Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah area di dalam sebuah rumah sakit yang

dirancang dan digunakan untuk memberikan standar perawatan gawat darurat

untuk pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak. Unit ini

memiliki tujuan utama yaitu untuk menerima, melakukan triase, menstabilisasi,

dan memberikan pelayanan kesehatan akut untuk pasien, termasuk pasien yang

membutuhkan resusitasi dan pasien dengan tingkat kegawatan tertentu

(Auatralian Colleg For Emergency Medicine, 2014).

Pelayanan pada pasien gawat darurat merupakan pelayanan yang

memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat, dan cermat yang menekankan

pada time saving is life saving (waktu adalah nyawa). Perawat IGD harus

memiliki dasar pengetahuan dan kompetensi mengenai protokol pelaksanaan dan

implementasi untuk mencegah terjadinya komplikasi, kecacatan dan kematian.

Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan di rumah sakit memegang peranan

penting dalam upaya mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Keberhasilan

pelayanan kesehatan bergantung pada partisipasi perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan yang berkualitas bagi pasien. Hal ini terkait dengan

keberadaan perawat yang bertugas selama 24 jam melayani pasien, serta jumlah

perawat yang mendominasi tenaga kesehatan di rumah sakit, yaitu berkisar 40

sampai 60%. Rumah sakit harus memiliki perawat dengan kinerja baik yang

akan menunjang kinerja rumah sakit, maka dari itu perawat yang bertugas di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) dituntut untuk memiliki kemampuan lebih

dibandingkan yang lain, karena IGD merupakan sebuah pelayanan awal pada

rumah sakit yang terdapat berbagai macam kasus (Mulyadi, 2017).

Tipe kasus yang sering terjadi di IGD adalah trauma dan non-trauma.

Trauma yang menurut definisi American Heritage Dictionary adalah luka,

khususnya yang disebabkan oleh cedera fisik yang tiba-tiba. Trauma merupakan

penyebab utama kematian pada pasien di bawah 45 tahun, dan merupakan

penyebab utama kematian nomor empat pada orang dewasa selain penyakit

kanker. Di Amerika Serikat pada tahun 2000 trauma yang tidak disengaja

menyebabkan 97.300 kematian dan 20.500.000 trauma yang menimbulkan

kecacatan (Dahliana, 2015). Penyebab trauma yang paling besar di seluruh dunia

adalah kecelakaan lalulintas. Bahkan pada tahun 2020 mendatang, kematian

akibat kecelakaan tersebut diperkirakan akan meningkat hingga mencapai 8 juta

orang dan ratusan juta orang mengalami kecacatan, dari kejadian trauma yang

diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas, diantaranya 80% mengalami trauma

muskuloskeletal (Republika, 2015). Trauma muskuloskeletal memerlukan

penanganan yang cepat dan tepat untuk mengurangi angka kecacatan dan

kematian. Tingginya angka kecacatan dan kematian tersebut dikarenakan

kurangnya pengetahuan pada penanganan awal gawat darurat, kurang memadai

peralatan, sistem yang belum memadai, dan penanganan tidak tepat (tidak sesuai

presedur) penanganan kegawat daruratan (Humardani A, 2013).

Salah satu upaya untuk menjaga keselamatan pasien, dengan menerapkan

Standard Operational Procedure (SOP) dalam setiap tindakan perawat.


Keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan menghindari

terjadinya malpraktik. Standard Operational Prosedure (SOP) merupakan standar

yang harus di jadikan acuan dalam memberikan setiap pelayanan, standar kinerja

ini sekaligus dapat digunakan untuk menilai kinerja instansi baik secara internal

maupun eksternal. Setiap sistem manajemen kualitas yang baik selalu didasari oleh

SOP kemudian disosialisasikan kepada seluruh pihak yang berkompeten untuk

melaksanakanya serta mengadakan pelatihan yang berhubungan dengan SOP,

meskipun demikian sebagian besar perawat dalam melaksanakan praktek

keperawatan belum sesuai dengan SOP yang ditetapkan oleh rumah sakit. Hal ini

mencakup proses pelayanan yang memiliki suatu presedur pasti atau

terstandarisasi, tanpa kehilangan keefektifannya (Natasia, 2014).

Menurut PERMENPAN PER/21/M-PAN/11/2008 menyebutkan SOP harus

dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, oleh siapapun, dan dalam

kondisi apapun oleh seluruh jajaran organisasi pemerintahan, SOP harus

dilaksanakan dengan komitmen penuh dari seluruh jajaran organisasi, dari level

yang paling rendah dan tertinggi, SOP harus mengikat pelaksana dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur standar yang telah ditetapkan,

seluruh pegawai peran-peran tertentu dalam setiap prosedur yang distandarkan.

Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan

tidak lepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan sesuai dengan

SOP (Aditya, 2014). Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang

bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat

dalam melaksanakan SOP tergantung dari perilaku perawat itu sendiri. Perilaku
kepatuhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi

kepatuhan dapat dikategorikan menjadi faktor internal yaitu karakteristik perawat

itu sendiri (umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, status perkawinan,

kepribadian, sikap, kemampuan, persepsi, dan motifasi) dan faktor eksternal

(karakteristik organisasi, karaktaristik kelompak, karakteristik pekerjaan, dan

karakteristik lingkungan) (Noviar, 2017).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Natasia, dkk (2014)

tentang faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaan SOP asuhan

keperawatan di ICU-ICCU RSUD Gambiran Kota Kediri, mengatakan kepatuhan

perawat dalam pelaksanaan SOP masih kurang, hal ini dapat disebabkan oleh

beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat terhadap

kepatuhan pelaksanaan SOP meliputi: usia, lama kerja, tingkat pendidikan

(vokasional dan profesional), motivasi dan persepsi. Keterbatasan waktu untuk

bertindak mempengaruhi ketidak patuhan perawat sehingga SOP tidak terlalu

diperhatikan (Moniung, dkk, 2014). Hal tersebut juga disampaikan oleh

Martyarini (2014) dalam penelitian tentang hubungan kepatuhan perawat pada

prosedur tetap pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di RS Wijaya Kusuma

Purwakarta, dimana terdapat perawat tidak mencuci tangan terlebih dahulu saat

melakukan tindakan pemasangan infus, tidak menggunakan tourniquet karena

perawat harus melakukan pemasangan infus lebih cepat untuk melakukan tidakan

perawatan pada pasien lain, serta terdapat data laporan hasil audit asuhan

keperawatan di RSUD Cengkareng tahun 2013 yaitu masih terdapat 30% perawat

yang tidak melakukan perawatan luka sesuai dengan SOP dengan benar. Terdapat
13 kasus infeksi pada pasien post rawat luka dari bulan Januari sampai Mei di

RSUD Cengkareng. Hal ini harus menjadi bahan masukan untuk manajemen

karena meningkatnya angka infeksi pasien post perawatan luka.

Dari hasil wawancara dengan 5 orang perawat di IGD Rumah Sakit Umum

Daerah Wangaya diperoleh data bahwa penyebab ketidakpatuhan perawat dalam

pelaksanaan SOP pada penanganan pasien trauma muskuloskeletal disebabkan

karena beban kerja perawat yang tinggi dan perawat yang diwawancarai ternyata

juga tidak melakukan penaganan pada pasien trauma musculoskeletal sesuai SOP

yang telah ditetapkan oleh Rumah Sakit. Alasan dari perawat yang bersangkutan

adalah karena memakan waktu yang lama untuk melakukan tindakan sesuai SOP.

Berdasarkan uraian latar belakang dan mengingat pentingnya penangaanan

pasien trauma muskuloskeletal sesuai dengan SOP maka peneliti ingin meneliti

hubungan beban kerja dengan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SOP pada

penanganan pasien trauma muskuloskeletal di IGD RSUD Wangaya

Anda mungkin juga menyukai