Anda di halaman 1dari 19

A.

Klasifikasi Rheumatoid Arthritis


Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe,
yaitu:
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.

B. Penegakan Diagnosis

Rheumatoid arthritis umumnya hadir dengan nyeri dan kekakuan


pada beberapa sendi, biasanya pasien mengalami gejala awalnya hanya di
satu lokasi atau beberapa lokasi persendian (Harris, 2005).

Sendi yang paling sering terkena adalah persendian dengan rasio


tertinggi sinovium pada tulang rawan artikular. Peradangan sinovium
dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab radang
melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga
dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang
menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak (Harris,
2005).

1
Atritis Reumatoid biasanya mengalami kekakuan, bengkak, dan
eritematosa. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang dikenal sebagai
artritis reumatoid yang merupakan penyakit autoimun. Beberapa pasien
mengeluh "bengkak" pada persendian tangan, bengkak tersebut terjadi
dikarenakan untuk peningkatan aliran darah ke daerah meradang. Otot di
dekat sendi meradang sering atrofi. Kekakuan pada pagi hari yang
berlangsung setidaknya 45 menit sebelum melakukan aktivitas. Pada
umunya persendian dengan posisi fleksi dapat meminimalkan distensi
menyakitkan dari kapsul sendi. Beberapa penelitian mengatakan,
Seseorang dapat didiagnosis AR jika onsetnya telah 6 bulan dengan
beberapa kriteria gejala AR. Biasanya diagnosis disertai dengan gejala-
gejala non spesifik seperti, malaise, kelemahan otot, berat badan turun,
demam ringan, kelelahan, dan keluhan sistemik lainnya mungkin timbul,
terutama dalam presentasi akut (Chan, 2004 ; Harris, 2005).

Kurang lebih 70% penderita AR mengalami erosi tulang dalam 2


tahun pertama penyakit , dimana hal ini menunjukan penyakit berjalan
progresif. Keterlibatan sendi pergelangan tangan, metacarpophalangeal
(MCP) dan proximal inter phalangeal (PIP) hampir selalu dijumpai,
sementara keterlibatan distal interphalangeal (DIP) lebih jarang dijumpai.
Bentuk awal dari deformitas adalah tenosinovitis yang menyebabkan
tendon menjadi lemah, memanjang, bahkan ruptur. Selain itu, penderita
AR dengan keterbatasan mobilitas memiliki kemungkinan terjadinya
penurunan kekuatan otot sebesar 30-70% dibandingkan orang normal,
dengan penurunan endurans mencapai 50% (Widiani, 2011).

1. Anamnesis :

Beberapa pemeriksaan anamnesis yaitu (Daud, 2006):

a. Riwayat penyakit, diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan


kronologis.

2
b. Umur, penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi
frekuensi penyakit terdapat pada umur tertentu, penyakit
rheumatoid atritis banyak ditemukan pada usia lanjut.
c. Jenis kelamin, penyakit rheumatoid arthritis lebih banyak diderita
oleh wanita dari pada pria dengan perbandingan 3:1.
d. Nyeri sendi, nyeri merupakan keluhan utama pada pasien dengan
reumatik.. Pada pasien RA, nyeri paling sering terjadi pada pagi
hari, membengkak disiang hari, dan sedikit lebih berat dimalam
hari.
e. Kaku sendi, merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar
untuk menggerakan sendinya. Keadaan ini biasanya akibat desakan
cairan yang berada disekitar jaringan yang mengalami inflamasi.
f. Bengkak sendi dan deformitas, pasien sering mengalami bengkak
sendi, perubahan warna, perubahan bentuk, dan perubahan posisi
struktur ekstremitas (dislokasi atau sublukasi).
g. Disabilitas dan handicap, disabilitas terjadi apabila suatu jaringan,
organ, atau sistem tidak dapat bekerja secara adekuat. Handicap
adalah apabila disabilitas menyebakan aktivitas sehari-hari
terganggu, termasuk aktivitas sosial.
h. Gejala siskemik, penyakit sendi inflamator baik yang disertai
maupun tidak disertai keterlibatan multisystem akan menyebabkan
peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP.
Selain itu akan disertai dengan gejala siskemik seperti panas,
penuruanan berat badan, kelelahan, lesu, dan mudah terangsang.
Kadang-kadang pasien mengeluhkan hal yang tidak spesifik seperti
merasa tidak enak badan. Pada orang tua disertai dengan gangguan
mental.
i. Gangguan tidur dan depresi, ganguan tidur dapat disebabkan oleh
adanya nyerikronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi
nonsteroid.

2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:

3
1) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan
segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformasi,
sementara tungkai yang nyeriakan lebih lama diletakkan
dilantai, biasanya diikut oleh gerakan lengan yang asimetris,
disebut gaya berjalan antalgik.
2) Sikap/postur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan
artikular pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendiri
tersebut senyaman mungkin, biasanya dalam posisi fleksi.
3) Deformasi, akan lebih terlihat pada saat bergerak.
4) Perubahan kulit, kemerahan disertai dengan kemerahan disertai
deskuamasi pada kulit disekitar sendi menunjukan adanya
inflamasi pada sendi.
5) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses
inflamasi di daerah sendi tersebut.
6) Bengkak sendi bisa disebabkan karena cairan, jaringa lunak,
atau tulang.
7) Nyeri raba
8) Pergerakan sinovitis menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah.
9) Krepitus, merupakan bunyi yang dapat diraba sepanjang
gerakan struktur yang diserang.
10) Atrofi dan penurunan kekuatan otot.
11) Ketidakstabilan.
12) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan
observasi pada penggunaan normal seperti bangkit dari kursi
atau kekuatan menggenggam.
13) Nodul sering ditemukan dalam berbagai atopic, umunya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku,
tumit belakang, sacrum).
14) Perubahan kuku, adanya jari tangan, timble pitting onycholysis
atau serpihan darah.

4
15) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang
pergerakan sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
16) AR mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya yaitu :
a) Kulit : nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada
banyak pasien dengan RA yang nilai RF-nya normal, sering
lebih dari titik-titik tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit
dapat bermanifestasi sebagai purpura teraba atau ulserasi
kulit).
b) Jantung : morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang
meningkat pada pasien RA. Faktor resiko non tradisional
tampak memainkan peran penting. Serangan jantung,
disfungsi miokard, dan efusi perikrdial tanpa gejala yang
umum dan gejala perikarditis konstriktif jarang.
Miokarditis, vaskulitis koroner, penyakit katup, dan cacat
konduksi kadang-kadang diamati.
c) Paru : RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk
termasuk efusi pleura, fibrosis interstisial, nodul (Caplan
sindrom), dan obliterans bronchiolitis-pengorganisasian
pneumonia.
d) Ginjal : ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA
langsung. Umumnya akibat pengaruh obat-obatan
(misalnya : obat anti-inflamatory peradangan
(amyloidosis)).
e) Vascular : lesi vaskuler dapat terjadi diorgan mana saja
namun yang paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat
hadir sebagai perpura gambling, borok kulit, atau infak
digital.
f) Hematologi : sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit
anemia kronis, termasuk anemia normokromik-normositik,
trombositiosis, dan eosinofilik, meskipun yang terakhir ini
sering terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien dengan
sindrom Felty.

5
g) Neurologis : biasanya saraf jeratan, seperti padasaraf
median di carpal, lesi vasculitis, multiple mononeuritis, dan
myelopathy leher rahim dapat menyebabkan konsekuensi
serius neurologis.
h) Okular : keratoconjunctivitis siscca adalah umum pada
orang dengan RA dan sering manifestasi awal dari sindrom
Sjogren sekunder. Mata mungkin juga episkleritis uveitis,
dan scleritis nodular yang dapat menyebabkan
scleromalacia.
1. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratoris
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik
untuk mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji
serologis laboratorium menunjukan adanya kenaikan titer
antibodi IgM yang bereaksi terhadap perubahan IgG α-1
dan IgG α-2 yang juga meningkat. Faktor reumatoid (RF)
ditemukan negatif (<5%) pada 30% penderita AR stadium
dini, meskipun begitu tidak serta-merta mematahkan
diagnosis AR selama masih memenuhi 4 dari 7 kriteria
utama. Kenaikan C-Reactive Protein (CRP) umumnya
terjadi sampai >0,7 pg/mL (Suarjana, 2009).
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan
kenaikan laju endap darah (LED) hingga >30mm/jam.
Kenaikan CRP atau LED dapat digunakan untuk
memonitor perjalanan penyakit (Suarjana, 2009). Pada AR
sering pula ditemukan penurunan kadar Hb yang bila
kemudian diperiksa melalui apusan darah tepi menunjukan
anemia normositik normokrom akibat pengaruhnya pada
sumsum tulang (Price, 2005). Hitung sel leukosit (WBC)
meningkat mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75%
leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan

6
pada artritis, namun hal tersebut tidak mendiagnosis RA
(Kasper et al., 2005).
Pemeriksaan cairan sinovial diperlukan bila
diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal,
kultur negatif, dan kadar glukosa rendah (Suarjana, 2009).
Analisi cairan sinovial tidak menunjukkan satupun temuan
spesifik untuk artritis reumatois, namun menunjukkan
keadaan inflamasi pada sendi. Cairan sinovial biasanya
keruh, dengan kekentalan yang menurun, dan peningkatan
kandungan protein (Kasper et al., 2005).
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos sendi mungkin normal atau tampak
adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan dan
pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai
pembanding dalam penelitian selanjutnya (Suarjana, 2009).
Setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat
terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur
rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi
dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini
biasanya irreversibel (Price, 2005).
c. Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan
gambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak,
kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang
dihubungkan dengan artritis reumatoid. MRI mampu
mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan
dengan foto polos dan dilengkapi dengan tampilan struktur
sendi yang lebih rinci (Suarjana, 2005).

7
Gambar 1. Pasien RA menunjukkan adanya penebalan jaringan ikat
dan penyempitan celah sendi interphalanx proksimal
(sumber: American Journal of Roentgenology)

Gambaran patognomonik artritis reumatoid

Patognomonik adalah tanda atau gejala khas yang tipikal


tehadap suatu penyakit sehingga dapat dijadikan tolak ukur dan
spesifikasi penyakit tersebut. Patognomonik RA adalah munculnya
nodul-nodul reumatoid yang merupakan massa jaringan lunak yang
biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar
pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya
terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.
Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita
artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga
membantu dalam menegakkan diagnosis (Eisenberg RL, Johnson
NM, 2003). Kekakuan selama minimal 1 jam dan artritis yang
simetrk juga menjadi gejala khas dari RA (Suarjana, 2009).

8
Gambar 2. Nodul reumatoid di zona persendian lutut (sumber: University of
California, Sandiego)

2. Gold Standart Diagnosis atau Kriteria Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dapat berdasarkan kriteria


ARA (American Rheumatism Association), yaitu (Daud, 2006):
a. Kaku pagi hari di sendi dan sekitarnya, sekurangnya selama
1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) 3
daerah sendi atau lebih secara bersamaan yang diobservasi
oleh dokter.
c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi
satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau
pergelangan tangan.
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua
belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta
artikuler yang diobservasi dokter.
f. Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal
faktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang
membrikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol
yang diperiksa.

g. Perubahan gambaran radiologis, perubahan gambaran


radiologis yang khas pada AR pada pemeriksaan sinar X
tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus
menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan sendi.

9
Diagnosa AR, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria
di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal 6 minggu.

C. Diagnosis Banding
Gambaran Artritis
Gout Osteoartritis
Radiologi Reumatoid
Intermitten,
Soft tissue Periartrikular, Esentrik,
tidak sejelas
swelling simetris tophi
yang lain
Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang
Menurun di
Mineralisasi Baik Baik
periartrikular
Kadang-
Kalsifikasi Tidak kadang pada Tidak
tophi
Baik hingga
Celah sendi Menyempit Menyempit
menyempit
Punched out
Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis
intraartikular
sklerotik
Produksi Menjalar ke
Tidak Ya
tulang tepi korteks
Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri
Kaki,
Proksimal ke pergelangan Distal ke
Lokasi
distal kaki, tangan proksimal
dan siku
Seagull
Karakteristik
Pembentukan appearance pada
yang Poliartrikular
kristal sendi
membedakan
interfalangeal

D. Penatalaksanaan

1. Non-farmakologis
a. Edukasi

10
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-
orang yang berhubungan dengan penderita.:
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk
regimen obat yang kompleks
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan (Price,2005)
b. Istirahat

Perencanaan aktivitas mutlak diperlukan bagi pasien


rheumatoid arthritis karena penderita biasanya disertai dengan rasa
lelah yang hebat. Kekakuan dan rasa kurang nyaman biasanya
dapat diperingan dengan beristirahat (Price,2005).

c. Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit,
minimal dua kali dalam sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini
untuk mengurangi nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini
paling baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang
sudah mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi
atauterapis kerja.

Latihan latihan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi


sendi (Price,2005)

d. Alat pembantu dan adaptif

11
Alat pembantu dan adaptif ini mungkin diperlukan saat
melakukan aktivitas sehari-hari, seperti tongkat untuk membantu
berdiri dan berjalan (Price,2005)

e. Terapi yang lain


Terapi lain yang dimaksud yaitu : terapi puasa, suplementasi asam
lemak esensial, terapi spa dan latihan, suplementasi minyak ikan
(cod liver oil) sebagai NSAID-sparing agent (Suarjana, 2009).
2. Farmakologis
a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid
(OAINS)
Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan
(Suarjana, 2009).
b. Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari.
Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat
kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai
pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari
(Suarjana, 2009).
c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek :
1) Kepatuhan pasien
2) Beratnya penyakit
3) Pengalaman dokter
4) Adanya penyakit penyerta

Table 2. DMARD yang paling banyak digunakan (Suarjana, 2009).

DMARD Mekanisme Dosis Waktu Efek


kerja timbulnya samping
respon

Hidroksiklor Menghambat 200-400 2-6 bulan Mual,


-okuin sekresi sitokin, mg p.o. sakit

12
(Plaquenil), enzim lisosomal, per hari kepala,
klorokuin dan fungsi sakit
250 mg
fosfat makrofag perut,
p.o. per
myopati,
hari
toksisitas
pada
retina

Methorexate Inhibitor 7,5-25 1-2 bulan Mual,


(MTX) dihidrofolat mg p.o, diare,
reduktase, IM atau kelemahan
hambat SC per , ulkus
kemotaksis, efek minggu mulut,
anti inflamasi gangguan
fungsi
hati, dll

sulfasalazin Menhambat 2-3 gr 1-3 bulan Mual,


respon sel B dan p.o. per diare,
hambat hari leukopeni,
angiogenesis gangguan
fungsi
hati, dll

Azathioprin Mengahambat 50-150 2-3 bulan Mual,


e(Imuran) sintesis DNA mg p.o. leukopeni,
per hari sepsis,
limfoma

cyclosporine Menghambat 2,5-5 2-4 bulan Mual,


sintesis IL-2 dan mg/kgBB parestesia,
sitokin sel T p.o. per gangguan
lainnya hari ginjal,
hipertensi,
sepsis, dll

13
d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak
diteliti dan memiliki efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan
efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan
radiografi (Suarjana, 2009).

e. Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50
mg/minggu sampai terdapat bukti remisi (biasanya setelah
pemberian 500 mg). pasien yang memberikan respons, interval
dosis ditingkatkan secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa
dilanjutkan sampai mencapai 5 tahun. Diperlukan pemeriksaan
darah dan urinalisis rutin. Leucopenia dan trombositopenia atau
proteinuria biasanya bersifat reversible jika pemberian emas
dihentikan (Rubenstein, David. et al., 2005).
f. Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif

14
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi
yang berat
3) Ada ruptur tendon
(Suarjana, 2009).
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk
meluruskan kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat
dilakukan misalnya pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan.
Artrodesis mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas
yang berat (Rubenstein, David. et al., 2005).
E. Kriteria Remisi

F. Prognosis

Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan artritis reumatoid pada


setiap pasien tidak dapat di prediksi. Faktor-faktor yang menjadikan
prognosis buruk

1. Poliartritis generalisata (jumlah sendi yang terkena > 20)


2. LED dan CRP yang tinggi walaupun sudah menjalani terapi
3. Manifestasi ekstraartikuler, misalnya nodul/vaskulitis
4. Ditemukannya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2
tahun sejak onset

15
G. Komplikasi
Terjadinya penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) akan meningkatkan
resiko timbulnya berbagai komplikasi seperti :
1. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan komplikasi yang paling sering
dialami oleh penderita RA. Hal ini terjadi karena kurangnya
aktivitas tubuh terutama tulang akibat nyeri yang dirasakan.
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur
tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Sudoyo,
2009).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001
Osteoporosis adalah kelainan tulang, ditandai dengan kekuatan
tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya
risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan
gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang
(Junaidi, 2007).
2. Carpal Tunnel Sydrome (CTS)
Carpal tunnel syndrome, atau neuropati saraf medianus di
pergelangan tangan, adalah kondisi medis di mana saraf median
dikompresi di pergelangan tangan, menyebabkan parestesia, mati
rasa dan kelemahan otot di tangan. Bangun di malam hari
merupakan karakteristik gejala carpal tunnel syndrome (Shiel,
2006).
Pengobatan definitif untuk sindrom carpal tunnel adalah
rilis operasi dekompresi saraf. Metode ini efektif menghilangkan
gejala dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut, hanya saja
disfungsi saraf biasanya dalam bentuk statis (konstan) mati rasa,
atrofi, atau kelemahan yang bersifat permanen (Shiel, 2006).
Kebanyakan kasus CTS adalah idiopatik (tanpa alasan
tertentu). Beberapa pasien secara genetik cenderung untuk
mengembangkan kondisi tersebut. Diagnosis CTS sering

16
dihubungkan pada pasien yang memiliki aktivitas yang
berhubungan dengan nyeri lengan, seperti RA (Shiel, 2006).

17
KESIMPULAN
1. Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang
tidak diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis
perifer dan simetris.
2. Beberapa faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi dari
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah faktor genetik, hormon seks, faktor
infeksi, serta Protein heat shock (HSP).
3. Pada pasien penderita reumatoid artritis, membran sinovial telah
mengalami hiperplasia, peningkatan vaskulariasi, dan infiltrasi dari
sel-sel pemicu inflamasi, terutama sel T CD4+. Untuk menegakkan
diagnosis dapat berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism
Association), diagnosa AR ditegakkan jika sekurang-kurangnya
memenuhi 4 dari 7 kriteria dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal
6 minggu.
4. Penatalaksanaan untuk penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) dapat
berupa tatalaksana non- farmakologis dan farmakologis
a. Non-farmakologis : pendidikan, istirahat, latihan-latihan
fisik, alat-alat pembantu dan adaptif serta terapi-terapi yang
lain.
b. Farmakologis : Obat - obatan antiinflamasi
nonsteroid, glukokortikoid, DMARD, Terapi kombinasi, emas
serta tatalaksana bedah.
5. Komplikasi dari Rheumatoid Arthritis (RA) dapat berupa osteoporosis
dan Carpal Tunnel Sydrome (CTS). Prognosis penyakit ini buruk
dengan beberapa faktor menjadi penyebabnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Eisenberg RL, Johnson NM. 2003. Comprehensive Radiographic Pathology. Ed


4. Philadelphia: Mosby Elsevier
2. Juniaidi, Iskandar. 2007. Osteoporosis. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
3. Kasper LK, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL.
2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed 16. New York: McGraw-
Hill.
4. Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M.. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
5. Rubenstein, David., Wayne, David. et al. 2006. Lecture Notes Kedokteran Klinis.
Jakarta : Erlangga.
6. Shiel, W. C. J. 2006. Carpal Tunnel Syndrome. Available at:
http://www.emedicinehealth.com/carpal_tunnel_syndrome/article_em.htm
7. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: FKUI
8. Suarjana IN. 2009. Artritis Reumatoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 3. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing.
9. Bermawan. Penyakit Radang Sendi 2011. Diunduh dari :
http://naturindonesia.com/artikel-berbagai-penyakit-degeneratif/449-artritis-
reumatoidhttp://cpddokter.com/home/index.php?option=com_content&task=view
&id=1670&Itemid=1
10. Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi
7. Jakarta : EGC

19

Anda mungkin juga menyukai