Anda di halaman 1dari 19

Diagnosis dan Tatalaksana Penderita Hepatitis C Kronik ko-infeksi HIV

Alan Crispapanrio Patandianan


102015179

Kelompok C3

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi : Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email : alanpatandianan24@gmail.com

Pendahuluan

HIV merupakan virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia. HIV saat ini
telah menjadi masalah global yang sangat serius bagi institusi pelayanan kesehatan. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2010 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV
berkisar 22726 jiwa, dengan angka kejadian di Jawa Tengah sebanyak 872 kasus. Berdasarkan
data WHO tahun 2007, di Indonesia terdapat sekitar 270.000 orang penderita HIV dengan
prevalensi pada orang dewasa sekitar 0,2%.

Beberapa studi juga memperkirakan sekitar 300.000 orang dengan HIV positif
mengalami koinfeksi dengan virus hepatitis C. Dalam hal ini yang paling berperan adalah
penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Fakta yang terjadi adalah 50-90% penderita HIV
melalui jarum suntik juga terinfeksi hepatitis C. Kematian akibat penyakit hati meningkat pada
pasien dengan hepatitis kronis karena hepatitis C yang juga terinfeksi HIV. Pada makalah ini
akan dibahas mengenai pengetahuan tentang koinfeksi HIV dan hepatitis C, sampai
penatalaksanaan dari koinfeksi tersebut.1

Anamnesis
Di awal anamnesis, informasi yang didapat tidak selalu lengkap, untuk melengkapinya
perlu anamnesis ulang jika ditemukan tanda objektif pada pemeriksaan. Pada anamnesis penyakit
hepatitis, yang perlu kita tanyakan adalah :
 Kalau ada demam, perlu ditanyakan tipe demam dan lamanya
 Nyeri perut kanan atas
 Mual, muntah
 Air seni seperti teh
 Mata kuning
 Riwayat kontak penyakit kuning : keluarga, lingkungan, sosial ekonomi
 Riwayat konsumsi obat-obatan
 Riwayat alkoholisme
 Riwayat suntik
 Riwayat transfusi
Namun berdasarkan skenario dimana keluhan utama pasien adalah diare jadi anamesis
dimulai dari karakteristik diarenya, hasil anamnesis didapatkan lendir (-), darah (-).Selain itu
tanyakan juga keluhan lainnya, berdasarkan anamnesis skenario didapatkan pasien batuk lama,
keringat pada malam hari dan adanya penurunan berat badan 5 kg dalam 1 bulan.Pasien juga
memiliki riwayat narkoba suntik sejak kuliah, menggunakan jarum bersama/bergantian dengan
temannya dan suka gonta-ganti pasangan.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dari kesadaran umum dan keadaan umum pasien. Kesadaran umum

Compos Mentis dan keadaan umum pasien tampak sakit berat. Selanjutnya kita melakukan

pemeriksaan Tanda Tanda Vital dan didapatkan hasil tekanan darah 100/60 mmHg, nadi

100x/menit, suhu 37oC, respiration rate 24x/menit.

Pemeriksaan fisik tambahan untuk kasus ini adalah pemeriksaan fisik sistematis dari kepala

hingga kaki, yang terdiri atas pemeriksaan kepala, mulut, toraks, abdomen, dan ekstremitas.

Hasil pemeriksaan berupa adanya Oral Thrush (+) pada mulut, Needle Tract (+/+), pada lengan

bawah kanan kiri.

Pemeriksaan Penunjang
A.Tes Serologi

Dilakukan untuk memeriksa kadar antigen dan antibody terhadap virus


penyebabnya. Tujuannya untuk memastikan diagnosis hepatitis dan mengetahui virus
penyebabnya. Hal ini penting karena menyangkut jenis terapi yang akan diberikan kepada
pasien, sehingga dibedakan untuk hepatitis A, hepatitis B, dan hepatitis C.
Kepastian seseorang mengidap VHC ditentukan dengan pemeriksaan molekuler dan
menilai antibodi, sehingga partikel virus dapat terlihat.Sekitar 30% pasien hepatitis C tidak
dijumpai adanya anti-HCV (antibodi terhadap VHC) yang positif pada empat minggu pertama
infeksi.Sementara 60% baru terdeteksi positif anti-HCV setelah 5-8 minggu terinfeksi VHC
bahkan ada yang setelah 12 bulan.Sekitar 80% pasien VHC menjadi kronis dan hasil
pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya enzim ALT dan meningkatnya AST.Pemeriksaan
molekuler dimaksudkan untuk mendeteksi RNA VHC. Ada dua jenis yaitu yang kualitatif
dan kuantitatif.
Tes kualitatif menggunakan tekhnik PCR (polymerase chain reaction) yang dapat
mendeteksi kurang dari 100 kopi per millimeter darah. Tes kualitatif juga untuk konfirmasi
adanya VHC dalam darah, juga menilai respons terapi.Selain itu tes ini juga dimanfaatkan untuk
pasien yang anti-HCV-nya negative tetapi menampilkan gejala klinis hepatitis C atau tidak
teridentifikasi jenis virusnya.
Tes kuantitatif adalah untuk menilai derajat perkembangan penyakit dan derajat
viremia (adanya VHC dalam darah). Dilakukan biopsy untuk mengetahui derajat dan tipe
kerusakan sel-sel hati.1

B.Tes Biokimia Hati


Pemeriksaan biokimia hati menggunakan beberapa parameter sebagai berikut.
1)Aspartat aminotransferase
Tujuan :
 Untuk membantu mendeteksi dan mendapatkan diagnosis banding penyakit hati akut.
 Untuk memantau perkembangan pasien dan prognosis pada penyakit jantung dan hati.
 Untuk membantu diagnosis infark miokard dalam hubungannya dengan kadar
kreatinin kinase dan laktat dehidrogenase.
Kadar AST berkisar antara 8 sampai 46 U/L pada lelaki dan antara 7 sampai 34 U/L pada
perempuan. Nilai normal pada bayi secara khas kadarnya lebih tinggi.
2)Alanin Aminotransferase
Tujuan :
 Untuk menilai dan mendeteksi pengobatan penyakit hati akut, khususnya hepatitis
dan serosis tanpa ikterik.
 Untuk membedakan antara kerusakan miokard dan jaringan hati (digunakan
bersama-sama dengan aspartat aminotransferase).
 Untuk menilai hepatoksisitas dari beberapa macam obat.
Kadar ALT serum normal berkisar antara 8 sampai 50 IU / L.
3)Alkali fosfatase
Tujuan :
 Untuk mendeteksi dan menunjukkan penyakit tulang rangka yang utamanya dicirikan
oleh aktivitas osteoblastik.
 Untuk mendeteksi lesi local hati yang menyebabkan obstruksi biliar seperti tumor atau
abses.
 Untuk menilai respons terhadap vitamin D pada terapi riketsia.
 Untuk memberikan informasi tambahan terhadap pemeriksaan fungsi hati lainnya
dan uji enzim usus.
Kadar ALP total normalnya berkisar antara 30 sampai 85 IU/ml (SI, 42 sampai 128 U/L)
4)Leusin aminopeptidase
Tujuan :
 Untuk memberikan informasi mengenai penyakit hati, pancreas dan biliar yang
dicurigai.
 Untuk membedakan penyakit tulang rangka dari penyakit hepatobiliar atau penyakit
pancreas.
 Untuk menilai ikterik neonatal.
Nilai normal adalah 80 sampai 200 U / mL (SI, 80 sampai 200 kU/L) pada lelaki dan 75
sampai 185 U/ml (SI, 75 sampai 185 kU/L) pada perempuan.
5)Gama glutamil transferase
Tujuan :
 Untuk memberikan informasi mengenai penyakit hepatobilier, untuk menilai fungsi hati,
dan untuk mendeteksi ingesti alcohol.
 Untuk membedakan antara penyakit tulang rangka dan penyakit hati bila kadar
alkali fosfatase dalam serum tinggi (kadar CGT yang tinggi mengarah ke dugaan adanya
penyakit tulang rangka).
Kadar CGT dalam serum berkisar sebagai berikut :
 Lelaki : usia 16 tahun dan lebih tua, 6 sampai 38 U/L (SI, 0,10 sampai 0,46 μKat/L)
 Perempuan : usia 16 sampai 45 tahun, 4 sampai 27 U/L (SI, 0,08 sampai 0,46 μKat/L);
usia 45 tahun dan lebih tua, 6 sampai 37 U/L (SI 0,10 sampai 0,63 μKat/L).
 Anak-anak : 3 sampai 30 U/L (SI, 0,05 sampai 0,51 μKat/L)

Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan anti HIV (+), anti HCV (+), rontgen thorax infiltrat
pada apex kedua paru.2

Working Diagnosis

Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (VHC).
Proses penularannya melalui kontak darah transfusi, jarum suntik (terkontaminasi). Dalam
perkembangan penyakit Hepatitis C, hati penderita akan mengalami sirosis (pengerasan hati)
yang kemudian akan berlanjut menjadi kanker hati (hepato seluler karsinoma). Penyakit
Hepatitis C tahap lanjut, resiko terjadinya kematian sangat besar.2
Penderita Hepatitis C sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan
gejala, walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Namun beberapa gejala yang
samar diantaranya adalah ; Lelah, Hilang selera makan, sakit perut, Urin menjadi gelap dan Kulit
atau mata menjadi kuning yang disebut "jaundice" (jarang terjadi). Pada beberapa kasus
dapat ditemukan peningkatan enzyme hati pada pemeriksaan urine, namun demikian pada
penderita Hepatitis C justru terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal.2-5
Hepatitis C menular terutama melalui darah. Sebelumnya, transfusi darah
bertanggung jawab atas 80% kasus hepatitis C. Kini hal tersebut tidak lagi terjadi berkat kontrol
yang lebih ketat dalam proses donor dan transfusi darah. Virus ditularkan terutama melalui
penggunaan jarum suntik untuk menyuntikkan obat obatan, pembuatan tato dan body
piercing yang dilakukan dalam kondisi tidak higienis. Penularan virus hepatitis C (HCV) juga
dimungkinkan melalui hubungan seksual dan dari ibu ke anak saat melahirkan, tetapi kasusnya
lebih jarang.Seperti halnya pada hepatitis B, banyak orang yang sehat menyebarkan virus ini
tanpa disadari. Gejala hepatitis C sama dengan hepatitis B. Namun, hepatitis C lebih berbahaya
karena virusnya sulit menghilang. Pada sebagian besar pasien (70% lebih), virus HCV terus
bertahan di dalam tubuh sehingga mengganggu fungsi liver.
Evolusi hepatitis C tidak dapat diprediksi. Infeksi akut sering tanpa gejala
(asimtomatik). Kemudian, fungsi liver dapat membaik atau memburuk selama beberapa
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Pada sekitar 20% pasien penyakitnya berkembang
sehingga menyebabkan sirosis.2-5

Gejala klinis VHC

Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya
20-30% kasus saja yang menunjukan tanda-tanda/simtomatik hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar
2-26 minggu) setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenal
karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga susah dalam menentukan perjalanan
penyakit akibat infeksi VHC. Dari beberapa laporan yang berhasil mengidentifikasi pasien
dengan infeksi hepatitis C akut, didapatkan adanya gejala malaise, mual-mual dan ikterus seperti
halnya hepatitis akut akibat infeksi virus-virus hepatitis lainnya. Hepatitis fulminan sangat jarang
terjadi. ALT meninggi sampai beberapa kali diatas batas nilai normal tetapi umumnya tidak
sampai lebih dari 1000 U/L. umumnya, berdasarkan gejala klinis dan laboratorik saja tidak dapat
dibedakan antara infeksi oleh virus hepatitis A, B maupun C. Infeksi akan menjadi kronis pada
70-90% kasus dan seringkali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati
berjalan terus. Hilangnya VHC setelah terjadi hepatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan
waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C
kronis.1
Kerusakan hati akibat infeksi kronis tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik
maupun laboratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dimana kadar ALT selalu
normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan diantara pasien
dengan peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai
berat. Progresifitas hepatitis kronis menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor risiko, yaitu:7
1. Asupan alkohol
2. Ko-infeksi VHC dengan virus hepatitis B (VHB)
3. Ko-infeksi VHC dengan Human Imunnodeficiency Virus (HIV)
4. Jenis kelamin laki-laki
5. Usia tua saat terjadinya infeksi
Ko-infeksi VHC dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk
perjalanan penyakit hati yang kronis, mempercepat terjadinya sirosis hati dan mungkin pula
mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh, terutama infeksi oleh VHc genotipe 1. Ko-
infeksi VHC dengan VHB juga memperburuk perjalanan penyakit pasien. Dilaporkan
kejadian sirosis hati relaitif lebih banyak ditemukan pada mereka yang menderita ko-infeksi
VHC-VHB dibandingkan dengan VHC atau VHB saja. Selain itu, risiko terjadinya kanker
hati meningkat menjadi amat tinggi pada mereka yang menderita ko-infeksi ini dibandingkan
hanya terinfeksi salah satu virus tersebut saja. Super infeksi oleh virus hepatitis A (VHA)
pada pasien yang telah terinfeksi VHC dilaporkan dapat menjadi hepatitis akut yang berat
atau hepatitis fulminan. Untuk itu, pasien VHC yang belum pernah terinfeksi VHA (anti
HAV total negatif) dianjurkan untuk vaksinasi terhadap infeksi VHA.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatik,
antara lain :
1. Krioglobulinemia dengan komplikasi-komplikasinya (glomerulopati, kelemahan,
vaskulitis, purpura atau artralgia).
2. Porphyria cutanea tarda
3. Sicca syndrome
4. Lichen planus
Patofisiologi gangguan-gangguan ekstra hepatik ini belum diketahui pasti, namun
dihubungkan dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga
mengganggu respons sistem imunnologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah
sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya angka kejadian limfoma non-Hodgkin
pada pasien dengan infeksi VHC.1
Patofisiologi VHC

Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya
eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relative
lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi dalam hati
tetapi tidak bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga
kerusakan sel hati berjalan terus menerus.Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan
aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th
1 menjadi Th 2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respons CTL. Reaksi inflamasi
yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, TGFβ1, akan menyebabkan
rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata di ruang disse
hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan “tenang” kemudian berproliferasi dan
menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga
terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi.
Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti
sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit.
Proses ini dapat menyebabkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati. 6,7

Etiologi VHC

Penyakit hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang
sering menyebabkan pembengkakan hati.Virus hepatitis C termasuk dalam family Flaviviridae
berbentuk ikosahedral yang mendapatkan selubungnya dari membrane sel hospes. Virus ini
merupakan virus RNA untai tunggal dengan polaritas positif. Ukuran partikel virus sekitar 30-60
nm, sedangkan panjang genom virus sekitar 9.600 pasang basa, yang mengkode 10 jenis protein
viral. Struktur poliprotein virus hepatitis C terdiri dari protein structural yaitu protein C
(core), protein E (envelope) dan protein M (membrane) serta beberapa protein nonstructural
yaitu NS1, NS2, NS3, dan NS4.8

Epidemiologi VHC
Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang
di seluruh dunia terinfeksi virus ini. Prevalensi VHC berbeda-beda di seluruh dunia. Di
Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi VHC tetapi dari laporan pada lembaga
transfuse darah didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi oleh VHC. Pada studi populasi
umum di Jakarta prevalensi VHC kurang lebih 4%. Karena Hepatitis C menular dari orang ke
orang melalui kontak dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis C, aktivitas yang
meningkatkan kontak dengan darah tersebut perlu dipertimbangkan sebagai faktor resiko.
Faktor resiko yang paling umum adalah pengguna obat bius suntik dan darah serta
produk transfusi darah sebelum tahun 1992 Faktor resiko lain seperti tato dan tindik tubuh.
Tinta atau jarum tato yang digunakan untuk membuat tato atau menindik dapat menjadi
pembawa virus Hepatitis C dari satu pelanggan ke pelanggan lainnya, jika pelaku tidak
melakukan sterilasasi pada perlengkapannya. Faktor resiko lainnya adalah luka tertusuk jarum,
terutama pada pekerja kesehatan, hemodialisis dan transplantasi organ sebelum tahun 1992. Luka
karena jarum suntik, yang seringkali terjadi pada petugas kesehatan, dapat menjadi alat
penularan virus Hepatitis C. Probabilitas penularan virus Hepatitis C melalui jarum suntik lebih
besar dibanding dengan virus HIV. Sekarang ini, pada penderita HIV ada protokol standar
dalam penanganan jarum suntik untuk mengurangi resiko tertular HIV atau AIDS.
Sayangnya, tidak ada protokol yang sama untuk penanganan pada penderita Hepatitis C untuk
menghindari penularan melalui jarum suntik.8

Pengguna Obat Bius Suntik


pengguna obat bius suntik mengidap Hepatitis C. Orang yang menggunakan obat bius
suntik, walaupun sekali, memiliki resiko tinggi tertular Hepatitis C. Sekarang ini, resiko
terinfeksi virus Hepatitis C melalui obat bius suntik lebih tinggi dibandingkan terinfeksi HIV
sekitar 60% hingga 80% yang terinfeksi Hepatitis C sedangkan yang terinfeksi HIV sekitar
30%.Virus Hepatitis C mudah sekali menyebar melalui berbagi jarum, jarum suntik dan
perlengkapan lain pengguna obat bius suntik. 5,7

Hubungan Seksual
Meskipun Hepatitis tidak mudah menular melalui hubungan seksual, prilaku
seksual yang beresiko, terutama yang memilki pasangan seksual lebih dari satu, menjadi pemicu
meningkatnya resiko terinfeksi virus Hepatitis C. Sekitar 15 % infeksi Hepatitis C ditularkan
melalui hubungan seksual. Penularan melalui
hubungan seksual pada Hepatitis C tidak setinggi pada Hepatitis B. Walaupun demikian, prilaku
seks yang beresiko tinggi berhubungan dengan peningkatan resiko tertular Hepatitis C. Faktor
resiko dari penularan Hepatitis C melalui hubungan seksual meliputi:
 Memiliki lebih dari satu pasangan
 Pengguna jasa PSK
 Luka karena seks (kurangnya pelicin pada vagina dapat meningkatkan resiko penularan
melalui darah)
 Melakukan hubungan seksual sewaktu menstruasi.
Pada pasangan yang menikah, resiko penularan meningkat sejalan dengan lamanya
perkawinan. Hal ini berkaitan dengan hubungan seksual dan berbagi perlengkapan (seperti
sikat gigi, silet cukur, gunting kuku dan sebagainya).
Jika anda memiliki hubungan seksual dengan orang yang memiliki faktor resiko
terinfeksi Hepatitis C, anda sebaiknya menjalankan tes untuk Hepatitis C juga. 5

Tatalaksana
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin sangatlah penting. Meskipun tubuh anda
telah melakukan perlawanan terhadap infeksi, tetapi hanya 15% yang berhasil, pengobatan
tetap diperlukan untuk mencegah Hepatitis C kronis dan membantu mengurangi
kemungkinan hati menjadi rusak.
Kadangkala, pengobatan Hepatitis C memerlukan waktu yang lama, dan tidak dapat
membantu. Tetapi karena penyakit ini dapat menjadi parah sepanjang waktu, sangatlah
penting untuk mencari pengobatan yang tepat dari dokter anda.
Diagnosa dan pengobatan awal sangatlah mendesak dan penting.Persentase yang
signifikan dari orang yang melakukannya dapat sembuh dari Hepatitis C dan menunjukan
perbaikan hatinya.Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh
anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir
penyakit hati.
Kebanyakan bentuk interferon alfa hanya dapat bertahan satu hari tetapi dapat
dimodifikasi melalui proses pegilasi untuk membuatnya bertahan lebih lama. Meskipun
interferon alfa dapat digunakan sebagai obat Hepatitis C tunggal termasuk pegylated
interferon, penelitian menunjukkan lebih efektif bila dikombinasi dengan anti virus ribavirin
3 senyawa digunakan dalam pengobatan Hepatitis C adalah:

 Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk meningkatkan sistem
daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya. Obat yang direkomendasikan untuk
penyakit Hepatitis C kronis adalah dari inteferon alfa bisa dalam bentuk alami ataupun
sintetisnya.

 Pegylated interferon alfa


Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut "polyethylene glycol
(PEG)"dengan molekul interferon alfa.Modifikasi interferon alfa ini lebih lama ada dalam tubuh,
dan penelitian menunjukkan lebih efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus dari
pasien Hepatitis C kronis dibandingkan interferon alfa biasa.

 Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan Hepatitis
C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus Hepatitis C, tetapi
dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa sendiri.

Pengobatan ini telah diterima berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan respon


melawan virus pada penderita penyakit Hepatitis C kronis.
Penderita dikatakan memiliki respon melawan virus jika jumlah virus Hepatitis C begitu
rendah sehingga tidak terdeteksi pada tes standar RNA virus Hepatitis C dan jika level tersebut
tetap tidak terdeteksi selama lebih dari 6 bulan setelah pengobatan selesai.1,5,7

Pencegahan
Kita dapat mencegah penularan Hepatitis C. Cara penyebaran yang paling efesien
Hepatitis C adalah melalui suntikan yang terkontaminasi oleh darah, misalnya di saat memakai
obat suntik. Jarum suntik dan alat suntik sebelum digunakan harus steril dengan demikian
menghentikan penyebaran penyakit Hepatitis C di antara pengguna obat suntik. Meskipun resiko
penularan melalui hubungan seksual kecil, anda seharusnya menjalankan kehidupan seks
yang aman. Penderita Hepatitis C yang memiliki lebih dari satu pasangan atau berhubungan
dengan orang banyak harus memproteksi diri (misalnya dengan kondom) untuk mencegah
penyebaran Hepatitis C.
Jangan pernah berbagi alat seperti jarum, alat cukur, sikat gigi, dan gunting kuku, dimana
dapat menjadi tempat potensial penyebaran virus Hepatitis C. Bila melakukan manicure, tato dan
tindik tubuh pastikan alat yang dipakai steril dan tempat usahanya resmi. Orang yang terpapar
darah dalam pekerjaannya, seperti pekerja kesehatan, teknisi laboratorium, dokter gigi, dokter
bedah, perawat, pekerja ruang emergensi, polisi, pemadam kebakaran, paramedis, tentara
atau siapapun yang hidup dengan orang yang terinfeksi, seharusnya sangat berhati-hati agar
tidak terpapar darah yang terkontaminasi.
Juga termasuk menggunakan peralatan tajam dan jarumdengan benar, mencuci tangan
secara teratur dan menggunakan sarung tangan dalam pekerjaannya. Jika anda pernah
mengalami luka karena jarum suntik, anda harus melakukan tes ELISA atau RNA
HCVsetelah 4-6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi penyakit Hepatitis C.
Pernah sembuh dari salah satu penyakit Hepatitis tidak mencegah penularan penyakit Hepatitis
lainnya. Orang yang menderita penyakit Hepatitis C dan juga menderita penyakit Hepatitis
A memilki resiko tinggi terkena penyakit hepatits fulminant, suatu penyakit hati yang mematikan
dan perkembangannya sangat cepat. Dengan demikian, ahli kesehatan sangat merekomendasikan
penderita penyakit Hepatitis C juga melakukan vaksinasi Hepatitis A dan Hepatitis B.8,9

HIV/AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala


atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae.AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul CD4+. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting.Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan
respon imun yang progresif.10

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, orang dengan HIV/AIDS mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti penurunan berat badan, demam
lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes,
dan lain-lain. Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika.Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis c. Lamanya penggunaan jaruk suntik berbanding
lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan
narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis.10

Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu
melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna
narkotika, pekerja seks komersil, pelangannya, serta narapidana.10

Stadium klinis HIV/AIDS terkonfirmasi menurut WHO:


1. Stadium 1 (asimptomatis)
- Asimptomatis
- Generalisata
2. Stadium 2 (ringan)
- Penurunan berat badan <10%
- Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, erupsi
popular pruiritik
- Infeksi herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
3. Stadium 3, lanjut
- Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
- Diare tanpa sebab jelas >1 bulan
- Demam berkepanjangan intermiten/konstan >1 bulan
- Kandidiasis oral persisten
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberculosis paru
- Infeksi bakteri berat: pneumonitis, empiema, infeksi tulang/sendi, meningitis
- Stomatitis/gingivitis
- Anema, neutropenia dan trombositopenia tanpa sebab jelas
4. Stadium 4 (berat, severe)
- Pneumonia bacterial berat rekuren
- Toksoplasmosis serebral
- Tuberculosis ekstrapulmonal
- Mikosis endemic disemiata
- Infeksi herpes simpleks mukokutan atau visceral
- Limfoma atau tumor padat terkait HIV
- Nefropati terkait HIV

 Terapi Antiretroviral (ARV)


 Stavudin:Kapsul, 30 mg/40 mg, dengan catatan >60 kg:2x40 mg sedangkan <60 kg:2x30
mg
 Zidovudin:Kapsul,100 mg, 2x300 mg atau 2x250mg(dosis alternatif)
 Duviral:tablet, kandungan:zidovudin 300 mg dan lamivudin150 mg, diminum 2x1.
 Catatan:untuk kombinasi stavudin dan zidovudin sama sekali tdak boleh.

Diare Kronik
Diare yaitu buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200
ml/24 jam.Diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.10
Infeksi HIV menyebabkan sistem imun menjadi lemah dan penderita menjadi lebih
gampang untuk terkena infeksi yang secara normalnya boleh dilawan. Pertahanan tubuh terhadap
infeksi dan penyakit dimusnahkan oleh HIV dengan cara memusnahkan CD4+ dan ini
menghilangkan kebolehan tubuh untuk melawan infeksi. Masih belum ditemukan lagi obat untuk
mengobati HIV. Semakin lama, penderita akan menderita pelbagai penyakit yang boleh
membawa maut termasuk infeksi opportunistik dan beberapa tipe kanker
Infeksi opportunistik adalah penyakit yang disebabkan oleh organisme sehingga
menimbulkan penyakit, tidak pada orang yang sehat tetapi pada orang yang mempunyai sistem
imun yang lemah.CD count adalah jumlah limfosit T CD4 dalam darah dan menunjukkan tahap
kekebalan sistem imun kita. Pada dewasa sehat, jumlah CD4 count adalah di antara 500–1400
sel/mm3. Resiko untuk mendapat infeksi opportunistik semakin tinggi apabila jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3.Viral load menunjukkan jumlah HIV di dalam darah dan jumlahnya yang
tinggi memberi tanda perkembangan penyakit yang semakin buruk.Infeksi opportunistik
mengakibatkan hampir 80% kematian pada pasien AIDS.10,11
Antara infeksi opportunistik yang menyebabkan infeksi gastrointestinal hingga
menyebabkan diare kronik pada HIV adalah Cryptosporidiosis yaitu sejenis parasit.Antara
symptom yang disebabkannya adalah keram lambung, nausea, lemah, berat badan menurun,
hilang selera makan, muntah, dan dehidrasi.Tiada pengobatan efektif untuk infeksi ini
menyebabkan sukar untuk diobati.Pengobatan HIV perlu untuk mengawal simptom ini.Selain itu
ialah Cytomegalovirus yaitu sejenis virus yang boleh menginfeksi seluruh tubuh tetapi ianya
biasa menginfeksi lambung, menyebabkan demam, diare dan nyeri lambung.Infeksi virus ini
biasanya terjadi apabila jumlah sel T CD4+ kurang dari 50 mm3 darah.Infeksi bakteri
Mycobacterium Avium Kompleks menyebabkan demam berlanjutan, keringat pada malam hari,
berat badan menurun, anemia, nyeri badan, pusing, diare, dan kelemahan.Bakteria yang
menyebabkan infeksi ini biasanya ditemui dalam air, habuk, tanah, dan tinja burung.Infeksi ini
biasanya terjadi apabila jumlah sel CD4+ kurang dari 50 mm3 darah.Azithromycin biasanya
diberikan sebagai pemgobatan pencegahan.10,11
HAART adalah kombinasi obat antiretroviral yang mengurangkan replikasi
HIV.Kombinasi 3 kelas obat yang biasa digunakan adalah nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTIs), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) dan protease
inhibitors (PIs).Efek samping dari penggunaan obat NRTI dan PIs adalah diare.Menurut Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), diare kronik bertanggungjawab terhadap 17% kasus
AIDS yang baru didiagnosa di Amerika Serikat akibat penggunaan terapi antiretroviral yang
sangat tinggi (HAART).10,11
World Health Organization (WHO) menjangkakan 85–90% penyakit diare pada negara
berkembang disebabkan air yang tidak selamat dan sanitasi sera higiene yang tidak adekuat.
Walaupun tidak mungkin transmisi melalui feses–oral atau terpegang feses orang yang terinfeksi
oleh HIV, ini akan meningkatkan resiko ahli keluarga untuk mendapat infeksi tersebut jika
pembaikan higiene tidak diikuti.10

Kandidiasis Orofaringeal

Infeksi oral oleh candida dapat ditemukan di semua negara. Infeksi ini sering ditemukan
pada anak-anak, usia lanjut, dan pasien dengan sistem imun yang tidak adekuat, termasuk pada
pasien AIDS. Sebagai komplikasi pada infeksi HIV, timbulnya infeksi kandidiasis orofaringeal
sangat umum ditemukan dan merupakan manifestasi awal perkembangan AIDS. Terdapat
beberapa perbedaan dari kandidiasis orofaringeal.Kandidiasis pseudomembran muncul dengan
plak putih pada epitel yang terinfeksi dan dapat lepas dengan mudah. Gambaran bercak-bercak
putih yang menyebar ini dinamakan “thrush”.1

Gambaran klinik ini dapat muncul sebagai infeksi akut pada anak-anak, lansia, dan pasien
dengan sistem imun yang tidak adekuat, seperti pada AIDS.Pada beberapa individu, plak tersebut
dapat tidak muncul tetapi permukaan mukosa terlihat sangat kemerahan (kandidiasis eritematus
akut) yang juga dikenal sebagai kandidiasis oral atropik akut. Hal ini dapat muncul pada pasien
AIDS. Kandidiasis esofageal dapat banyak dilihat pada pasien dengan AIDS. Kandidiasis
esofageal dapat mucul dengan nyeri retrosternal sewaktu menelan dsn kadang-kadang juga tanpa
gejala Gambaran klinik lesi kandidiasis oral pada pasien HIV yang dikonfirmasi dengan apusan
rongga mulut dengan identifikasi spesies kandida menggunakan CHROMAGAR.1

Kandidiasis Oral
 Flukonazol:800mg (12mg/kg)
 Echinocandin atau LFAmB 3-5mg/kg/hari atau Amb 0,5-1 mg/kg/hari

Tuberkulosis Paru

Penyakit tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang menyerang hampir
semua organ tubuh manusia dan yang terbanyak adalah paru-paru. Kuman yang bersifat dormant
(tidur) pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi
TB dewasa (TB sekunder = TB pasca primer). Mayoritas reinfeksi mencapai 90 %. TB sekunder
terjadi karena imunitas tubuh yang menurun seperti pada penyakit malnutrisi, DM, HIV/AIDS,
kanker, gagal ginjal, alkohololism, dll.1

TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi pada regio atas paru (bagian
apical-posterior lobus superior atau inferior) Invasinya adalah ke parenkim paru dan tidak ke
nodul hilus paru.Sarang dini ini mula-mula jugaberbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini akan menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari se-sel Histiosit
dan datia langhans.1

Tuberkulosis Paru
 Isoniazid:5mg/kgBB dosis harian
 Rifampisin: 10 mg/kgBB

Peran Infeksi HIV terhadap Infeksi Virus Hepatitis C

Pada pasien hepatits C kronik, adanya koinfeksi dengan HIV secara bermakna dapat
mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepatitis C. Suatu meta analisis dari 29 studi yang
melibatkan 16.750 pasien menunjukkan bahwa pasien koinfeksi memiliki risiko tiga kali lebih
tinggi untuk terjadinya sirosis, penyakit hati dekompensata, kanker hati atau kematin. Tingginya
angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati pada pasien koinfeksi HIV VHC mungkin
disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

a. Replikasi virus hepatitis C lebih tinggi.


Meskipun mekanismenya belum jelas, studi-studi menunjukkan bahwa kadar RNA VHC di
serum maupun intrahepatic pasien koinfeksi HIV-VHC lebih tinggi dibandingkan infeksi
HVC saja. Tingginya kadar RNA VHC tersebut akan meningkatkan risiko transmisi dan
menekan keberhasilan terapi hepatitis C. Di sisi lain, kadar RNA VHC dalam serum dapat
meningkat setelah mendapat pengobatan HIV.
b. Klirens virus hepatitis C lebih rendah.
Studi-studi menunjukkan bahwa adanya koinfeksi HIV-VHC akan menekan sistem
imun, sehingga klirens virus hepatitis C menjadi lebih rendah dibandingkan pada infeksi
hepatitis C saja (10 – 20% vs. 30 - 40%).
c. Progresi penyakit hati lebih cepat
Pasien koinfeksi HIV-VHC lebih cepat berkembang menjadi sirosis dibandingkan infeksi
hepatits C saja. Studi menunjukkan dalam 10-15 tahun, sekitar 15-25% pasien koinfeksi
HIV-VHC sudah berlanjut menjadi sirosis dibandingkan 2-5% pasien dengan infeksi hepattis
C saja. Pasien dengan koinfeksi HIV-VHC memiliki risiko 2-3 kali lipat untuk mengalami
sirosis hati, dibandingkan dengan monoinfeksi VHC. Studi multisenter di Amerika Serikat
dan Kanada juga menunjukkan bahwa progresi menjadi karsinoma hepatoselular lebih cepat
pada pasien koinfeksi HIV-VHC dan terjadi pada usia yang lebih muda dan memiliki angka
kesintasan hidup yang lebih buruk.12

Prognosis
Hepatitis C merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan penyakit hati kronik
yang mungkin dapat mencetuskan sirosis hati atau bahkan kanker hati. Hepatitis C biasanya
dapat kembali menginfeksi setelah transplantasi hati di mana dapat mengakibatkan sirosis pada
hati yang baru tersebut.Ditambah pasien merupakan penderita HIV/AIDS sehingga memudahkan
terjadinya bermacam-macam kompilasi dan penyakit lain karena kekebalan tubuh yang sangat
rendah.

Kesimpulan

Hepatitis C merupakan penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh HCV.Penularan


biasanya terjadi secara parenteral. Infeksi akut pada Hepatitis C umumnya jarang menunjukkan
gejala atau hanya gejala minimal sehingga sulit untuk terdeteksi, namun pada kasus
menunjukkan adanya gejala serupa hepatitis akut et causa viral yang dialami oleh pasien. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium secara serologi dan juga biokimia untuk
mengetahui kerusakan pada sel hati. Perjalanan penyakit hepatitis C sering kronik sehingga dapat
menyebabkan penyakit-penyakit hati lainnya yang lebih parah.

Berdasarkan skenario penderita juga menderita HIV/AIDS sehingga diikuti oleh


bermacam-maca penyakit lain yang umumnya timbul bersama dengan HIV yaitu kandidiasi oral,
diare kronik, dan tuberculosis paru.

Pencegahan dalam bentuk vaksin HCV belum ada, oleh karena itu pencegahan penularan
dapat dilakukan terutama pada transfusi darah perlu dilakukan skrining terhadap donor darah dan
menghindari penggunaan jarum suntik secara bergantian yang umumnya sering dilakukan oleh
pengguna obat-obatan terlarang. Deteksi dini akan sangat membantu mengurangi tingkat
kerusakan sel hati dan fungsi hati.

Daftar Pustaka
1. SudoyoAW, SetiyohadiB, AlwiI, SimardibrataM, danSetiatiS.
Bukuajarilmupenyakitdalam: EdisiV. Jakarta: InternaPublishing; 2009
2. Sari W, Lili I, Djing OG. Care your self: hepatitis. Jakarta: Penebar plus;2008.h.26-33
3. Budhi MP, dr. 100 Questions and Answer Hepatitis. PT Elex Media Komputindo.
Jakarta. 2011.

4. Longo D, Fauci A. Harrison’s gastroenterology and hepatology 2nd ed.McGraw-Hill Prof


Med/Tech. 2013.
5. Penyakit Hepatitis. Dunduh dari www.infopenyakit.com, tanggal 10 Juni 2016.
6. Hepatitis C. Diunduh dari www.medicastore.com, tanggal 10 Juni 2016.
7. Amebiasis hati. Diunduh dari www.kalbe.co.id, tanggal 11 Juni 2016.
8. Rino A. Gani. Hepatitis C. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. V. Interna Publishing.
Jakarta. 2009.
9. Radji M. Infeksi virus pada hati. Imunologi dan Virologi. PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.
2010.
10. Rudijanto Achmad, Madjid A, Pranoto Agung, Fuazi Ahmad, Rasyid Ahmad, Susilo
Adiyo,et all.Buku penyakit dalam. Jilid II. Edisi-6. Jakarta. 2015.
11. Gupta S, Narang S, Nunavath S, Singh S. Chronic diarrhoea in HIV patients. Indian J
Med Microbiol. April-Juni 2008. Diunduh 11 Juni 2016.
12. Danta M, Semmo N, Fabris P, Brown D, Pybus OG, Sabin CA, et al. Impact of HIV on
host-virus interactions during early hepatitis C virus infection. The Journal of infectious
diseases. 2008;197(11):1558-66.

Anda mungkin juga menyukai