PENDAHULUAN
1
rumah sakit perlu merespon perubahan tersebut dengan cepat dan tepat. Salah satu
bentuk respon terhadap perubahan tersebut adalah manajemen rumah sakit
memahami sistem casemix dan dapat mengimplementasikannya di rumah sakit.
Di Negara Cina telah mulai menggunakan. Sistem Casemix sejak tahun 2009,
sebuah penelitian di Xianmen China membuktikan bahwa sistem Casemix lebih
tepat dalam memperkirakan estimasi pembiayaan sehingga membantu manajemen
dalam mengendalikan biaya rumah sakit. Sistem Casemix ini di Indonesia disebut
Indonesian Case Based Groups (INACBG’s). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Pasal 1 Ayat 3
menetapkan “Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut
Tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan
kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur”. Selanjutnya,
pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur menggunakan kode yang sudah
digunakan secara international yaitu International Classification of Diseases
version 10 (ICD 10) dan International Classification of Diseases version 9
Clinical Modification (ICD 9 CM). Kesalahan dalam pengkodean diagnosis dan
prosedur dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi rumah sakit, ketika
mengalami under code, sebaliknya jika over code maka klaim ke BPJS tidak akan
diterima, dan ada kemungkinan dianggap fraud (kecurangan).
System casemix di RS Kabupaten Tangerang berdiri sejak 2 Juli 2017 dalam
melaksanakan kegiatannya system casemix di RS Kabupaten Tangerang belum
memiliki pedoman kerja, Standar operasional prosedur dan standar pemecahan
masalah yang jelas.
I.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami gambaran penyelenggaraan Casemix di Rumah Sakit
Umum Kab.Tangerang Tahun 2018.
2
2. Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan residensi secara khusus dan memperoleh :
• Memahami pengorganisasian di ruang casemix RSU Kab.Tangerang
• Memahami Sumber Daya Manuasia (SDM) di ruang Casemix RSU
Kab.Tangerang
• Memahami alur pelayanan Casemix RSU Kab.Tangerang
• Memberikan masukan kepada Manajemen RSU Kab.Tangerang dapat
berupa evaluasi, saran, usulan atau ide perbaikan terhadap masalah-masalah yang
ada dalam pelayanan Casemix RSU Kab.Tangerang dengan harapan dapat
membuat perubahan yang lebih baik lagi.
3. Bagi Mahasiswa
a. Mendapatkan gambaran yang nyata dalam menerapkan hasil perkuliahan pada
proses administrasi rumah sakit tempat residensi
b. Meningkatkan kemampuan melakukan pengkajian terhadap suatu masalah
melalui pendekatan pemecahan masalah
3
4. Ruang Lingkup Residensi
Pelaksanaan kegiatan residensi dilakukan di Rumah Sakit umum Kabupaten
Tangerang yang beralamat di Jalan Ahmad Yani No 9, Sukaasih Kec.Tangerang,
Banten 15111. Wawancara dilakukan dengan Koordinator unit casemix 1 orang,
penerima berkas 2 orang, verifikator 2 orang, petugas koding 2 orang, petugas
grouping 2 orang dan petugas klaim 1 orang. Dengan demikian sumber data yang
didapat untuk menyelesaikan tugas residensi ini berjumlah 10 ( sepuluh ) orang
informan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
pada tahun 1914. Pada tahun 1913, Ernest A Codman di the Philadelphia County
Medical Society in 1913 mengatakan bahwa masalah sebenarnya dari seluruh
rumah sakit adalah menjawab sebuah pertanyaan “apa yang terjadi pada kasus-
kasus?...... kita harus menformulasikan metode pelaporan rumah sakit yang
menunjukkan sedekat mungkin hasil-hasil dari pengobatan yang diberikan pada
institusi-institusi yang berbeda. Laporan ini harus dibuat dan dipublikasikan oleh
setiap rumah sakit dengan cara yang seragam, sehingga memungkinkan untuk
dibandingkan antara hasil rumah sakit yang satu dengan rumah sakit lainnya.
Dengan laporan seperti itu sebagai titik awal untuk mulai menanyakan tentang
manajemen dan efisiensinya. Pemikiran yang serupa secara implisit terjadi pada
sebuah studi di pembiayaan rumah sakit United Kingdom Inggris dari pertengahan
tahun 1960-an dengan pertanyaan, mengapa rumah sakit dengan lamanya tinggal
di rumah sakit atau jumlah pasien yang sangat berbeda menghasilkan pengeluaran
yang serupa. Studi ini kemudian dilakukan oleh seorang ahli ekonomi Amerika
Serikat, Martin Feldstein, dengan masalah yang sama kemudian dikembangkan
secara signifikan Diagnosis Related Group (DRGs), oleh Professors Robert Fetter,
John Thompson, and colleagues at Yale University. Hal ini Berkembang dari
persyaratan registrasi perawatan medis sampai kepada ketergantungan yang
sangat pada perkembangan teknologi informasi (IT) selama tahun 1960-an - 1970-
an dalam kaitannya dengan penemuan cara untuk mengukur dan menentukan
biaya output rumah sakit. Beberapa versi dari sistem DRGs dikembangakan,
pertama pada tahun 1973 terdiri dari 54 Major Diagnostic Categories (MDCs)
comprising 333 DRGs. Versi original yang terakhir pada rangkaian ini
dikembangkan oleh Universitas Yale adalah Health Systems Management Group
dan diharapkan untuk menunjukkan sistem klasifikasi inpatient yang membedakan
jumlah sumber daya rumah sakit yang dibutuhkan untuk memberikan perawatan
dan secara klinis koheren dalam arti kelompok itu menyebabkan timbulnya
serangkaian respon klinis yang dihasilkan dari pola sumber daya yang serupa.
Klasifikasi tersebut akhirnya ditangani oleh the Health Care Financing
Administration (HCFA) di AS yang mempunyai 470 DRGs terdiri dari 23 Major
Diagnostic Categories (MDCs) (The New Zealand Casemix Project Group. 2015).
Di New Zeland mulai dikembangkan tahun 1990-an dengan didirikannya the
6
Health Funding Authority (HFA) yang ditugasi menyatukan pendekatan 4
regional menjadi satu sistem pendanaan dan pembelian. Pada masa transisi New
Zeland mengadopsi sistem DRGs dari Australia’s state of Victoria. Model
pendanaan ini meliputi beberapa struktur dan kebijakan tentang length of stay
(LOS) yang sesuai dengan sektor kesehatan di New Zealand’s health sector. Pada
tahun 1999, New Zeland pertama kali menggunakan kerangka kerja Casemix
secara nasional, yang juga ditetapkan a national Casemix (Cost Weights) Project
Group yang berlanjut sampai sekarang (The New Zealand Casemix Project Group.
2015). Di Indonesia perkembangan Sistem Casemix ini diawali dengan
ditetapkannya UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(UU SJSN). Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun
2006 dengan nama INADRG (Indonesia- Diagnosis Related Group).
Implementasi pembayaran dengan INADRG dimulai pada 1 September 2008 pada
15 rumah sakit vertikal, dan pada 1 Januari 2009 diperluas pada seluruh rumah
sakit yang bekerja sama untuk program Jamkesmas. Pada tanggal 31 September
2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG (Indonesia Diagnosis
Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) seiring dengan
perubahan grouper dari 3M Grouper ke UNU (United Nation University)
Grouper. Dengan demikian, sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013,
pembayaran kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam
Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) menggunakan INA-CBG. Sejak
diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali
perubahan besaran tarif, yaitu tariff INA-DRG Tahun 2008, tarif INA-CBG
Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun 2014. Tarif INA-CBG mempunyai 1.077
kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat inap dan 288 kode
grup/kelompok rawat jalan, menggunakan sistem koding dengan ICD-10 untuk
diagnosis serta ICD-9-CM untuk prosedur/tindakan. Pengelompokan kode
diagnosis dan prosedur dilakukan dengan menggunakan grouper UNU (UNU
Grouper). UNU- Grouper adalah Grouper casemix yang dikembangkan oleh
United Nations University (UNU). Pada tahun 2011 ditetapkan UU No. 24
7
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), disusul dengan
berbagai peraturan untuk melaksanakan UU tersebut, seperti:
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan
Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional;. Sejak 1 Januari 2014, mulai
diberlakukan sistem pembayaran pelayanan kesehatan melalui BPJS. INA
CBG (Indonesia Case Base Group) adalah sistem casemix yang khusus
dikembangkan oleh United Nations University-International Institute for
Global Health (UNUIIGH), bagi Kementerian Republik Indonesia. UNU-
IIGH adalah pusat penelitian dan pelatihan dari UNU, salah satu lembaga
di bawah naungan PBB (United Nations) (Aljunid, Syed Mohamed, et al.
2014). RS di Indonesia menggunakan sofware INA CBGs untuk
melakukan pengkodean (koding) untuk mendapatkan tarif INA CBGs
yang kemudian diklaim pembayarannya ke BPJS Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk
Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA- CBGs).
8
disingkat ICD– 10 serta memberikan kode prosedur sesuai dengan International
Classification of Diseases Revision Clinical Modification disingkat ICD
– 9 CM. Koding sangat menentukan dalam sistem pembiayaan prospektif yang
akan menentukan besarnya biaya yang dibayarkan ke Rumah Sakit (Permenkes,
No. 27Tahun 2014). Dasar Pengelompokan dengan menggunakan ICD– 10
jumlahnya 14.500 kode, dan ICD – 9 CM jumlahnys 8.500 kode. Untuk
mengkombinasikan kode diagnosa dan prosedur tidak mungkin dilakukan secara
manual, maka diperlukan yang namanya “Grouper“. Koding diagnosis dan
prosedur adalah proses pengklasifikasian data (diagnoses dan prosedures) &
penentuan code (sandi) nomor/ alfabet/ atau alfanumerik untuk mewakilinya (Tim
Coding NCC). Data untuk mengkoding berasal dari rekam medis yaitu data
diagnosis dan tindakan/prosedur yang terdapat pada resume medis pasien.
b. Tujuan Koding
Koding mempunyai beberapa tujuan, yaitu (Tim Coding NCC):
1) Untuk memudahkan pencatatan, pengumpulan dan pengambilan kembali
informasi sesuai diagnose ataupun tindakan medis-operasi yang diperlukan
(uniformitas sebutan istilah/medical terms).
2) Memudahkan entry data ke database komputer yang tersedia (satu code
bisa mewakili beberapa terminologi yang digunakan para dokter)
3) Menyediakan data yang diperlukan oleh sistem pembayaran/penagihan
biaya yang dijalankan/diaplikasi. Contoh: Di USA, Australia, Singapore
dll. ada DRGs (Diagnosis Related Group System) di Indonesia saat ini
juga ada INA-CBG
4) Memaparkan indikasi alasan mengapa pasien memperoleh
asuhan/perawatan/pelayanan (justifikasi runtunan kejadian)
5) Menyediakan informasi diagnoses dan tindakan (medis/operasi) bagi: -
riset, - edukasi dan - kajian asesment kualitas keluaran/outcome (legal dan
otentik).
9
c. Pemanfaatan Koding INA CBGs
Koding INA CBGs dapat dimanfaatkan untuk (Tim Coding NCC):
1) Sistem Pelaporan (SIMRS)
2) Sitem pembayaran DRGs/CBGs
3) Registrasi kanker
4) Sertifikasi medis penyebab kematian
5) Data base RS (Penelitian)
4. Tarif INA-CBGs
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang disebut Tarif INA-CBG’s
adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada
pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur (PM Kes, No. 59 Tahun 2014).
Tarif INA-CBGs yang digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) per 1 Januari 2014 diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
(PM Kes, No. 27Tahun 2014).Sebagian besar penjelasan tentang tarif INA-CBGs
ini mengambil dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 27 Tahun 2014 Tentang
Petunjuk Teknis INA-CBGs, dengan beberapa prinsip sebagai berikut:
a. Pengelompokan Tarif 7 kluster rumah sakit, yaitu :
1) Tarif Rumah Sakit Kelas A
2) Tarif Rumah Sakit Kelas B
3) Tarif Rumah Sakit Kelas B Pendidikan
4) Tarif Rumah Sakit Kelas C
5) Tarif Rumah Sakit Kelas D
6) Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional
10
7) Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional
Pengelompokan tarif berdasarkan penyesuaian setelah melihat besaran Hospital
Base Rate (HBR) sakit yang didapatkan dari perhitungan total biaya pengeluaran
rumah sakit. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari satu rumah sakit,
maka digunakan Mean Base Rate. Kode INA-CBGs dan deskripsinya tidak selalu
menggambarkan diagnosis tunggal tetapi bisa merupakan hasil satu diagnosis atau
kumpulan diagnosis dan prosedur.
b. Regionalisasi, tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga
Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
c. Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBGs versi 4.0
untuk kasus – kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group
(CMG), meliputi :
1) Special Prosedure
2) Special Drugs
3) Special Investigation
4) Special Prosthesis
5) Special Groups Subacute dan Kronis
Top up pada special CMG tidak diberikan untuk seluruh kasus atau kondisi,
tetapi hanya diberikan pada kasus dan kondisi tertentu. Khususnya pada beberapa
kasus atau kondisi dimana rasio antara tarif INA-CBGs yang sudah dibuat berbeda
cukup besar dengan tarif RS. Penjelasan lebih rinci tentang Top Up dapat dilihat
pada poin D.
d. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan
dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit
berdasarkan surat keputusan penetapan kelas yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan RI.
e. Tarif INA-CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen
sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun
non-medis. Untuk Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan kelas, maka tarif
INA-CBGs yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit Kelas D sesuai
11
regionalisasi masing-masing. Penghitungan tarif INA CBGs berbasis pada data
costing dan data koding rumah sakit. Data costing didapatkan dari rumah sakit
terpilih (rumah sakit sampel) representasi dari kelas rumah sakit, jenis rumah sakit
maupun kepemilikan rumah sakit (rumah sakit swasta dan pemerintah), meliputi
seluruh data biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit, tidak termasuk obat yang
sumber pembiayaannya dari program pemerintah (HIV, TB, dan lainnya). Data
koding diperoleh dari data koding rumah sakit PPK Jamkesmas. Untuk
penyusunan tarif JKN digunakan data costing 137 rumah sakit pemerintah dan
swasta serta 6 juta data koding (kasus).
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013,
mengamanatkan tarif ditinjau sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun. Upaya
peninjauan tarif dimaksudkan untuk mendorong agar tarif makin merefleksikan
actual cost dari pelayanan yang telah diberikan rumah sakit. Selain itu untuk
meningkatkan keberlangsungan sistem pentarifan yang berlaku, mampu
mendukung kebutuhan medis yang diperlukan dan dapat memberikan reward
terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan dengan outcomeyang baik.
Untuk itu keterlibatan rumah sakit dalam pengumpulan data koding dan data
costing yang lengkap dan akurat sangat diperlukan dalam proses updating tarif.
Agar hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana amanat konstitusi dapat
terwujud, maka UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN ini menyatakan bahwa
program jaminan sosial bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia,
yang pencapaiannya akan dilakukan secara bertahap (dimana tahapan-tahapan ini
12
dapat kita lihat dalam Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-
2019). Dan dalam Implementasinya program jaminan kesehatan akan menjadi
prioritas yang akan dijalankan terlebih dahulu.
Moral hazard adalah terminologi yang biasa timbul dalam sistem asuransi, maka
untuk menghindari moral hazard BPJS akan membayar fasilitas kesehatan secara
prospektif, khususnya dengan cara kapitasi atau INA CBG’s. Hal ini tertuang
dalam PERPRES No 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, pasal 39 tentang
cara pembayaran fasilitas kesehatan. Kedua cara pembayaran ini adalah cara
pembayaran borongan yang memaksa dokter dan rumah sakit untuk efisien namun
dengan tetap menjaga kualitas layanannya. Dokter dan rumah sakit di suatu
wilayah yang memiliki indeks harga atau indeks kemahalan yang sama akan
dibayar dengan besaran sama. Wilayah ini dibagi menjadi 4 wilayah regional
yaitu: regional I meliputi Jawa – Bali, regional II meliputi Sematera, regional III
meliputi Kalimantan, Sulawesi dan NTB, dan terakhir regional IV meliputi
Maluku, Maluku Utara, NTT, Papua dan Papua Barat. Dengan demikian
persaingan sehat antar dokter dan rumah sakit terjadi berdasarkan kualitas
layanan, bukan lagi berdasarkan pada tarif. Sehingga Tujuan sistem INA CBG’s
untuk mendorong peningkatan mutu, mendorong layanan yang berorietasi pasien,
mendorong efisiensi, tidak memberikan reward kepada provider yang
melakukan over treatment dan mendorong untuk terlaksananya pelayanan tim
(berupa koordinasi atau kerjasama antar provider) dapat terwujud
Apa itu INA CBG’s?, Masih terlintas di benak kita pertanyaan yang sempat
mengemuka ketika terjadi kekisruhan pada sistem Kartu Jakarta Sehat di Jakarta,
13
karena ternyata masih banyak pihak yang berkepentingan yang belum memahami
apa itu INA CBG’s
Sistem casemix menurut Aljunid Syed Mohammed (?) adalah suatu alat untuk
mengklasifikasikan berbagai kondisi pasien kedalam group terkait dengan
konsumsi sumberdaya seperti yang diperkirakan melaui LOS, biaya perawatan,
atau biaya layanan harian. Ciri-cirinya terdiri dari (1) penyakit yang mempunyai
gejala klinis yang sama, (2) pemakaian sumber daya yang sama (biaya perwatan
yang sama).
Tarif INA CBG’s tahun 2012 merupakan proses rasionalisasi tahun 2012 yang
menggunakan data coding serta data costing tahun 2010 yang terdiri dari dari 100
rumah sakit di Indonesia. Tarif ini diberlakukan mulai 1 januari 2013 melalui SK
Menkes RI Nomor 440/MENKES/SK/XII/2012.
BAGAIMANA TARIF INA-CBG’s tahun 2014 nanti atau yang akan kita kenal
menjadi TARIF BPJS?, proses pembuatannya diharapkan selesai bulan Juli 2013.
Tarif INA CBG’s ini terdiri dari 1077 kelompok tarif 2013 dengan perhitungan
14
data costing 2011 ditambah dengan 7 spesial CMG (Casemix Main Group).
Prosesnya melibatkan banyak pihak seperti: RS (baik negeri dan swasta) untuk
input data costing dan coding, Asosiasi RS, dan organisasi profesi.
Selanjutnya tarif INA CBG’s kedepan menurut Aljunid Syed Mohammed (?)
terdiri dari tarif akut ditambah dengan 7 spesial CMG (yang masih dalam proses).
Klaim terpisah terdiri dari: acute, sub-acute, chronic, special procedures, special
prosthesis, special drugs, special investigations, ambulatory package, dan dental
development
jika sistem jaminan sosial ini bertujuan baik lalu mengapa masih banyak rumah
sakit yang khawatiran menghadapinya?, kekhawatiran yang timbul dalam
penerapan sistem INA CBG’s ini terletak pada beberapa hal yaitu:
Pertama, terkait dengan tarif, kekhawatiran terkait tarif adalah jika pemerintah
menetapkan premi terlalu rendah maka BPJS-pun akan membayar rendah kepada
rumah sakit, apalagi jika BPJS mengenakan tarif yang lebih rendah dengan tujuan
untuk meningkatkan keuntungannya. Hal ini tentu akan merugikan rumah sakit,
Ketiga, karena rumah sakit pemerintah diwajibkan untuk bekerja sama dengan
BPJS, maka sebagian besar rumah sakit akan menjadi peserta BPJS. Hal ini akan
menjadikan BPJS menjadi sangat kuat, sehingga akan menjadi penentu dominan
dalam penentuan kerjasama dengan rumah sakit lain yang belum bekerja sama,
karena rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS akan mengalami
tekanan bisnis yang bisa berujung kepada kebangkrutan,
Keempat, bila pembayaran klaim oleh BPJS kepada rumah sakit tidak tepat waktu.
15
Selanjutnya rumah sakit bisa mengalami kerugian dalam kerjasamanya dengan
BPJS jika:
Kedua, rumah sakit tidak memahami kode dan biaya sebenarnya dari setiap
diagnosis penyakit,
Ketiga, rumah sakit tidak memiliki Clinical Pathway minimal untuk penyakit-
penyakit yang masuk dalam kategori minimal 10 besar di rumah sakitnya
sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi tidak efisien,
Keempat, dokter terutama dokter spesialis malas mengisi rekam medis dengan
baik, sehingga diagnosa baik primer maupun sekunder tidak tertuliskan dengan
baik,
Agar bisa bekerjasama dengan BPJS maka rumah sakit perlu mempersiapkan diri
dengan baik sesuai dengan ketentuan UU rumah sakit dan akreditasi rumah sakit
terbaru (akreditasi RS 2012) atau JCI, yaitu dengan:
Menyiapkan sistem keuangan yang baik agar mampu menghasilkan informasi unit
cost.
16
Kemudian untuk menghindari kerugian hal yang dapat dilakukan oleh rumah sakit
adalah dengan perlu memperhatikan hal-hal berikut:
Sistem CODING.
Dokter dan Koder mempunyai peran yang penting dalam penerapan sistem kode
INA-CBG’s, karena diagnosa dan prosedur atau tindakan yang telah dituliskan
oleh dokter selanjutnya diberi kode yang sesuai berdasarkan pada ICD-10 & ICD
9-CM oleh CODER. Kesalahan dalam pemberian kode diagnosa dan prosedur
akan mempengaruhi klaim pelayanan kesehatan di rumah sakit .
Peran dokter di sini adalah menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan
sekunder (bila ada) sesuai dengan ICD 10. Menulis seluruh prosedur atau tindakan
yang telah dilaksanakan sesuai dengan ICD – 9CM. Dan kemudian membuat
resume medis pasien secara lengkap dan jelas selama pasien dirawat di rumah
sakit. Karenanya ketersediaan rekam medis dan resume medis yang baik menjadi
sangat penting.
Peran coder selanjutnya melakukan kodifikasi dari diagnosis dan prosedur atau
tindakan yang diisi oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD 10 untuk
diagnosa dan ICD 9 CM untuk prosedur atau tindakan
Pada keadaan adanya informasi yang dapat menunjukkan bahwa dokter salah
menulis penempatan diagnosis utama atau sekunder tidak mengikuti aturan ICD
yang benar maka rumah sakit perlu untuk (1) melakukan klarifikasi atau minta
penjelasan kepada dokter yang merawat, (2) Jika tidak mungkin gunakan
peraturan reseleksi pada ICD (volume 2 MB1 s/d MB5)
Diagnosa utama atau diagnosa primer adalah diagnosa akhir yang dipilih dokter
pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber
daya atau hari rawatan paling lama (LOS paling lama). Diagnosa sekunder adalah
diagnosa selain diagnosa utama yang muncul atau sudah ada sebelum dan selama
dirawat di rumah sakit. Diagnosa sekunder terdiri dari diagnosa penyerta
(comorbidity) dan diagnosa penyulit (complication). Permasalahan yang bisa
17
terjadi adalah diagnosa sekunder atau diagnosa penyerta & diagnosa penyulit ini
sering lupa atau tidak tertulis sehingga akan menyebabkan klaim menjadi lebih
kecil
Di sisi lain ada pula yang mendefinisikan Clinical Pathway sebagai “suatu konsep
perencanaan pelayanan terpadu yang dilakukan oleh dokter, perawat dan seluruh
komponen rumah sakit untuk membuat suatu prosedur dan diagnosa dengan
meminimalkan lama perawatan, pemakaian alat dan terapi namun tetap
memaksimalkan kualitas pelayanan” (tim RS PKU Aisyiyah Ponorogo, 2013).
18
Dari semua aktifitas pelayanan Clinical Pathway seperti visite, tindakan, obat-
obatan, alkes dan lain lain yang telah dilakukan selanjutnya diinformasikan
kepada Tim Costing, dan Tim Costing akan mengisi form Clinical Pathway sesuai
dengan tarif yang berlaku di RS, untuk membandingkan Biaya total akan dengan
Tarif INA-CBG’s.
Sistem Costing
19
Untuk itu rumah sakit perlu membentuk tim costing yang bertugas menghitung
unit cost pelayanan dengan mendasarkan perhitunganya pada Clinical Pathway
dan membandingkanya dengan tarif INA-CBG’s, tentunya dengan harapan
pendapatan total akan lebih besar daripada biaya yang telah dikeluarkan
Pertama, jika ada postensi rugi maka pasien selanjutnya akan di rujuk
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pemberlakuan BPJS 2014 janganlah
dipandang sebagai suatu ancaman, melainkan sebuah peluang bagi rumah sakit
20
untuk meningkatkan pendapatannya. Rumah sakit akan mampu bertahan hidup
jika mempersiapkan diri dengan baik asalkan mampu menjaga standar mutu dan
standar biaya, selanjutnya rumah sakit perlu memperhatikan bagaimana ketiga
pilar di yang telah disebutkan yaitu sistem coding, clinical pathway dan sistem
costing bisa dilaksanakan dengan baik yang tentunya perlu didukung dengan
kebijakan yang tepat terkait obat, alkes dan pelayanan lainnya untuk tercapainya
efisiensi, karenanya kerugian yang terjadi bisa dihindari.
21
BAB III
GAMBARAN UMUM UNIT CASEMIX
2. Misi
Menyelenggarakan pelayanan pelayanan secara komprehensif yang
meliputi :
3. Falsafah
1) Kesejahteraan karyawan rumah sakit mutlak diperhatikan atau
ditingkatkan agar terwujud kontribusi pengabdian yang tinggi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2) Kepuasan pelanggan merupakan hal utama yang harus dijadikan
sebagai dasar orientasi dalam pelayanan rumah sakit.
3) Keberhasilan misi rumah sakit hanya dapat diwujudkan melalui suatu
system yang dapat menciptakan budaya kebersamaan, keterbukaan
disertai profesionalisme yang menjunjung etos kerja yang tinggi.
4. Motto
BERTEMU KASIH : Bersih, Tertib, Bermutu dan Kasih Sayang
22
B. Struktur Organisasi
DIREKTUR
WADIR
PELAYANAN
KEPALA INSTALASI
CASEMIX
KOORDINATOR
CASEMIX
DOKTER
PENERIMA PENARIK
YANG KODER PENGENTRY
BERKAS KLAIM
MEREVISI
23
Unit casemix RS Umum Tangerang berada dibawah wakil direktur pelayanan.
Memiliki 21 orang karyawan terdiri dari
1. S1 Kedokteran 3 orang
2. S1 Umum 3 orang
3. D3 Profesi Rekam Medis 3 orang
4. D3 Umum 3 orang
5. SMA 9 orang
Penerima Koder
Verifikasi Medis
Berkas
Entry +
BPJS Tarik TXT
Grouping
Alur pelayanan pasien di rumah sakit dari bagian pendaftaran pasien rawat jalan
dan rawat inap, setelah pasien teregistrasi di data rumah sakit maka pasien akan
mendapatkan pelayanan sesuai dengan keluhan. Pelayanan medis dilakukan oleh
petugas medis dan paramedis. Petugas pemberi pelayanan medis terdiri dari para
dokter (medis), dan paramedis yaitu bidan, dan perawat. Dalam menjalankan
24
tugas para dokter, bidan dan perawat menjalankan sesuai dengan SOP atau
clinical pathway yang telah ditentukan sebagai sebuah standar pelayanan di rumah
sakit. Clinical pathway adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang
merangkum setiap langkah kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis,
standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan kesehatan lainnya
( Rivani,2009). Setiap pasien yang mendapat pelayaan medis, maka data pasien
akan tercatat pada rekam medis. Seuai dengan Permenkes No. 269/
Menkes/Per/III/2008, rekam medis merupakan suatu berkas yang berisikan catatan
dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari pengisian rekam medis adalah untuk
menunjang tercapainya tertib administrasi dalam upaya peningkatan pelayanan
kesehatan di rumah sakit (Wijono, 2000). Petugas yang bertugas dalam pencatatan
dan penyimpanan data pasien di rumah sakit adalah petugas rekam medis. Petugas
rekam medis memiliki peranan penting dalam pelaksanaan program JKN, ini
karena dalam 20 pengklaiman berdasarkan kesesuaian diagnosis dan posedur
pada tagihan dengan kode ICD 10 dan ICD 9 CM (dengan melihat buku ICD 10
dan ICD 9 CM atau softcopy-nya).Semua bagian di rumah sakit bekerja sama agar
dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien. Namun dalam
pelaksanaannya terkadang terdapat kendala, seperti mengalami kendala pencairan
klaim. Masalah ini ditemukan pada penelitian Sunarto, 2011, pada penelitian ini
kendala pencairan klaim terjadi karena harus disesuaikan dengan mekanisme
keuangan daerah (Sunarto, 2011) Pada setiap rumah sakit yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan terdapat petugas verifikator. Untuk menjalankan
tugasnya dalam melakukan verifikasi klaim, verifikator wajib memastikan
kesesuaian diagnosis dan posedur pada tagihan dengan kode ICD 10 dan ICD 9
CM (dengan melihat buku ICD 10 dan ICD 9 CM atau softcopy-nya). Ketentuan
koding mengikuti panduan koding yang terdapat dalam Juknis INA-CBGs (BPJS
Kesehatan, 2014).
Tarif INA-CBGs untuk rumah sakit pemerintah dan swasta adalah sama,
perbedaannya yaitu pada kelompok kelas rumah sakit. Oleh karena itu di era JKN
rumah sakit harus berlomba untuk meningkatkan akreditasi rumah sakitnya.
25
Dengan ditetapkannnya metode pembayaran INA-CBGs, terjadi perubahan cara
pandang dan perilaku dalam pengelolaan rumah sakit serta pelayanan terhadap
pasien. Rumah sakit dituntut untuk merubah cara pandang dari pola pembayaran
fee for service ke pembayaran INA-CBGs, 21 dari mulai tingkat manajemen
rumah sakit, dokter dan seluruh karyawan rumah sakit. Rumah sakit provider
BPJS kesehatan setelah menangani pasien peserta BPJS Kesehatan maka dapat
mengajukan klaim ke pihak BPJS Kesehatan. Pengesahan tagihan dilakukan oleh
direktur/kepala fasilitas kesehatan lanjutan dan petugas verifikator BPJS
Kesehatan. Klaim pada FKRTL diajukan secara kolektif oleh rumah sakit kepada
BPJS Kesehatan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya dengan kelengkapan
administrasi umum yang terdiri dari (BPJS, tanpa tahun):
a) Surat perintah rawat inap
b) Surat Eligibilitas Peserta (SEP).
c) Resume medis yang mencantumkan diagnosa dan prosedur serta ditandatangani
oleh dokter penanggung jawab Pelaksanaan JKN di Fasilitas Kesehatan Lanjutan
2.3.1 Beberapa upaya yang sebaiknya dilakukan rumah sakit sebagai pemberi
pelayanan
pada fasilitas kesehatan lanjutan adalah:
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014.
1) Membangun Tim Rumah Sakit
Manajemen dan profesi serta komponen rumah sakit yang lain harus mempunyai
persepsi dan komitmen yang sama serta mampu bekerja sama untuk menghasilkan
produk pelayanan rumah sakit yang bermutu dan cost efective. Bukan sekedar
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai tim semua komponen rumah
sakit harus memahami tentang konsep tarif paket, dimana dimungkinkan suatu
kasus atau kelompok CBG tertentu mempunyai 22 selisih positif dan pada kasus
atau kelompok kasus CBG yang sama pada pasien berbeda ataupun pada
kelompok CBG lain mempunyai selisih negatif. Surplus atau selisih positif pada
suatu kasus atau kelompok CBG dapat digunakan untuk menutup selisih negatif
pada kasus lain atau kelompok CBG lain (subsidi silang). Sehingga pelayanan
rumah sakit tetap mengedepankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
26
2) Meningkatkan Efisiensi
Efisiensi tidak hanya dilakukan pada sisi proses seperti penggunaan sumber daya
farmasi, alat medik habis pakai, lama rawat, pemeriksaan penunjang yang
umumnya menjadi area profesi tetapi juga pada sisi input seperti perencanaan dan
pengadaan barang dan jasa yang umumnya menjadi area/tanggung jawab
manajemen. Sisi proses umumnya lebih menekankan pada aspek efektifitas
sedangkan sisi input umumnya lebih menekankan aspek efisiensi. Keduanya
harus mampu berinteraksi untuk menghasilkan produk pelayanan yang cost
effective. Sisi proses dalam hal melakukan efisiensi juga harus mampu
mengurangi atau bahkan menghilangkan pelayanan yang berlebih dan tidak
diperlukan (over treatment dan atau over utility). Seperti penggunaan/pemilihan
obat yang berlebihan dan pemeriksaan penunjang yang tidak selektif dan tidak
kuat indikasinya. Efisiensi juga harus dilakukan pada biaya umum seperti
penggunaan listrik, air, perlengkapan kantor dan lain-lain. Inefisiensi pada sisi
input maupun proses akan berpengaruh pada ongkos/biaya produksi pelayanan
rumah sakit yang mahal.23
3) Memperbaiki Mutu Rekam Medis
Tarif INA-CBGs sangat ditentukan oleh output pelayanan yang tergambar pada
diagnosis akhir (baik diagnosis utama maupun diagnosis sekunder) dan prosedur
yang telah dilakukan selama proses perawatan. Kelengkapan dan mutu dokumen
rekam medis akan sangat berpengaruh pada koding, grouping dan tarif INA-
CBGs.
4) Memperbaiki Kecepatan dan Mutu Klaim
Kecepatan dan mutu klaim akan mempengaruhi cash flow rumah sakit.
Kecepatan klaim sangat dipengaruhi oleh kecepatan penyelesaian berkas rekam
medis. Sehingga rumah sakit harus menata sistem pelayanan rekam medis yang
baik agar kecepatan dan mutu rekam medis bisa memperbaiki dan meningkatkan
cash flow rumah sakit.
5) Melakukan Standarisasi
Perlu terus dibangun standard input dan proses di tingkat rumah sakit. Standard
input misalnya farmasi, alat medik habis pakai. Perlu dibuat formularium rumah
sakit (perencanaan), perlu dibuat standar pengadaan obat rumah sakit (e-katalog
27
dan atau lelang), standar penulisan resep misal dokter hanya menulis nama
generik sedangkan obat yang diberikan berdasar hasil/perolehan pengadaan.
Standar proses misalnya PPK/SPO dan atau clinical pathway.
Keputusan/penetapan standar proses akan sangat berpengaruh pada pembuatan
keputusan pada standar input. 24
6) Membentuk Tim Casemix/Tim INA-CBG Rumah Sakit
Tim Casemix/Tim INA-CBGs rumah sakit akan menjadi penggerak membantu
melakukan sosialisasi, monitoring dan evaluasi implementasi INA-CBGs di
rumah sakit.
7) Memanfaatkan Data Klaim
Data INA-CBGs rumah sakit dapat digunakan/dimanfaatkan tidak hanya untuk
klaim tetapi juga dapat digunakan untuk menilai performance rumah sakit dan
performance SDM khususnya profesi dokter. Data INA-CBGs bisa juga
digabungkan dengan data HIMS (Health Information Management System)
bahkan bisa dibandingkan dengan rumah sakit lain yang sekelas. Jadi data INA-
CBGs dan data klaim dapat digunakan sebagai bahan untuk pengambilan
keputusan/kebijakan tingkat rumah sakit.
8) Melakukan Review Post-Claim
Review post-claim yang dilakukan secara berkala sangat penting dalam
menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian biaya dan mutu dalam
pelayanan yang akan diberikan. Idealnya kegiatan review ini melibatkan seluruh
unit yang ada di rumah sakit baik manajemen, tenaga profesional, serta unit
penunjang maupun pendukung dan dilakukan dengan data yang telah dianalisis
oleh tim casemix rumah sakit.
9) Pembayaran Jasa Medis
Perubahan metode pembayaran rumah sakit dengan metode paket INA-CBGs
sebaiknya diikuti dengan perubahan pada cara pembayaran jasa medis.
Pembayaran jasa medis sebaiknya disesuaikan dengan menggunakan sistem
remunerasi berbasis kinerja. 25
10) Untuk masa yang akan datang diharapkan seluruh rumah sakit provider JKN
bisa berkontribusi untuk mengirimkan data koding dan data costing sehingga
dapat dihasilkan tarif yang mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit.
28
2.3.2 Hal-hal yang perlu dihindari rumah sakit terkait pelaksanaan JKN
Implementasi INA-CBG sebaiknya dilakukan dengan benar dan penuh
tanggunggung jawab dari semua pihak. Sebaiknya rumah sakit tidak melakukan
hal-hal dibawah ini:
1) Merubah atau membongkar software
2) Menambah diagnosis yang tidak ada pada pasien yang diberikan pelayanan
untuk tujuan meningkatkan tingkat keparahan atau untuk tujuan mendapatkan
grouping pada kelompok tarif yang lebih besar.
3) Menambah prosedur yang tidak dilakukan atau tidak ada bukti pemeriksaan
untuk tujuan mendapatkan grouping pada kelompok tarif yang lebih besar.
4) Melakukan input diagnosis dan prosedur hingga proses grouping berkali-kali
dengan tujuan mendapatkan kelompok tarif yang lebih besar.
5) Upcoding, yaitu memberikan koding dengan sengaja dengan tujuan
meningkatkan pembayaran ke rumah sakit.
6) Melakukan manipulasi terhadap diagnosis dengan menaikkan tingkatan jenis
tindakan. Misalnya : appendiectomy tanpa komplikasi ditagihkan sebagai
appendiectomy dengan komplikasi, yang memerlukan operasi besar sehingga
menagihkan dengan tarif yang lebih tinggi.
7) Memberikan pelayanan dengan mutu yang kurang baik. Misalnya:
memperpendek jam pelayanan poliklinik, pelayanan yang bisa diselesaikan
26dalam waktu satu hari dilakukan pada hari yang berbeda, tidak melakukan
pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan, tidak memberikan obat yang
seharusnya diberikan, serta membatasi jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah
sakit untuk peserta JKN. Dalam proses pembentukan tarif INA-CBGs dilakukan
pengumpulan data keuangan secara agregat sehingga analisa kecukupan tarif juga
harus menggunakan data agregat, tidak bisa lagi melihat kasus per kasus yang rugi
atau untung, yang perlu dilihat adalah secara agregat pendapatan rumah sakit, hal
ini dikarenakan dalam tarif INACBGs yang terdiri dari 1077 group tarif berlaku
sistem subsidi silang antar group yang ada.
29
2.4 Simple Kellog Logic Model
Dalam penelitian menggunakan kerangka konsep dari Simple Kellogg Logic
Model. Logic model merupakan suatu cara yang sistematis dan visual untuk
menyajikan hubungan antara sumber daya yang dimiliki dalam menjalankan suatu
program, kegiatan yang akan dilaksanakan, serta perubahan atau hasil yang ingin
dicapai. Metode ini bermanfaat untuk menunjang mulai dari tahap perencanaan,
implementasi, hingga tahap evaluasi program. Pengembangan logic model
bermanfaat untuk meningkatkan dan menciptakan keselarasan pemahaman
evaluator akan program yang dievaluasi. Hal inilah yang akan mengevaluasi
sejauh mana kontribusi input dalam mencapai tujuan, sehingga dapat dilihat
tingkat kesuksesan suatu program yang sedang berjalan (Kellog, 2004).
Komponen dasar dari logic model ialah komponen input, activities, output,
outcome, dan impact. Komponen input merupakan sumber daya yang digunakan
dalam suatu program. Sumber daya tersebut terdiri dari 6M yaitu manusia (man),
uang (money),sarana (material), metode (method), dan pasar (market) (Kellog,
2004). Man27(SDM), dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling
menentukan. Manusia yang membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan
proses untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab
pada dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Money (uang), yang merupakan
salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat tukar dan alat
pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat diukur dari jumlah uang yang
beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang merupakan alat (tools) yang
penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara
rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan
untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli
serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi.Materials (bahan),
materi terdiri dari bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi. Dalam
dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam
bidangnya juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu
sarana. Sebab materi dan manusia tidak dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan
tercapai hasil yang dikehendaki. Machines (mesin), dalam kegiatan perusahaan,
mesin sangat diperlukan. Penggunaan mesin akan membawa kemudahan atau
30
menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja.
Methods (metode), dalam pelaksanaan kerja diperlukan metode-metode kerja.
Suatu tata cara kerja yang baik akan memperlancar jalannya pekerjaan. Sebuah
metode dapat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan kerja suatu tugas
dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan kepada sasaran,
fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang dan kegiatan
usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang
melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka
hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama 28dalam
manajemen tetap manusianya sendiri. Market (pasar), memasarkan produk sudah
barang tentu sangat penting sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka
proses produksi barang akan berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan
berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil
produksi merupakan faktor menentukan dalam perusahaan. Agar pasar dapat
dikuasai maka kualitas dan harga barang harus sesuai dengan selera konsumen
dan daya beli (kemampuan) konsumen.Komponen activities merupakan seluruh
proses atau kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan suatu program.
Komponen output merupakan produk langsung yang dihasilkan dari pelaksanaan
kegiatan. Komponen outcome merupakan perubahan spesifik yang terjadi baik
itu dalam hal perilaku, pengetahuan, keterampilan, status maupun tingkatan fungsi
terkait dengan pelaksanaan program. Sementara komponen impact merupakan
perubahan akhir yang diinginkan sebagai hasil dari kegiatan program
(Kellogg,2004).
31
3. Petugas koding / indexing memberi kode penyakit menggunakan ICD X dan
tindakan ( bila ada ) menggunakan ICD 9 CM pada dokumen rekam medis ( RM 1
), dan menginput di komputer.
4. Petugas koding / indexing menginput juga pada kolom diagnosis nama dokter
penanggung jawab di kolom dokter dan pilih spesialisasinya, input juga nama
dokter lain sebagai konsultan dari DPJP.
5. Petugas koding / indexing mengisi tanggal, jam, dan sebab kematian bila pasien
meninggal, input perinatal bila pasien bayi baru lahir, input rujukan bila pasien
datang karena rujukan.
6. Petugas koding / indexing memberikan dokumen rekam medis pada petugas
assembling.
32
33
BAB IV
34
2. S (Seriusness )
Apakah permasalahan tersebut perlu penanganan serius.
3. G (Growth )
Apakah jika tidak ditangani akan semakin berdampak luas dan
besar.
NO MASALAH U S G NILAI
1. Kelengkapan rekam medik untuk 3 3 3 9
penagihan masih belum lengkap.
2. SOP di instalasi casemix belum tersedia. 2 2 2 6
3. Pengontrolan tentang kendali mutu dan 3 3 5 11
biaya belum maksimal.
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode USG dapat diketahui bahwa
prioritas masalah yang harus diselesaikan terutama adalah pengontrolan tentang
kendali mutu dan biaya belum maksimal, hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan
kurang maksimalnya pengontrolan biaya tariff RS dengan biaya INACBG,s maka
system kendali mutu dan biaya di RSU Kabupaten Tangerang belum maksimal,
hal ini juga mengedepankan mutu RS.
35
1.3 PENENTUAN AKAR PERMASALAHAN
Gambar 4.1
Diagram fishbone
Ketidak-
efisienan
dalam
MAN METODE
Semua tenaga belum SOP yang belum ada kendali mutu
mempunyai sertifikat pelatihan
dan kendali
casemix sehingga belum
semua mengusai tentang biaya
kendali mutu dan kendali
biaya
36
Hasil penelusuran masalah dan penyebabnya didapatkan beberapa
alternative pemecahan masalah, yaitu :
Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi.
Dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia yang
membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai tujuan.
Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia adalah
makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya orang-orang
yang bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Methode adalah suatu tata cara kerja untuk mencapau tujuan secara
efisien.Mehtode diperlukan agar dalam pemanfaatan sumber yang diperlukan bagi
terlaksananya kegiatan managemen tidak terjadi kemacetan dan
pemborosan.Sebuah metode saat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan
kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan
kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang
dan kegiatan usaha.
37
b. Meminimalisasi variasi dan kesalahan dalam suatu prosedur operasional
kerja.
c. Mempermudah dan menghemat waktu dan tenaga
d. Menyamaratakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh semua pihak.
5.3. Material
Material merupakan unsur yang tidak kalah penting dalam suatu
managemen,masalah yang terkait dengan unsur ini terdiri dari bahan setengah jadi
(raw material) dan bahan jadi. Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang
lebih baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat
menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Sebab materi dan
manusia tidak dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan tercapai hasil yang
dikehendaki.
38
1.4. Environment (Lingkungan )
Berdasarkan pedoman teknis bangunan Rumah sakit kelas B, Direktorat
Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI : Tentang kebutuhan ruang,fungsi dan luasan ruang serta kebutuhan pada ruang
rawat jalan dll.
5.5. Machine
39
g. Efisiensi kerja karyawan menjadi meningkat karena beberapa proses rutin
seperti pembuatan laporan atau perhitungan-perhitungan dilakukan secara
otomatis dan cepat. Dengan demikian karyawan lebih bisa berkonsentrasi
kepada hal-hal yang bersifat stratgis.
Maka disarankan :
40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemotretan dalam residensi dapat diambil kesimpulan
bahwa :
a. Mengetahui bahwa Unit Casemix merupakan salah satu bagian terpenting
dalam pelayanan di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang, karena
merupakan tim pengendali mutu dan biaya RSU Kabupaten Tangerang.
b. Mengetahui alur pengclaiman dalam penagihan pasien JKN.
c. Dari hasil residensi dengan pengamatan (observasi), wawancara, studi
kepustakaan maka dapat mengidentifikasikan permasalahan yang ada di Unit
Casemix Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang serta dapat memberikan
masukan maupun saran bagi Rumah Sakit.
6.2 SARAN
Agar Unit Casemix dapat menjadi tim pengendali dan biaya pada pasien
JKN , disarankan Untuk :
a. Adanya kebijakan dan SPO di Unit Casemix sehingga yang ada dibawah
Unit tersebut dapat menjalankan apa yang sudah disepakati dan sudah
disosialisasikan di RSU Kabupaten .
b. Dari hasil identifikasi masalah yang ada di unit casemix,selain dari SDM
(Man) maupun tata cara(Methode) seperti dijelaskan diatas, hal lain yang
harus dibenahi adalah faktor lingkungan (environment) yaitu membuat
SOP yang ada di bawah unit Casemix. Hal tersebut akan memudahkan
pelayanan maupun sebagai standar dalam menentukan kebijakan Rumah
Sakit.
41
DAFTAR KEPUSTAKAAN
42