Anda di halaman 1dari 9

Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu dinasti Syi’ah yang muncul pada periode klasik Islam.

Meskipun bukan dinasti Syi’ah yang pertama (dinasti Syi’ah yang pertama adalah Idrisyyah), dinasti
ini merupakan salah satu kekhalifahan Syi’ah yang paling berhasil dan bertahan lama. Dinasti
Fatimiyah yang mengaku sebagai keturunan Ali ini, dalam perkembangannya berhasil menaklukkan
banyak wilayah-wilayah Afrika Utara. Bahkan penaklukkan dinasti ini sampai ke pulau Sisilia.
Sehingga pada kesempatan kali ini kita akan menggali sejarah dinasti Fatimiyah lebih dalam lagi,
untuk menambah wawasan sejarah tentang dinasti-dinasti Islam.

Awal Pendirian Dinasti Fatimiyah


Pada saat khalifah Abbasiyah menguasai Baghdad, pengikut Ali yaitu golongan Syi’ah mengalami
penganiayaan, karena mereka dianggap sebagai ancaman terhadap kekhalifahan. Salah satu sekte
Syi’ah yang menjadi incaran adalah Ismailiyah. Aliran Isma’iliyah, merupakan aliran yang percaya
Isma’il ibn jafar dari Imam Ja’far merupakan imam ketujuh dari Syi’ah dan dikatakan sebagai mahdi
yang tersembunyi. Aliran Ismailiyah merupakan kelompok agama yang paling berhasil menggunakan
perangkat-perangkat propaganda politik agama dengan cara halus dan efektif.

Ajaran Syi’ah Ismailiyah dikenal dengan Batiniyah. Menurut ajaran Batiniyah, al-Qur’an harus
ditafsirkan secara alegoris dan kebenaran agama bisa didapatkan melalui penelusuran makna batin
yang ditutupi oleh bentuk luar. Bungkus luar dimaksudkan untuk menjaga kebenarannya dari orang
yang tidak layak mendapatkannya.

Salah satu tokoh gerakan Ismailiyah pada waktu itu adalah Imam al-Husain al-Mastoor. Setelah lari
dari kejaran khalifah Abbasiyah, dia memutuskan kembali ke Syria. Di Syria dia mencoba mendirikan
fondasi kekhalifahan, namun usaha tersebut ditumpas oleh khalifah Abbas dan memaksanya untuk
bersembunyi kembali. Belajar dari kegagalan tersebut, dia mengirim dua pendakwah besar Syi’ah
yaitu Abul Qasim dan Abu ‘Abdullah Al-Husain Al-Syi’ah ke Yaman dan Afrika Utara, masing-masing,
untuk membangun fondasi Kekhalifahan Fatimiyah.

Pada akhirnya pilihan pengikut Ismailiyah jatuh pada Afrika Utara, karena letaknya yang jauh dari
pengawan pusat kekuasaan di Baghdad. Namun, pada tahun 873, sebelum berhasil mendirikan
kekhalifahan, Imam al-Husain meninggal setelah kelahiran anaknya, Abu Muhammad Abdallah al-
Mahdi Billah (Ubaydillah).

Di Afrika Utara, usaha propaganda yang dilakukan oleh Abu Abdullah sendiri perlahan-lahan
membuahkan hasil. Dengan menyamar sebagai pedagang ia mulai menghimpun pengikut, yang
didominasi oleh orang berber. Perasaan dendam orang-orang barbar terhadap gubernur setempat,
akibat pajak yang sangat tinggi membantu Abu Abdullah untuk menguatkan fondasi kekhalifahan.
Dengan semakin besarnya dukungan terhadap gerakan Ismailiyah dan dibarengi dengan kemunduran
penguasa setempat, membuat kesempatan untuk mendirikan kekhalifahan semakin terbuka. Pasukan
yang dipimpin oleh Abdullah, telah dapat menumpas pasukan Aghlabite (Aglabiyyah), memperluaas
kekuasaanya, hampir ke seluruh Afrika Utara dan akhirnya meproklamirkan bahwa Ubaydillah al-
Mahdi sebagai penguasa dinasti Fatimiyah yang pertama, pada tahun 909 M.

Perkembangan Dinasti Fatimiyah


Dalam membahas perkembangan dinasti Fatimiyah, penulis akan mencoba membahasnya
berdasarkan periode kekhalifahan. Periode kekhalifahan dinasti Fatimiyah dimulai oleh Ubaydillah al-
Mahdi hingga khalifah Mustanshir. Alasan mengapa menetapkan khalifah Mustanshir sebagai akhir
dari pembahasan point ini adalah karena setelah masa Mustanshir, dinasti Fatimiyah memasuki fase
kemunduran.

Ubaydillah al-Mahdi (909-924)


Setelah berhasil menguasai daerah Afrika Utara, Abu Abdullah mengirim utusan kepada al Mahdi di
Salanya untuk datang ke Afrika. Ketika meninggalkan Salanya, Ubaydillah membawa kekayaan yang
sangat banyak. Ketika telah memasuki Afrika Utara, dia memerintahkan khotib-khotib untuk
menghapus nama khalifah Abbasiyah dari khotbah Jum’at, tetapi tidak ada nama lain yang disisipkan
di dalamnya.

Percetakan mata uang baru dipersiapkan, tetapi tidak memperlihatkan nama seorang pemimpin di
dalamnya. hanya terdapat inkripsi di kedua sisi mata uang yang berbunyi: “Bukti dari Allah sudah
datang” dan “musuh-musuh Allah sudah dicerai-beraikan. Selain di mata uang, senjata juga diberik
inkripsi yang berbunyi “senjata-senjata di jalan Allah”.

Ketika menginjakkan kaki di Afrika Utara, al-Mahdi bertekat mendominasi laut tengah. Mereka sangat
berminat untuk mendirikan pelabuhan-pelabuhan. Mulai dari situ mereka menemukan kota al-
Mahdiyyah, yang mereka gunakan sebagai pangkalan angkatan laut tengah dan pusat pemerintahan.
Mereka juga tertarik untuk mengepung pangkalan-pangkalan angkatan laut lain untuk menetapkan
kemasyuran mereka di atas lautan. Puncaknya mereka merebut pulau Sisilia dari khalifah Abbasiyah.

Pada tahun 913 M, al-Mahdi sudah mengumpulkan pasukan yang terdiri dari orang-orang Afrika di
bawah pimpinan anaknya. Pasukan tersebut kemudian bergerak meenuju Mesir dan dalam
perjalanannya berhasil merampas Barqa, memasuki Iskandaria, dan berjalan menuju daerah rendah
Mesir. Namun, pasukan tersebut dapat dipukul mundur oleh utusan Khalifah Abbas, Mu’nis. Pasukan
Fatimiyah pun mundur ke daerah Maghrib/Maroko.
Pada tahun 919 M, pasukan besar Fatimiyah di bawah pimpinan al-Qa’im bergerak kembali menuju
Mesir dan berusaha merebut daerah tersebut. Tapi usaha tersebut kembali menemui kegagalan, lagi-
lagi pasukan Fatimiyah dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Mu’nis, banyak kapal-kapal
Fatimiyah dibakar, dan sebagian besar pasukannya terbunuh dan diambil sebagai tawanan. Berkat
kemenangannya ini Mu’nis mendapat julukan al-Mudhaffar (pemenang), dari khalifah Abbasiyah.
Al-Qa’im (924-945)
Setelah gagal menguasai Mesir ketika memimpin pasukan besar Fatimiyah, al-Qa’im kembali
berusaha lagi untuk menguasai Mesir. Usaha ini merupakan usaha ketiga kalinya, yang dilakukan
pada 933-936 M. Namun, lagi-lagi usaha tersebut gagal, pasukan Fatimiyah gagal menaklukkan Mesir
yang pada saat itu dipimpin oleh gubernur al-Ikhsihid.

Fatimiyah sangat tertarik menguasai Mesir karena alasan-alasan politik dan ekonomi. Mereka
mempunyai tujuan untuk mendirikan negara besar laut tengah dan merencanakan untuk
membuatSisilia sebagai pangkalan angkatan laut utama, sebagai pertahanan serangan-serangan dari
Byzantium di pantai-pantai Afrika.

Setelah kegagalan ketiga tersebut, selama sisa kepemimpinan al-Qa’im, tidak ada usaha lagi usaha
untuk menaklukkan Mesir. Hal tersebut karena keadaan dalam negeri sedang tidak kondusif, yang
dipicu oleh pemberontakan yang diciptakan oleh beberapa orang Khawarij. Pemberontakan Khawarij
tersebut dipimpin oleh Abu Yasid, dengan pasukannya yang telah tersebar ke seluruh daerah
Fatimiyah, membuat pemberontakan ini sangat mengancam khalifah.

Khalifah Fatimiyah, Qa’im menulis surat kepad pemimpin Sanhaja, meminta bantuan untuk
memadamkan pemberontakan di ibu kota. Namun, usaha al-Qa’im untuk memadamkan
pemberontakan diperberat, dengan ikut campurnya Abdurrahmand III dari dinasti Umayyah di
Cordova, yang memihak Abu Yazid. Abdurrahman III mempunyai tujuan untuk mendapatkan daerah
barat laut lagi. Agar bisa mencapai tujuannya, Abdurrahman III bergabung dengan raja Italia Hugues
de Provence, dan membuat perjanjian yang sama dengan kaisar Byzantium, yang ingin merebut
Sisilia dari tangan al-Qa’im.

Namun, dinasti Fatimiyah perlahan-lahan mampu membalikkan keadaan. Abu Yasid banyak
ditinggalkan pasukannya, pasukan tersebut ada yang bergabung dengan pasuka Qa’im dan ada juga
yang pergi ke Qayrawan. Hal ini menyebabkan Khawarij hanya bergantung kepada suku Zenatah.
Khalifah Qo’im meninggal pada 945 M. Kematiannya ditutupi oleh anaknya, Manshur. Hal ini dilakukan
agar tidak mempengaruhi semangat pasukannya.

Al-Manshur (946-953)
Al-Manshur merupakan sosok yang energik dan pemberani. Awal kepemimpinan al-Manshur ditandai
dengan keberhasilannya melenyapkan pemberontakan Abu Yasid. Dengan bantuan angkatan perang
suku Sanhaja, pasukan Fatimiyah berhasil mengalahkan pasukan Khawarij. Abu Yasid yang
melarikan diri ke padang pasir berhasil ditangkap, dan dibawa ke al-Mahdiyya, namun sebelum
sampai di Mahdiyya, Abu Yasid telah meninggal akibat luka-lukanya.

Pada masa al-Manshur, kebijakan lebih banyak difokuskan untuk membangun kembali pemerintahan
yang sempat lumpuh akibat pemberontakan Khawarij. Dia mencoba melakukan konsolidasi daerah-
daerah Afrika Utara untuk mengembalikan keagungan kekhalifahan Fatimiyah. Al-Manshur sangat
memperhatikan pelabuhan-pelabuhan yang mempunyai peran vital bagi pemerintahan Fatimiyah, dia
menunjuk Hasan al-Kalbi sebagai gubernur Sisilia, pulau yang dia gunakan sebagai pangkalan
angkatan bersenjata.

Mu’izz (953-975)
Khalifah Fatimiyah keempat, Mu’izz, dikenal sebagai sosok pemimpin yang cakap dan sangat
mencintai kebudayaan. Dia menguasai beberapa bahasa asing, termasuk bahasa Italia dan bahasa
Slave. Selama pemerintahannya, seluruh suku Barbar yang sempat menolak mengakui kekuasaan
khalifah Fatimiyah sebelumnya, kembali menyatakan hormat kepadanya.

Tingkah laku yang sopan terhadap bermacam-macam suku, membuatnya menjadi sosok pemimpin
yang disegani. Pemimpin Idrisiyyah, yang telah menyisipkan nama khalifah Umayyah Cordova agar
terhindar dari ancaman dinasti Umayyah, dilepaskan dan kembali tunduk pada kekhalifahan
Fatimiyah. Kekuasaan Fatimiyah pada masa Mu’izz tersebar ke seluruh Afrika dari perbatasan
sebalah Barat Tripoli di Timur sampai pelabuhan Atlantik di Barat.

Dinasti Fatimiyah pada masa Mu’izz memfokuskan paskan perangnya untuk menghadapi Mesir, dan
menghilangkan kekuasaan spiritual Abbasiyah di Mesir dan Syria. Jika dia berhasil menguasai Mesir,
maka Fatimiyah akan mampu memperluas pemerintahan mereka ke Hijaz dan Syria. Pada tahun 976
M, Khalifah Fatimiyah mulai mempersiapkan pasukan untuk menyerang Mesir.

Untuk urusan dalam dia memperbaiki infrastruktur jalan, menggali sumur-sumur sepanjang jalan, dan
mendirikan rumah-rumah secara berselang-selang. Pada waktu yang bersamaan dia mengumpulkan
modal untuk bekal peperangan. Selain itu dia juga memberikan uang kepada pimpinan-pimpinan suku
Kutamah, sebagai bekal untuk memperlengkapi suku mereka dengan persenjataan.

Situasi Mesir sendiri pada saat itu sedang tidak kondusif, pasca meninggalnya gubernur mereka.
Mu’izz dengan jeli dapat melihat kesempatan ini, dan dimanfaatkannya untuk memulai serbuan ke
Mesir. Pada tahun 969 M, pemimpin pasukan Fatimiyah yang berasal dari Sisilia, Jawhar, berangkat
ke Mesir dengan memimpin 100.000 pasukan.

Dalam perjalanan penaklukan tersebut, Iskandaria menyerah dengan damai. Jawhar dapat memimpin
pasukannya untuk tetap fokus kepada tujuan utama mereka, yaitu menaklukkan Mesir. Pasukan
Fatimiyah dapat dikatakan tidak mendapatkan perlawanan berarti dari mayoritas orang-orang Mesir.
Puncaknya, Fustat, ibu kota Mesir saat itu menyerah tanpa syarat.

Pasca penaklukkan, Orang-orang Mesir tidak keberatan pemindahan kesetiaan mereka dari khalifah
Abbasiyah ke keluarrga Ali, karena mereka tahu pemindahan kekuasaan tidak akan termasuk dalam
perubahan kondisi politik mereka. Salah satu keuntungan yang didapat Fatimiyah setelah
penaklukkan, mereka dapat mendirikan garrison militer untuk mengakomodasi pasukan dan pengikut
mereka.

Selanjutnya masjid-masjid diperbaiki, masjid dibutuhkan untuk beribadah dan tempat berdiskusi
masalah-masalah politik dan sosial. Ketika berhasil menundukkan Mesir, Jawhar meletakkan dasar
pendirian ibu kota baru Fatimiyah, di Qahirah (Cairo). Ibu kota tersebut kemudian dibentengi dengan
dinding batu. Di sebelah utara Istana Khalifah terdapat masjid agung Azhar yang didirikan setelah
pendirian ibu kota baru. Masjid ini mulai resmi digunakan pada 972 M.

awhar merupakan panglima yang bijaksana dan cerdas. Setelah berhasil mendapatkan kepercayaan
rakyat Mesir. Dia kembali memperluas pengaruh dinasti Fatimiyah hingga ke Syria dan Hijaz
(Mekkah). Jawhar pun merasa sudah waktunya khalifah Mu’izz untuk berkuasa di Mesir. Akhirnya
Mu’iz berangkat Mesir, dengan membawa sejumlah besar uang dan peti mayat tiga orang khalifah
sebelumnya.

Sesampainya di Cairo, dia memberi nama kota tersebut al-Mu’izziyyah. Dia juga menawarkan posisi
di kabinetnya kepada menteri-menteri Mesir yang dulu. Setelah Fatimiyah berhasil mendirikan
kekuasaan mereka di Cairo. Cairo menjadi pusat dari seluruh ajaran-ajaran sekte mereka yang
tersebar luas. Mu’izz tidak lama memerintah di Mesir, karena pada tahun 975 dia meninggal dunia.

Aziz (975-996)
Seletah Mu’izz wafat, posisi khalifah digantikan oleh anaknya, Aziz. Sama seperti ayahnya, Aziz
merupakan pribadi yang bijaksana dan mencintai kebudayaan. Dia mendirikan bangunan-bangunan
yang mencerminkan kebuyaan, diantaranya: Hakim istana emas, masjid agung Qarafa, istana
Ainshams, dan istana sungai.
Aziz dikenal sebagai pribadi uang dermawan dan siap untuk mengampuni para musuhnya. Salah satu
contohnya adalah sikapnya terhadap Alpatakin, seorang Turki yang ia kalahkan di Syria. Meskipun,
Alpatakin adalah budak berlian, Aziz memperlakukan Alpatakin dengan sangat manusiawi, bahkan
dia memberikan baju kehormatan, dan mengizinkan Alpatakin masuk ke istana sebagai tamu
kehormatan.

Aziz juga menyukai orang Kristen dan Yahudi, bahkan dia mempunyai istri Kristen. Dari sikapnya
tersebut gereja koptik dapat berkembang. Aziz juga mengangkat Isa ibn Nestorius, seorang Kristen
alam kementrian, dan menunjuk, Menasseh seorang Yahudi sebagai gubernur Syria. Pada Aziz,
masjid Azhar mengalami perubahan dasar dan berkembang menjadi sebuah universitas. Pada tahun
988, Aziz menggunakan waktu dan tenaganya untuk memajukan ilmu pengetahuan yang berpusat di
Azhar. Aziz meninggal pada tahun 996.

Hakim (996-1021)
Pasca meninggalnya Aziz, Hakim diproklamirkan menjadi khalifah pengganti disaat usianya baru 7
tahun. Sehingga jalannya pemerintahan dipegang oleh Ibnu Ammar dari suku Kitamaah di Maroko.
Dalam memerintah Ibnu Amar memperlihatkan primordialisme kesukuannya, hal ini menyebabkan
kemarahan orang-orang Turki. Akibatnya muncul konflik antara orang-orang Maroko dan Turki, konflik
ini berakhir setelah Barjawan diangkat kedudukannya sebagai menteri.

Setelah Hakim tumbuh dewasa, dia menjalankan kekuasaan dengan tangan besi. Dalam usianya
yang muda muncul sikap fanatisme yang berkembang secara berlebihan. Dia sangat aktif dalam
memajukkan pengajaran-pengajaran Fatimiyah, namun sikap ini dibarengi dengan kekejaman dia
terhadap agama non-Islam.

Kebijakan pertama Hakim, muncul pada tahun 1000, ketika dia melarang siapa saja untuk
memanggilnya dengan sebutuan “pemimpin kita” atau “bangsawan kita”, dan mewajibkan mereka
menggunakan panggilan Amirul mu’minin. Dia mempunyai kebiasaan unik, yaitu suka bepergian pada
malam hari untuk memantau kota Cairo. Akibat dari kebiasaan unik pemimpin mereka, aktivitas Cairo
tetap hidup pada malam hari.
Hakim mendirikan suatu akademi yang sejajar dengan suatu lembaga Cordova, dan Baghdad.
Akademi ini dinamakan Darhikmah, dari akademi ini banyak menelurkan ulama-ulama. Sebuah
perpustakan bernama Dar al-Ulum juga didirikan berdampingan dengan akademi ini, buku-buku
perpustakaan ini mayoritas berasal dari Istana.

Pada tahun 1005, jiwa Hakim menjadi tidak stabil. Setelah menghadapi berbagai pemberontakan,
Hakim berubah menjadi sosok yang kejam. Perubahan sikap hakim ini, membuat Sitt al-Mulk
merencakan kematian Hakim pada 1020 M.
Zahir (1021-1036)
Pasca Hakim meninggal, kekhalifahan Fatimiyah digantikan oleh anaknya, Zahir. Pada masa awal
pemerintahannya, Sitt al-Mulk mengatur jalannya pemerintahan selama empat tahun. Baru setelahh
Sitt al-Mulk meninggal, Zahir mulai memegang kepemimpinan secara utuh. Dia merupakan pribadi
yang bijaksana dan sederhana.

Dia mengahapuskan peraturan-peraturan yang dibuat oleh ayahnya. Pemerintahan dinasti Fatimiyah
perlahan-lahan mulai bangkit kembali karena tindakannya yang adil untuk rakyatnya. Zahir
mengeluarkan kebijakan melarang menyembelih sapi-sapi, kecuali pada masa idul adha, karena sapi
dianggap dapat membantu menyuburkan tanah. Zahir meninggal pada tahun 1035 M.

Mustansir (1036-1094)
Ketika Zahir meninggal dunia, anaknya yang baru berusia tujuh tahun diproklamirkan sebagai khalifah.
Pemerintahan Mustansir adalah yang paling lama jika dibandingkan dengan khalifah lainnya, ia
memerintah selama 60 tahun. Selama pemerintahannya Mesir dapat mencapai ketenangan.

Dalam memerintah, Muntasir mengangkat menteri zaman pemerintahan ayahnya, Jarja’i Masa. Jarja’i
Masa menjadi menteri hingga ia meninggal pada tahun 1094. Kekuasaan Mustansir pada awalnya
berkembang ke seluruh Afrika dan Syria. Meskipun demikian, benih-benih kemunduran sudah muali
terlihat, dan masa Mustansir merupakan masa perkembangan terakhir dinasti Fatimiyah sebelum
memasuki fase kemunduran.

Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah


Sebelum Khalifah Fatimiyah, Muntasir meningga lpada 1094 M. Dia berpikir untuk memproklamirkan
anaknya yang lebih tua, Nizar sebagai penggantinya. Namun menterinya, Afdal putra Badr al-Jamali,
menunda proklamasi ini. pemimpin hakim dan pejabat tinggi lainnya, dan beberapa anggota keluarga
Fatimiyah mengikuti anjuran tersebut.

Bersamaan dengan itu, Nizar pergi ke Iskandaria. Di sana dia menerima bantuan militer dari gubernur
setempat, di sana dia menghimpun pasukan dan memutuskan memulai penyerangan untuk merebut
gelar khalifah. Tetapi dia dikalahkan oleh Musta’li dan dibunuh. Ketika khalifah Mustansir meninggal
dunia, dan anaknya, Musta’li diproklamirkan menjadi khalifah penggantinya.

Akibat konflik ini, gerakan Ismailiyah terpecah menjadi dua. Satu pengikut Nizar, yang lebih ekstrem
dalam bergerak yang nantinya berkembang menjadi Hassassin, satunya lagi menjadi Musta’li yang
lebih moderat. Meskipun Musta’li masih dapat mempertahankan kekhalifahan, tapi dengan adanya
perpecahan ini melemahkan basis spiritual Ismailiyah.

Propagandis Fatimiyah dari Persia, Hasan Sabbah kemudian menyebarkan propaganda bahwa Nizar
telah meninggal, dan posisi pemimpin muslim pun diambil oleh Musta’li. Musta’li merupakan
pemimpin yang lemah, sama seperti ayahnya. Pemerintahan pada masa itu mutlak dikuasai oleh
Afdal.

Pasca Musta’li meninggal, posisinya digantikan oleh Amir. Pada masanya kekuasaan masih dipegang
oleh Afdal, yang lebih condong menyukai aliran Sunni. Afdal pun mulai menghapuskan hari-hari besar
Syi’ah. Pada Periode kemunduran ini diwarnai oleh perebutan kekuasaan antara khalifah dan
menterinya. Hal ini semakin melemahkan kedudukan pemerintahan Fatimiyah.

Kondisi internal Fatimiyah yang kacau tersebut, dimanfaatkan oleh Nur al-Din raja Syria untuk masuk
ke Mesir. Campur tangan Nur al-Din dan orang-orang Salib dalam permasalahan Mesir, menjadi salah
satu faktor utama keruntuhan dinasti ini. Nur al-Din merupakan seorang Sunni yang bersemangat
menyerukan kembali nama khalifah Abbasiyah di Mesir. Akibat serangan-serangan mereka,
mempercepat keruntuhan dinasti Fatimiyah. Sallahuddin diproyeksikan untuk menggantikan
pamannya (Nur al-Din) setelah meninggal, diberikan tugas untuk menguasai Mesir. Sallahuddin
segera memperkokoh kekuasaannya di Mesir.

Khalifah terakhir Fatimiyah, Adid, pada waktu itu sedang menderita sakit. Sallahuddin mengumpulkan
orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi, untuk membicarakan perubahan nama khalifah
Fatimiyah dala khutbah Jum’at digantikan dengan nama khalifah Abbasiyah. Meskipun sempat timbul
keragu-raguan, pada saat sholat Jum’at khotib yang menyebutkan nama al-Mustadi, Khalifah
Abbasiyah, tidak mendapatkan protes. Maka mulai saat itu, Sallahuddin memberikan perintah untuk
membacakan nama khalifah Abbasiyah pada hari Jum’at.

Pada 10 Muharram 1171 M, Adid meninggal dunia ditengah-tengah ketidak tahuannya akan apa yang
terjadi. Kematian Adid menandai runtuhnya kekhalifahan Fatimiyah, sebuah kekhalifahan Syi’ah yang
membawa perubahan besar di Mesir.

BIBLIOGRAFI
Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan.
Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam II. Jakarta: Bulan Bintang.
Hitti, Philip. K. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ibrahim Hasan, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
Lapidus, Ira. M. 2000. Sejarah Ummat Islam Bagian Satu & Dua. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai