Anda di halaman 1dari 7

I.

LATAR BELAKANG

Masalah lingkungan hidup pada dasarnya timbul karena adanya Dinamika, penduduk,
Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang kurang bijaksana, Kurang
terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju, Dampak
negatif yang sering timbul dan klemajuan ekonomi yang seharusnya positif, dan
Benturan tata ruang. (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting
suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi prosespengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi
merupakan bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara
lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif
maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat
dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan
dampak positif. Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut
di antaranyadigunakan kriteria mengenai : besarnya jumlah manusia yang akan
terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah penyebaran dampak,
intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingk ungan hidup
lain yang akan terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik (reversible) atau
tidak berbaliknya (irreversible) dampak. Tujuan secara umum AMDAL adalah
menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga
dampak negatifnya menjadi serendah mungkin, karena itu demikian AMDAL
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan
yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup. Untuk proses pelaksanaan
AMDAL dapat dilihat dibawah ini. Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah
di negara barat, karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat
sepenuhnya memberi dukungan terhadaptindakan pemerintah. Walaupun banyak isu
lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isutersebut masih dianggap kurang penting.
Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan
pada sumberdaya alam daripadamelakukan tindakan untuk melindungi kehidupan
liar, spesies langka dan keanekaragaman hayati. Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL
di Indonesia tersebut, faktor budaya seharusnyamenjadi perhatian utama disamping
faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbuldalam pelaksanaan kebijakan atau
program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan
budaya yang berbeda.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT AMDAL
2.1 AMDAL ( Analisis dampak mengenai lingkungan )
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertama kali dicetuskan berdasarkan
atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan amanat pasal 16
tersebut diundangkan pada tanggal 5 Juni 1986 suatu Peraturan Pemerintah No.29 tahun
1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).Peraturan pemerintah (PP)
No.29/ 1986 tersebut berlaku pada tanggal 5 Juni 1987 yaitu selang satu tahun setelah di
tetapkan.
Hal tersbut diperlukan karena masih perlu waktu untuk menyusun kriteria dampak
terhadap lingkungan sosial mengingat definisi lingkungan yang menganut paham holistik
yaitu tidak saja mengenai lingkungan fissik/kimia saja namun meliputi pula lingkungan
sosial. Berdasarkan pengalaman penerapan PP No.29/1986 tersebut dalam deregulasi dan
untuk mencapai efisiensi maka PP No.29/1986 diganti dengan PP No.51/1993 yang di
undangkan pada tanggal 23 Oktober 1993. Perubahan tersebut mengandung suatu cara untuk
mempersingkat lamanya penyusunan AMDAL dengan mengintrodusir penetapan usaha dan/
atau kegiatan yang wajib AMDAL dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan demikian tidak diperlukan lagi pembuatan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL).
Perubahan tersebut mengandung pula keharusan pembuatan ANDAL , RKL, dan RPL di buat
sekaligus yang berarti waktu pembuatan dokumen dapat diperpendek. Dalam perubahan
tersebut di introdusir pula pembuatan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bagi kegiatan yang tidak wajib AMDAL. Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) ditetapkan oleh
Menteri Sektoral yang berdasarkan format yang di tentukan oleh Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Demikian pula wewenang menyusun AMDAL disederhanakan dan dihapuskannya
dewan kualifikasi dan ujian negara.
Dengan ditetapkannya Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH), maka PP No.51/1993 perlu diganti dengan PP No.27/1999
yang di undangkan pada tanggal 7 Mei 1999, yang efektif berlaku 18 bulan kemudian.
Perubahan besar yang terdapat dalam PP No.27 / 19999 adalah di hapuskannya semua
Komisi AMDAL Pusat dan diganti dengan satu Komisi Penilai Pusat yang ada di Bapedal.
Didaerah yaitu provinsi mempunyai Komisi Penilai Daerah. Apabila penilaian tersebut tidak
layak lingkungan maka instansi yang berwenang boleh menolak permohohan ijin yang di
ajukan oleh pemrakarsa. Suatu hal yang lebih di tekankan dalam PP No.27/1999 adalah
keterbukaan informasi dan masyarakat. Implementasi AMDAL sangat perlu di sosialisasikan
tidak hanya kepada masyarakat namu perlu juga pada para calon investor agar dapat
mengetahui perihal AMDAL di Indonesia. Karena semua tahu bahwa proses pembangunan di
gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya.
Keputusan tidak layak lingkungan harus diikuti oleh instansi yang berwenang
menerbitkan ijin usaha. Apabila pejabat yang berwenang menerbitkan ijin usaha tidak
mengikuti keputusan layak lingkungan, maka pejabat yang berwenang tersebut dapat menjadi
obyek gugatan tata usaha negara di PTUN. Sudah saatnya sistem hukum kita memberikan
ancaman sanksi tidak hanya kepada masyarakat umum , tetapi harus berlaku pula bagi
pejabat yang tidak melaksanakan perintah Undang-undang seperti sanksi disiplin ataupun
sanksi pidana.
Secara garis besar proses AMDAL mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
1. 1.Mengidentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan
2. 2.Menguraikan rona lingkungan awal
3. 3.Memprediksi dampak penting
4. 4.Mengevaluasi dampak penting dan merumuskan arahan RKL/RPL.

2.2 Pihak yang Terkait AMDAL


1. Pemerintah
Pemerintah berkewajiban memberikan keputusan apakah suatu rencana kegiatan
layak atau tidak layak lingkungan. Keputusan kelayakan lingkungan ini dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan rakyat dan kesesuaian dengan kebijakan pembangunan
berkelanjutan.
2. Pemrakarsa
Orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan atau
kegiatan yang akan dilaksanakan. Pemrakarsa inilah yang berkewajiban
melaksanakan kajian AMDAL.
3. Masyarakat yang berkepentingan
Dalam proses AMDAL masyarakat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu;
 Masyarakat terkena dampak: masyarakat yang akan merasakan dampak dari
adanya rencana kegiatan (orang atau kelompok yang diuntungkan (beneficiary
groups), dan orang atau kelompok yang dirugikan (at-risk groups).
 Masyarakat Pemerhati: masyarakat yang tidak terkena dampak dari suatu rencana
kegiatan, tetapi mempunyai perhatian terhadap kegiatan maupun dampak-dampak
lingkungan yang ditimbulkan.

2.3 Peraturan Terkait AMDAL

Ada 3 jenis peraturan yang berkaitan dengan AMDAL, yaitu :

1. Perundang-Undangan
2. Keputusan Presiden/Mentri
3. Peraturan Pemerintah
a. UU Lingkungan Hidup
Pada 11 Maret 1982, diundangkan sebuah produk hukum mengenai pengelolaan
lingkungan, dengan nama Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering disingkat dengan UUPLH.
Dengan hadirnya UU Lingkungan ini, terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan
lingkungan hidup di Indonesia, guna terciptanya pengendalian kondisi lingkungan yang
memiliki harmoni yang baik dengan dimensi-dimensi pembangunan.
UU No 4 Tahun 1982, mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi
peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, UU ini berfungsi sebagai ketentuan
payung (umbrella provision) bagi peraturan perundangan lingkungan hidup lainnya,
termasuk pula menjadi dasar dan landasan bagi pembaruan hukum dan penyesuaian
peraturan-peraturan perundangan yang sudah lama (Danusaputro, 1982:25).
Kemudian, dengan banyaknya pekembangan mengenai konsep dan pemikiran mengenai
masalah lingkungan, dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai masyarakat dunia
melalui KTT Rio tahun 1992, dirasakan UU No 4 Tahun 1982 sudah tidak banyak iagi
menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada, sehingga perlu ditinjau dengan
membuat penggantinya. Untuk itulah lima tahun kemudian setelah berlangsungnya KTT
Rio, dibuat UUPLH yang baru sebagai pengganti UU No 4 Tahun 1982, yakni UU No
23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal 19
September 1997 melalui Lembaran Negara No 68 Tahun 1997.
UUPLH baru atau UU No 23 Tahun 1997 memuat berbagai pengaturan sebagai respons
terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang yang tidak mampu diatasi melalui UU
No 4 Tahun 1982. Demikian juga UU baru ini dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai
yang bersifat keterbukaan, paradigma pengawasan masyarakat asas pengelolaan dan
kekuasaan Negara berbasis kepentingan publik (bottom-up), akses publik terhadap
manfaat sumber daya alam, dan keadilan lingkungan (environmental justice).
UUPLH menjadi dasar bagi semua pengelolaan lingkungan. Dengan demikian berbagai
pengaturan mengenai pengelolaan lingkungan, mengacu kepada UUPLH.
Semua peraturan perundang-undangan tersebut harus memiliki sinkronisasi dan tidak
tumpang tindih. Pada legislali nasional telah mencegah keadaan tumpang tindih
berdasarkan UU no. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan. Namun apabila masih tetap terjadi keadaan-keadaan seperti kesenjangan
peraturan, tumpang tindih, penafsiran ganda, dan lain-lain. Dapat diatasi dengan
berpedoman kepada asas-asas:
1. Lex specialis derogat legi generalis, yakni mengutamakan undang undang khusus
2. Lex superiors derogat legi inferiors, dengan mengutamakan UU/ Peraturan yang
lebih tinggi;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yakni menggunakan UU/Ketentuan yang lebih
baru dan mengenyampingkan UU/Ketentuan yang terdahulu.
b. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 Tentang Keterlibatan
Masyarakat Dalam AMDAL dan Izin Lingkungan :
Satu lagi Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang diterbitkan pada tahun
2012, yaitu peraturan teknis terkait terbitnya PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan. Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam AMDAL dan Izin
Lingkungan. Peraturan ini mengatur tentang tata cara pelibatan masyarakat dalam proses
AMDAL, dimulai dari pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan yang saat ini
hanya dilakukan 10 (sepuluh) hari, masyarakat mana saja yang dilibatkan dalam proses
AMDAL, penunjukkan wakil masyarakat yang terlibat dalam keanggotan Komisi
Penilai AMDAL, dan pelaksanaan konsultasi publik.Selain itu peraturan ini juga
mengatur peran masyarakat dalam proses penerbitan izin lingkungan, dimana dalam
penerbitan izin lingkungan diatur adanya pengumumam pada saat permohonan dan
pesertujuan izin lingkungan.Dengan terbitnya PermenLH Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses AMDAL dan Izin Lingkungan, maka Keputusan
Kepala Bapedal Nomor 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan
Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL dinayatakan dicabut dan tidak berlaku.

c. Peraturan Pemerintah ( 2012 )


Pada 23 Februari 2012, ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah nomor
27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012). PP ini diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48 dan Tambahan Lembaran
Negara Tahun 2012 Nomor 5285. PP 27/2012 disusun sebagai pelaksanaan ketentuan
dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU 32/2009), khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. PP
27/2012 mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu
instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen
Izin Lingkungan. Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam PP
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan
merupakan satu kesatuan. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar
Kambuaya, MBA menegaskan, “PP ini pertanda bahwa implementasi UU 32/2009 akan
semakin terlaksana dengan lebih baik. Walaupun baru satu PP turunan UU 32/2009 yang
dapat diterbitkan, namun PP ini sangat berkekuatan (Powerful) untuk menjaga
lingkungan hidup kita. PP ini meletakkan kelayakan lingkungan sebagai dasar izin
lingkungan sehingga enforceable dengan sanksi yang jelas dan tegas”.
Dalam PP 27/2012 mengatur hubungan (interface) antara izin lingkungan dengan
proses pengawasan dan penegakan hukum. Pasal 71 dalam PP 27 Tahun 2012
memberikan ruang yang jelas mengenai pengenaan sanksi atas pemegang izin
lingkungan yang melanggar kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa sasaran dari terbitnya PP 27 Tahun 2012 ini
adalah terlindungi dan terkelolanya lingkungan hidup sedangkan sasaran mikro dari
terbitnya peraturan ini adalah memberi dasar hukum yang jelas atas penerapan
instrument izin lingkungan dan memberikan beberapa perbaikan atas penerapan
instrument amdal dan UKL-UPL (kajian lingkungan hidup) di Indonesia.
Kewajiban pemegang izin lingkungan juga adalah menaati persyaratan dan
kewajiban yang akan tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup (Izin PPLH). Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional sedangkan Izin
Lingkungan adalah pada tahap perencanaan. IZIN PPLH antara lain adalah
1. Izin pembuangan limbah cair
2. Izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah
3. Izin dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah b3)
4. Izin pembuangan air limbah ke laut (penjelasan pasal 48 ayat (2) pp 27/2012).

PP 27/2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 Tentang Amdal dengan


penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin lingkungan. Ada dua prinsip
dalam upaya penyusunan PP Izin Lingkungan ini, yaitu lebih sederhana yang tidak
menciptakan proses birokrasi baru dan implementatif. Balthasar Kambuaya
menambahkan, “PP 27/2012 ini juga mengamanatkan proses penilaian amdal yang lebih
cepat, yaitu 125 hari dari 180 hari. Dengan begitu akan terjadi efisiensi sumber daya, baik
waktu, biaya dan tenaga, yang tentunya tanpa mengurangi kualitasnya.” Langkah maju
ini adalah pengaturan bahwa total jangka waktu penilaian amdal sejak diterimanya
dokumen amdal dalam status telah lengkap secara administrasi adalah sekitar 125 hari
kerja, tidak termasuk lama waktu perbaikan dokumen. Jangka waktu 125 hari kerja
tersebut adalah langkah maju karena di PP 27 Tahun 1999, total jangka waktu penilaian
amdal adalah sekitar 180 hari kerja.Salah satu hal yang juga penting dalam PP ini adalah
semakin besarnya ruang bagi keterlibatan masyarakat khususnya masyarakat terkena
dampak dalam hal penentuan keputusan mengenai layak tidaknya rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut. Permohonan izin lingkungan dan penerbitan izin lingkungan harus
diumumkan 3 kali dalam tahap perencanaan (sebelumnya dalam PP 27/1999hanya
mewajibkan satu kali pengumuman saja yaitu pada tahap sebelum menyusun kerangka
acuan (KA) Andal). Dengan begitu, masyarakat akan mampu berpartisipasi aktif dan
memberikan saran atas setiap rencana usaha dan/atau kegiatan di daerahnya.

2.4 Penilaian Dokumen AMDAL


Penilaian dokumen AMDAL dilakukan oleh Komisi Penilaian AMDAL Pusat yang
berkedudukan di BAPEDAL untuk menilai dokumen AMDAL dari usaha dan/atau
kegiatan yang bersifat trategis, lokasinya melebihi satu propinsi, berada di wilayah
sengketa, berada di ruang lautan, dan/ atau lokasinya dilintas batas negara RI dengan
negara lain. Penilaian dokumen AMDAL dilakukan untuk beberapa dokumen dan
meliputi penilaian terhadap kelengkapan administrasi dan isi dokumen. Dokumen yang di
nilai adalah meliputi:
1. Penilaian dokumen Kerangka Acuan (KA)
2. Penilaian dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3. Penilaian Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4. Penilaian Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

Penilaian Kerangka Acuan (KA), meliputi:


1. Kelengkapan administrasi
2. Isi dokumen, yang terdiri dari:
a. Pendahuluan
b. Ruang lingkup studi
c. Metode studi
d. Pelaksanaan studi
e. Daftar pustaka dan lampiran
Penilaian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), meliputi:
1. Kelengkapan administrasi
2. Isi dokumen, meliputi:
a. Pendahuluan
b. Ruang lingkup studi
c. Metode studi
d. Rencana usaha dan /atau kegiatan
e. Rona lingkungan awal
f. Prakiraan dampak penting
g. Evaluasi dampak penting
h. Daftar pustaka dan lampiran
Penilaian Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), meliputi:
1. Lingkup RKL
2. Pendekatan RKL
3. Kedalaman RKL
4. Rencana pelaksanaan RKL
5. Daftar pustaka dan lampiran
Penilaian Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), meliputi:
1. Lingkup RPL
2. Pendekatan RPL
3. Rencana pelaksanaan RPL
4. Daftar pustaka dan lampiran

III. KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai