PENGOBATAN
Abstrak: infeksi saluran kemih (ISK) umum terjadi lebih banyak pada populasi wanita. Telah
diperhitungkan bahwa sekitar sepertiga dari wanita dewasa mengalami sebuah episode gejala
cystitis setidaknya sekali. Hal ini juga menyebabkan suatu episode yang berulang. Jika faktor
predisposisi tidak diidentifikasi dan dihapus, ISK dapat mengakibatkan konsekuensi yang
lebih serius, kerusakan tertentu pada ginjal dan gagal ginjal. Tujuan dari tinjauan ini adalah
untuk menganalisis faktor lain yang umumnya berkorelasi dengan ISK pada wanita, dan
untuk melihat solusi yang memungkinkan yang bisa digunakan saat ini pada area dokter
umum dan area spesialis, seperti halnya mereka yang masih diselidiki. Pemahaman yang
baik tentang faktor patogenik mungkin berkontribusi terhadap perkembangan ISK dan
terjadinya rekurens ( berulang) yang akan membantu dokter umum untuk menganamnesis
pasien, mencari penyebab yang belum ditemukan, dan untuk mengidentifikasi strategi terapi
yang benar.
ETIOLOGI
Faktor penting virulensi yang lain adalah tipe 1 fimbriae. Hal Ini sangat penting dalam
mekanisme adhesi bakteri ke uroepithelium. Mereka terdiri dari beberapa subunit, yang
terpenting adalah protein adhesi yang dikenal sebagai FimH dimana memainkan peran utama
dalam mekanisme patogenik E. coli pada tingkat saluran kemih. Dimediasi dengan invasi
kedua selular E. coli dan adhesi yang mengandung mannose glycoproteins. Dalam vivo dan
penelitian secara in vitro telah menunjukkan bahwa pathogenisitas E. coli terutama terkait
dengan mekanisme kolonisasi dan invasi dari epitel kandung kemih dan kemampuan untuk
membentuk komunitas bakteri intraseluler. FimH memungkinkan uropathogenic E. coli untuk
melarikan diri sebagai respon imun bawaan dengan internalisasi dalam sel-sel urothelial,
dimediasi oleh aktivasi host casacada transduksi sinyal melalui protein tirosin siklin, kinase
phosphoinositide-3, dan aktivitas penyusunan kembali host lokal cytoskeletal.
S. saprophyticus adalah patogen ISK yang umumnya berada pada perempuan usia
muda. S. Saprophyticus dilaporkan melakukan kolonisasi pada rektum ,ke tingkat yang lebih
rendah, dan bagian kecil pada rahim dan uretra. E. coli merupakan organisme utama yang
bertanggung jawab untuk terjdainya ISK nosokomial , tapi patogen gram-negatif lainnya,
termasuk Pseudomonas spp, Enterobacter spp, Serratia spp, Citrobacter spp, dan urease yang
memproduksi Klebsiella spp, Proteus spp, urealyticum Corynebac-terium, dan Providencia
spp juga terlibat dalam jenis infeksi . Mereka sering terlibat dalam ISK nosokomial karena
ketidakmampuan antibiotik untuk menembus ke dalam area sekitar biofilm yang terbentuk
dan dalam infeksi yang menular. Bakteri gram-positif, termasuk Enterococcus spp dan
Staphylococcus spp, dapat menyebabkan ISK nosokomial karena terjadi tekanan selektif
dari para agen antimikroba pada pasien rawat-inap. Bakteri anaerobik juga dijelaskan dalam
ISK, tapi peran mereka tidak bisa didefinisikan secara jelas .
Selain itu terdapat juga peningkatan ISK yang disebabkan oleh jamur seperti Candida
spp, dan pada tingkat yang lebih rendah, Aspergillus spp dan Cryptococcus neoformans.
Dalam satu studi, Candida spp positif ditemukan pada 5% dari urin spesimen dari rumah
sakit umum dan di 10% dari tingkat pusat perawaran level tersier.Hampir sebagian UTI
disebabkan oleh Candida spp terkait dengan penggunaan indwelling urinary devices ,
termasuk Foley kateter, stent internal, dan percutaneous saluran nefrostomi. Penderita
diabetes khususnya rentan terhadap ISK jamur .Normalnya infeksi jenis ini didapatkan oleh
pasien dengan neutropenia yang parah , penyalahgunaan obat, riwayat operasi (dada, perut),
dan infeksi sistemik.
RESPON IMUN
FAKTOR RISIKO
Mekanisme utama pertahanan terhadap agen infeksius dalam saluran kemih terletak
pada respon imun bawaan. Adanya model hewan telah berhasil mengidentifikasi
subkelompok tseperti reseptor sebagai effectors utama di jalur respon kepada agen berbahaya
tractus uinarius. pengikatan antigen merupakan kunci dari strain patogen, seperti yang terjadi
dengan P fimbriae dan tipe 1 fimbriae untuk uropathogenic E. coli, mengaktifkan proses
signal adanya cascade, menuju produksi sitokin, termasuk interleukin (Il)-6, IL-8, dan tumor
nekrosis factor. Mekanisme yang sama tidak diaktifkan terhadap faktor penentu jalur non
patogen , meningkatkan kemungkinan bahwa terdapat mekanisme yang mengatur dalam
mengaktifkan tingkat toleransi untuk symbionts. Berkaitan dengan adanya ISK berulang,
subkelompok seperti reseptor, yaitu, TLR-4, diselidiki dan terbukti memainkan peran penting
dalam respon host untuk uropathogens. Tikus sebagai model eksperimental dan anak-anak
yang tidak mengungkapkan TLR-4 telah terbukti mengindikasikan kurangnya respons untuk
uropathogenic strain E. coli, mengakibatkan pengembangan asimtomatik bacteriuria,
Sementara orang-orang dengan ekspresi yang agak berkurang terhadap TRL-4 cenderung
terjadi perkembangan bacteriuria asimtomatik setelah gejala episode pertama UTI.
Setelah mengikat uropathogens untuk reseptor, sitokin utama yang terlibat dalam
respon IL-8, yang berikatan dengan reseptor CXCR-1 pada membrane plasma neutrofil.
CXCR1 akan melakukan mediasi migrasi dari uropathogens melalui dinding urothelial,
mengarah ke pyuria, yaitu, adanya nanah secara mikroskopik dalam urin. Tingkat IL-8
dalam darah telah dibuktikan berkorelasi positif dengan jumlah neutrofil ditemukan dalam
urin selama infeksi.
CXCR1 juga telah disarankan memainkan peran dalam individu yang rentan terkena
ISK berulang. Secara khusus, kecenderungan anak dengan tingkat reseptor-reseptor yang
rendah ini untuk terjadinya kekambuhan pielonefritis telah ditetapkan . Adanya polimorfisme
CXCR1, dan penelitian yang sedang dilakukan untuk melihat apakah varian kualitatif terkait
rentanya dalam terkena ISK berulang, dengan kemungkinan genetik dominan atau transmisi
resesif.
STRUKTUR ANATOMI
Faktor anatomi dan perubahan juga memainkan peran penting dalam patogenesis ISK
pada wanita. Uretra yang pendek dan dekat dengan anus membuat bakteri mudah masuk
dalam saluran kemih. Pada wanita, adanya kontaminasi pada uretra dan perineum adalah
penjelasan paling mungkin untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri, seperti yang
ditunjukkan oleh sebuah eksperimen yang mengevaluasi genotipe strain E. coli penyebab ISK
pada wanita .
Dalam kontrol studi kasus, 100 perempuan dengan ISK berulang dan 113 kontrol ini
diteliti untuk menentukan apakah ada perbedaan dalam ukuran dari anatomi perineum , sisa
volume urin setelah berkemih, atau karakteristik urin. Jarak dari uretra ke anus asecara
signifikan lebih pendek dalam kasus dan kontrol (4,8 cm dan 5.0 cm, masing-masing, P
0.03). Ada perbedaan lain yang diidentifikasi antara kasus dan kontrol. Data ini menunjukkan
bahwa karakteristik anatomi panggul mungkin memainkan peran dalam perempuan muda
yang terkena ISK berulang, terutama mereka yang tidak memiliki faktor risiko eksogen untuk
infeksi ini.
Bakteri lactobacilus dominan pada biota vagina dan memiliki sifat antimikroba yang
mengatur mikrobiota urogenital lain dalam memelihara pH asam dalam vagina dan
menghasilkan hidrogen peroksida. Pengobatan yang tidak lengkap dan terulangnya infeksi
saluran genitourinari menyebabkan pergeseran dalam flora lokal dari dominasi laktobasili
untuk coliform uropathogens. Dalam sebuah studi oleh Kirjavainen et al itu menegaskan
bahwa, di vaginosis bakteri, mikrobiota lactobacillus normal pada vagina mengalami
pergesaran menuju komposisi yang lebih beragam , yang juga merupakan periode yang khas
pada saat bebas penyakit pada wanita yang rentan terhadap ISK. Sementara flora vagina tidak
didominasi oleh uropathogens paling umum, mereka cenderung mengalami kerusakan dalam
melawan infeksi karena kurangnya kolonisasi dalam meningkatkan perlawanan pada saat
terjadi akumulasi lactobalcillus. Penggunaan probiotik yang mengandung lactobacillus telah
diusulkan untuk pengobatan dan profilaksis dari infeksi bakteri urogenital. Namun, hasil
penelitian profilaksis ISK menggunakan laktobasili belum dapat ditentukam. Perubahan flora
vagina juga diamati selama periode pascamenopause, karena estrogen merangsang
proliferasi lactobacillus dan mengurangi Ph lokal.
FAKTOR GENETIK
Beberapa studi menunjukkan bahwa riwayat keluarga ISK di diduga menjadi alasan
pertama terjadinya peningkatan ISK berulang dan pielonefritis pada wanita. Hal ini
mendukung gagasan mengenai adanya pengaruh dari factor genetis terhadap mekanisme
pertahanan tractus urogenital .
Beberapa telah menyarankan peran antigen golongan darah darah sebagai faktor-faktor
kerentanan terjadinya ISK. P fimbriae mengenali Gal1-4Ga1 dan Ga1Na - 3Gal 1-4Ga1
sebagai receptor, yang mengandung rangkaian oligosaccharide dalam serangkaian globo
glycolipids. Terdapat juga antigen P dan ABO pada manusia. Individu dengan P1 antigen
lebih cenderung untuk terjadinya invasi oleh micoorganisme fimbria P (mannose bersifat
resistensi terhdap hemaglutinasi rantai positif). Pasien dengan antigen P1 negatif
mengungkapkan jumlah yang lebih kecil dari reseptor untuk P fimbriat E. coli, sehingga
melengkapkan selama perjalanan dalam menembus lapisan batas tampaknya menjadi lebih
sulit. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan P1 antigen mungkin menjadi kesenjangan dalam
mekanisme pelindung dan bisa menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap ISK . Wanita
dengan riwayat ISK berulang tiga sampai empat kali lebih sering ditemukan fenotip
nonsecretor dari golongan darah histo ABO daripada wanita tanpa riwayat. Selanjutnya, sel-
sel uroepithelial dari nonsecretor pada perempuan menunjukkan peningkatan kepatuhan dari
uropathogenic E. coli dibandingkan dengan wanita secretor. Data terakhir menunjukkan
bahwa penjelasan biochemic untuk meningkatkan kepatuhan E. coli untuk sel-sel
uroepithelial nonsecretor dan kecenderungan mereka untuk mengembangkan ISK berulang
mungkin karena adanya serangkaian unik globo glycolipid reseptor selektif oleh sel epitel
nonsecretor yang mengikat uropathogenic E. coli
KEHAMILAN
Dalam studi prospective oleh Haylen et al mengungkapkan 1140 wanita berusia 18-
98 tahun telah dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui ada atau tidaknya ISK berulang
dengan kondisi fisiologis dan patologis yang berbeda. Sebuah korelasi telah diamati antara
nulliparity dan ISK berulang, terutama pada wanita yang lebih muda 50 tahun. Penulis
mengungkapkan bahwa peregangan dan relaksasi pada saluran kelahiran yang disebabkan
oleh selama masa kehamilan dan persalinan mungkin bermanfaat dalam mencegah UTI
berulang dengan mengurangi efek gesekan dari hubungan seksual . Mengurangi frekuensi
efek gesekan dari hubungan seksual dan jumlah pasangan seksual mungkin juga telah
diperhitungkan dalam penemuan ini. Dalam studi ini, ditemukan hubungan yang positif
antara ISK berulang dan sisa voume urine setelah berkemih yang lebih dari 30 ml.
MENOPAUSE
Insiden ISK pada wanita meningkat seiring bertambahnya usia . Sekitar 10%-15% Bacteriuria
terjadi pada wanita berusia 65-70 tahun dan sekitar 20%-50% mengenai perempuan berusia
lebih dari 80 tahun . Jumlah bacteriuria ditemukan 5% lebih tinggi dilaporkan pada wanita
premenopause. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Raz et al dalam kelompok 149
wanita postmenopause, terdapat hubungan yang kuat antara faktor anatomi dan perubahan
fungsional pengosongan kandung kemih dan ISK berulang. Faktor-faktor genetic dan
riwayat premenopause ISK juga telah diusulkan sebagai faktor-faktor predisposisi untuk
terjadinya ISK berulang. Setelah menopause, terjadi penurunan yang signifikan dalam sekresi
estrogen oleh ovarium, yang sering dikaitkan dengan atrofi vagina. Estrogen merangsang
proliferasi Lactobacillus dalam epitelium vagina, menyebabkan penurunan pH vagina,
sehingga mencegah kolonisasi vagina oleh Enterobacteriaceae. Selain itu, tidak adanya
estrogen dapat menurunkan volume otot vagina, mengakibatkan tidak adekuatnya ligamen
dalam meyangga uterus, dasar pelvis, dan vesica urinaria sehingga menghasilkan adanya
prolaps genitalia internal. Dalam study double blind (studi yang tidak diketahui
partisipannya ketika menerima pengobatan) yang menggunakan plasebo terkontrol ,
menunjukkan korelasi antara tingkat tingkat penurunan hormon estrogenik setelah
menopause dan perkembangan ISK berulang. Dalam studi ini, penggunaan dari estrogen
vagina topical ternyata mengurangi insiden terjadinya ISK berulang . Adanya lembaga
untuk wanita tua ,mencatat bahwa faktor utama dalam terjadinya ISK berulang dikarenakan
memburuknya status fungsional dan pengunaan katerisasi pada uretra.
DIABETES
Diabetes merupakan suatu kondisi lain yang bisa dihubungkan dengan perkembangan dari
bacteriuria asimtomatik dan ISK berulang . Dalam studi multicenter Sebanyak 589 wanita
yang berusia 18 – 75 tahun dan terkena diabetes tipe 1 atau 2 , faktor risiko dari
berkembangnya ISK asimptomatik mengalami peningkatan yang sama dengan faktor risiko
pada wanita muda (hubungan seksual dan kontrasepsi oral) untuk tipe 1 diabetes dan adanya
bacteriuria asimtomatik pada diabetes tipe II . Untuk diabetes mellitus tipe I , faktor risiko
untuk bacteriuria asimtomatik termasuk ke dalam katergori yang memiliki durasi yang lebih
lama dari diabetes, neuropati periferal, dan mikroalbuminuria. Untuk diabetes tipe 2, faktor
risiko terdapat pada usia yang lebih tinggi , mikroalbuminuria dan belum lama terkena ISK
simptomatik . Studi yang sama menunjukan adanya korelasi yang lemah antara peningkatan
risiko UTI dan buruknya regulasi dari diabetes , adanya diabetes cystopathy, neuropati,
mikroalbuminuria, atau komplikasi macrovascular. Glikosuria tampaknya tidak menjadi
faktor risiko untuk berkembangnya bacteriuria asimptomatik atau ISK simptomatik pada
vivo. Neuropati melibatkan saluran kemih yang memungkinkan terjadinya mekanisme
potensial yang dapat meningkatkan risiko ISK pada penderita diabetes, karena hasilnya
mungkin bisa menyebabkan terjadinya disfungsi berkemih dan retensi urin . Namun, upaya
untuk menentukan adanya hubungan antara tingginya sisa volume urin setelah berkemih dan
peningkatan risiko UTI sebenarnya telah menyakinkan. Berdasarkan pengamatan , tidak Ada
hubungan antara diabetes dan uropathogen (bakteri yang terdapat dalam urin). Namun,
episode pertama dari bacteriuria asimtomatik tampaknya lebih jarang disebabkan oleh E.
coli, dan lebih sering disebabkan oleh Klebsiella dan Enterococcus faecalis. Hal inilah yang
menunjukkan bahwa bacteriuria asimtomatik dan ISK simptomatik mungkin merupakan
penyakit dengan proses yang berbeda, dan kolonisasi bakteri tanpa adanya gejala berbeda
pada pasien dengan diabetes.
DISFUNGSIONAL BERKEMIH
Sebuah korelasi juga telah diamati antara ISK berulang dan disfungsional berkemih .
disfungsional berkemih didefinisikan sebagai pengosongan abnormal kandung kemih
secara neurologis pada individu normal , terutama wanita muda yang mengalami
peningkatan aktivitas sfingter eksternal selama berkemih secara volunter . Etiologi masih
belum diketahui. Mungkin bisa karena kondisi pelvis yang buruk , misalnya, peradangan
atau trauma. Bisa juga hasil dari gerakan secara sadar dalam menahan urin , atau adanya
kelainan abnormal secara primer dengan ketidakstabilan detrusor dan disnergik sfingter.
Hubungan antara disfungsional berkemih dan ISK berulang telah tercatat atau
didokumentasikan . Disfungsional berkemih mungkin mengganggu aliran laminar urine
melewati uretra, menyebabkan bakteri ISK ditransfer kembali dari meatus ke kandung kemih
sehingga menghasilkan fenomena milk back. Disfungsional berkemih telah diselidiki secara
klasik dengan menggunakan studi videourodynamic, tetapi USG perineal baru-baru ini
telah diusulkan sebagai investigasi yang lebih bermanfaat
MANAJEMEN
TERAPI ANTIBIOTIK
Manajemen ISK pada wanita bergantung pada sejumlah faktor. Pertama, perbedaan
harus dibuat antara asimtomatik dan infeksi simptomatik. Bacteriuria biasanya terjadi pada
wanita, dan prevalensi meningkatkan seiring berkembangnya usia. Pengobatan untuk kondisi
ini tidak selalu diperlukan terapi, pada wanita , kemungkinan dari adanya kehamilan
membuat evalusi menjadi berguna , karena bacteriuria asimptomatik dihubungkan dengan
adanya peningkatan risiko dari pielonefritis dan menyebabkan hasil yang buruk bagi
kehamilan. Namun, infeksi saluran kemih asimptomatik harus selalu diobati karena tidak
mungkin untuk menyelesaikan secara spontan.
Terapi antibiotik adalah bagian penting dari strategi terapi untuk UTI, meskipun
kontrol dari faktor predisposisi sejauh ini memungkinkan dan profilaksis juga diperlukan ,
untuk mencapai resolusi yang lengkap dari infeksi. Algoritma terapi untuk pengobatan ISK
simptomatik telah dikembangkan dari konsensus berbasis bukti oleh International
Consultation on Urogic Diseases, sebuah ringkasan yang tersedia pada Eropean Association
of Urology guidelines.
ANTIBIOTIK PROFILAKSIS
Setelah satu episode dari UTI yang telah diselesaikan, langkah berikutnya adalah
untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang bisa memicu terjadi kekambuhan. Hal ini
terutama pada wanita yang biasa mengalami retensi urin . Menurut hipotesis fecal
perineum-uretra, organisme uropathogenic yang tinggal di dalam flora rectum
direpresentasikan sebagai pencetus adanya kenaikan ISK pada wanita. Beberapa faktor
diduga bertanggung jawab dalam kasus ini, baik itu dari faktor anatomi dan faktor-faktor
psikososial, tetapi mungkin semua harus dipertimbangkan .
Dalam sebuah studi dari 86 wanita dengan disfungsional berkemih dan ISK
berulang, Minardi et al melaporkan terjadi penurunan kekambuhan setelah dasar pelvis
diedukasi kembali dengan biofeedback, sehingga mendukung hipotesis yang menjelaskan
bahwa gangguan pengosongan memainkan peran penting dalam terulangnya ISK pada wanita
. Costantini et al melaporkan hasil yang sama menggunakan alpha-blockers pada wanita
dengan masalah berkemih. Dengan demikian, masalah fungsional berkontribusi untuk
terjadinya infeksi saluran kemih berulang yang secara signifikan mengalami penurunan.
Ketika semua upaya modifikasi kebiasaan pasien dan gaya hidup telah gagal untuk
menyelesaikan masalah kekambuhan, mungkin perlu untuk memulai profilaksis
antimicrobial. Untuk saat ini belum ada pedoman yang digunakan dalam menentukan
keharusan menggunakan profilaksis antimikroba pada wanita yang tidak hamil ketika
menderita ISK. Beberapa penulis menyarankan bahwa dua kali kekambuhan kurang lebih
terjadi dalam 6 bulan setelah terapi atau tiga episode per tahun bisa dianggap sebagai indikasi
untuk melakukan profilaksis setelah pengobatan. Namun, ketidaknyamanan pasien tentang
prospek kambuhnya gejala harus diperhitungkan ketika memilih apakah harus memulai atau
tidak untuk melakuka profilaksis. Beberapa jenis rejimen profilaksis, termasuk yang bersifat
kontinyu, intermiten dan postcoital yang telah tercatat dan terbukti bermanfaat dalam kasus
sistitis berulang yang bersifat unkomplikata. Laporan dari studi yang dilakukan dengan
berbagai rejimen menunjukkan bahwa 95% kekambuhan yang terjadi telah terselesaikan
solusinya setelah 6 bulan terapi. Pilihan antibiotik yang dapat digunakan berdasarkan tujuan
ini adalah nitrofurantoin, fosfomycin trometamol, cotrimoxazole, sefalosporin, dan
quinolones, dan semua yang lebih rendah dari dosis terapi . Dalam semua kasus, rejimen
profilaksis harus dimulai hanya setelah eradikasi yang lengkap dari infeksi asli yang
dikonfirmasi dengan hasil kultur urin yang negatif dilakukan selama 1 – 2 minggu setelah
akhir dari terapi primer.
PROFILAKSIS NON-ANTIBIOTIK.
Dalam percobaan uji klinis secara acak, sebuah dosis bergantung pada
pengurangan dari adhesi bakteri sebagai respon untuk pencatatan dari jus cranberry yang
telah diidentifikasi sebagai dosis harian minimum dari proanthocyanidin yang mampu
untuk mengurangi konsesntrasi dari urin yang mengandung E. coli menjadi 36 mg.
Penelitian lebih lanjut telah dilakukan pada wanita, dan kebanyakan dari mereka telah
menunjukkan penurunan yang signifikan dalam infeksi berulang, dengan beberapa
menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan antibiotik profilaksis, walaupun untuk
tingkat bukti masih cukup rendah.
Dalam dunia medis yang lainnya, penggunaan imnunisasi pada pasien yang
memiliki resiko tinggi terjadinya kekambuhan ISK telah diketahui. Penelitian
menggunakan strain inaktif yang telah dipanaskan pada uropathogenic E. coli telah
menunjukkan respon yang baik, dengan kemampuan efek samping yang minimal/ baik
pasien. Bagaimanapun , heterogenitas dari kemungkinan strain menyebabkan ISK dan
pemahaman belum lengkap tentang mekanisme yang mendasari patogenisitas bakteri dan
respon host secara berulang terhadap bakteri, yang telah mencegah perizinan vaksin untuk
digunakan pada pasien dengan risiko ISK berulang.
Ada isu lain yang penting yang terkait dengan penggunaan kateter yang
dihubungan dengan penyebab infeksi tractus urinarius pada wanita. Meskipun kateter
merupakan sumber infeksi pada laki – laki maupun perempuan, extraluminal secara
ascending pada ISK pada wanita sudah biasa, karena faktor anatomi, dan yang lebih
sering mikroba berasal dari kotoran. Oleh karena itu penting untuk memperhatikan peran
biofilm pada indwelling (kteter yang menetap) dalam jangka panjang pada perempuan
yang menggunakan kateter. Bakteri menjadi sangat resisten terhadap antibiotik sebagian
melalui biofilm, yang mencegah antibiotik mencapai mikroorganisme patogen. Karena
dari perlekatan mikroorganisme (E.Coli, dll) tersebut yang dihubungkan dengan kateter
yang berbahan dasar/ bermaterial Hidrofilik, merupakan langkah penting pertama dalam
pencegahan kolonisasi bakteri dan pembentukan biofilm pada kateter yang berbahan
seperti silikon, dan sebisa mungkin menghindari penggunaan kateter yang berbahan
lateks.
Kesimpulannya, ISK ini lebih sulit untuk mengobati pada wanita dibandingkan
pada pria karena etiologi nya bersifat multi faktor dan kemungkinan keterbatasan yang
timbul karena kehamilan. Tujuan pertama untuk dokter adalah untuk mengidentifikasi
perempuan pada risiko kekambuhan ISK juga mengenali dan menghilangkan faktor-
faktor risiko individu.