Anda di halaman 1dari 14

IJMA’

(Diajukan untuk memenuhi Tugas Ushul Fiqh)

Oleh :

Dwi Windanarti (1651010390)

Endri Wibowo (1651010

Lusiyana (1651010064)

Dosen Pembimbing :

Bpk. Kholik Hidayatullah

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2017-2018

Ushul Fiqh Page 1


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatakan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berisikan tentang “IJMA’”, tepat
pada waktunya.

Sholawat dan salam saya haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman ilmu pengetahuan yang menjadikan
manusia cerdas dan berwawasan luas.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu
yang saya miliki.Namun berkat usaha dan bantuan dari beberapa pihak, makalah ini dapat
terselesaikan meski masih banyak terdapat kekurangan.

Ucapan terima kasih saya kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi
dan dorongan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.Harapan saya adalah semoga
kritik dan saran dari pembaca tetap tersalurkan kepada saya dan semoga makalah ini
bermanfaat.Amin.

Bandar Lampung, 24 Oktober 2017

Penyusun

Ushul Fiqh Page 2


DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................ii

Daftar Isi.................................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

C. Tujuan Masalah............................................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’...........................................................................................3

B. Dasar Hukum Ijma’......................................................................................3

C. Rukun-rukun Ijma’.......................................................................................4

D. Syarat-syarat Ijma’.......................................................................................5

E. Macam-macam Ijma’...................................................................................7

F. Kemungkinan terjadi Ijma’..........................................................................7

G. Kehujjahan Ijma menurut pandangan Ulama..............................................8

BAB III. PENUTUP

A. KESIMPULAN..........................................................................................10

B. KRITIK DAN SARAN..............................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................11

Ushul Fiqh Page 3


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi
dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-
Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri
yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat
dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).

Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah
sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang
telah disepakati.

Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian


mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami
penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah
ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Ijma’?

2. Bagaimana dasar hukum Ijma’

3. Apa sajakah rukun-rukun Ijma’?

4. Apa Syarat-syarat Ijma’?

Ushul Fiqh Page 1


5. Apa saja macam-macam Ijma’?

6. Bagaimana terjadinya Ijma’?

7. Bagaimana kehujjahan Ijma’ menurut Ulama?

C. Tujuan Masalah

1. Untung mengetahui pengertian Ijma’.

2. Untuk mengetahui dasar hukum Ijma’.

3. Untuk mengetahui rukun-rukun Ijma’.

4. Untuk mengetahui Syarat-syarat Ijma’.

5. Untuk mengetahui macam-macam Ijma’.

6. Untuk mengetahui terjadinya Ijma’.

7. Untuk mengetahui kehujjahan Ijma’ menurut Ulama.

Ushul Fiqh Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma
Ijma menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal,
seperti perkataan seseorang yang berarti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang
demikian itu”.1
Menurut istilah Ijma, ialah kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan
seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada
waktu itu sepakat untuk mangangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula
diangkatlah Abu Bakar ra. Sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaanya ada
yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar ra. Itu namun kemudian semua kaum
muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat di katakan Ijma.
B. Dasar Hukum Ijma
Dasar hukum Ijma berupa Al- Qur’an, Al- Hadist dan akal pikiran.
1. Al- Qur’an
Allah SWT. Berfirman:
Qs An-nisa 59
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan
yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ululamri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala Negara, pemimpin suatu penguasa, sedang ulilamri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulilamri itu telah sepakat tentang
sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah
dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

Firman Allah SWT.


Qs Al- Imran 3
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-
berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma (bersepakat) dan dilarang
bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati
oleh para mujtahid.
2. Al – Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma tentang hukum syara’ dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijma itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
1 Ahmad Sanusi, Sohari, UshulFiqh, (Jakarta: RajawaliPers, 2015), hal.43

Ushul Fiqh Page 3


mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan maksiat dan dusta, sebagaimana
sabdaRasulullah Saw.
Artinya:” umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu
Daud danTirmidzi).

3. Akal Pikian
Setiap Ijma yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina
atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihat
hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah
ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihat itu ia menggunakan nash, maka
ijtihatnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari
nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihat, ia tidak menemukan satu nash pun yang
dapat dijadikan dasar ijtihat bya, maka dalam berijtihat ia tidak boleh melampaui
kaidah-kaidah umum ajaran Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang
bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah
melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihat yang telah dilakukan tidak
akan menyimpang atau menyalahi Al-Quran dan Al-Hadist, karena semuanya
dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil itu
Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan diatas, kemudian
pendapatnya itu boleh di amalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid banyak yang
sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama di amalkan.

C. Rukun – rukun Ijma


Ulama Ushul Fiqh menetapkan rukun-rukun ijma sebagai berikut :
1. Harus ada beberapa orang mujtahid di kala terjadinya peristiwa dan para mujtahid
itulah yang melakukan kesepakatan dan menetapkan hukum peristiwa itu.
Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa
tentulah tidak akan terjadi Ijma, karena Ijma harus dilakukan oleh beberapa orang.
2. Yang melakukan kesepakatan itu handaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia
Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada satu
Negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma.
3. Kesepakatan itu harus diyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa
sependapat dengan mujtahid- mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu
peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan
itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan

Ushul Fiqh Page 4


sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan
dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau
dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum
yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik
ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh
mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian besa rmujtahid yang
ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ketaraf ijma. Ijma yang demikian
belum dapat dijadikan sebagai suatu hujjah syariah.2

D. Syarat-Syarat Ijma’

Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi
kriteria-kriteria di bawah ini.

1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.

Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid. Secara umum mujtahid
diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan
hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang
dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.

Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang


dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji
dan mampu mengistimbat hukum dari sumbernya.

Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum
mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka,
karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.

2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.

Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka
menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila
2Ahmad Sanusi, Sohari, Op.Cit., hal.46

Ushul Fiqh Page 5


dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’
termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah
fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.

3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.

Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak
bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’,
adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak
mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.

4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.

Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu
dianggap sebagai syariah.

5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’

Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya


dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.

E. Macam-Macam Ijma’

Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:

1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap
suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid
mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang
mencerminkan pendapatnya.

2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara
jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang
lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap
pendapat yang telah dikemukakan.

F. Kemungkinan Terjadi Ijma’

Ushul Fiqh Page 6


Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban
melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”.
Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin
terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:

Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya


adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua
kriteria:

1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan


ijma’.

2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.

Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’I ataupun yang
dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak
membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan
para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan
pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yang
menguatkan pendapat mereka.

G. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.

Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu sharih
dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau
berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.

1. Kehujjahan ijma’ sharih

Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu
permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi
menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.

Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur

Ushul Fiqh Page 7


Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.

Artinya : ”Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka
yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan
dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu
menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah
batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min
adalah hak dan wajib diikuti.

2. Kehujjahan ijma’ sukuti

Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama.


Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak
mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I
yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.

Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja


menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan
ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan
mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni.
Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid.
Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.

Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap
pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan
adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap
hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena

Ushul Fiqh Page 8


alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’
sharih.3

3 Juhaya S. Praja, ilmu ushul fiqh, (Bandung: Pustaka Setia) 2007. Hal 74-80

Ushul Fiqh Page 9


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan


bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di
bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran
dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam
menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau,
apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.

Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam
kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum
(ijma’)

Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih,
ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’
mengenai ijma’ itu sendiri.

Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’I memandang
bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’. Sedangkan
segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya.

B. KRITIK DAN SARAN

Demi penyempurnaan makalah ini, saran dan kritikan teman-teman sangat


dibutuhkan.Kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam makalah ini adalah bukti dari
kerancuan pemikiran penulis, dan semua itu tidak lepas dari sifat manusia yang selalu
salah dan lupa.

DAFTAR PUSTAKA

Ushul Fiqh Page 10


Sanusi, dan Sohari. 2015. UshulFiqh, Jakarta: RajawaliPers.
Juhaya S. Praja. 2007. ilmu ushul fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Ushul Fiqh Page 11

Anda mungkin juga menyukai