatkan tidak hanya untuk
klaim tetapi juga dapat digunakan untuk menilai performance rumah sakit dan
performance SDM khususnya profesi dokter. Data INA-CBGs bisa juga
digabungkan dengan data HIMS (Health Information Management System)
bahkan bisa dibandingkan dengan rumah sakit lain yang sekelas. Jadi data INA-
CBGs dan data klaim dapat digunakan sebagai bahan untuk pengambilan
keputusan/kebijakan tingkat rumah sakit.
8) Melakukan Review Post-Claim
Review post-claim yang dilakukan secara berkala sangat penting dalam
menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian biaya dan mutu dalam
pelayanan yang akan diberikan. Idealnya kegiatan review ini melibatkan seluruh
unit yang ada di rumah sakit baik manajemen, tenaga profesional, serta unit
penunjang maupun pendukung dan dilakukan dengan data yang telah dianalisis
oleh tim casemix rumah sakit.
9) Pembayaran Jasa Medis
Perubahan metode pembayaran rumah sakit dengan metode paket INA-CBGs
sebaiknya diikuti dengan perubahan pada cara pembayaran jasa medis.
Pembayaran jasa medis sebaiknya disesuaikan dengan menggunakan sistem
remunerasi berbasis kinerja. 25
10) Untuk masa yang akan datang diharapkan seluruh rumah sakit provider JKN
bisa berkontribusi untuk mengirimkan data koding dan data costing sehingga
dapat dihasilkan tarif yang mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit.

28
2.3.2 Hal-hal yang perlu dihindari rumah sakit terkait pelaksanaan JKN
Implementasi INA-CBG sebaiknya dilakukan dengan benar dan penuh
tanggunggung jawab dari semua pihak. Sebaiknya rumah sakit tidak melakukan
hal-hal dibawah ini:
1) Merubah atau membongkar software
2) Menambah diagnosis yang tidak ada pada pasien yang diberikan pelayanan
untuk tujuan meningkatkan tingkat keparahan atau untuk tujuan mendapatkan
grouping pada kelompok tarif yang lebih besar.
3) Menambah prosedur yang tidak dilakukan atau tidak ada bukti pemeriksaan
untuk tujuan mendapatkan grouping pada kelompok tarif yang lebih besar.
4) Melakukan input diagnosis dan prosedur hingga proses grouping berkali-kali
dengan tujuan mendapatkan kelompok tarif yang lebih besar.
5) Upcoding, yaitu memberikan koding dengan sengaja dengan tujuan
meningkatkan pembayaran ke rumah sakit.
6) Melakukan manipulasi terhadap diagnosis dengan menaikkan tingkatan jenis
tindakan. Misalnya : appendiectomy tanpa komplikasi ditagihkan sebagai
appendiectomy dengan komplikasi, yang memerlukan operasi besar sehingga
menagihkan dengan tarif yang lebih tinggi.
7) Memberikan pelayanan dengan mutu yang kurang baik. Misalnya:
memperpendek jam pelayanan poliklinik, pelayanan yang bisa diselesaikan
26dalam waktu satu hari dilakukan pada hari yang berbeda, tidak melakukan
pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan, tidak memberikan obat yang
seharusnya diberikan, serta membatasi jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah
sakit untuk peserta JKN. Dalam proses pembentukan tarif INA-CBGs dilakukan
pengumpulan data keuangan secara agregat sehingga analisa kecukupan tarif juga
harus menggunakan data agregat, tidak bisa lagi melihat kasus per kasus yang rugi
atau untung, yang perlu dilihat adalah secara agregat pendapatan rumah sakit, hal
ini dikarenakan dalam tarif INACBGs yang terdiri dari 1077 group tarif berlaku
sistem subsidi silang antar group yang ada.

29
2.4 Simple Kellog Logic Model
Dalam penelitian menggunakan kerangka konsep dari Simple Kellogg Logic
Model. Logic model merupakan suatu cara yang sistematis dan visual untuk
menyajikan hubungan antara sumber daya yang dimiliki dalam menjalankan suatu
program, kegiatan yang akan dilaksanakan, serta perubahan atau hasil yang ingin
dicapai. Metode ini bermanfaat untuk menunjang mulai dari tahap perencanaan,
implementasi, hingga tahap evaluasi program. Pengembangan logic model
bermanfaat untuk meningkatkan dan menciptakan keselarasan pemahaman
evaluator akan program yang dievaluasi. Hal inilah yang akan mengevaluasi
sejauh mana kontribusi input dalam mencapai tujuan, sehingga dapat dilihat
tingkat kesuksesan suatu program yang sedang berjalan (Kellog, 2004).
Komponen dasar dari logic model ialah komponen input, activities, output,
outcome, dan impact. Komponen input merupakan sumber daya yang digunakan
dalam suatu program. Sumber daya tersebut terdiri dari 6M yaitu manusia (man),
uang (money),sarana (material), metode (method), dan pasar (market) (Kellog,
2004). Man27(SDM), dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling
menentukan. Manusia yang membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan
proses untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab
pada dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Money (uang), yang merupakan
salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat tukar dan alat
pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat diukur dari jumlah uang yang
beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang merupakan alat (tools) yang
penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara
rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan
untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli
serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi.Materials (bahan),
materi terdiri dari bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi. Dalam
dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam
bidangnya juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu
sarana. Sebab materi dan manusia tidak dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan
tercapai hasil yang dikehendaki. Machines (mesin), dalam kegiatan perusahaan,
mesin sangat diperlukan. Penggunaan mesin akan membawa kemudahan atau

30
menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja.
Methods (metode), dalam pelaksanaan kerja diperlukan metode-metode kerja.
Suatu tata cara kerja yang baik akan memperlancar jalannya pekerjaan. Sebuah
metode dapat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas
dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan kepada sasaran,
fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan
usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang
melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka
hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama 28dalam
manajemen tetap manusianya sendiri. Market (pasar), memasarkan produk sudah
barang tentu sangat penting sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka
proses produksi barang akan berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan
berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil
produksi merupakan faktor menentukan dalam perusahaan. Agar pasar dapat
dikuasai maka kualitas dan harga barang harus sesuai dengan selera konsumen
dan daya beli (kemampuan) konsumen.Komponen activities merupakan seluruh
proses atau kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan suatu program.
Komponen output merupakan produk langsung yang dihasilkan dari pelaksanaan
kegiatan. Komponen outcome merupakan perubahan spesifik yang terjadi baik
itu dalam hal perilaku, pengetahuan, keterampilan, status maupun tingkatan fungsi
terkait dengan pelaksanaan program. Sementara komponen impact merupakan
perubahan akhir yang diinginkan sebagai hasil dari kegiatan program
(Kellogg,2004).

(1) Standar Prosedur Operasional Koding / Indexing


1. Petugas koding / indexing menginput nomer rekam medis pada dokumen rekam
medis pasien rawat inap di komputer.
2. Petugas koding / indexing membaca diagnosis pasien yang ditulis oleh dokter
yang merawat di lembar ringkasan masuk keluar, bila tidak terbaca maka
ditanyakan pada dokter yang bersangkutan.

31
3. Petugas koding / indexing memberi kode penyakit menggunakan ICD X dan
tindakan ( bila ada ) menggunakan ICD 9 CM pada dokumen rekam medis ( RM 1
), dan menginput di komputer.
4. Petugas koding / indexing menginput juga pada kolom diagnosis nama dokter
penanggung jawab di kolom dokter dan pilih spesialisasinya, input juga nama
dokter lain sebagai konsultan dari DPJP.
5. Petugas koding / indexing mengisi tanggal, jam, dan sebab kematian bila pasien
meninggal, input perinatal bila pasien bayi baru lahir, input rujukan bila pasien
datang karena rujukan.
6. Petugas koding / indexing memberikan dokumen rekam medis pada petugas
assembling.

ALUR KLAIM PASIEN PESERTA BPJS RAWAT JALAN

32
33
BAB IV

IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH

4.1 IDENTIFIKASI MASALAH

Setelah mempelajari alur proses pada Unit Casemix di RSU Kabupaten


Tangerang, yang dilakukan dengan cara observasi, telusur dokumen yang ada
pada unit casemix RSU Kabupaten Tangerang, serta melakukan wawancara
dengan Kepala Instalasi Casemix beserta Koordinator casemix , dapat di
inventarisasi beberapa hal yang berpotensi menjadi masalah yang akan
menyebabkan kurang optimal nya kinerja Instalasi Casemix, diantaranya :

- Kelengkapan rekam medik untuk penagihan masih belum lengkap.


- SOP di instalasi casemix belum tersedia.
- Pengontrolan tentang kendali mutu dan biaya belum maksimal.

4.2 PENETAPAN PRIORITAS MASALAH

Dengan ditemukannya ketiga permasalahan tersebut, akan menyebabkan


kurang optimalnya kinerja pelayanan di Instalasi Casemix di RSU Kabupaten
Tangerang, oleh karena itu perlu dicari prioritas permasalahan sehingga dapat
kembali meningkatkan kinerja instalasi Casemix. Untuk menentukan prioritas
masalah yang paling signifikan mempengaruhi kinerja pelayanan di Instalasi
Casemix perlu dilakukan pemetaan masalah dengan untuk dapat menentukan
prioritas masalah dapat dilakukan dengan cara FGD ( Focus Group Discussion )
dengan menggunakan alat managemen untuk melakukan pembobotan, salah satu
yang digunakan adalah dengan USG ( Urgency, Seriusness, Growth ).
Langkah-langkah dalam penggunaan USG adalah dengan membuat
kriteria sebagai berikut :
1. U ( Urgency )

Makna dari kriteria ini adalah apakah permasalahan tersebut


mendesak untuk diselesaikan.

34
2. S (Seriusness )
Apakah permasalahan tersebut perlu penanganan serius.
3. G (Growth )
Apakah jika tidak ditangani akan semakin berdampak luas dan
besar.

Cara melakukan proses penentuan prioritas masalah dengan melakukan


penjumlahan dari nilai yang diberikan pada setiap kriteria. Pada laporan ini
menggunakan skala minimal 1 dan maksimal 5, dengan permasalahan yang
mempunyai nilai terbesar akan menjadi prioritas masalah yang akan dicarikan
alternative penyelesaian masalahnya. Berikut permasalahan yang dapat
diidentifikasi dari hasil observasi unit casemix RSU Kabupaten Tangerang.

Tabel 3. Tabel Pembobotan Nilai Penentuan Prioritas Masalah di Instalasi


Casemix RSU Kabupaten Tangerang 2017

NO MASALAH U S G NILAI
1. Kelengkapan rekam medik untuk 3 3 3 9
penagihan masih belum lengkap.
2. SOP di instalasi casemix belum tersedia. 2 2 2 6
3. Pengontrolan tentang kendali mutu dan 3 3 5 11
biaya belum maksimal.

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode USG dapat diketahui bahwa
prioritas masalah yang harus diselesaikan terutama adalah pengontrolan tentang
kendali mutu dan biaya belum maksimal, hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan
kurang maksimalnya pengontrolan biaya tariff RS dengan biaya INACBG,s maka
system kendali mutu dan biaya di RSU Kabupaten Tangerang belum maksimal,
hal ini juga mengedepankan mutu RS.

35
1.3 PENENTUAN AKAR PERMASALAHAN

Setelah melakukan proses penentuan prioritas masalah, dimana didapatkan


yang menjadi prioritas masalah adalah Pengontrolan tentang kendali mutu
dan biaya belum maksimal, kemudian perlu dilakukan analisa untuk
menentukan akar permasalahan yang menyebabkan system kendali mutu
dan biaya RS belum maksimal dikontrol, dengan menggunakan alat bantu
model Fishbone dan ditemukan beberapa akar permasalahan yang
mungkin menyebabkan kurang optimalnya pengontrolan system kendali
mutu dan biaya, dapat diliat pada gambar berikut :

Gambar 4.1
Diagram fishbone

MACHINE MATERIAL MONEY


 SIM RS yang kurang  Ruangan Instalasi  Biaya pelatihan cukup
optimal casemix yang mahal
tersendiri

Ketidak-
efisienan
dalam
MAN METODE
 Semua tenaga belum  SOP yang belum ada kendali mutu
mempunyai sertifikat pelatihan
dan kendali
casemix sehingga belum
semua mengusai tentang biaya
kendali mutu dan kendali
biaya

36
Hasil penelusuran masalah dan penyebabnya didapatkan beberapa
alternative pemecahan masalah, yaitu :

5.1. Man (Sumber Daya Manusia)

Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi.
Dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia yang
membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai tujuan.
Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia adalah
makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya orang-orang
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan.

5.2. Methode (Tata Cara)

Methode adalah suatu tata cara kerja untuk mencapau tujuan secara
efisien.Mehtode diperlukan agar dalam pemanfaatan sumber yang diperlukan bagi
terlaksananya kegiatan managemen tidak terjadi kemacetan dan
pemborosan.Sebuah metode saat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan
kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan
kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang
dan kegiatan usaha.

Salah satu methode yang digunakan dalam managemen Rumah sakit


adalah adanya SOP (Standar operational Prosedur). Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 512/Menkes/PER/IV/2007
,Standar Prosedur Operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik
berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar
profesi.

Manfaat SOP, diantaranya :


a. Memberikan penjelasan tentang prosedur kegiatan secara detail dan terinci
dengan jelas dan sebagai dokumentasi aktivitas

37
b. Meminimalisasi variasi dan kesalahan dalam suatu prosedur operasional
kerja.
c. Mempermudah dan menghemat waktu dan tenaga
d. Menyamaratakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh semua pihak.

Sebagaimana Prinsip Pembuatan SOP :


a. Mudah dimengerti dan jelas. Harus dapat mudah dimengerti dan diterapkan
oleh semua pegawai bahkan pegawai baru pun dapat melaksanakan tugasnya.
b. Dibuat efisien dan efektif. Merupakan prosedur yang paling efisien dan
efektif dalam proses pelaksanaan tugas.
c. Harus ada keselarasan. Harus selaras dengan prosedur standar lain yang
terkait.
d. Dinamis. Harus cepat dapat disesuaikan dengan kebutuhan peningkatan
kualitas pelayanan yang berkembang.
e. Berorientasi pada pengguna (mereka yang dilayani).
f. Kepatuhan hukum. Harus memenuhi ketentuan dan peraturan-peraturan
pemerintah yang berlaku.
Perlu adanya kepastian hukum. Harus ditetapkan oleh pimpinan sebagai
sebuah produk hukum yang ditaati, dilaksanakan, dan menjadi instrumen untuk
melindungi pegawai dari kemungkinan tuntutan hukum.

5.3. Material
Material merupakan unsur yang tidak kalah penting dalam suatu
managemen,masalah yang terkait dengan unsur ini terdiri dari bahan setengah jadi
(raw material) dan bahan jadi. Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang
lebih baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat
menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Sebab materi dan
manusia tidak dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan tercapai hasil yang
dikehendaki.

38
1.4. Environment (Lingkungan )
Berdasarkan pedoman teknis bangunan Rumah sakit kelas B, Direktorat
Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI : Tentang kebutuhan ruang,fungsi dan luasan ruang serta kebutuhan pada ruang
rawat jalan dll.

5.5. Machine

Machine atau Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau


menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja
dalam hal ini adalah SIMRS. Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit
(SIMRS) adalah sebuah sistem informasi yang terintegrasi yang disiapkan untuk
menangani keseluruhan proses manajemen Rumah Sakit, mulai dari pelayanan
diagnosa dan tindakan untuk pasien, medical record, apotek, gudang farmasi,
penagihan, database personalia, penggajian karyawan, proses akuntansi sampai
dengan pengendalian oleh manajemen.

Manfaat yang didapatkan Rumah Sakit dengan menggunaan SIMRS ini


adalah:

a. Proses-proses manajemen rumah sakit bisa terintegrasi antara satu bagian


dengan bagian lainnya.
b. Riwayat penyakit dan perawatan (medical record) pasien bisa dikelola dan
dipanggil dengan cepat dan otomatis.
c. Analisis statistik diagnosa dan pembedahan terhadap pasien telah disesuaikan
dengan standard yang telah ditetapkan WHO.
d. Menjaga konsistensi data (data consistency) karena menggunaan data bersama
(data sharing) baik data master (database pasien, dokter, perawat, karyawan
dan obat) maupun data transaksi.
e. SIMRS memberikan kemudahan dalam pembuatan laporan di semua unit,
cepat dan akurat.
f. Efisiensi waktu entri data (entry time) karena hanya dilakukan sekali oleh
bagian yang paling berkompeten.

39
g. Efisiensi kerja karyawan menjadi meningkat karena beberapa proses rutin
seperti pembuatan laporan atau perhitungan-perhitungan dilakukan secara
otomatis dan cepat. Dengan demikian karyawan lebih bisa berkonsentrasi
kepada hal-hal yang bersifat stratgis.

Maka disarankan :

1. Disediakan SIMRS yang terintegrasi dalam semua alur kegiatan (bridging)


2. Penyediaannya dapat berupa Kerja sama Operasional (KSO)

40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemotretan dalam residensi dapat diambil kesimpulan
bahwa :
a. Mengetahui bahwa Unit Casemix merupakan salah satu bagian terpenting
dalam pelayanan di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang, karena
merupakan tim pengendali mutu dan biaya RSU Kabupaten Tangerang.
b. Mengetahui alur pengclaiman dalam penagihan pasien JKN.
c. Dari hasil residensi dengan pengamatan (observasi), wawancara, studi
kepustakaan maka dapat mengidentifikasikan permasalahan yang ada di Unit
Casemix Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang serta dapat memberikan
masukan maupun saran bagi Rumah Sakit.

6.2 SARAN

Agar Unit Casemix dapat menjadi tim pengendali dan biaya pada pasien
JKN , disarankan Untuk :

a. Adanya kebijakan dan SPO di Unit Casemix sehingga yang ada dibawah
Unit tersebut dapat menjalankan apa yang sudah disepakati dan sudah
disosialisasikan di RSU Kabupaten .
b. Dari hasil identifikasi masalah yang ada di unit casemix,selain dari SDM
(Man) maupun tata cara(Methode) seperti dijelaskan diatas, hal lain yang
harus dibenahi adalah faktor lingkungan (environment) yaitu membuat
SOP yang ada di bawah unit Casemix. Hal tersebut akan memudahkan
pelayanan maupun sebagai standar dalam menentukan kebijakan Rumah
Sakit.

41
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Tjandra Yoga Aditama, 2006, Manajemen Administrasi Rumah sakit, edisi


ke 2, Jakarta : Universitas Indonesia
2. Wikipedia,22-4- 2016, Manajemen, https://id.wikipedia.org
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2016
Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan
Program Jaminan Kesehatan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 27 Tahun 2014 Tentang
5. UU No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( UU
SJSN )
6. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
7. Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Standar
Taris Pelayanan Kesehatan Pada FKTP I dan FKTL dalam
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan
Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk
Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups ( INA-CBG’S )

42

Anda mungkin juga menyukai