BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang dapat
diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai
pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih dari
10% dari pendapatan total.
Kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh struktur tegakan hutan. Struktur
tegakan hutan yang diharapkan memenuhi syarat bagi tercapainya kelestarian,
yakni kurang lebih menyerupai hutan normal. Budidaya hutan rakyat pada
dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian
apa adanya. Artinya, mulai dari penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan
sampai siap jual semuanya dilakukan secara sederhana (Hardjanto 2000).
Usaha pengelolaan hutan rakyat dapat menyerap banyak tenaga kerja
karena kegiatannya yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan
pemasaran. Pada umumnya hutan rakyat yang ada di Indonesia, khususnya di
Pulau Jawa tidak lebih dari 0,25 Hektar. Hal ini disebabkan rata-rata kepemilikan
lahan di Pulau Jawa sempit. Oleh sebab itu umumnya pemilik berusaha
memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang bernilai
tinggi, cepat menghasilkan, dan tanaman konsumsi sehari-hari. Selain pada
pekarangan rumah, umumnya hutan rakyat ditemui pada lahan marginal (lahan
yang tidak/kurang menghasilkan komoditi pangan) serta pada lahan-lahan
terlantar (Hardjanto 2000).
Menurut Dinas Kehutanan Jawa Tengah (2007), pola hutan rakyat
berdasarkan jenis tanaman adalah :
1. Didominasi oleh satu jenis tanaman. Contoh : jati, akasia, mahoni.
2. Pola hutan rakyat campuran, didominasi oleh dua atau lebih jenis tanaman
kehutanan. Contoh : jati dan mahoni, jati dan sengon, mahoni, dan sengon.
3. Pola hutan rakyat agroforestri merupakan hutan rakyat campuran antara
tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, dan tanaman hijau makanan ternak
yang dipadukan dengan tanaman pangan semusim (empon-empon, kunyit,
jahe, dan lain-lain). Pola agroforestri paling diminati masyarakat karena bisa
menghasilkan panen harian, mingguan, maupun tahunan (jangka panjang).
8
2. Sub sistem pengolahan hasil, adalah terciptanya kombinasi bentuk hasil yang
memberikan keuntungan besar bagi pemilik lahan hutan rakyat.
3. Sub sistem pemasaran hasil, adalah tercapainya tingkat penjualan yang
optimal, yakni semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual di
pasaran.
Pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh
dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan, dan menilai
serta mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran
secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan
rakyat ini adalah peningkatan peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan
pemilik/pengusahaannya secara terus-menerus selama daur (Lembaga Penelitian
IPB 1990).
Pembangunan hutan rakyat saat ini perlu mendapat perhatian lebih, karena
merupakan program nasional yang sangat strategis, baik ditinjau dari kepentingan
nasional maupun dari segi pandangan global, meliputi aspek ekonomi, ekologis
maupun sosial budaya. Hutan rakyat yang bermula dari kegiatan penghijauan
lahan kritis milik masyarakat, sekarang sudah berkembang menjadi salah satu
bidang usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperluas
kesempatan kerja dan usaha lainnya serta menunjang pemenuhan bahan baku
industri. Di Pulau Jawa, hutan rakyat disamping berasal dari kegiatan program-
program bantuan pemerintah, juga dikembangkan oleh masyarakat secara
swadaya murni baik pada lahan kritis maupun lahan produktif. Hal ini disebabkan
masyarakat sudah merasakan adanya nilai tambah dari usaha hutan rakyat. Harga
komoditas kayu rakyat pun meningkat dari tahun ke tahun, sehingga telah
memberi peluang yang besar bagi pengembangan hutan rakyat dan peningkatan
kesejahteraan (Widiarti 2000).
lain penelitian pada kasus di dataran tinggi Ethiopia Tengah, yang menyatakan
“hasil dari pemodelan keputusan mengungkapkan bahwa tanaman berkayu yang
tumbuh di lahan pertanian dipilih berdasarkan kegunaan spesies pohon tersebut,
terutama untuk kayu bakar dan produk berbasis kayu, diikuti oleh pendapatan
uang“ (Krause dan Uibrig 2006). Pada dasarnya, kegunaan dari jenis pohon yang
ditanam dan keuntungan keuangan telah menjadi alasan-alasan petani dalam
memilih jenis pohon berkayu untuk ditanam di lahan miliknya. Kasus lain yang
terdapat di Pakistan terkait keputusan petani untuk menanam pohon, peneliti
memaparkan bahwa ”kecuali masalah yang berkaitan dengan pemasaran,
kurangnya pembibitan, persepsi kehutanan-pertanian sebagai bisnis jangka
panjang, dan kerusakan bibit oleh hewan dan manusia dapat ditangani, intervensi
kebijakan untuk meningkatkan pohon yang tumbuh di lahan pertanian sebagai
bagian dari strategi mata pencaharian petani akan tetap dipertanyakan” (Zubair
dan Garforth 2005).