Anda di halaman 1dari 4

DISKUSI

Gejala yang muncul pada pasien ini berupa gejala infeksi umum yaitu demam dan
penurunan nafsu makan, disertai gejala gangguan respiratori yaitu batuk dan sesak nafas.
Berdasarkan anamnesis tidak ditemukan kemungkinan sumber infeksi lain. Sehingga
kemungkinan pada pasien ini terjadi infeksi pada saluran respirasi, khususnya di saluran
respirasi bawah karena gejala respirasi yang muncul bukan hanya batuk, tetapi juga sesak
nafas. Maka diagnosis banding untuk kasus ini diantaranya pneumonia, bronkiolitis, dan
asma bronkial yang disertai infeksi. Menurut teori, asma didefinisikan sebagai wheezing
dan/atau batuk dengan karakteristik timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada
malam hari atau dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas
fisik, bersifat reversible serta adanya riwayat asma atau topik lain pada pasien atau
keluarganya. Berdasarkan anamnesis, sesak nafas timbul mendadak (akut) dan dialami
pertama kali, tidak ada riwayat adanya faktor pencetus sebelum timbulnya sesak, baik itu
aktivitas fisik maupun makanan yang baru diperkenalkan.Tidak ditemukan riwayat alergi
ataupun riwayat asma pada pasien ataupun keluarga pasien. Sehingga diagnosis banding
asma bronkial sementara dapat dieksklusi.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tanda gangguan respiratori yang menonjol. Dari
pemeriksaan head to toe, tidak ditemukan sumber infeksi lain. Tanda gangguan respiratori
yang ditemukan pada pasien meliputi terdapatnya nafas cepat, retraksi subkostal, suara
nafas bronkial di kedua lapang paru, penurunan suara nafas utama, dan terdapatnya suara
nafas tambahan berupa rhonki basah halus di lapang paru atas, tengah, dan bawah, di
kedua lapang paru dextra dan sinistra. Menurut teori, tanda yang ditemukan pada
pneumonia adalah demam tinggi, dispnea, inspiratory effort ditandai dengan takipnea,
retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung, dan sianosis. Gerakan dinding thoraks dapat
berkurang pada daerah yang terkena, disertai perkusi yang normal atau redup. Pada
pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras,
suara nafas tambahan berupa rhonki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Pneumonia dapat menyerang semua umur, dan dapat disebabkan oleh mikroorganise (virus,
bakteri, jamur) atau dari proses lain (aspirasi, dll). (1, 7) Sedangkan bronkiolitis adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus, terutama virus RSV, yang banyak menyerang anak di
bawah usia 12 bulan (25%) dan 1-2 tahun (13%), dengan gejala awal demam sumer-sumer,
pilek, dan hidung tersumbat selama masa inkubasi, lalu setelah 2-5 hari infeksi berkembang
dari jalan nafas atas ke jalan nafas bawah, dan menyebabkan munculnya batuk, sesak
nafas, wheezing, dan kesulitan makan. (2) Pada kasus ini, usia pasien adalah 2 tahun 4
bulan, dimana usia di atas 2 tahun sudah jarang ditemukan kasus bronkiolitis. Seain itu,
pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya wheezing. Dengan melihat usia pasien serta
hanya ditemukannya rhonki tanpa adanya wheezing, maka diagnosis lebih mengarah ke
pneumonia.

Untuk lebih memastikan diagnosis, maka dilakukan pemeriksaan penunjang berupa


foto thoraks. Dari hasil foto thoraks, terdapat konsolidasi luas di parahilus dextra dan
sinistra, dengan kesimpulan pneumonia luas bilateral. Hasil foto thoraks ini menguatkan
gejala dan tanda klinis bahwa diagnosis pasien ini adalah pneumonia. Pneumonia dikenal
dalam 2 bentuk, yaitu pneumonia masyarakat (Community-acquired pneumonia {CAP}) dan
pneumonia nosokomial. Pneumonia masyarakat bila infeksinya terjadi di masyarakat,
sedangkan pneumonia nosokomial bila infeksinya didapat di RS setelah rawat inap selama
48 jam. (1) Berdasarkan anamnesis, pada pasien ini tidak terdapat riwayat rawat inap di
rumah sakit/puskesmas sebelum timbul gejala, sehingga pada pasien ini kemungkinan
adalah pneumonia masyarakat.

Penyebab pneumonia bisa dari mikroorganisme (virus, bakteri, jamur) atau aspirasi.
Pada pasien ini, tidak terdapat riwayat tertelan benda asing atau muntah-muntah sebelum
tiba-tiba muncul gejala sesak nafas. Selain itu, pada pasien didapatkan gejala demam yang
merupakan penanda infeksi. Sehingga penyebab pneumonia pada pasien ini dapat
dikerucutkan antara virus atau bakteri.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan data bahwa gejala pada
pasien bersifat akut, disertai dengan sesak nafas dan batuk produktif, demam, dengan hasil
pemeriksaan darah dari puskesmas saat pasien pertama kali berobat, didapatkan jumlah
leukosit meningkat yaitu 21.500, dan hitung jenis neutrofil mendominasi yaitu 83,1%, dengan
limfosit 11,5% dan monosit 5,4%, dan trombosit 283.000 Berdasarkan teori, awitan
pneumonia bakterialis biasanya cepat. Pada bayi dan anak usia muda, gejala batuk dan
demam ringan, serta pada pemeriksaan fisik kelainan yang didapat juga ringan. Pada anak
yang lebih besar, gejala pneumonia bakterialis lebih jelas, yaitu anak demam tinggi,
menggigil, batuk produktif, dan nyeri di dada akibat pleuritis. Pada pemeriksaan
laboratorium, didapatkan leukosit meningkat. Sedangkan pada pneumonia virus, awitan
berjalan lambat, dengan gejala batuk kering, kasar, demam yang tidak terlalu tinggi,
biasanya anak tidak terlihat toksik kecuali telah terjadi superimposed infeksi bakteri. Pada
infeksi virus, mialgia merupakan gejala yang menonjol, sedangkan kelainan pemeriksaan
fisik minimal. (9) Dengan membandingkan kasus dengan teori di atas, maka pada pasien
penyebabnya lebih mengarah ke pneumonia bakterial. Perlu dipetimbangkan pula bahwa
pasien merupakan rujukan dari puskesmas. Saat diperiksa darah di RS, hasil leukosit
menurun menjadi 5.700 dengan hitung jenis neutrofil 46,9%, limfosit 38,1 %, monosit 15%,
dan nilai trombosit 571.000. Hal ini kemungkinan disebabkan karena di puskesmas telah
diberi terapi antibiotik injeksi ceftriaxone dengan rentang dosis minimal yaitu 50mg/kgBB
dibagi menjadi 2 dosis, yaitu 2x250mg. Sehingga kemungkinan terapi antibiotik tersebut
yang menyebabkan penurunan nilai leukosit dan neutrofil.

Pada hasil pemeriksaan foto thoraks, didapatkan hasil konsolidasi luas di parahilus
dextra dan sinistra, dengan kesimpulan pneumonia luas bilateral. Menurut teori, pneumonia
bakterialis sering menyebabkan konsolidasi pada segmen atau lobus paru dan terdapat air-
bronchogram. Gambaran radiologis lain yang sering ditemukan adalah infiltrat patchy
(menyebar) atau menyerupai kapas (fluffy). Secara umum, gambaran foto thoraks yang
disebabkan oleh bakteri dibagi menjadi 2 macam, yaitu bentukan lobar pneumonia yang
memperlihatkan gambaran air-bronchogram yang mengisi lobus paru, dan gambaran
bronkopneumonia yang memperlihatkan gambaran air bronchogram yang tersebar atau
patchy. Bila pada pemeriksaan radiologis ditemukan efusi pleura, abses paru, atau terbentuk
formasi pneumatokel, infeksi lebih mengarah pada bakterialis daripada virus. Sedangkan
untuk infeksi virus, pada foto thorax biasanya memperlihatkan kelainan bilateral dengan
progresifitas atau resolusi yang lambat. Gambaran foto thoraks pada infeksi virus bervariasi
dari hanya berupa overaerasi paru dengan lapangan paru bersih seperti pada bronkiolitis,
infiltrat perihilar peribronkial tanpa atau dengan atelektasis, sampai infiltrat retikulonodular
atau hazy lung. Infeksi virus dapat pula menyebabkan gambaran pencitraan berupa
interstisial pneumonia, yaitu merupakan proses inflamasi di interstisium (connective tissue of
alveoli). (8) Pada pasien ini didapatkan konsolidasi luas yang lebih mengarah pada
penyebab bakterial, tetapi konsolidasi tersebut terletak di perihilar yang lebih mengarah
pada infeksi virus. Sudut kostofrenikus dextra dan sinistra pada gambaran foto thorax pasien
pun tampak tajam, yang menggambarkan tidak ditemukannya efusi pleura. Namun perlu
dipertimbangkan pula bahwa gambar yang terlihat adalah kondisi saat foto diambil, karena
perjalanan penyakit pneumonia bersifat dinamis. Jadi, dari hasil pemeriksaan foto thoraks
pada pasien ini, tidak bisa diambil kesimpulan yang pasti apakah penyebabnya dari bakteri
atau virus. Akurasi foto thoraks dalam memprediksi etiologi pneumonia bervariasi (42-73%).
(8)

Faktor resiko munculnya pneumonia pada pasien ini tidak terlalu jelas. Usia pasien
ini adalah 2 tahun 4 bulan. Menurut teori, pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumonia, Haemophillus
influenzae tipe B, dan Staphylococcus Aureus. (1) Data yang didapat dari anamnesis
menunjukkan bahwa pasien melakukan imunisasi lengkap di bidan puskesmas, kecuali
campak, karena saat akan diimunisasi campak pasien sedang sakit. Berarti dapat
diasumsikan bahwa vaksinasi yang sudah diterima pasien kemungkinan adalah hepatitis B0,
BCG, polio, dan DPT-HB-HiB. Pada pasien ini sudah mendapat vaksinasi HiB, sehingga
kemungkinan penyebabnya bukan dari Haeophillus influenzae tipe B. Sedangkan dari foto
thorax tidak ditemukan adanya bentukan abses maupun pneumatokel yang khas pada
infkesi Staphylococcus Aureus. Sehingga kemungkinan besar penyebab pneumonia pada
pasien ini akibat Streptococcus pneumonia. Imunisasi untuk Streptococccus pneumonia
(prevnar 13) tidak termasuk dalam program pemerintah, sedangkan pasien ini imunisasinya
hanya di bidan puskesmas, hal ini semakin meningkatkan kemungkinan bahwa infeksinya
berasal dari Streptococcus pneumonia. Sumber penularannya tidak diketahui, karena
berdasarkan anamnesis tidak ada riwayat keluarga pasien yang sedang sakit maupun
batuk-batuk saat sedang di rumah, tetapi ditemukan fakta bahwa ayah pasien adalah
seorang perokok aktif. Menurut teori, merokok dapat menurunkan fungsi sistem pertahanan
jalan nafas diantaranya menurunkan fungsi sistem mukosiliar dan dapat meningkatkan
sekresi mukus. Selain itu, zat aktif rokok dapat menempel di pakaian. Sehingga adanya
fakta bahwa ayah pasien adalah seorang perokok aktif, ditambah pasien yang tidak pernah
mendapat imunisasi untuk streptococcus penumonia, maka dapat diasumsikan bahwa
pasien rentan untuk tertular infeksi dari bakteri streptococcus pneumonia.

Pasien merupakan rujukan dari puskesmas. Pasien telah dirawat di puskemas


selama 3 hari, lalu dirujuk ke RS Wonolangan karena sesak nafas tidak membaik. Terapi
yang diberikan di puskesmas adalah O2 nasal canul 4 lpm, infus kaen3b, antibiotik injeksi
ceftriaxone 2x250mg, inj dexamethasone 3x1/3 amp, dan nebul ventolin. Berdasarkan
perhitungan, dokter di puskesmas memberikan dosis ceftriaxone 50mg/kgBB dibagi menjadi
2 dosis. Ini merupakan rentang dosis minimal untuk ceftriaxone untuk infeksi ringan.

Saat tiba di IGD, didapatkan pasien tampak sesak dengan frekuensi nafas pasien
40x/menit (kriteria WHO untuk takipnea pada anak usia 12-59 bulan adalah lebih dari atau
sama dengan 40x/menit [2]), dengan disertai retraksi subkostal dan rhonki basah halus di
lapang paru dextra dan sinistra, dengan saturasi oksigen 92% (perlu suplementasi oksigen),
riwayat muntah setiap minum obat (perlu obat-obatan parenteral), dan riwayat sesak nafas
yang tidak kunjung membaik dengan pengobatan dari puskesmas. Maka berdasarkan data
tersebut, pasien memiliki indikasi untuk dirawat inap di rumah sakit. (5,7)
Menentukan penyebab pneumonia bakterialis atau virus dengan hanya
menggunakan foto thoraks tidaklah mungkin. Berdasarkan adanya gambaran radiologis dan
gejala klinis, dapat membantu klinikus memperkirakan penyebab pneumonia. (8)

Apapun penyebabnya, karena kesulitan konfirmasi penyebab pasti pneumonia,


sementara penyakit ini berpotensi menyebabkan kematian, maka dalam praktek klinik
sehari-hari, dianggap penyebabnya adalah bakteri, dan antibiotik diberikan secara empiris.
Pemberian antibiotik pada pneumonia dapat diterima secara rasional berdasarkan berbagai
pertimbangan di atas. Berbeda dengan pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus
infeksi respiratori atas akut yang sebagian besar hanya berupa common cold. Seperti kita
ketahui, etiologi common cold adalah virus, sementara penyakitnya sendiri tidak berpotensi
kematian. (5)

Semua pneumonia dianggap karena bakteri sehingga pemberian antibiotik


merupakan terapi utama sebagai terapi kausal. Bila dari segi pembiayaan memungkinkan
dan fasilitias tersedia, lakukan biakan darah sebelum pemberian antibiotik. Bila
penyebabnya adalah virus, maka penyakitnya akan membaik secara klinis sesuai dengan
perjalanan waktu. Bila penyebabnya bakteri, dan antibiotik yang kita berikan tepat sasaran,
makan dapat kita harapkan terjadinya perbaikan klinis dan parameter infeksi laboratorium
dalam waktu yang tidak terlalu lama. (5)

Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak


tersedianya uji mikroobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan
pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan
etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidemiologis. (5)

Pilihan antibiotik lini pertama untuk pneumonia komunitas tanpa komplikasi adalah
amoksisilin dosis tinggi, yang dapat mengatasi streptococcus pneumonia. Pada kasus ini,
pasien diberikan ceftriaxone 2x500mg. Kemungkinan pertimbangannya adalah pada pasien
ini sebelumnya telah diterapi dengan injeksi ceftriaxone selama 3 hari di puskesmas, dan
terdapat perbaikan dari parameter laboratorium dimana leukosit yang awalnya 21.500
menurun menjadi 5.700, dan hitung jenis neutrofil yang awalnya 83,1% menurun menjadi
46,9%. Selain itu, menurut teori, pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang dirujuk
dari RS lain lebih dari 72 jam, pilihan antibiotikanya diantaranya seftriakson 100mg/kg/hari
intravena dibagi dalam 2 dosis.

Bronkodilator (ventolin) dari puskesmas tidak dilanjutkan karena patofisiologi


pneumonia bukan akibat bronkospasme, sehingga tidak berespon terhadap bronkodilator.

Pada pasien ini juga diberikan obat batuk sanadryl expectoran dan nebul bisolvon
untuk membantu pasien mengeluarkan dahak karena pada anak-anak masih belum bisa
batuk secara efektif.

Pada pasien ini juga diberikan injeksi paracetamol sebagai antipiretik dan injeksi
dexamethasone sebagai anti inflamasi. Menurut teori, spekulasi pertimbangan alasan
penggunaan antiinflamasi adalah bahwa agen antimikroba yang ada saat ini, yang ditujukan
untuk membunuh organisme invasif, dapat memperburuk kaskade inflamatori akibat
organisem yang mati dapat mengeluarkan komponen metabolik dan struktural proinflamasi
ke lingkungan sekitarnya. (2)

Anda mungkin juga menyukai