Anda di halaman 1dari 7

Ibnu Sahnun dan pandangannya tentang Pendidikan

Dari Kitabnya (Adab-adab Pengajar/Adabul Mu’alimin)

Umat Islam Telah memberikan perhatiannya terhadap pengalaman sejarah berabad-abad


dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Dan para Ulama’, Filsuf dan Peneliti berspekulasi
tentang pandangan yang masih berkembang dari waktu ke waktu. Dan masih menyisakan perhatian
bagi para pemikir dan pembaharu.

Dan kajian yang paling penting dan bernilai dan menciptakan Prinsip terbaik yang berjalan
bertahun-tahun yaitu: Pendidikan Islam, yang mana banyak Ulama’ berspekulasi di dalamnya.

Dan dari ahli di bidang pendidikan dan pengajaran yang mana mereka memiliki standar
kompetensi dalam penulisan dan sistem pendidikan Islam yaitu Ibnu Sahnun, dialah yang akan
menjadi objek pembahasan dan tulisan kali ini.

Siapa itu Ibnu Sahnun? Dan apakah Pendapat pentingnya tentang system pendidikan Islam?

A. Biografi Ibnu Sahnun dan Kandungan pokok bukunya.

 Biografi Ibnu Sahnun


Tertulis dalam kitab Sayru A’lamu an Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby bahwa Ibnu Sahnun
Adalah Abu Abdullah Muhammad bin Sahnun, Lahir di Qairuwan pada tahun 202 H, dan
tumbuh di sisi ayahnya soerang ahli hukum agama di Maghrib dan Afrika yaitu Abdussalam
Sahnun At Tanukhy al Qoiruwany Ulama’ pengikut madzhab Maliki, yang sangat
memperhatikan pendidikan, pendisiplinan dan pengajarannya, dan dia menyerap dari
ayahnya Al-Qur’an dan ilmu-ilmu penting lainnya. Dan kemudian pindah belajar ke
beberapa ulama’ besar Afrika, hingga ia menyerap dan menguasai yang dipelajarinya.
Kemudian ia melanjutkan belajarnya ke Mesir dan mempelajari berbagai macam disiplin
ilmu dan kembali ke Afrika dengan berbekal eksperimen dan keilmuan yang tinggi untuk
disebarkan ke daerah Maghrib dan Afrika.
Beliau menyibukkan diri dalam pengajaran di Qairuwan dan menulis sebuah buku Adabu al
Mu’allimin yang terbagi dalam volume kecil yang masing masing memiliki 62 halaman.
Sebuah tulisan berharga yang tak ternilai yang terkandung di dalamnya pemikiran dan
pendapat tentang pendidikan yang tergambar jelas dari apa yang dialami umat islam yang
difokuskan kepada kasus belajar dan mengajar.
Ibnu Sahnun Meninggal pada tahun 256 H dan meninggalkan di belakangnya warisan yang
besar diberbagai macam seni.
Dan diantara buku-buku penting beliau yaitu:
 Adabu al Mu’allimin
 Adabu al Munadhirin
 Al Jami’ fi Fununi al ‘Ilmi wa al Fiqh
 Ar Risalah al Janubiyyah
 Perjalanan, Sejarah dan jawaban-jawaban dari Ibnu Sahnun dan masih banyak yang
lainnya.
 Hal-hal pokok yang terdapat dalam karya Ibnu Sahnun (Adabu al Mu’allimin)
Kandungan-kandungan dari kitab Ibnu Sahnun:
 Pengajaran Al-Qur’an yang mulia
 Perlakuan yang adil kepada murid
 Dzikir-dzikir yang makruh untuk dihapus, dan apa yang sebaiknya dilakukan terhadapnya
 Adab (sanksi dan hukuman): apa yang boleh dan apa yang dilarang?
 Mengkhatamkan (pelajaran) dan hal yang wajib (diberikan) kepada guru dalam hal ini
 Penetapan hadiah-hadiah pada Hari Raya
 Berapa lama sebaiknya murid diberikan libur?
 Kewajiban guru untuk selalu mendampingi muridnya
 Mengupah guru dan kapan hal itu diwajibkan?
 Menyewakan mushhaf Al-Qur’an, buku-buku fiqh dan literatur lain yang semacamnya

Demikianlah kandungan secara umum dari karya Ibnu Sahnun, maka kalian harus mericikan
apa yang menjadi pembahasan kita kali ini.

B. Pemikiran Pandidikan Ibnu Sahnun

Cakupan pelajaran menurut Ibnu Sahun atau yang seharusnya dipelajari dan diajarkan.
1. Memulai dengan mempelajari Al-Qur’an
Ibnu Sahnun menganggap bahwa Al-Qur’an adalah dasar dan sumber dari ilmu; karena itu
ia memulai kitabnya dengan “Pengajaran Al-Qur’an yang mulia”. Sejalan dengan hal
tersebut adalah apa yang terdapat dalam Hadits-hadits Nabi SAW. Seperti yang
diriwayatkan oleh Utsman bin Affan ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik
kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Dan dari riwayat yang lain
dari Ali bin Abi Thalib ra dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah
yang belajar dan mengajarkannya.” Dan dalam kandungan kitabnya terdapat banyak Hadits
yang tidak bisa tercakup penyebutannya. Seperti diriwayatkan dalam Atsar dari Sofyan at
Tsauri dari ‘Ala’ bin Tsa’ib dia berkata Ibnu Mas’ud ra berkata: “Haruslah bagi orang-orang
itu (seseorang) yang menjadi pengajar, yang mengajar anak-anak mereka dan ia mengambil
upah dari hal tersebut dan jikalau tidak demikian maka manusia masih akan dalam kebutaan
aksara”. Dan apa yang telah diriwayatkan dari ‘Atho’: bahwa ia telah mengajar Kitab pada
masa Mu’awiyah dan ia mensyaratkan hal tersebut.
Ibnu Sahnun juga banyak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan belajar Al-
Qur’an dan pengajarannya, seperti mengambil bayaran dari pengajarannya, apa yang
berhubungan dengan dengan khatamnya dan siapa diantara beberapa guru tersebut yang
berhak mendapatkan upahnya jika seorang murid belajar pada lebih dari satu guru.
Dan pengecualian terhadap Ibnu Sahnun bahwa ia belum menjelaskan secara terperinci
tentang metode belajar Al-Qur’an serta tidak menyebutkan awal umur mempelajarinya.
Terlihat bahwa pandangan Ibnu Sahnun ini, yang menjadikan Al- Qur’an sebagai hal
pertama yang dipelajari oleh pelajar tersebut sejalan dengan apa yang popular dizamannya
khususnya di Maghribi yaitu menyempurnakan pengajaran Al-Qur’an sebelum belajar ilmu
yang lain. Dan ini menunjukkan indikasi bahwa sistem pendidikan islam itu berangkat dari
realita tersebut dan kembali kepadanya. Dan Ia belum menulis karyanya kecuali setelah ia
belajar dan mempraktekkannya dibidang pengajaran. Dan ini adalah sanggahan terhadap
orang-orang yang beranggapan bahwa kaum muslimin belum memeberikan perhatian di
bidang belajar dan mengajar.
Dan kita jangan lupa Katatib (Madrasah-madrasah) Al-Qur’an sudah dimulai pada awal
islam dan itu adalah tempat-tempat dimana anak-anak mengahafalkan Al-Qur’an dan
membacanya.
Dan kita temukan bahwa Ibnu Sahnun menunjuk ke poin ini dan beliau berkata: Ketika
Imam Malik ditanya tentang pengajaran anak-anak di masjid, kemudian ia berkata: saya
tidak berpendapat bahwa itu boleh; karena mereka belum bisa manjaga diri dari najis, dan
msjid belum bisa emnjadi tepat yang tepat untuk pembelajaran. Dan hal ini menunjukkan
bahwa Al-Qur’an adalah hal pertama yang dipelajari oleh para pelajar dan hal itu dapat kita
temukan di Katatib (madrasah-madrasah) Al-Qur’an yang tersebar diantara umat islam
hingga sekarang ini.
2. Ilmu-ilmu lain yang waijb dipelajari (Materi Pelajaran)
Ibnu Sahnun tidak menyebutakan secara spesifik dalam suatu bab yang membahas tentang
metode pengajaran ataupun materi materi yang harus dipelajari akan tetapi kita dapat
menelaahnya dari karyanya, yang mana di sela-sela karyanya ia menjelaskan tentang materi
yang harus diajarkan guru kepada anak-anak, yaitu:
 Fiqih, Ibnu Sahnun berpendapat seperti yang dikatakan ayahnya: Orang tua harus
mengajarkan anaknya sholat dan wudhu, karena itu adalah bagian dari agamanya,
jumlah ruku’ dan sujudnya, bacaan didalamnya, takbir dan bagaiman duduk ketika
tahiyyat ihram dan salam serta apa saja yang wajib dalam shalat. Dan membantu mereka
dengan mengajarkan doa agar mereka mencintai Allah serta memperkenalkan mereka
dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Kemudian mebicarakan tentang pengajaran
sunnah-sunnah sholat serta perkara-perkara agama yang lainnya.
 Fara’idh, Nahwu, Syair, Pidato, Kaligrafi dan penulisan surat menyurat. Para murid
diizinkan untuk menulisnya, juga ilmu hitung dan dia berpendapat dalam hal ini bahwa
sepantasnya untuk mengajarkan mereka tentang berhitung akan tetapi itu bukanlah
kewajiban bagi mereka melainkan hal itu adalah keharusan. Begitu pula Syair, gharib,
Bahasa Arab, khat dan nahwu, haltersebut bersifat suka rela. Dan harus mengajarkan
tentang I’rab Al-Qur’an,harakat, mengeja, kaligrafi, membaca dengan baik dan tartil.
Ini merupakan sebuah keharusan. Dan tidaklah mengapa untuk mengajarkan Sya’ir
yang tidak terdapat keburukan pada ucapan dan beritanya, itu bukanlah merupakan
keharusan.
Ia juga membicarakan tentang pengajaran pidato, ia berkata tidaklah masalah
mengajarkan mereka berpidato jika mereka mau. Dan ia juga menyinggung tentang
pengajaran lagu atau vocal peaching. Ia berkata bahwa ia tidak berpendapat boleh untuk
mengajarkan lagu, karena Imam Malik berkata bahwa tidaklah boleh membaca Al-
Qur’an dengan lagu. Dan aku tidak berpendapat untuk mengajari memperindah bacaan,
karena hal tersebut identik dengan lagu dan itu makruh. Dia sangat melarang hal
tersebut.
Ibnu Sahnun menetapkan agar ketika mempelajari ilmu-ilmu tersebut seorang guru
tidak pindah-pindah ke materi lain sebelum murid mampu menghafalnya. Kemudian
Guru meguji para murid untuk menguji apakah mereka sudah layak untuk pindah ke
materi lain. Ia berkata bahwa tidak mengapa apbila mereka saling mengisi atau
mendikte satu sama lain, karena itu bermanfaat bagi mereka dan agar guru memeriksa
Imla’ mereka. Serta seorang guru tidak boleh pindah dari satu surat ke surat lain sebelum
mereka hafal dengan lafadz dan tulisannya.
Dan disinilah muncul pembahasan tentang salah satu syarat dari belajar yang yang
diakui oleh barat keunggulannya ialah faktor peningkatan yaitu nyata dalam teks
sebelum konsepnya.
3. Hubungan guru dan murid menurut Ibnu Sahnun
Pembahasan ini mencakup beberapa hal penting yang meliputi:
 Hadiah dan hukuman (reward and Punishment)
Ibnu Sahnun memperbolehkan bagi seorang guru untuk memukul anaknya, dengan
melewati tiga hal yaitu izin dari orang tua pada, tidak boleh memukul anak di kepala
dan wajahnya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:“Sanksi untuk anak kecil itu tiga
kali cambukan, lalu yang lebih dari itu akan dibalas secara setimpal (qishash) pada
Hari Kiamat. Sanksi untuk seorang muslim di luar hudud adalah sepuluh sampai lima
belas kali (cambukan), lalu yang lebih dari itu sampai dua puluh kali, maka akan
dipukul (sebagai balasannya) pada Hari Kiamat.” Ibnu sahnun juga menyebutkan salah
satu hadits, yaitu Rasulullah SAW bersabda:“mendidik seorang anak itu lebih baik dari
bersedekah 1 sha’”. Dan terlepas dari itu, Ibnu Sahnun juga menjadikan kasih sayang
sebagai tumpuan utama dari permulaan pendidikan dan pengajaran secara khusus dan
pendekatan yang tetap terhadap hubungan muslim secara umum.
Dan dari koneksi ini Ibnu Sahnun menyampaikan pendapat dari beberapa ahli
diantaranya Sa’id bin Musib ia berkata bahwa jika attitude telah sebanyak dosa maka
mungkin ia telah melewati batasannya. Ibnu Sahnun juga menerangkan bahwa wajib
bagi seorang guru untuk mendisiplinkan murid-murid yang saling menyakit, mencari
siapa yang memulai hal tersebut. Akan tetapi bukan untuk dihakimi, mleinkan untuk
dinasehati bahwa pemukulan itu tidak boleh dilakukan ketika dalam kondisi marah.
 Dedikasi kepada pengajaran
Ibnu Sahnun meyakini akan penting seorang guru melaksanakn pendidikan dan
pengajaran secara maksimal, menurutnya seorang guru tidak boleh menyibukkan diri
dengan anak-anak kecuali pada waktu yang telah diberikan kepadanya. Merupakan
kewajiban bagi sorang guru untuk bersungguh-sungguh dan berdedikasi. Dan sorang
guru tidak boleh melakukan sholat jenazah kecuali kepada siapa yang diharuskan
kepadanya dan tidak boleh bimbang akan hal itu. Karena ia akan mendapatkan pahala
karena tidak meninggalkan pekerjaannya. Begitu juga dalam hal mengantarkan jenazah
dan menjeguk orang sakit.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa komitmen seorang guru sangatlah penting untuk
melaksanakan apayang menjadi kewajibannya. Hal inilah yang mebuat siklus yang
menciptakan kehormatan dan menarik baginya, kemudian guru harus memantau proses
belajaran mengajar secara maksimal. Hal ini seperti yang telah ada dan dilaksanakan
oleh ulama’ selama berabad-abad.
Ibnu Sahnun telah mengklasifikasikannya kedalam Pembahasan tentang kewajiban guru
dalam memenuhi kebutuhan murid atau anak-anak.
 Mendefinisikan atau menentukan liburan
Ia menentukan hari libur pada waktu idul fitri selama sehari sampai 3 hari, untuk
idul Adha 3 hari sampai 5 hari. Dan tambahan libur mingguan yaitu dimulai dari
hari kamis malam hingga sabtu pagi.
 Perlakuan yang adil terhadap murid
Pada bab ini kita benemukan bahawa Ibnu Sahnun memfokuskan dirinya kepada
pentingnya kesetaraan kedudukan dari setiap murid. Antara yang miskin dan yang kaya
harus memiliki kedudukan yang sama dalam pendangan seorang guru. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW
bersabada: “Pendidik (mu’addib) mana saja yang menangani (pendidikan) tiga orang
anak kecil dari umat ini, lalu ia tidak mengajari mereka secara sama, yang fakir
bersama yang kaya diantara mereka, dan yang kaya bersama yang fakir diantara
mereka, kelak pada Hari Kiamat ia akan digiring bersama para pengkhianat.”
Dari Musa: dari Fudhail bin ‘Iyadh: dari Layts: dari al-Hasan, beliau berkata, “Jika telah
ditetapkan (bagian) upah seorang guru , lalu ia tidak bersikap adil diantara mereka –
yakni, anak-anak didiknya – maka ia dicatat termasuk golongan orang-orang zhalim.”
Dan hal lain yang menjadi pembahasan Ibnu Sahnun adalah masalah upah. Yaitu
bayaran yang diminta seorang guru kepada wali murid. Dan beliau menjelaskan dalam
beberapa rincian, yaitu upah ketika telah khatam Al-Qur’an, setengahnya,
seperempatnya, kapan upah tersebut diberikan? dan kepada siapa diberikan?.
Dia juga membicarakan tentang upah mengajarkan Fiqih, Faraidh, Nahwu, dan Syair.
Ia memberikan penjelasan seperti pada penjelasan upah ketika mengajar Al-Qur’an.
Seorang pengajar juga boleh menerima upah perbulan maupun pertahun dan hal itu
ditentukan bersama wali murid dalam suatu akad pembayaran.
Dan ia juga mengingatkan hal penting yang berkenaan dengan pemberian hadiah kepada
seorang guru. Seorang guru tidak boleh membebankan kepada murid apapun termasuk
hadiah diluar upahnya. Dan apabila ia meminta maka hal tersebut hukumnya haram.
Akan tetapi apabila ia diberi hadiah, hal tersebut tidaklah masalah. Janganlah seorang
guru menekan seorang murid agar memberikannya hadiah, ataupun membuatnya bebas
dengan maksud agar diberikan hadiah, karena hal tersebut merujuk kepada permintaan
untuk diberi hadiah. Maka hukumnya adalah makruh.

C. Peran keluarga dalam proses pembentukan karakter murid

Beberapa poin penting yang layak kita kaji dari Ibnu Sahnun yaitu dalam pendapatnya tentang
hukuman kepada murid dan penekanannya terhadap urgensi peran keluarga dalam penentuan
hukuman ketika lebih dari 3 kali pukulan. Dalam keterkaitannya dengan hal ini, maka tidaklah
mengapa apabila memukulnya apabila berguna baginya, dan mendisiplinkannya dalam
pemainan dan keberanian, tidaklah boleh lebih dari 3 pukulan. Kecuali telah mendapatkan izin
dari ayahnya untuk melakukanhal tersebut.
Dengan hal di atas, Ibnu Sahnun telah mengajak integrasi antara keluarga dan sekolah dalam
mengsukseskan pengajaran dalam karyanya ini. Beliau berpesan agar seorang guru
memberitahu wali murid ketika salah seorang murid belum hadir dan tidak melibatkan murid
yang lain dalam pencariannya kecuali dengan izin orangtua mereka.
Demikianlah kandungan dari kitab Ibnu Sahnun dengan beberapa volume kecilnya yang
berfungsi sebagai pendekatan yang valid bagi ulama’ muslim setelahnya menggunakan metode
dalam topik dan membuat karya dalam bidang ini. Karena ia mengambil acuan dari Al-Qur’an
dan Hadits Rasulullah SAW. Dan dengan observasi terhadap fakta-fakta yang terjadi menjadi
sebuah pemikiran dan teori berdasarkan studi kasus.

DAFTAR PUSAKA
Jami’ Bukhari, Imam bukhari
Sayru A’lamu An Nubala’, Imam Adzahaby, Muasasatu Risalah, Abu Zaid 1983
At Tarbiyah Fi al Islam, Ahmad Fuad Al Bahany, Kairo Mesir
Adabu al Mu’allimin, Ibnu Sahnun
Al Jami’ Fi Kutubi Adabi al Mu’allimin, Abu Abdullah ‘Adil bin Abdullah bin Sa’ad Ali
Hamdan.

Anda mungkin juga menyukai