Anda di halaman 1dari 159

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/308629287

KAJIAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI


KELURAHAN PADA DESA BIS AGATS DI
KABUPATEN ASMAT PROVINSI PAPUA

Article · August 2016


DOI: 10.24269/aristo.iv/1.2016.1

CITATIONS READS

0 291

2 authors:

Fernandes Simangunsong Aristo Aristo


Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Universitas Muhammadiyah Ponorogo
10 PUBLICATIONS 1 CITATION 3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

ARISTO Vol. 05 No. 01 Januari 2017 View project

www.fernandessimangunsong.com View project

All content following this page was uploaded by Aristo Aristo on 26 September 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KAJIAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PADA
DESA BIS AGATS DI KABUPATEN ASMAT PROVINSI PAPUA
Fernandes Simangunsong
Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Email: kisankiel@yahoo.co.id

Abstract
This societal change should be directly proportional to serve government
organizations. But it turns out that the village organizations currently exist, do not seem to
follow the dynamics of social change in the community who need fast service and supported
by sophisticated technology. Departing from this phenomenon the study villages to urban
status changes need to be made through the theory of organizational development with a
view to improving services to the community in Asmat regency.
Key words: Local Government, Social Change, And Development Of Organization

Abstrak
Perubahan masyarakat ini seharusnya berbanding lurus dengan organisasi
pemerintahan yang melayaninya. Tapi ternyata saat ini organisasi desa yang ada, terkesan
tidak bisa mengikuti dinamika perubahan sosial masyarakat yang membutuhkan pelayanan
yang cepat dan didukung oleh teknologi yang canggih. Berangkat dari fenomena inilah
maka kajian perubahan status desa menjadi kelurahan perlu dilakukan melalui teori
pengembangan organisasi dengan harapan dapat meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat di Kabupaten Asmat.
Kata Kunci: Pemerintah Daerah, Perubahan Sosial, Dan Pembangunan Organisasi.

Pendahuluan
Kehadiran Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 32 Tahun
2004 sebagai penggantinya, setidaknya telah menunjukkan adanya upaya untuk memenuhi
tuntutan dilaksanakan dan dimantapkannya otonomi daerah. Berbagai implikasi perubahan
terjadi pada organisasi pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke daerah, baik pada unsur
staf, unsur penunjang maupun unsur pelaksana. Perubahan tersebut mencakup perubahan
struktural, perubahan fungsional dan perubahan kultural.Salah satu bentuk perubahan
struktural adalah perubahan bentuk maupun struktur organisasi. Sadu Wasistiono (2001:49)
menyebutkan bahwa adanya perubahan kebijakan otonomi perlu diikuti dengan penataan
kembali organisasi pemerintah daerah secara mendasar.Penataan tersebut dapat berupa (1)
pembentukan unit organisasi baru; (2) penggabungan organisasi yang sudah ada; (3)
penghapusan unit-unit yang sudah ada; dan (4) perubahan bentuk unit-unit yang sudah ada.
Sebagaimana dipahami bahwa esensi pemerintah adalah pelayan kepada masyarakat,
oleh karena itu pemerintah tidaklah diadakan untuk dirinya sendiri tetapi untuk masyarakat

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 1


karena pemerintah adalah pemberi pelayanan kepada masyarakat (Rasyid,
1997:11).Kelurahan sebagai perangkat pemerintah daerah yang langsung berhadapan dengan
masyarakat berperan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan
perubahan masyarakat perdesan yang cenderung berubah menjadi masyarakat perkotaan
karena adanya industrialisasi maupun proses moderenisasi, diperlukan perubahan bentuk
pemerintahan yang melayaninya. Perubahan status Desa menjadi Kelurahan dapat dilihat
sebagai suatu bentuk perubahan atau pengembangan organisasi yang menyesuaikan dengan
perubahan masyarakat yang dilayaninya.Dengan meminjam konsep Ferdinand Tonies bahwa
masyarakat perdesaan berbentuk paguyuban (gemenischaft) yang penuh dengan nilai-nilai
kebersamaan.Sedangkan masyarakat perkotaan berbentuk patembayan (geselschaft) yang
cenderung individualistik.Karena masyarakatnya berubah, maka organisasi pemerintah yang
melayani juga perlu disesuaikan. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Sadu
Wasistiono (2001:39) bahwa organisasi pemerintah dibentuk:
1. Untuk melayani kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang
berposisi sebagai konsumen (customer) dan pemegang saham (stakeholders)
2. Adanya misi tertentu yang harus dijalankan dalam rangka pencapaian
tujuan, bukan hanya sekedar menjalankan perundang-undangan.
Berkaitan dengan perubahan status Desa menjadi Kelurahan, syarat kondisi (potensi
wilayah) dan keikutsertaan masyarakat (aspirasi masyarakat) setidaknya menjadi hal yang
perlu diperhatikan demi berhasilnya usaha tersebut. Hal tersebut sesuai dengan PP. 72 Tahun
2005 tentang Desa Pasal 5 ayat (2) yang mengatakan bahwa Perubahan Status Desa menjadi
Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan persyaratan:
a. Luas Wilayah
b. Jumlah Penduduk
c. Prasarana dan Sarana Pemerintahan
d. Potensi Ekonomi
e. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Syarat tersebut dapat diterjemahkan sebagai kesiapan baik dari segi personil maupun
sarana prasaranapendukung. Sebelumnya, Peraturan Mendagri yang mengatur tentang Desa
adalah Kepmendagri No. 65 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pembentukan Kelurahan,
disebutkan bahwa perubahan status Desa menjadi Kelurahan adalah merupakan bentuk suatu
kebijakan atau upaya yang ditempuh pemerintah dengan tujuan tercapainya efektivitas dan
efisiensi pelayanan kepada masyarakat.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 2


Di dalam Kepmendagri No. 65 Tahun 1999 pasal 5,6 dan 7 disebutkan tiga hal pokok
yang berkaitan dengan perubahan status Desa menjadi Kelurahan yaitu:
a. Kewenangan desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berhak
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat berubah menjadi kewenangan kelurahan dibawah kecamatan.
b. Seluruh kekayaan dan sumber-sumber pendapatan yang menjadi milik
pemerintah desa diserahkan dan menjadi milik pemerintah daerah dan dikelola sebesar-
besarnya untuk kepentingan kelurahan yang bersangkutan.
c. Jabatan pimpinan kepala desa yang dipilih oleh masyarakat diganti oleh
lurah yang diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat,
demikian juga dengan perangkatnya.
Jika diamati isi dari Kepemendagri No. 65 Tahun 1999 yang mana batu penjuru
penjabaran dari UU No. 22 Tahun 1999 hampir memiliki kemiripan prinsip dalam
memposisikan perubahan status desa menjadi kelurahan. Jika diamati ketiga syarat di atas
yang menjadi modal dasar perubahan status Desa menjadi Kelurahan dan dihubungkan
dengan, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pasal 200 ayat (3) ada ketentuan, bahwa Desa di
Kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan
sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa yang
ditetapkan dengan Perda. Proses pengambilan kebijakan dan pelaksanaan perubahan status
Desa menjadi Kelurahan harus memperhatikan usul dari pemerintah desa setempat. Hal ini
sesuai dengan PP. No. 72 Tahun 2005 tentang Desa Pasal 5 ayat (1) yang mengatakan bahwa
Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa
pemerintah desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat
setempat. Hal tersebut lebih diperjelas lagi dengan Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang
Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa menjadi
Kelurahan Bab IV Pasal 9 ayat (2) yang mengatakan bahwa aspirasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) penduduk desa yang
mempunyai hak pilih.
Perubahan status Desa menjadi Kelurahan di Kabupaten Asmat dihadapkan pada
berbagai masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bidang Kemasyarakatan, dimana pada umumnya komunitas desa (rural
community), yaitu suatu tipe masyarakat yang interaksi sosialnyake dalam (sesama
warganya) jauhlebih intensif dibandingkan interaksi sosialnya keluar (dengan warga di

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 3


luar desa). Hal ini masih banyak dijumpai di beberapa desa di Kabupaten Asmat yang
menjadi obyek penelitian.
2. Bidang keorganisasian, dimana desa merupakan komunitas yang mengembangkan
struktur sosial yang berbentuk piramid (pyramidal power structure), dan ini
termanifestasi ke dalam tipe kepemimpinannya, yaitu di desa tampak lebih banyak
memakai tife kepemimpinan polimorpik (pemimpin desa baik formal dan informalnya
sedikit namun mereka dianggap sebagai pemimpin yang serba bisa). Hal ini juga masih
banyak dijumpai di beberapa desa di Kabupaten Asmat yang mana Asmat merupakan
bagian Provinsi Papua yang terkenal banyak pemimpinnya adalah para Kepala Suku.
3. Bidang Pelayanan, dimana fenomena yang terjadi, kepala desa tampak masih
menjadi pusat kekuasaan (center of power) di desanya, sehingga terkadang fenomena ini
terlihat begitu ekstrim dari segi pelayanan, yaitu masyarakat desa senantiasa lebih merasa
klop apabila dalam mendapatkan pelayanan dari desa setelah berhadapan dengan kepala
desa, dibandingkan dengan aparat lainnya.
4. Bidang personil, dimana desa tidak memiliki spesialisasi kerja yang dipisahkan
secara tegas menurut bidang kerjanya masing-masing, sehingga fenomena yang terjadi di
lapangan, aparat desa (personil desa) dalam manjalankan proses kerjanya lebih
mengandalkan mekanisme kerja gotong royong dan tidak memisahkan secara tegas
bidang kerjanya masing-masing. Hal ini terkesan bahwa Pemerintah Desa di Kabupaten
Asmat memiliki kelambatan pematang organisasi dalam menghadapi perubahan sosial
masyarakat yang dilayaninya.
5. Bidang Politik, dimana posisi desa sering dikenal dengan istilah floating massa
(masa mengambang) bagi parpol-parpol yang akan mengikuti pemilu. Desa yang
merupakan bagian terendah di dalam struktur pemerintahan, namun untuk bicara di
bidang politik, desa memiliki tingkat kerawanan yang tinggi dalam menjaga kestabilan
pemilu, sehingga tidak menutup kemungkinan dalam pengambilan kebijakan perubahan
status Desa menjadi Kelurahan akan juga berpengaruh seperti kondisi saat pemilu.
Dari bentuk-bentuk permasalahan diatas, tampak sekali bahwa dalam mengambil
kebijkan untuk mengubah status Desa menjadi Kelurahan haruslah dilihat dari tiga dimensi:
1. Dimensi Sosiologi
2. Dimensi Legalistik
3. Dimensi Manajemen Pemerintahan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 4


Berdasarkan indentifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan
diteliti dari penelitian perubahan status desa menjadi kelurahan di Kabupaten Asmat adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kelayakan, kondisi exisiting dan situasi desa Bis Agats di
Kabupaten Asmat yang akan mengalami perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan?
2. Bagaimanakah Tingkat Pelayanan dan ketersediaan layanan desa Bis Agats yang akan
mengalami perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan di Kabupaten Asmat?
3. Bagaimanakah Tingkat Aspirasi masyarakat dalam memberikan rujukan terhadap
kebijakan dan strategi yang perlu diambil oleh pemerintah Kabupaten Asmat dalam
mendukung perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan?
Penelitian ini berkaitan dengan aplikasi model pengukuran dan evaluasi terhadap
kemampuan potensi yang akan mendeskripsikan dan mengeksplanasikan tingkat kekuatan
atau pengaruh variabel yang diamati terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di
unit terkecil dan terdepan untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan umum,
pembangunan dan demokratisasi. Melalui pendekatan ini dapat diketahui secara objektif dan
mendalam bagaimana tingkat kelayakan dan kondisi exisiting desa yang akan mengalami
perubahan status dari desa menjadi kelurahan, dengan pendekatan ini pula dapat diketahui
secara obyektif dan mendalam tingkat kemampuan potensi yang dimiliki desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan melalui pengukuran terhadap indikator dan sub indikator dari
berbagai variabel yaitu : demografi, orbitasi, transportasi, sarana ibadah, sarana olah raga,
komunikasi, industri, ekonomi masyarakat, keamanan dan ketertiban masyarakat, pemilu,
sosial masyarakat, pendidikan, kesehatan dan swadaya masyarakat. Berdasarkan identifikasi
terhadap tingkat kemampuan potensi tersebut, dapat disusun berbagai alternatif desain
pembentukan kelurahan terbaik, dan dapat ditentukan pilihan prioritas tindakan guna
peningkatan potensi desa. bagaimanakah kebijakan dan strategi yang perlu diambil oleh
pemerintah Kabupaten Asmat dalam mendukung perubahan status dari desa menjadi
kelurahan

Pembahasan
Dari hasil analisa penelitian perubahan status desa menjadi kelurahan di Desa Bis
Agats Kecamatan Agats Kabupaten Asmat diketahui bahwa:

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 5


Tabel
Hasil Analisa Penelitian Perubahan Status Desa
Menjadi Kelurahan di Desa Bis Agats Kecamatan Agats

No
Desa Total Skor Interval Skor Kategori
.
Layak perubahan status desa
1. Agats 1210 (979 ≤ TS < 1.632)
menjadi kelurahan.

Jika melihat tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa skala prioritas pilihan tindak
untuk Desa Bis Agats yang akan berubah statusnya menjadi kelurahan di Kecamatan Agats
masuk pada Prioritas II yaitu Desa yang memiliki potensi wilayah baik yaitu antara 962 ≤ n
≤1297 dimana sudah bisa mendapat prioritas untuk segera diubah statusnya dari desa menjadi
kelurahan minimal dua tahun dari penetapan Perda dengan cara melakukan pembinaan untuk
peningkatan potensi. Namun desa yang masuk pada klasifikasi dua akan ditindaklanjuti
apabila desa yang masuk pada klasifikasi satu telah dipenuhi ketersediaan personil, peralatan,
pembiayaan dan dokumentasi. Pada saat ini Desa-desa yang ada di Kecamatan Agats yang
baru masuk kajian adalah Desa Bis Agats yang ternyata masuk pada klasifikasi dua dengan
prioritas pertama karena tidak ada desa lain yang serentak masuk kajian bersama desa Bis
Agats.
Tingkat Pelayanan Desa Bis Agats yang akan mengalami perubahan status desa
menjadi kelurahan: Nilai indeks unit pelayanan Desa Bis Agats hasilnya dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Nilai IKM setelah dikonversi = Nilai Indeks x Nilai Dasar = 2,49 x 25 = 62,2
b. Mutu pelayanan B
c. Kinerja Unit Pelayanan di Kantor PemerintahBaik
Dalam peningkatan kualitas pelayanan, diprioritaskan pada unsur yang mempunyai
nilai paling rendah, sedangkan unsur yang mempunyai nilai cukup tinggi harus tetap
dipertahankan. Hasil di atas menunjukkan bahwa unsur pelayanan di Kantor Pemerintah Desa
Bis Agats Kecamatan Agats yang perlu ditingkatkan adalah:
- Kedisiplinan Petugas Pelayanan
- Kenyamanan Lingkungan
- Kesesuaian antara biaya dan hasil
Tingkat ketersediaan Pelayanan Desa Bis Agats yang akan mengalami perubahan
status desa menjadi kelurahan:
(a). Pelayanan Kesehatan:

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 6


Berdasarkan analisis di atas terlihat bahwa pelayanan kesehatan yang disediakan melalui
puskesmas, polindes dan lembaga lainnya termasuk dalam kategori tinggi (T), pelayanan
kesehatan melalui imunisasi termasuk dalam kategori rendah (R), pelayanan kesehatan
berupa pemberantasan penyakit menular termasuk dalam kategori tinggi (T), dan
pelayanan kesehatan berupa perbaikan gizi dan KB termasuk dalam kategori tinggi (T)

(b) Pelayanan Pendidikan:


Berdasarkan analisis di atas terlihat bahwa pelayanan pendidikan SD dilihat dari
ketersediaan gedung dan mutu pendidikan termasuk dalam kategori rendah (R),
pelayanan pendidikan SLTP dilihat dari ketersediaan gedung dan mutu pendidikan
termasuk dalam kategori tinggi (T), pelayanan pendidikan SLTA dilihat dari ketersediaan
gedung dan mutu pendidikan termasuk dalam kategori tinggi (T), dan pelayanan
pendidikan melalui lembaga pendidikan lain dilihat dari ketersediaan Lembaga lain untuk
pendidikan termasuk dalam kategori tinggi (T)

(c) Pelayanan Fasilitas Umum:


Berdasarkan analisis di atas terlihat bahwa pelayanan fasilitas umum berupa listrik
termasuk dalam kategori tinggi (T), pelayanan fasilitas umum berupa air bersih termasuk
dalam kategori tinggi (T), pelayanan fasilitas umum berupa telepon termasuk dalam
kategori tinggi (T), pelayanan fasilitas umum berupa pasar termasuk dalam kategori
tinggi (T), pelayanan fasilitas umum berupa WC umum dan MCK termasuk dalam
kategori tinggi (T), pelayanan fasilitas umum berupa jalan termasuk dalam kategori
rendah (R), dan pelayanan fasilitas umum berupa penerangan jalan termasuk dalam
kategori rendah (R).

(d) Pelayanan Perijinan:


Berdasarkan analisis di atas terlihat bahwa pelayanan fasilitas perijinan dilihat dari waktu
pengurusan, biaya dan kemudahan berupa Kartu Keluarga (KK) termasuk dalam kategori
rendah (R), pelayanan fasilitas perijinan dilihat dari waktu pengurusan, biaya dan
kemudahan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) termasuk dalam kategori tinggi (T),
fasilitas perijinan dilihat dari waktu pengurusan, biaya dan kemudahan berupa Surat
Keterangan Ahli Waris termasuk dalam kategori tinggi (T), pelayanan fasilitas perijinan
dilihat dari waktu pengurusan, biaya dan kemudahan berupa Surat Keterangan Kelahiran
termasuk dalam kategori tinggi (T), pelayanan fasilitas perijinan dilihat dari waktu

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 7


pengurusan, biaya dan kemudahan berupa Surat Keterangan Kematian termasuk dalam
kategori tinggi (T), dan pelayanan fasilitas perijinan dilihat dari waktu pengurusan, biaya
dan kemudahan berupa perijinan lainnya termasuk dalam kategori rendah (R).

(e) Partisipasi Masyarakat:


Berdasarkan analisis di atas terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat melalui
lembaga-lembaga sosial dalam perencanaan pelayanan kesehatan, fasilitas umum dan
perijinan termasuk dalam kategori rendah (R), tingkat partisipasi masyarakat melalui
lembaga-lembaga sosial dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, fasilitas umum dan
perijinan termasuk dalam kategori rendah (R), dan tingkat partisipasi masyarakat melalui
lembaga-lembaga sosial dalam pengendalian pelayanan kesehatan, fasilitas umum dan
perijinan termasuk dalam kategori rendah (R). Artinya masyarakat menilai rendah pada 3
indikator partisipasi masyarakat
Tingkat aspirasi masyarakat di Desa Bis Agats yang akan mengalami perubahan status
desa menjadi kelurahan di Kecamatan Agats :

Gambar
Tanggapan Masyarakat Desa Bis Agats Tentang Usulan Perubahan Status Desa
Menjadi Kelurahan Di Kecamatan Agats

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 95% setuju dengan
rencana usulan perubahan status desa menjadi kelurahan, 5% ragu-ragu dengan rencana
usulan perubahan status desa menjadi kelurahan, dan sisanya tidak ada yang menyatakan
tidak setuju. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Bis
Agats Kecamatan Agats menyatakan setuju dengan rencana usulan perubahan status desa
menjadi kelurahan.Berangkat dari analisis diatas, maka saran dalam proses perubahan status
desa menjadi kelurahan di Desa Bis Agats Kabupaten Asmat adalah sebagai berikut:

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 8


1. Proses perubahan status desa menjadi kelurahan di Desa Bis Agats perlu
dilakukan penguatan terhadap beberapa indikator yang kurang potensial yaitu:
a. Peningkatan jumlah personil keamanan dan fasilitas keamanan.
b. Peningkatan fasilitas olah raga.
c. Pembinaan penyandang cacat dan penduduk kasus terlibat kriminal.
2. Seiring dengan perubahan status desa menjadi kelurahan perlu dipikirkan
dan dipertimbangkan tentang dampak yang akan terjadi, yaitu mengenai status asset desa
dan status kepegawaian kepala desa dan perangkat desa. Tindakan yang disarankan agar
tetap didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk status asset
desa sebelum menjadi hak milik pemerintah kabupaten perlu diinventarisir terlebih
dahulu secara jelas, sedangkan perubahan status kepegawaian kepala desa dan perangkat
desa tetap didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku artinya haruslah
sesuai dengan ketentuan dalam mengatur dan menetapkan terhadap pengangkatan,
pembinaan, pemberhentian bagi CPNS dan PNS serta dilihat kemampuan daerah dalam
pengadaan pegawai.
3. Perubahan status desa menjadi kelurahan harus menjamin adanya
peningkatan pelayanan dasar (basic need) baik pelayanan pendidikan, pelayanan
kesehatan, pelayanan fasilitas umum dan pelayanan perijinan guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sehingga dikemudian hari dapat dihindarkan dari tuntutan
perubahan status kembali yakni kelurahan menjadi desa.
4. Semua perlengkapan, personil dan biaya pelaksanaan perubahan status
desa menjadi kelurahan akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah termasuk
perbaikan seluruh administrasi kependudukan yang wilayahnya tersentuh perubahan
status desa baik KTP, KK, dan administrasi kependudukan lainnya.
5. Diharapkan perubahan status desa menjadi kelurahan yang direncanakan
oleh setiap kabupaten/kota minimal diadakan di setiap desa yang menjadi wilayah ibukota
kecamatan dengan harapan ada monitoring perbandingan antara tingkat pelayanan desa
dan tingkat pelayanan kelurahan.

Penutup
Perubahan masyarakat ini seharusnya berbanding lurus dengan organisasi
pemerintahan yang melayaninya. Tapi ternyata saat ini organisasi desa yang ada, terkesan
tidak bisa mengikuti dinamika perubahan sosial masyarakat yang membutuhkan pelayanan
yang cepat dan didukung oleh teknologi yang canggih. Berangkat dari fenomena inilah maka

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 9


kajian perubahan status desa menjadi kelurahan perlu dilakukan melalui teori pengembangan
organisasi dengan harapan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten
Asmat.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 10


Daftar Pustaka

Anderson, JE, Public Policy Making, Halt Renehart and Winston USA, 1978.
Charless H. Lenvile, et. al. Public Administration Challengers, Choices, Concequences. Scott
Foreman/Little Brown Higher Education: Glenview, Ilionis, 1990.
Denhardt, Robert B., Theory of Public Organization, Brooks Colle Publishing Company
Montey California USA, 1979.
Dunn, William N., Public Policy Analysis an Introduction, Prentice Hall Inc. New Jersey,
1994.
Dwiyanto, Agus, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Makalah yang
disampaikan pada seminar Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Fisipol UGM,
1995.
Edward III, George, Implementing Public Policy, Congressional Quartely Press Washington
DC, 1980.
Effendi, Sofian, Kebijakan Pembinaan Organisasi Pelyanan Publik (Percikan Pemikiran
Awal), Fisipol UGM, 1995.
Frederickson, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta, 1984.
Grindle MS, Politics and Policy Implementation in the Third World, Princenton University
Press, New Jersey, 1980.
James L. Perry, Ed, Handbook of Public Administration, Jossey Bass Inc, San Fransisco,
California, 1990.
Jones, Charles O., An Introducting to The Study of Public Policy, Brook/ Cole Publishing
Company Montere California, 1995.
Ripley, Randall B., and Franklin Grace A., Policy Implementation and Bureaucracy, The
Dorcey Press, Chicago, Illionis,
Wasistiono, Sadu, Esensi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga
Rampai), Alqaprint Jatinangor, 2001.

PERATURAN-PERATURAN
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 11


Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteri
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum
Pengatuiran Mengenai Pembentukan Kelurahan.
Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan
Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 12


IMPLEMENTASI AKTIFITAS SOSIAL HUMANIORA DAN
KEAGAMAAN DALAM MASYARAKAT
Anip Dwi Saputro & Adib Khusnul Rois
Dosen & Alumni Fakultas Agama Islam Unmuh Ponorogo
Email: anipdwisaputro@gmail.com/ sikuluye@gmail.com

Abstract
In the life of this world we must recognize that humans are social beings, because
human beings can not live without dealing with another human being and even for any small
business we still need others to help us. Social sciences and humanities is the study of man in
relation to other human beings. the workings of the social sciences humanities can be
summarized in the principles, among others, symptoms of social-humanities are non-
physical, alive and dynamic, research objects can not be repeated, Observation relatively
more difficult and complex, Subject observers as well as an integral part of the the object
being observed. Have predictive power relatively more difficult and uncontrollable.Science of
religion in general is the study of all of which relate to the ways of servitude to God. While
the workings of the science of religion is combine science with religion, so in the
understanding of religion is still using science that can be used as a rational basis. In the
science of religion is not known dichotomy of science, because all sciences have relevance
for science support each other. Implementation of social humanities and religious in society,
In essence, human beings can not be separated from the social aspect of Humanities and
religion both synergize, as well as social behavior humanities to connect with fellow human
beings to run a nature as social beings and religion into human need to interact and execute
commands as servant of God. Indeed humans can not let go of religion, because religion also
have values for cocial humanities.
Keywords: Humanitiessocial, ReligiousAnd Society.

Abstrak
Dalam kehidupan didunia ini kita harus mengakui bahwa manusia merupakan mahluk
sosial, karena manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia yang lain
bahkan untuk urusan sekecil apapun kita tetap membutuhkan orang lain untuk membantu
kita. Ilmu sosial humaniora merupakan ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya
dengan manusialainnya. Cara kerja ilmu – ilmu sosial humaniora bisa dirangkum dalam
prinsip - prinsip, antara lain, gejala sosial – humaniora bersifat non - fisik, hidup dan
dinamis, Obyek penelitian tak bisa diulang, Pengamatan relative lebih sulit dan kompleks,
Subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati. Memiliki daya
prediktif yang relative lebih sulit dan tak terkontrol. Ilmu agama secara umum adalah ilmu
yang mempelajari segala tentang yang berhubungan dengan cara – cara penghambaan
kepada Tuhan. Sedangkan cara kerja dari ilmu agama adalah memadukan antara ilmu
dengan agama, sehingga dalam memahami agama tetaplah menggunakan ilmu yang dapat
dijadikan landasan rasional. Dalam ilmu agama tidak dikenal dikotomi ilmu, karena semua
ilmu memiliki keterkaitan untuk saling menunjang ilmu yang lainnya. Implementasi sosial
humaniora dan keagamaan dalam bermasyarakat, Pada intinya manusia tidak bisa lepas
dari aspek sosial Humaniora dan keagamaan keduanya saling bersinergi, sebagaimana
perilaku sosial humaniora untuk berhubungan dengan sesama manusia untuk menjalan
fitrah sebagai mahluk sosial dan agama menjadi kebutuhan manusia untuk berinteraksi dan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 13


menjalankan perintah sebagai hamba Tuhan. Sejatinya manusia tidak bisa melepaskan
agama, karena agama juga memiliki nilai-nilai untuk bersosial humaniora.
Kata kunci: Sosial Humaniora, Keagamaan dan Masyarakat.

Pendahuluan
Dalam kehidupan didunia ini kita harus mengakui bahwa manusia merupakan mahluk
sosial, karena manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia yang lain bahkan
untuk urusan sekecil apapun kita tetap membutuhkan orang lain untuk membantu kita.
Dalam hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, sangat dibutuhkan
ilmu sosial humaniora, karena di dalamnya terdapat bagaimana cara berhubungan antara
sesama manusia, sehingga dengan ilmu tersebut manusia akan dapat menjalin hubungan
dengan manusia yang lainnya dengan menjalin interaksi yang baik. Adapun pengertian
interaksi sosial menurut Effendi (2010:46) adalah kata interaksi berasal dari kata inter dan
action. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi antar individu,
kelompok sosial, dan masyarakat. Dalam hal ini berarti bahwa manusia dalam kehidupan
sehari-harinya tidak lepas dari hubungan dengan manusia lainnya. Interaksi juga berarti
bahwa setiap manusia saling berkomunikasi dan mempengaruhi bisa dalam pikiran maupun
tindakan.
Menurut kodratnya manusia selain sebagai makhluk individu, mereka juga merupakan
makhluk sosial. Adapun yang dimaksud Istilah sosial menurut adalah ”Sosial” berasal dari
akar kata bahasa Latin Socius, yang artinya berkawan atau masyarakat. Sosial memiliki arti
umum yaitu kemasyarakatan dan dalam arti sempit mendahulukan kepentingan bersama atau
masyarakat. Adapun dalam hal ini yang dimaksud manusia sebagai makhluk sosial adalah
makhluk yang hidup bermasyarakat, dan pada dasarnya setiap hidup individu tidak dapat
lepas dari manusia lain. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial,
manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina
sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan
sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Seperti kita ketahui
bahwa sejak bayi lahir sampai usia tertentu manusia adalah mahkluk yang tidak berdaya,
tanpa bantuan orang orang disekitar ia tidak dapat berbuat apa-apa dan untuk segala
kebutuhan hidup bayi sangat tergantung pada luar dirinya sepert iorang tuanya khususnya
ibunya. Bagi si bayi keluarga merupakan segitiga abadi yang menjadi kelompok sosial
pertama dikenalnya. Pada perjalanan hidup yang selanjutnya keluarga akan tetap menjadi
kelompok pertama tempat meletakan dasakepribadian dan proses pendewasaan yang
didalamnya selalu terjadi “sosialisi” untuk menjadi manusia yang mengetahui pengetahuan
dasar, nilai-nilai, norma sosial dan etika - etika pergaulan.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 14


Tuhan telah menciptakan manusia dengan berbagai macam bentuk yang memiliki
tujuan agar manusia satu dengan yang lainnya saling menghormati dan saling membutuhkan
sehingga tercipta suatu hubungan sosial kemasyarakatan, disitulah akan muncul suatu hukum
timbal balik bagaimana proses sosial berjalan dengan baik. Masyarakat adalah bentuk dari
interaktsi antara manusia satu dengan yang lain, Masyarakat terbentuk karna adanya proses
sosial humaniora. Dalam kehidupan masyarakat dapat kita amati bahwa masyarakat tidak bisa
lepas dari sosial humaniora dan keyakinan terhadap agama, manusia membutuhkan
keduanya. sosial humaniora dan keagamaan menjadi satu rangkaian atara interaksi dengan
manusia dan berinteraksi dengan Tuhan.
Indonesia dipandang sebagai negeri muslim terbesar di dunia agaknya bukan semata-
mata karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Negeri ini juga memiliki jumlah
lembaga pendidikan Islam terbanyak dibanding dengan negeri-negeri muslim manapun.
Sebagai umat muslim hendaknya harus mampu mengambil makna dari Islam itu sendiri,
maka sangat dibutuhkan ilmu agama sebagai landasan dalam berhubungan antara manusia
dengan tuhannya, sehingga umat muslim bukan hanya seorang yang beragama Islam, akan
tetapi lebih utama adalah pengamalan dari Islam itu sendiri.

Pembahasan
Pengertian Ilmu Sosial Humaniora Dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu Sosial–Humaniora.
Menurut Taufik Abdullah (2006:33-34), ilmu terbagi dalam dua kategori besar yaitu
ilmu eksakta dan non eksakta. Khusus ilmu non eksakta dipilah menjadi dua; ilmu humaniora
dan ilmu sosial. Ilmu yang berkaitan dengan filsafat, sastra, seni, dan bahasa dikategorikan
dalam ilmu humaniora, sedangkan di luar itu adalah ilmu sosial. Pendapat serupa
disampaikan Helius Syamsudin (2007:272), bahwa pengetahuan manusia (human knowledge)
umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alamiah (natural
sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Ilmu
alamiah mengkaji lingkungan hidup manusia, ilmu sosial mengkaji manusia dalam
hubungannya dengan manusia-manusia lainnya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan mengkaji
manivestasi-manivestasi (eksistensi) kejiwaan manusia.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang
mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Definisi serupa
disampaikan Taufik Abdullah (2006:31), ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku
manusia dalam kehidupan bersama . Sedangkan Dadang Supardan (2008:34-35)
menyampaikan ilmu sosial (social science) adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan
aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 15


sciences) adalah kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan sesamanya.
Obyek material dari studi ilmu-ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan
yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia mengandung: pilihan,
tanggung jawab, makna, pernyataan privat dan internal, konvensi, motif dan sebagainya (Tim
Dosen Filsafat Ilmu, 2007:4). Aktivitas manusia tersebut termasuk berpikir, bersikap, dan
berperilaku dalam menjalin hubungan sosial diantara sesamanya dan bersifat kondisionalitas.
Dengan kata lain obyek tersebu sebagai gejala sosial. Gejala sosial memiliki karakteristik
fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala
tersebut, sebab tidak hanya mencakup fisik tetapi juga aspek sosiologis, psikologis, maupun
kombinasi berbagai aspek.
Menurut Wallerstein (dalam Dadang Supardan, 2008:34) yang termasuk disiplin ilmu
sosial adalah sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, psikologi, ilmu politik, dan hukum.
Sedangkan menurut Robert Brown dalam karyanya Explanation in Social, ilmu-ilmu sosial
meliputi; sosiologi, ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik, dan psikologi (Abdullah,
2006:33). Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut ilmu sosial,
namun semuanya mengarah kepada pemahaman yang sama, bahwa ilmu sosial adalah ilmu
yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Ilmu sosial dalam
perkembangannya kemudian lahir berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti; ilmu
komunikasi, studi gender, dan lain-lainnya.
Secara umum ilmu pengetahuan yang termasuk dalam kelompok disiplin ilmu-ilmu
sosial adalah :
a. Sosiologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dalam hubungan-
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tersebut (interaksi sosial, kelompok
sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial maupun
perubahan sosial) (Soekanto, 2006:17-21).
b. Antropologi adalah studi tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang umat manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian
ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia (Koentjaraningrat,
1986:1-2)
c. Ilmu Geografi adalah the science of places, concerned with qualities an potentialities of
countries (Vidal dela Blache dalam Dadang Supardan, 2008:227). Dalam pandangan
ilmuwan geografi, secara sederhana geografi merupakan disiplin akademik yang terutama
berkaitan dengan penguraian dan pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan
dalam distribusi lokasi di permukaan bumi, fokusnya pada lingkungan, tata ruang, dan
tempat.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 16


d. Ilmu Sejarah adalah ilmu yang yang berusaha untuk mendapatkan pengertian tentang
segala sesuatu yang telah dialami (termasuk yang diucapkan, dipikirkan dan dilaksanakan)
oleh manusia di masa lampau yang bukti-buktinya masih dapat ditelusuri/diketemukan
masa sekarang. (Widja, 1988:8)
e. Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih
penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya terbatas (Samuelson dan Nordhaus,1990:
5).
f. Psikologi adalah ilmu mengenai proses perilaku dan proses mental (Supardan, 2008:425).
g. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah kekuasaan dalam kehidupan
bersama atau masyarakat. Masalah-masalah kekuasaan itu menyangkut proses penentuan
tujuan-tujuan dari sistem yang ada dan melaksanakan apa yang menjadi tujuan (Mirisam
Budihardjo, 1986:8).
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora berkembang lebih
kemudian dan perkembangannya tidak sepesat ilmu-ilmu alam.Hal ini karena, objek kajian
ilmu-ilmu sosial-humaniora tidak sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih dibalik yang
fisik dan materi dan bersifat lebih kompleks. Selain itu, dibandingkan dengan ilmu-ilmu
alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora nilai manfaatnya tidak bisa langsung dirasakan karena
harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi, kompromi, dan
konsesus. Seperti halnya ilmu-ilmu alam, manusia juga sudah barang tentu membutuhkan
ilmu-ilmu sosial - humaniora untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak fiscal-
material, melainkan lebih bersifat abstrak dan psikologis, seperti penemuan prinsip keadilan
membawa manusia untuk mengatur prilaku sosialnya atas dasar prinsip tersebut, dan prinsip
kemanusiaan membawa kepada sikap tidak diskriminatif atas orang lain meski berbeda ras,
warna kulit, agama, etnis, budaya, dan lain sebagainya.
Dilihat dari sifat obyeknya, cara kerja ilmu-ilmu sosial humaniora bisa dirangkum
dalam prinsip-prinsip seperti berikut :
a. Gejala sosial-humaniora bersifat non-fisik, hidup dan dinamis.
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, dimana gejala-gejala yang ditelaah lebih bersifat “mati”
baik yang ada dalam alam, pikiran (matematika), maupun dalam diri manusia, geala-gejala
yang diamati dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora bersifat hidup dan bergerak secara
dinamis. Objek studi ilmu-ilmu sosial humaniora adalah manusia yang lebih spesifik lagi
pada aspek sebelah dalam atau inner worldnya dan bukan outer worldnya yang menjadi
ciri ilmu-ilmu alam. Berbeda dengan ilmu kedokteran, yang lebih membicarakan aspek
luarnya manusia secara biologis atau fisik, ilmu-ilmu sosial humaniora lebih menekankan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 17


pada sisi bagian “dalam” manusia atau apa yang ada “di balik” manusiaseecara fisik, pada
innerside, mental life, mind-effect world, dan geistige welt.
b. Obyek penelitian tak bisa diulang.
Gejala-gejala fisik dalam ilmu-ilmu alam, karena berupa benda-benda “mati” maka
bersifat stagnan dan tidak berubah-ubah, dan karenanya bisa diamati secara berulang-
ulang. Sementara gejala-gejala sosial humaniora memiliki keunikan-keunikan dan
kemungkinan bergerak sangat besr, karena mereka tidak stagnan dan tidak statis.Masalah
sosial kemanusiaan sering bersifat sangat spesifik dan konteks historis tertentu.Kejadian
sosial mungkin yang dulu pernah terjadi barangkali secara mirip bisa terulang dalam masa
sekarang atau nanti, tetapi tetap secara keseluruhan tak pernah bisa serupa. Misalnya
prilaku kerusuhan sosial orang-orang di Surakarta dulu prnah diteliti, dan sekarang
ilmuwan sosial mencoba meneliti kembali prilaku kerusuhan sosial mereka itu, maka tidak
akan pernah mungkin sama karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan berkembang
dan bahkan dimungkinkan berubah sama sekali dan ditambah lagi perubahan-perubahan
konteks sosio-budaya-politiknya. Dengan demikian gejala-gejala sosial-humaniora
cenderung tidak bisa ditelaah secara berulang-ulang, karena gejala-gejala tersebut bergerak
seiring dengan dinamika konteks historisnya.Jika dalam ilmu-ilmu alam, gejala-gejala
alam bisa ditelah secara berulang-ulang, sehingga mampu dihasilkan hokum-hukum
obyektif dan nomotetik, sedangkan dalam ilmu sosial humaniora hanya dilukiskan
keunikannya atau bersifat idiographic.Ilmu-ilmu sosial humaniora hanya memahami,
memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial humaniora, bukanmenemukan dan
menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan, dan penafsiran ini lebih besar
kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan, daripada
menghasilkan kesimpulan yang sama.
c. Pengamatan relative lebih sulit dan kompleks.
Mengingat sifat gejala-gejala sosial-humaniora yang bergerak dan bahkan berubah, maka
bisa dibayangkan ilmuwan sosial-humaniora dalam mengamati mereka sudah barang tentu
lebih sulit dan kompleks. Karena yang diamati adalah apa yang ada dibalik kenampakan
fisik dari manusiadan bentuk-bentuk hubungan sosial mereka. Melihat seseorang
tersenyum pada orang lain adalah hal yang sering bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari, tetapi dalam ilmu sosial-humaniora dapat bermakna banyak, orang yang tersenyum
bisa karena ia senang dengan orang yang dilihatnya, karena orang yang dilihatnya adalh
lucu dan aneh atau bahkan karena ia tidak senang pada orang yang dilihatnya tetapi agar
tidak terlihat oleh mata orang-orang disekitarnya bahwa ia tidak senang pada orang yang
dilihatnya. Van dalen menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 18


yang bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi variable dalam jumlah yang
relative kecil dan karenanya mudah diukur secara tepat dan pasti; sedangkan ilmu-ilmu
sosial humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun selaku anggota
dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit, dan karenanya
variable dalam penelaahan sosial humaniora relative lebih banyak dan kompleks serta
kadang-kadang membingungkan. Kuntowijoyo tentang hal ioni menggarisbawahi bahwa
manusia memiliki free will dan kesadaran, karena itulah, ia bukan benda yang ditentukan
menurut hokum-hukum yang baku sebagaimana benda-benda mati lainna yang tak
memiliki kesadaran apalagi kebebasan kehendak. Benda mati bisa dikontrol dan
dikendalikan secara pasti, tetapi manusia tidak bisa karena disamping dikendalikan, ia juga
bisa mengendalikan orang lain. Determinisme dalam segala bentuk apakah itu ekonomi,
lingkungan alam, lingkungan sosial, politik dan budaya hanya berharga sebagai dependent
variable, tetapi tidak pernah menjadi independent variable.Oleh karena itu, jelas bahwa
pengamatan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora adalah jauh lebih komples, subyek dan
obyek penelitian adalah makhluk yang sama-sama sadar yang jelas tidak mudah
menangkap dan ditangkap semudah menangkap realitas benda, batu misalnya.
d. Subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati.
Subyek pengamat atau peneliti dalam ilmu sosial humaniora jelas jauh berbeda dengan
ilmu alam. Dalam ilmu alam, subyek pengamat bias mengambil jarak dan focus pada
obyektivitas yang diamati, tetapi dalam ilmu sosial humaniora karena subyek dan obyek
adalah manusia yang emiliki motif dan tujuan dalam setiap tingkah akunya, makasubyek
yang mengamati tidak mungkin bias mengambil jarak dari onyek yang diamati dan
menerapkan prinsip obyektivistik, dan tampaknya lebih condong ke prinsip
subyektivistik. Karena subyek yang mengamati adalah manusia yang juga memiliki
kecenderungan nilai tertentu tentang hidup maka ia menjadi bagian integral dari obyek
yang diamati yang juga manusia itu. Dalam “membongkar” motif, tujuan dari perbuatan
yang dilakukan manusia, maka peneliti tidak bias melepaskan dari kecenderungan-
kecenderungan nilai individu yang sedang dipeganginya. Dengan cara ini, obyek sosial
humaniora yang sama diamati oleh beberapa pengamat hampir bias dipastikan tidak akan
menghasilkan kesimpulan yang tunggal, tetapi cenderung beragam dalam interpretasinya
karena subyek pengamat sosial humaniora ukanlah sekedar spectator saja tetapi juga
terlibat baik secara emosional maupun rasional dalam dan merupakan bagian integral dari
obyek yang diamatinya.
e. Memiliki daya prediktif yang relative lebih sulit dan tak terkontrol.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 19


Suatu teori sebagai hasil suatu pengamatan sosial humaniora tidak serta merta bias dengan
mudah untuk memprediksikan kejadian sosial humaniora berikutnya. Hal ini dikarenakan
dalam ilmu sosial humaniora, pola-pola prilaku sosial humaniora yang sama belum tentu
akan mengakibatkan kejadian yang sama. Meskipun demikian, bukan berarti hasil temuan
dalam ilmu-ilmu sosial humaniora tidak bias dipakai sama sekali untuk meramalkan
kejadian-kejadian sosial lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat yang berlainan,
tetap bias tetapi tidak mungkin sepasti dan semudah ilmu-ilmu alam.

Pengertian Ilmu Keagamaan Dan Cara Kerja Ilmu Agama.


Ilmu dalam pengertian secara umum adalah pengetahuan yangsistematis dan
terstruktur.Sedangkan agama adalah suatu bentuk penghambaan manusia kepada
Tuhannya, yaitu bentuk kepasrahan dan rasa syukur atas nikmat-nikmat dari
Tuhan.Di dalam ilmu keagamaan terdapat pembelajaran yang sangat kompleks,
selain pembelajaran tentang bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan,
maupun hubungan manusia dengan sesamanya, dan juga dengan alam.Ketiga hal
tersebut haruslah dipelajari dengan seimbang.
Adapun pengertian ilmu agama juga dapat didevinisikan dalam beberapa
pendapat, antara lain
1. Ilmu yang disusun dengan tujuan menerangkan dan menafsirkan kitab serta
sunnah, seperti: Ushul Fiqhi, Ulum al-Qur’an, tata bahasa Arab, Logika, Filsafat,
Hermeneutik dan lain-lain;

2. Ilmu yang diperoleh dari hasil penafsiran dan penjelasan kitab dan sunnah.

3. Ilmu yang diperoleh dari hasil penyingkapan mukjizat ilmiah al-Qur’an dan
Sunnah

4. Setiap pengetahuan yang diperoleh melalui metode eksperimen, akal dan agama.
Nilai merupakan bagian yang inhern dalam proses pendidikan Islam di
Indonesia. Ia mengalami perkembangan dan dinamika sesuai dengan tantangan
yang dihadapinya. Ia juga membawakan pesan substansial yang permanen dari
masa kemasa dengan merujuk pada sumber nilai yang dipeganginya. Dalam kondisi
ini tarik menarik antara tuntutan perubahan dan kepatuhan akan sebuah nilai akan
melahirkan variasi dalam proses dan pendekatan dalam pendidikan Islam.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 20


Dewasa ini, dapat dilihat bahwa pendidikan Islam berkembang pesat.Pada
tahun-tahun pertama dekade ini muncul gagasan-gagasan baru dalam usaha
pengembangan pendidikan Islam. Secara keseluruhan gagasan-gagasan itu
merupakan pemikiran untuk menghindari kebuntuan pembaharuan yang sudah
berlangsung sejak pertengahan dekade 1970-an. Sudah menjadi keperihatinan
banyak kalangan bahwa kajian Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam
nampaknya berhenti pada dasar - dasar rasionalisme dan komparatifisme yang
sudah diletakkan oleh tokoh-tokoh pembaharu seperti Harun Nasution dan Mukti Ali.
Dunia pendidikan Islam sebagian besar masih mengikuti paham Islam
klasikyang didominasi oleh ulum al-asyar’i. memasuki dunia modern, tradisi itu
mengalami kesenjangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah sangat kuat mempengaruhi peradaban ummat manusia hingga dewasa
ini. Kesenjangan itu telah menghadapkan dunia pendidikan Islam dengan tiga situasi
yang buruk: pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama dan ilmu
umum; kedua, keterasingan pengajaran ilmu - ilmu keagamaan dari realitas
kemoderenan; dan ketiga, menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai - nilai
agama pada aspek - aspek fundamental ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga
penyelesaianya memerlukan penanganan yang serius.
Dalam hubungan agama dan ilmu pengetahuan, secara garis besar terdapat
dua pandangan yang berkembang di Indonesia, tetapi kedua-duanya belum
diwujudkan dalam usaha yang serius dan terus menerus. Sebagian pandangan
berasumsi bahwa ilmu pengetahuan sebagai produk dari kegiatan ilmiah bersifat
netral [bebas nilai]. Meskipun lahir dan berkembang dalam masyarakat Barat yang
sekuler, ilmu pengetahuan sebagaimana adanya dapat digunakan untuk
kepentingan ummat manusia. Kaum muslimin dengan jiwa keislamannya yang
mantap dengan menggunakan ilmu pengetahuan itu dan dijamin tidak akan hanyut
dalam arus sekularisasi. Dalam konteks ini, gagasan Islamisasi dipandang sikap
apriori, semata-semata karena ilmu pengetahuan modern dikemabngakan oleh
ilmuwan-ilmuwan Barat.
Pada tataran yang paling sederhana, Islamisasi ilmu pengetahuan sering
dilakukan dengan mencarikan doktrin-doktrin agama yang relevan.Bangunan ilmu
pengetahuan modern sepenuhnya diterima, hampir tanpa gugatan yang kritis, tetapi
ditambahkan dan diperkuat dengan ketentuan-ketentuan teks-teks (nushush) al-
Qur’an dan al-Hadits yang mendukung. Cara kerja islamisasi ilmu pengetahuan
Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 21
yang sederhana ini tidak jauh berbeda dengan cara kalangan Islam yang
mengadopsi ideologi modern tertentu dengan dalil-dalil yang relevan, seperti
munculnya faham sosialisme Islam. Pada tahap awal, langkah ini cukup berguna
sebatas menghidupkan semangat keislaman meskipun tidak menyelesaikan
masalah yang sebenarnya.
Tahap yang cukup signifikan dalam Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
usaha membangun basis-basis keIslaman yang tangguh untuk semua disiplin
ilmu.Usaha ini biasa disebut dengan Islamisasi disiplin ilmu [Islamisasion of
disciplines]. Daripada mempersoalkan aspek-aspek filosofis ilmu pengetahuan
secara mendasar, Islamisasi disiplin ilmu lebih langsung mengenai secara kritis
teori-teori ilmu pengetahuan yang sudah berkembang. Keseriusan usaha ini terletak
pada proses seleksi, identifikasi, dan klasifikasi teori-teori yang relevan dan tidak
relevan dengan Islam. Dengan demikian, penggunaan dalil-dalil keagamaan tidak
selalu untuk mengabsahkan teori yang ada, tetapi juga untuk menolak dan sekaligus
menawarkan alternatif terhadap teori yang berlawanan dengan ajaran Islam. Proses
ini secara otomatis ikut memperkaya teori-teori ilmu pengetahuan itu sendiri dengan
munculnya berbagai versi (mazhab).

Implementasi Sosial Humaniora Dan Keagamaan Dalam Masyarakat.


Ilmu sosial humaniora merupakan ilmu yang mempelajari manusia dalam
hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Dilihat dari sifat obyeknya, cara
kerja ilmu-ilmu sosial humaniora bisa dirangkum dalam prinsip - prinsip, antara lain,
gejala sosial - humaniora bersifat non - fisik, hidup dan dinamis, Obyek penelitian tak
bisa diulang, Pengamatan relatif lebih sulit dan kompleks, Subyek pengamat juga
sebagai bagian integral dari obyek yang diamati. Memiliki daya prediktif yang relative
lebih sulit dan tak terkontrol.(Susanto, 2001:23) Kemudian pengertian dari ilmu
agama secara umum adalah ilmu yang mempelajari segala tentang yang
berhubungan dengan cara-cara penghambaan kepada Tuhan. Sedangkan cara kerja
dari ilmu agama adalah memadukan antara ilmu dengan agama, sehingga dalam
memahami agama tetaplah menggunakan ilmu yang dapat dijadikan landasan
rasional. Dalam ilmu agama tidak dikenal dikotomi ilmu, karena semua ilmu memiliki
keterkaitan untuk saling menunjang ilmu yang lainnya. (Gazali 2005: 153)
Sosial humaniora dan keagamaan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan bermasyarakat, aspek sosial sudah menjadi fitrah manusia untuk
Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 22
menjadi mahluk yang berinteraksi dengan mahluk yang lain untuk memenuhi
kebutuhan satu sama lain. Agama juga menjadi salah satu landasan dan pijakan
manusia untuk tetap memiliki rasa reiligius yang hanya menghambakan diri kepada
Tuhan, yang sejatinya manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan. Kehidupan
bermasyarakat dan beragama menjadi salah satu konsep yang tak terpisahkan
karena agama juga mengatur segala aspek sosial yang ada dalam kehidupan
manusia. Pada intinya manusia tidak bisa lepas dari aspek sosial dan agama
keduanya saling bersinergi, bagaimana perilaku sosial humaniora untuk
berhubungan dengan sesama manusia dan agama menjadi kebutuhan manusia
untuk berinteraksi dengan Tuhan. Sejatinya manusia tidak bisa melepaskan agama,
karena agama juga memiliki nilai-nilai untuk bersosial humaniora. Konsep ini bisa
kita perjelas dengan menggunakan gambar sebagi berikut:

Gambar. 1
Konsep Sosial Humaniora

Melihat dari gambar diatas bahwa korelasi antara sosial humaniora dan
keagamaan dalam masyarakat saling bersinergi dan saling membutuhkan.
Berdasarkan korelasi tersebut kita sebagai bagian dari masyarakat hendaknya bisa
mengaplikasikan sosial humaniora dan keagamaan sebagi pondasi dalam
kehidupan kita dari aspek sosial dan religiusitas. Sebagaimana perilaku sosial
humaniora untuk berhubungan dengan sesama manusiamenjalan fitrah sebagai
mahluk sosial dan agama menjadi kebutuhan manusia untuk berinteraksi dan
menjalankan perintah sebagai hamba Tuhan.

Penutup
Dari uraian pada pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Ilmu sosial humaniora merupakan ilmu yang mempelajari manusia dalam
hubungannya dengan manusialainnya.cara kerja ilmu-ilmu sosial humaniora bisa
dirangkum dalam prinsip-prinsip, antara lain, gejala sosial-humaniora bersifat non-

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 23


fisik, hidup dan dinamis, Obyek penelitian tak bisa diulang, Pengamatan relative
lebih sulit dan kompleks, Subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari
obyek yang diamati. Memiliki daya prediktif yang relative lebih sulit dan tak
terkontrol.
2. Ilmu agama secara umum adalah ilmu yang mempelajari segala tentang yang
berhubungan dengan cara-cara penghambaan kepada Tuhan. Sedangkan cara
kerja dari ilmu agama adalah memadukan antara ilmu dengan agama, sehingga
dalam memahami agama tetaplah menggunakan ilmu yang dapat dijadikan
landasan rasional. Dalam ilmu agama tidak dikenal dikotomi ilmu, karena semua
ilmu memiliki keterkaitan untuk saling menunjang ilmu yang lainnya.
3. Implementasi sosial humaniora dan keagamaan dalam bermasyarakat, Pada
intinya manusia tidak bisa lepas dari aspek sosial Humaniora dan keagamaan
keduanya saling bersinergi, sebagaimana perilaku sosial humaniora untuk
berhubungan dengan sesama manusia untuk menjalan fitrah sebagai mahluk
sosial dan agama menjadi kebutuhan manusia untuk berinteraksi dan
menjalankan perintah sebagai hamba Tuhan. Sejatinya manusia tidak bisa
melepaskan agama, karena agama juga memiliki nilai-nilai untuk bersosial
humaniora

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 24


Daftar Pustaka

Bachri Gazali, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005
Baru. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.1986.
Dadang Supardan.Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT
Bumi Aksara. 2010.
E.Palmer, Richard, Hermeneutics Interpretation Theory, Eanston: Northwestern Univrsity
Press 1969.
Effendi, R. dan Setiadi, E.M. Pendidikan Lingkungan, Sosial, Budaya dan
Teknologi.Bandung: UPI Press.Fakir. 2010.
Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Ghazali, Bachli DKK. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
2005.
Helius Syamsudin. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ompak.2007.
Koentjaraningrat.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Aksara1986.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998
Nasution, Khoiruddin, Studi Islam,Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA,Riswandi, Ilmu
Sosial Dasar 2009.
Samuelson, Paul A. Dan William D. Nordhaus. 1990. Ekonomi, jilid 1. Jakarta : 2010
Erlangga.Widja, I Gde.Pengantar Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan. Semarang:
SatyaWacana. 1988.
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2006.
Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, Yogyakarta: Diktat Matakuliah Ushul Fikih
pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga 2011.
Taufik Abdullah, Ilmu Sosial dan Tantangan Jaman. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 25


Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty. 2007.
http://www.find-docs.com/pengertian-ilmu-ilmu-humaniora-doc~2.html

REDESIGN CAMPAIGN STRATEGY MELALUI PERPADUAN POLITICAL


MARKETING DAN NILAI LUHUR TAN MALAKA UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS DEMOKRASI DALAM MENGHADAPI PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DI JAWA TIMUR (PILKADA)
Bagus Ananda Kurniawan
Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fisip, Universitas Bhayangkara Surabaya
Email: Bagusanandakurniawan@Gmail.Com

Abstract
Local elections (elections) directly East Java, the second round is about to begin.
Regional head candidate has been prepared in an attempt to win the local elections. Several
methods have been performed by both partners winner of local elections in East Java this.
Businesses that do of course have a final destination in order to get the voice of the
community.In the process of political marketing, there are four things to watch contestants
namely, product (platforms, personal character, campaign promises), price (cost of
campaigns, political lobbying), place (mass base, a successful team) and promotion
(advertising, publicity, campaigns). In addition, the campaign contestants must also consider
the many factors that can affect the number of votes, such as the form of a group of diverse
people's lifestyle, the things that affect voters in choosing the contestants, the typology of
voters, as well as segmentation and political positioning. Another point of concern and
principal study political thought Tan Malaka in political beliefs are strategies and tactics.
Keywords: Political Marketing, Quality Democracy, Politics and Social thinking Tan
Malaka.

Abstrak
Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung Jawa Timur putaran kedua sebentar lagi
akan dimulai. Calon kepala daerah telah mempersiapkan diri dalam usaha untuk
memenangkan Pemilihan Kepala Daerah. Beberapa metode telah dilakukan oleh kedua
pasangan pemenang Pemilihan Kepala Daerah di Wilayah Jawa Timur ini. Usaha yang
dilakukan tentu saja memiliki tujuan akhir agar mendapatkan suara dari masyarakat. Pada
proses political marketing, ada empat hal yang harus diperhatikan kontestan yaitu, product
(platform, karakter personal, janji-janji kampanye), price (biaya kampanye, lobi-lobi
politik), place (basis massa, tim sukses), dan promotion (advertising, publicity, kampanye).
Selain itu, dalam berkampanye kontestan juga harus memperhatikan banyak faktor yang
dapat memengaruhi jumlah perolehan suara, seperti bentuk kelompok gaya hidup
masyarakat yang beranekaragam, hal-hal yang mempengaruhi pemilih dalam memilih para
kontestan, tipologi pemilih, serta segmentasi dan positioning politik. Hal lain yang menjadi
perhatian dan pokok kajian pemikiran politik Tan Malaka dalam keyakinan politik adalah
strategi dan taktik.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 26


Kata Kunci: Political Marketing, Demokrasi yang Berkualitas, pemikiran Politik dan
Sosial Tan Malaka

Pendahuluan
Dalam Politik kerapkali didefinisikan sebagai “who gets what and when”. Artinya
adalah sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang menggiurkan setiap
orang. Pada sisi lain, politik merupakan cara yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan
tujuan untuk mempengaruhi elemen masyarkat agar mau bergabung dengan komunitas yang
dimiliki.Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia yang sudah bersepakat untuk belajar
demokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah, sedang
mengalami gegap gempita dan euforia pesta demokrasi. Bak permainan baru yang sedang
digemari, energi masyarakat banyak yang tersedot ke dalam rivalitas politik yang kian
mengharu biru. pilkada digelar dimana-mana, riuh rendah dukungan dan penolakan terhadap
kandidat terpilih, seolah menjadi penanda paling nyata bahwa wilayah permainan dan
rivalitas politik tak lagi tersentral di Jakarta. Melalui pilkada langsung, hasrat politik sekian
banyak orang dapat tersalurkan. (Heryanto, 2007)
Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) adalah agenda politik yang membutuhkan partisipasi masyarakat. Partai
politik yang menjadi sarana dalam memenangkan arena politik senantiasa harus berpikir dan
bertindak cerdas jika tidak ingin kehilangan dukungan konstituennya. Pada tataran yang lebih
pragmatis, saat ini partai politik dihadapkan pada kenyataan bahwa partai politik harus lebih
melek lagi dalam memahami kondisi psikopolitik dan sosiopolitik masyarakat. Partai politik
harus menyadari bahwa munculnya ketidakpercayaan masyarakat kepada elit politik akan
berdampak pada menurunnya partisipasi masyarakat dalam aktivitas politik. Ada beberapa
kekurangan dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres), dan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah memakan dana APBD maupun APBN, dimana
hasilnya terdapat golongan putih (golput) sangat banyak Hal ini memerlukan berbagai
evaluasi untuk menganalisis kekurangan yang telah terjadi. Banyak faktor yang menjadi
penyebab banyaknya golput, di antaranya adalah election fatigue dan stigma negatif
masyarakat terhadap partai politik. Election fatigue adalah kondisi masyarakat yang sudah
terlalu lelah dan bosan dengan pemilihan yang dilakukan berkali-kali dalam setahun.
Selanjutnya, stigma negatif yang ditunjukkan oleh masyarakat menjadi salah satu bukti
bahwa belum ada calon yang pantas untuk duduk di kursi pemimpin daerah maupun
pemimpin pusat.Menghadapi permasalahan yang telah dijabarkan mengenai kontrol dalam
sebuah parpol untuk memenangkan calon yang diangkat, perlu adanya strategi yang dapat

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 27


mengatasi permasalahan tersebut secara holistik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan redesign strategi politik melalui political marketing (marketing politik).
Marketing politik merupakan salah satu strategi efektif untuk meningkatkan kualitas
demokrasi dalam menghadapi pilkada Jatim Putaran II. Konsep marketing politik merupakan
sebuah fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia. Melihat lebih lanjut, marketing dan
politik adalah dua disiplin ilmu yang bertolak-belakang. Rasionalitas marketing mengacu
pada persaingan dengan tujuan memenangkannya secara efektif. Sebaliknya rasionalitas
politik bergerak pada tataran poses menciptakan tatanan masyarakat yang ideal melalui
sistematisasi perebutan kekuasaan. Persilangan kedua disiplin tersebut akan menciptakan
proses simbiosis mutualisme antara marketing dan politik. (Tragistina,2008) Marketing
sangatlah kontributif dalam dunia politik. Marketing menjadi strategi (layaknya riset pasar)
dalam memahami dan menganalisis keinginan atau kebutuhan pemilih. Seperti halnya dunia
bisnis, dunia politikpun membutuhkan 4P dalam strategi marketingnya atau biasa dikenal
dengan marketing mix, yaitu product (karakter personal, platform kontestan, janji-janji
kampanye), price (biaya kampanye, lobi-lobi politik), place (basis massa, tim sukses),
promotion (advertising, publicity, kampanye). (Semarketer, 2008)
Pemikiran – pemikiran politik Tan Malaka telah memberikan kontribusi konstruktif
terhadap para founding fathers Indonesia dalam proses perjuangan hingga pembentukan
negara. Dari karya-karyanya, Naar de Republiek Indonesia, Massa Aksi, Gerpolek, Thesis,
Politik, Madilog dan yang lain dapat diketahui dengan jelas ide-ide dan taktik strategis
filsafat politik Tan Malaka. Epistimologi, ontologi dan aksiologi selalu ditempatkan pada
dasar materialisme-historis-dialektis. Dapat dipahami dalam keadaan bangsa yang masih
dalam jajahan bangsa asing, revolusi sebagai jalan terbaik, berikut yang terkandung didalam
pemikiran Politik dan Sosial Tan Malaka adalah
a) sikap tidak mau tunduk pada suatu gagasan yang belum melalui uji verifikasi ilmiah.
b) Masyarakat bagi Tan Malaka adalah sumber pembentukan etika itu sendiri, maka standar
nilai (etika) bergerak dapat berubah dan dipengaruhi gerak sosial (sosial movement).
c) Dalam Tradisi politik, blok kiri diartikan sebagai kelompok paling ekstrim yang anti
kemapanan, anti status quo, anti penindasan dan cenderung radikal dalam gerak-
gerakannya berupaya mengubah struktur masyarakat secara fundamental, dan kanan
diidentikan dengan orang-orang yang konservatif, reaksioner, berusaha mempertahankan
kondisi sekarang dengan acuan masa lalu.
d) Sistem sosialis juga merupakan sistem masyarakat atau kelompok hidup bersama tanpa
hak milik pribadi atau swasta. Semuanya dikelola dari, oleh, dan untk semua (bersama).

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 28


e) Sistem pemilihan umum hanya akan menyebabkan siapa kuat secara modal maka itulah
yang akan bertahan. Yang kedua, sistem itu akan memberikan pendapatan baru dan yang
ketiga sistem ini pada akhirnya semakin mengekalkan perbedaan yang mencolok antara
kelas bourjuis dan kelas proletar.
f) Sedangkan adanya undang-undang yang mengatur hak dan kekuasaan adalah ciri dari
sebuah negara demokrasi. Tan Malaka mengatakan hak dan kekuasaan tersebut dibagi-
bagi kedalam: pertama, antara rakyat dan pemerintah. Kedua, pemisahan kekuasaan
dalam tiga badan yang terpisah yang lebih dikenal dengan Trias Politika. Asumsi
dasarnya adalah pemisahan badan tersebut berguna untuk mencegah terjadinya praktek-
praktek otoriter, di mana kekuasaan terpusat pada satu tangan. Kekuasaan ini terbagi
kedalam, kekuasaan legislatif atau pembuat undang - undang, kekuasaan eksekutif atau
menjalankan undang-undang dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili.
Berdasarkan pada permasalahan yang diangkat didalam penulisan ini maka metode
penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode
dalam meneliti status seseorang, suatu objek, suatu situasi atau kondisi sistem pemikiran.

Pembahasan
Gambaran Umum Bentuk Demokrasi Masyarakat Jawa Timur
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Bulan desember
besok, masyarakat Jatim akan melaksanakan pesta rakyat melalui pemilihan kepala daerah
(pilkada) DI beberapa wilayah di Jawa Timur. Terjadinya putaran kedua pemilihan kepala
daerah (pilkada) DI beberapa wilayah di Jawa Timur dikarenakan dari dua hingga tiga
pasangan calon yang mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) terpilih belum ada
presentase suaranya yang mencapai 30%. Oleh karena itu, sesuai dengan UU No 12/2008
harus dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) putaran kedua di beberapa wilayah di
Jawa Timur. Belum adanya pasangan calon yang mengikuti pemilihan kepala daerah
(pilkada) memperoleh 30% suara, sangatlah ironi bila dibandingkan dengan presentase suara
pemilih golput yang mencapai 38,3% suara.
Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di Jatim tidak berjalan dengan baik karena
partisipasi masyarakat dalam rangkaian acara untuk memilih pemimpin mereka cenderung
menurun bila dibandingkan dengan Pilpres 2004. Demokrasi di Jatim melahirkan
permasalahan yang sangat kompleks. Ketika menjalankan proses demokratisasi ada
kemungkinan bahwa calon tidak melihat secara rinci bentuk kelompok gaya hidup

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 29


masyarakat yang sangat berlapis-lapis dan memiliki orientasi yang berbeda-beda sehingga
melahirkan ciri berbeda di setiap lapisannya.

Gambar 1. Bentuk Kelompok Gaya Hidup Masyarakat di Jawa Timur

Sumber : Dr. Rainer Adam. 2007. Political Marketing : Strategi


Membangun Konstituen dengan Pendekatan Public Relation.

Berdasarkan gambar di atas, maka kontestan pemilihan kepala daerah (pilkada) di


Beberapa Wilayah Jawa Timur harus bekerja keras dalam memahami berbagai bentuk gaya
hidup masyarakat sehingga harapannya semua kelompok masyarakat dapat menyumbangkan
suaranya dalam pilkada.Pada kelompok yang berorientasi tradisional (mempertahankan), para
kontestan harus bisa meyakinkan mereka untuk memberikan suaranya dengan cara
melakukan komunikasi interaktif dan memberikan rasionalisasi program-program yang
hendak mereka wujudkan. Dengan cara seperti ini, mereka diharapkan tidak apatis lagi
dengan politik. Para kontestan juga seharusnya menyesuaikan tata cara penyampaian
program-programnya dengan setiap lapisan yang menjadi tujuan kampanye mereka. Apabila
mereka berkampanye atau mensosialisasikan politik pada lapisan bawah, hendaknya mereka
menggunakan bahasa-bahasa ringan yang mudah dimengerti oleh rakyat lapisan bawah.
Pada kelompok yang berorientasi material (memiliki), para kontestan juga harus bisa
meyakinkan mereka bahwa dengan memilih mereka harapan-harapan mereka untuk memiliki

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 30


capital dapat terpenuhi. Sama halnya pada kelompok berorientasi tradisonal, para kontestan
juga harus menyesuaikan gaya kampanyenya dengan lapisan sosial yang mereka jadikan
wadah untuk berkampanye. Pada kelompok yang berorientasi hedonis (menikmati), para
kontestan (pensosialisasi) harus lebih menekankan pada inovasi-inovasi yang mereka
ciptakan saat menyensosialisasikan sistem politik, misalnya dengan acara nonton bareng film
yang memiliki nilai edukasi tinggi.Pada kelompok post-materialism (eksistensi), para
kontestan diharapkan dapat menampilkan sesuatu yang berbeda saat mensosialisasikan sistem
politik sehingga membuat orang-orang yang termasuk kelompok ini menjadi yakin bahwa
dengan memilih mereka, keeksistensian mereka tidak akan terganggu. Sebagai contoh, para
kontestan dapat membuat suatu kontrak politik yang ditandatangani di atas materai sehingga
memiliki kekuatan hukum yang dapat dipergunakan bagi masyarakat untuk menuntut
kontestan tersebut apabila mereka tidak menjalankan program dengan semestinya.

Redesign Campaign Strategy melalui Perpaduan Political Marketing dengan Pemikiran


Tan Malaka untuk Meningkatkan Kualitas Demokrasi dalam menghadapi pemilihan
kepala daerah (pilkada) Beberapa Wilayah di Jawa Timur
Partai politik agar dapat membangun sistem kepercayaan yang saling menguntungkan
dengan pemilih. Upaya yang dilakukan untuk bisa memahami cara berpikir dan bertindaknya
pemilih, kontestan harus harus memahami rasionalitas yang ada dibalik pengambilan
keputusan pemilih. Selama ini, kontestan hanya memperhatikan kondisi yang terjadi di
masyarakat secara umum tanpa adanya penelitian lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya
diinginkan oleh masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah kasus lumpur lapindo.
Masyarakat Jawa Timur sangat kecewa dengan seluruh kontestan partai politik yang tidak
memasukkan seperti permasalahan lumpur lapindo,Kelangkaan pangan, Kekeringan maupun
Kemiskinan dalam kontrak politik ketika kontestan memenangkan Pemilihan Kepala Daerah
(pilkada) di Beberapa Wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu, metode lain dalam berkampanye
dirasa perlu untuk melihat realita yang sedang terjadi dimasyarakat khususnya Jawa
Timur.Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan program
marketing politik ini. Mulai dari proses pelaksanaan marketing politik yang merupakan
awalan, kemudian masuk ke proses selanjutnya yakni segmentasi, targeting dan positioning,
kemudian faktor yang menjadi penentu politik dan yang terkhir adalah peguasaan kontestan
terhadap tipologi pemilih harus dijalankan dengan baik.Seperti yang terlihat pada bagan 2,
seorang kandidat atau dalam makalah ini adalah kontestan harus memiliki marketing program
yang layak dan mampu menarik minat masyarakat untuk memilih kontestan tersebut.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 31


Marketing program ini lebih sering disebut dengan marketing mix yang terdiri dari product
(produk), price (harga), promotion (promosi) dan place (lokasi). Marketing mix lebih populer
diistilahkan dengan 4P.

Gambar 2. Proses Marketing Politik

Sumber : Niffenegger (1989)

Berdasarkan gambar diatas, Program marketing yang disuguhkan ke masyarakat


haruslah menarik dan jangan sampai justru menyinggung hal-hal yang bersifat sensitif
sebagai contoh adalah SARA. Program yang telah dicanangkan oleh kandidat ini kemudian
disegmentasikan ke dalam masyarakat dengan menyebar isu serta mencari peluang.
Segmentasi yang dilakukan juga harus dilakukan berdasarkan lingkungan sekitar karena jika
tidak, akan membawa dampak yang sangat besar. Hal ini tidaklah mudah. Kandidat harus
melakukan berbagai riset pasar untuk membuat segmentasi menjadi lebih tepat sasaran.
Kesalahan dalam membawakan isu politik dan kegagalan dalam memanfaatkan peluang
berpengaruh signifikan terhadap suara yang akan diperoleh kontestan.Kegiatan riset pasar
inilah yang tidak dimiliki oleh kontestan dalam menyusun strategi kampanye. Mereka
cenderung berpikir bagaimana caranya lolos dengan mudah dan mendapatkan aspirasi
masyarakat dengan cepat. Kontestan hanya melakukan 2 marketing program yang sangat
menonjol, yakni price dan promotion. Kontestan sangat boros dalam masalah mengeluarkan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 32


dana kampanye dan promosi yang digencarkan adalah slogan-slogan yang nantinya mudah
diingat oleh masyarakat. Masyarakat pemilih cenderung lebih hafal dengan slogan dari pada
produk yang dimiliki oleh kontestanTelah disinggung pada point sebelumnya, bahwa dalam
politikpun perlu adanya riset pasar yang disebut riset politik jika tujuannya untuk politik.
Beberapa kegunaan utama dari riset politik antara lain : Pertama, untuk menyusun strategi
dan taktik. Adman Nursal (2004) mengatakan Strategi kampanye politik tanpa riset bagaikan
orang buta yang berjalan tanpa tongkat. Sebaliknya riset tanpa sumber daya strategis seperti
desain strategi, orang, dana dan sumber daya lainnya ibarat orang lumpuh yang memahami
jalan dan peta akan tetapi tidak memiliki kendaraan untuk menuju tempat yang
diinginkannya. Kedua, riset untuk memonitor hasil penerapan strategi. Implementasi sebuah
strategi, akan menimbulkan respon dari pesaing. Reaksi para pemilih perlu diketahui untuk
menerapkan strategi berikutnya. Riset monitor politik berorientasi pada tindakan dan reaksi
terhadap kondisi saat ini.Lebih spesifik lagi, riset politik ini akan menghasilkan strategi
kampanye dalam penetapan segmentasi, target dan posisi (STP) seperti yang terlihat pada
bagan 3. Inti dari kegiatan kegiatan STP ini terletak pada P atau positioning. Meskipun dalam
segmentasi dan target sudah baik, namun ketika terjadi kegagalan dalam penempatan posisi,
maka kegiatan segmentasi dan targetting akan menjadi sia-sia.

Gambar 3. STP dalam Politik

Sumber : Hasil olahan tim penulis

Berdasarkan gambar diatas, kontestan harus memiliki tim yang fokus kepada kegiatan
riset politik. Hal ini dimaksudkan agar terjadi konsistensi dalam penetapan strategi kampanye
yang akan dilakukan. Hasil dari riset politik ini akan mempengaruhi penentuan segmentasi,

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 33


targetisasi dan positioning dalam pasar politik. Kesesuaian antara strategi STP dengan
kampanye yang dilaksanakan akan membawa dampak yang tidak sedikit. Jika dilihat dari
segmentasi maka akan terdapat tiga segmentasi masyarakat yang menjadi alternatif, yakni
masyarakat mataraman (Jawa Timur bagian Barat), masyarakat tapal kuda (Jawa Timur
Bagian Timur) dan Masyarakat Campuran (Jawa Timur bagian Tengah).Beranjak menuju
tahapan terakhir dan paling inti dari proses STP ini adalah positioning. Bentuk positioning
yang setidaknya perlu dilakukan adalah pembentukan ikon yang mudah menembus pengaruh
psikologis rakyat pemilih. Pembentukan ikon itu digerakkan secara lintas sektor melalui
berbagai media yang mudah dikenal masyarakat pemilih.Nilai yang terkandung didalam
pemikiran Politik dan Sosial Tan Malaka adalah:
a) Sikap tidak mau tunduk pada suatu gagasan yang belum melalui uji verifikasi
ilmiah.Rakyat atau masyarakat Jawa Timur dalam memilih calon kepala daerah atau
walikota pemilihan kepala daerah (pilkada) diharapkan tidak berdasar iming-iming dan
lebih mengedepankan sikap merdeka. memilih calon bupati maupun walikota juga harus
didasar sikap merdeka tidak terpengaruh intervensi dari siapa pun.Masyarakat harus
menggunakan hak pilih sesuai hati nurani dan masyarakat harus melihat program dari
para kandidat calon serta rencana program yang terstruktur dari calon pemimpin
daerah.Kondisi seperti ini juga terjadi di beberapa wilayah Jawa Timur, dimana
masyarakat pemilih yang turut serta dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Beberapa
Wilayah Jawa Timur sebelumnya memberikan kepercayaan mayoritas kepada salah satu
Partai Politik. Partai A dianggap sebagai representasi perubahan dari partai - partai
sebelumnya yang ada di Indonesia. Kebuntuan politik sebelumnya menjadikan
masyarakat menuntut banyak perubahan keadaan menjadi lebih baik, kemudian
bermunculannya partai baru memberikan “angin segar” atas tuntutan rakyat terhadap
sistem politik Indonesia yang sebelumnya cenderung monoton menjadi semakin dinamis
dan konstruktif. Harapan masyarakat tersebut ditindak lanjuti oleh orang-orang yang
bergiat di bidang politik untuk menciptakan atau melahirkan partai-partai baru. Meskipun
secara faktual muncul partai baru, namun secara personal, rata - rata pengurusnya adalah
tokoh partai lama yang bermigrasi ke partai baru, karena berbagai alasan, diantaranya
persoalan jenjang karirnya di partai baru lebih menjanjikan di banding partai lama.
Sehingga banyak di ketahui, partai dengan nama dan logo baru, namun di kelola oleh
tokoh partai lama, yang sebelumnya mereka pernah berkiprah di partai
sebelumnya.Pemilih pemula yang terdiri atas pelajar, mahasiswa atau pemilih dengan
rentang usia 17-21 tahun menjadi segmen yang memang unik, seringkali memunculkan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 34


kejutan dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Disebut unik, sebab perilaku pemilih
pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional,haus akan perubahan. Pemilih
pemula memiliki antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat,
ketika pemilih pemula memilih kandidat yang dapat memberinya keuntungan yang
sebesar - besarnya. Misalnya, memilih kandidat yang memberinya uang atau materi
sebagaiharga dari suara yang akan digunakannya. Selain itu, pemilih pemula juga
cenderung memilih kandidat berdasarkan figurnya bukan kemampuannya sehingga
pemilih pemula juga cenderung mudah dimanfaatkan oleh partai politik.
b) Masyarakat bagi Tan Malaka adalah sumber pembentukan etika itu sendiri, maka standar
nilai (etika) bergerak dapat berubah dan diimbangi gerak sosial (sosial movement). Pada
tahap ini para calon Kepala Bupati atau Walikota yang sedang mempersiapkan diri untuk
bertarung di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) beberapa wilayah di Jawa Timur, agar
tidak melakukan tindakan kecurangan money politic (politik uang), Calon Walikota
maupun calon Bupati yang melakukan hal itu bisa dilaporkan di panitia pelaksana juga di
aparat Polisi. Jika ada masyarakat yang menemukan ada indikasi kecurangan dalam
pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh oknum calon Kepala Daerah di laporkan
ke panitia pelaksana secara berjenjang mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten.
secara teknis menggali opini publik secara sistematis, seperti lewat survei, tentang
masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik dan publikasi terhadap hasilnya lebih
mungkin dilakukan dalam sebuah rezim demokratis. Lebih dari itu, penggalian opini
publik merupakan konsekuensi logis dari demokrasi itu sendiri sebab sifat dasar
demokrasi yang membedakannya dari rezim lain adalah ketanggapan pemerintah secara
berkesinambungan terhadap preferensi warga di beberapa wilayah Jawa Timur. Kalaupun
partisipasi politik warga Jawa Timur bersifat penting, itu terbatas pada bagaimana
digunakan elite politik untuk mencapai jabatan publik, seperti partisipasi dalam Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) beberapa wilayah di Jawa Timur. Setelah Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) beberapa wilayah di Jawa Timur, elite yang menentukan kebijakan yang
harus dibuat. Dalam praktiknya, kebijakan ini dibuat lebih mencerminkan kepentingan
elite politik itu sendiri.Partisipasi dan opini publik berhenti dengan berakhirnya Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) beberapa wilayah di Jawa Timur .Bahkan, partisipasi politik
warga Jawa Timur untuk memengaruhi kebijakan yang akan dibuat elite terpilih dalam
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) beberapa wilayah di Jawa Timur, menurut kaum elitis
atau revisionis ini, dapat menimbulkan instabilitas politik dan karena itu bersifat negatif
terhadap stabilitas demokrasi (Lipset, 1981; Huntington, 1975). Yang kompeten membuat

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 35


kebijakan publik adalah elite politik, bukan masyarakat maupun warga di Beberapa
Wilayah Jawa Timur. Pada akhirnya elite politik bukan warga Jawa Timur yang menjadi
pengawal demokrasi (McClosky, 1964). Itu sebabnya dipertanyakan apakah kebijakan
yang dibuat elite politik didasarkan pada sikap responsif elite politik terhadap opini
publik. Kalau ternyata tidak, kenapa harus membicarakan opini publik, Para revisionis
atau elitis mengabaikan fakta bahwa elite terpilih punya kepentingan terhadap dukungan
massa secara berkesinambungan. Seorang atau sekelompok pejabat publik bisa saja
membuat kebijakan tanpa memperhatikan preferensi warga di beberapa Wilayah Jawa
Timur, bahkan bertentangan dengan preferensi warga. Namun, kebijakan itu jadi tidak
populer, tidak disukai warga di beberapa Wilayah Jawa Timur, dan ini dapat
memunculkan resistansi warga terhadap elite politik tersebut. Sementara itu, resistansi
warga merupakan sikap atau perilaku yang akan merugikan kelangsungan kepentingan
elite politik, setidaknya kepentingan untuk terus berkuasa dan agar peralihan kekuasaan
tidak jatuh kepada orang di luar kelompoknya.Opini publik dapat digali lewat berbagai
cara. Dalam demokrasi salah satu cara sistematis adalah lewat jajak pendapat umum.
Namun, jelas opini publik tidak bisa direduksi ke dalam jajak itu. Bahkan, ada yang
berpendapat, jajak pendapat bisa memberikan kesan menyesatkan tentang opini publik
dalam hubungannya dengan demokrasi. Opini elite politik dan elite kelompok
kepentingan dalam masyarakat di beberapa Wilayah Jawa Timur juga bagian dari opini
publik, dan biasanya tidak cukup tergali oleh jajak, padahal mereka sangat menentukan
kebijakan publikDalam demokrasi, keputusan penguasa yang tidak populer berdampak
negatif terhadap peluang untuk kembali terpilih dalam pemilihan umum berikutnya. Jadi,
dalam demokrasi, jangan terpikir oleh seorang politikus profesional atau pejabat publik
mengabaikan sentimen atau preferensi warga. yang jadi sasaran jajak adalah calon
pemilih Pemilihan Kepala Daerah di beberapa Wilayah Jawa Timur, tetapi sampel ditarik
hanya dari beberapa kota besar saja sehingga populasi yang di luar kota dan yang tinggal
di pedesaan tidak punya kesempatan tersertakan dalam jajak. Namun, laporannya sering
berpretensi mencakup populasi calon pemilih di beberapa Wilayah Jawa Timur, misalnya,
lewat judul “Pemilih Pemilihan Kepala Daerah di beberapa mendukung Amien Rais”,
“Pemilih Pemilihan Kepala Daerah di beberapa Jawa Timur kecewa dengan kinerja
pemerintah daerah”.Fakta yang juga mencerminkan perilaku politisi di lapangan terkait
dengan media adalah bagaimana para politisi ketika membuat pernyataan - pernyataan
yang menyudutkan pihak lain. Terungkap, beberapa kali press converence, ada politisi

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 36


yang selalu mengungkapkan kampanye. negatif. Tidak jarang juga ada pihak yang
menjelek – jelekan pihak lain tanpa dasar yang jelas.
c) Dalam Tradisi politik, pihak kiri diartikan sebagai kelompok paling ekstrim yang anti
kemapanan, anti status quo, anti penindasan dan cenderung radikal dalam gerak-
gerakannya berupaya mengubah struktur masyarakat secara fundamental dan pihak kanan
diidentikan dengan orang-orang yang konservatif, reaksioner, berusaha mempertahankan
kondisi sekarang dengan acuan masa lalu. tindakan pelanggaran Pemilihan Kepala
Daerah, berupa politik uang, dengan membagi - bagikan uang, membagikan sarung, atau
sejenisnya dengan tujuan untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat merupakan
tindakan pelanggaran yang tidak dibenarkan oleh aturan. Calon Kepala Daerah didalam
melakukan Kampanye berlangsung dalam berbagai tahapan mulai dari menarik perhatian
khalayak, menyiapkan khalayak untuk bertindak, hingga akhirnya mengajak mereka
melakukan tindakan nyata. Kampanye juga mendramatisasi gagasan-gagasan yang
disampaikan kepada khalayak dan mengundang mereka untuk terlibat baik secara
simbolis maupun praktis, guna mencapai tujuan kampanye.Permasalahan yang muncul
kemudian adalah krisis identitas dan tak memiliki ideologi yang menjadi gambaran umum
partai-partai politik di Indonesia dewasa ini. Dampaknya tentu membuat arah partai tak
jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun
tak mampu memberikan contoh panutan yang baik bagi kader dan masyarakat. Mereka
lebih sibuk gontok-gontokan dan bagi-bagi kekuasaan ketimbang mengembangkan
konsep pemikiran alternatif mengenai bagaimana membenahi persoalan-persoalan
bangsa.Pada masa sebelum tahun 1945, peran partai-partai politik kita jelas, yakni sebagai
bagian dari perjuangan kemerdekaan. Tahun 1950, konteks parpol secara umum untuk
mengisi kemerdekaan atau membangun Indonesia merdeka. Pada masa demokrasi
terpimpin Soekarno, partai dituntut menjadi bagian dari revolusi yang belum selesai.
Kemudian, pada zaman Soeharto, partai dituntut dan direkayasa sedemikian rupa untuk
mendukung stabilitas, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi. Pasca-Soeharto, parpol-
parpol dituntut untuk merumuskan mau di bawa ke mana bangsa ini. Namun hal ini
belum dilakukan meski secara parsial memang muncul. Demokratisasi, pemerintahan
yang bersih, antikorupsi, penegakan supremasi hukum, dan segala macam itu semua
partai punya. Cuma bagaimana hal itu diperjuangkan, belum sepenuhnya solid dalam visi
parpol-parpol.Kondisi seperti itu menyebabkan sulit membedakan satu partai dengan
partai lainnya. Akibatnya, pilihan pemilih terhadap partai lebih banyak didasarkan pada
faktor-faktor yang sifatnya tak rasional, seperti kultural, agama, dan ketokohan (figur

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 37


yang populer), tanpa dilandasi pengetahuan yang memadai mengenai visi partai
bersangkutan tentang masa depan bangsa ini. Kondisi seperti itu juga membuat energi
parpol-parpol habis untuk soal-soal yang sifatnya tidak substansial. Konflik-konflik selalu
muncul menjelang atau sesudah kongres atau muktamar partai karena tidak ada diskusi
atau perdebatan yang signifikan dalam partai mengenai soal-soal yang lebih mendasar.
Yang ada hanya ribut-ribut bagi kekuasaan, seperti siapa yang menjadi ketua umum.
Tidak adanya identitas ini menambah derajat kompleksitas persoalan di dalam partai, di
luar persoalan - persoalan seperti kepemimpinan dan demokrasi internal yang tak kunjung
muncul di dalam partai, sehingga akhirnya juga memengaruhi kinerja partai secara
keseluruhan.Dalam konteks yang lebih spesifik, krisis identitas ini antara lain bisa dilihat
dari sifat keanggotaan partai-partai politik yang tidak jelas akan dikembangkan ke mana,
yakni apakah akan membuat partai kader atau partai massa, atau gabungan kedua-
duanya?
d) Sistem sosialis juga merupakan sistem masyarakat atau kelompok hidup bersama tampa
hak milik pribadi atau swasta. Semuanya dikelola dari, oleh, dan untk semua
(bersama).Dalam Pemilu baik PILEG, PILPRES, maupun PILKADA peran serta
keikutsertaan masyarakat sangat penting, karena sukses tidaknya pelaksanaan PEMILU
salah satunya adalah ditentukan bagaimana partisipasi masyarakat dalam menggunakan
hak pilihnya pada Pemilu tersebut. Pemilu merupakan salah satu tonggak penting yang
merepresentasikan kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada negara
demokrasi tanpa memberikan peluang adanya pemilihan umum yang dilakukan secara
sistematik dan berkala. Oleh karenanya pemilu digolongkan juga sebagai elemen
terpenting dalam sistem demokrasi. Apabila suatu negara telah melaksanakan proses
pemilu dengan baik, transparan, adil, teratur dan berkesinambungan, maka negara
tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang tingkat kedemokratisannya baik, namun
sebaliknya apabila suatu negara tidak melaksanakan pemilu atau tidak mampu
melaksanakan pemilunya dengan baik, dimana terjadinya berbagai kecurangan,
diskriminasi, maka negara itu pula dinilai sebagai negara yang anti demokrasi.Suara
publik (rakyat) seharusnya terepresentsi dalam diri Calon Kepala daerah di Beberapa
Wilayah Jawa Timur. Artinya Calon Kepala daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur
yang diajukan oleh partai ke KPUD tersebut merupakan wakil resmi dari rakyat, dimana
mereka merepresentasikan aspirasi mereka. Para Calon Kepala Daerah di Beberapa
Wilayah Jawa Timur ini telah terbukti berkarya nyata mensejahterakan rakyat dan benar-
benar dicalonkan oleh rakyat melalui partai politik. Namun peranan elit partai politik

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 38


tersebut seolah ‘merampok' aspirasi rakyat dan menggantikannya dengan nama Calon
Kepala Daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur yang tidak mewakili kepentingan
mereka. Tidak heran dalam sistem politik kita tidak berlaku rakyat mengontrol elit partai
politik. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pemusatan kekuasaan hanya pada
sekelompok elit politik. Penting bagi kandidat Calon Kepala Daerah di Beberapa Wilayah
Jawa Timur bahwa mengetahui isu-isu lokal dapat menjadi konsep kebijakan yang
akandijual ke pasar yaitu para pemilih (masyarakat).Visi, misi kandidat dapat dibuat
berdasarkan isu-isu lokal tersebut. Visi, misi dankandidat Pilkada inilah merupakan
produk politik (political product). Mengetahui masalah-masalah seperti transparansi,
akuntabilitas, tata kota, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraanmasyarakat akan menjadi
isu-isu sentral yang menarik dibicarakan. Dalam menjelaskan visi,misi serta isu-isu
sentralnya, kandidat Pilkada dapat menggunakan promosi politik (political promotion)
melalui media, seperti periklanan, hubungan masyarakat, penyiaran radio
(dialoginteraktif) ataupun surat langsung yang sesuai dengan karakteristik-karakteristik
para pemilih (masyarakat) setempat. Saluran distribusi politik (political distribution)
dalam konteks pemasaran, disini dapat digunakan local work atau jaringan yang dimiliki
kandidat Pilkada pada tingkat kecamatan sampai kelurahan, kemudian leader tour dalam
bentuk pertemuan - pertemuan tatap muka antara kandidat (tidak diwakili pihak lain)
dengan masyarakat yang berada disetiap kecamatan wilayah tersebut.
e) Sistem pemilihan umum hanya akan menyebabkan siapa kuat secara modal maka itulah
yang akan bertahan. Sistem itu akan memberikan pendapatan baru dan yang terakhir
sistem ini pada akhirnya semakin mengekalkan perbedaan yang mencolok antara kelas
bourjuis dan kelas proletar. Makadaritu Calon Bupati atau calon Walikota terus
menyambangi masyarakat dengan tujuan untuk mendengarkan berbagai masukan dan
keluhan sekaligus menyosialisasikan visi-dan misi yang akan ditawarkan dan
dilaksanakan saat nanti memimpin daerahnya dan masyarakat tidak seperti membeli
kucing dalam karung, pasangan calon bupati-calon wakil bupati harus menyosialisasikan
visi-misi jika kelak dipercaya oleh masyarakat maupun juga Mengetahui kebutuhan
masyarakat itu yang paling penting.Implikasi penerapan demokrasi yang dipahami secara
prosedural tersebut berdampak pada munculnya transaksi jual beli suara. Artinya Calon
Kepala daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur mendaftar ke partai politik dan ‘membeli
nomor urut' yang merupakan tiket untuk ikut Pemilu. Ketika mereka diperhadapkan
dengan masyarakat. mereka bingung, karena tidak mengenal dan tidak tahu harus berbuat
apa. Oleh karena itu untuk memengaruhi masyarakat. Para Calon Kepala daerah di

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 39


Beberapa Wilayah Jawa Timur melakukan tindakan money politics. Tampaknya
kekuasaan hanya dipersepsi seperti jual beli barang di pasar, dimana terjadi negosiasi
antara pembeli dan penjual. Calon Kepala daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur yang
bermodal uang banyak mampu membeli suara banyak, namun sebaliknya Calon Kepala
daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur yang miskin tidak mampu membeli suara.Ada
dimensi untuk menilai harga politik (political Price), yaitu harga ekonomi, yang
didasarkan pada komunitas masyarakat yang dijadikan target oleh organisasi kandidat
atau politik, sedangkan harga nasional menjelaskan bahwa masyarakat akan
memperhatikan kandidat dari kemampuannya, pertimbangan / hasil keputusan dan pribadi
yang layak untuk dipercaya. Harga psikologi dalam pengertian harga politik ini
berdasarkan dari harga observasi, bahwa sebuah penggunaan hak suara adalah sebuah
pembelian psikologi atau ingin mendapatkan rasa aman.
f) Sedangkan adanya undang-undang yang mengatur hak dan kekuasaan adalah cirri dari
sebuah negara demokrasi. Tan Malaka mengatakan hak dan kekuasaan tersebut dibagi-
bagi kedalam: pertama, antara rakyat dan pemerintah. Kedua, pemisahan kekuasaan
dalam tiga badan yang terpisah yang lebih dikenal dengan Trias Politika. Asumsi
dasarnya adalah pemisahan badan tersebut berguna untuk mencegah terjadinya praktek-
praktek otoriter, di mana kekuasaan terpusat pada satu tangan saja. Kekuasaan ini terbagi
kedalam, kekuasaan legislatif atau pembuat undang - undang, kekuasaan eksekutif atau
menjalankan undang-undang dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili. Dalam
sistem politik negara Indonesia, pemilu merupakan salah satu proses politik yang
dilaksanakan setiap lima tahun, baik untuk memilih anggota legislatif, maupun untuk
memilih anggota eksekutif. Anggota legislatif yang dipilih dalam pemilu lima tahun
tersebut, terdiri dari anggota legislatif pusat/parlemen yang dalam ketatanegaraan
Indonesia biasanya disebut sebagai DPR-RI, kemudian DPRD Daerah Pripinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota. Sementara dalam konteks pemilu untuk pemilihan eksekutif,
rakyat telah diberi peluang untuk memilih President, Gubernur dan Bupati / Walikotanya.
Besarnya hak rakyat untuk menentukan para pemimipin dalam lembagai eksekutif dan
legislatif pada saat ini tidak terlepas dari perubahan dan reformasi politik yang telah
bergulir di negara ini sejak tahun 1998, dimana pada masa-masa sebelumnya hak-hak
politik masyarakat sering didiskriminasi dan digunakan untuk kepentingan politik
penguasa saja dengan cara mobilisasi, namun rakyat sendiri tidak diberikan hak politik
yang sepenuhnya untuk menyeleksi para pemimpin, mengkritisi kebijkan, dan proses
dialogis yang kritis, sehingga masya-rakat dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan-

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 40


kepentingannya. Perubahan yang terjadi mengikut kepada undang-undang dasar tersebut
juga terjadi pada pemilihan kepala daerah. Dengan lahirnya Undang-undang No. 32
Tahun 2004, maka undang-undang tersebut telah memberikan hak politik rakyat untuk
memilih Gubernur dan Bupati / Walikotanya secara langsung. Dengan demikian hak
politik masyarakat untuk melakukan partisipasi politik secara konvensional terbuka
lebar.Produk politik dari perpaduan sistem political marketing dan pemikiran politik Tan
Malaka ini adalah adanya suatu pemaparan nilai-nilai yang melandasi partai untuk
mengusung wakilnya menjadi kontestan. Selain itu, terdapatnya program-program konkrit
dan rasional yang ditawarkan kepada masyarakat serta adanya suatu kekuatan hukum
yang dapat digunakan masyarakat apabila program-program tersebut tidak tercapai,
membuat masyarakat akan tertarik dengan program-program yang ditawarkan yang
kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan suara mereka kepada
kontestan.Komunikasi yang dipakai adalah sistem interaksi dengan merumuskan
kebijakan-kebijakan politik ke dalam bahasa-bahasa ringan maupun pemanfaatan ragam
media sehingga informasi tersebut dapat sampai ke benak pemilih. Selain itu, komunikasi
juga dilakukan dengan cara mencari pemahaman beserta solusi masalah yang dihadapi
masyarakat. Dengan demikan, akan timbul feedback bagi para kontestan yang dapat
digunakan sebagai bahan perumusan program yang nantinya oleh para kontestan dapat
digunakan sebagai bahan kampanye.Bukti bagaimana perpaduan political marketing dan
pemikiran politik Tan Malaka adalah yang pasca Pemilu 1999, sejak menjadi pemenang
Pemilu 1999 para pemimpin Parpol, tiba – tiba sering menunjukkan kepeduliannya pada
korban bencana alam atau musibah di segala pelosok Indonesia. Diiringi sekelompok juru
publisitasnya, mereka berlomba-lomba mendatangi lokasi berbagai musibah. Suatu
kepedulian yang sebelum Pemilu 1999 tidak pernah diketahui publik.
Pergeseran budaya juga memberikan dampak yang tidak sedikit dalam dunia
perpolitikan. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi faktor penentu politik, yakni sosial
budaya, media massa dan partai politik atau kontestan itu sendiri. Ketiga faktor tersebut akan
membentuk karakter pemilih yang terdiri dari dua tipe, yakni policy problem solving dan
berdasarkan ideologi. Ketiga faktor tersebut yang seharusnya dipahami oleh kontestan
pilkada untuk mereduce jumlah golput pada pilkada. Sehingga, secara otomatis berdampak
pula pada peningkatan kualitas demokrasi.

Gambar 5. Faktor Penentu Politik

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 41


Banyak pemimpin tidak tahu bagaimana mengurus rakyatnya, bagaimana mengelola
birokrasi. Ada kebingungan-kebingungan dalam bekerja yang hampir merata diseluruh
Indonesia. Bahkan banyak juga yang tidak mengerti apa itu pemerintahan dan bagaimana itu
pemerintah.Kebingungan itu terutama terjadi pada pemimpin yang lahir secara instan.
Padahal seorang pemimpin pemerintahan harus lahir melalui proses yang panjang. pemimpin
tidak dibentuk dan dipersiapkan secara baik maka kebingungan terus berlanjut. Hal itulah
yang banyak terjadi saat ini. Banyak daerah seperti tidak memiliki pemerintahan dan
bersamaan dengan itu rakyat merasa tidak punya pemimpin.Itu sebabnya, perlu ada model
pengkaderan yang benar terhadap penyelenggaraan pemerintahanPemimpin tidak dibentuk
dan dipersiapkan secara baik maka kebingungan terus berlanjut. Hal itulah yang banyak
terjadi saat ini. Banyak daerah seperti tidak memiliki pemerintahan dan bersamaan dengan itu
rakyat merasa tidak punya pemimpin.Itu sebabnya, perlu ada model pengkaderan yang benar
terhadap penyelenggaraan pemerintahan.kedepan seyogiyanya tidak boleh lagi ada pimpinan,
bupati misalnya, yang dicalonkan oleh partai politik yang tidak dipersiapkan dari awal.
Parpol harus menyampaikan secara terbuka seluruh track record orang yang dicalonkan. Apa
saja prestasi yang telah dicapai, dimana saja dia pernah berkiprah, apa kelemahan -
kelemahannya, dari mana saja sumber harta yang dimilkinya, dan sebagainya. Jadi setiap
orang yang diajukan oleh parpol untuk jabatan-jabatan public harus bersedia ‘di telanjangi’.
Seseorang yang dijagokan tidak lagi sekedar didasarkan atas popularitas atau kemampuan
financial belaka. Dengan kata lain, dibutuhkan kebesaran jiwa dari para elite politik untuk
memberikan kesempatan kepada mereka yang mampu dan memiliki pengalaman, pendidikan
memadai, dan rekam jejak yang baik dalam hal pemerintahan atau kemampuan
kepemimpinan lainnya.
Gambar 6. Tipologi Pemilih

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 42


Berdasarkan gambar diatas, penulis menjabarkan bahwa penulis merangkum dari
pendapat Dr. Rainer Adam (2007). Masyarakat Jatim cenderung berada pada skeptical voter,
bentuknya adalah massa mengambang. Begitu banyaknya massa mengambang membuat
golongan putih mencapai kejayaan. Inilah kesalahan dari partai politik dan kontestannya tidak
memperhatikan suara karena lebih mementingkan kemenangan dengan cara apapun. Disadari
atau tidak kemenangan dalam pilkada merupakan hal penting bagi setiap kontestan, namun
cara memenangkannya haruslah diperhatikan. Masyarakat kurang mendapatkan perhatian
dari kontestan, selain itu masyarakat merasa tidak ada perubahan meskipun terjadi pergantian
kekuasaan. Kontestan harus bisa menguasai massa mengambang, karena secara otomatis
program mereka sudah bagus.Strategi yang dipakai adalah Political marketing, yaitu suatu
strategi untuk menarik masyarakat agar bersedia menyumbangkan suaranya dengan
melakukan riset pra-pemilu sehingga apa yang disuarakan dan diperjuangkannya kelak akan
tepat sasaran. Komunikasi yang dipakai adalah sistem interaksi dengan merumuskan
kebijakan-kebijakan politik ke dalam bahasa-bahasa ringan maupun pemanfaatan ragam
media sehingga informasi tersebut dapat sampai ke benak pemilih. Selain itu, komunikasi
juga dilakukan dengan cara mencari pemahaman beserta solusi masalah yang dihadapi
masyarakat. Dengan demikan, akan timbul feedback bagi para kontestan yang dapat
digunakan sebagai bahan perumusan program yang nantinya oleh para kontestan dapat
digunakan sebagai bahan kampanye.

Penutup
Pemilihan Calon Kepala daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur merupakan event
yang sangat menarik untuk diamati,tak terkecuali pemilihan Calon Kepala daerah di
Beberapa Wilayah Jawa Timur Mulai dari perencanaan sampai implementasi pelaksanaan
Calon Kepala daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur memberikan informasi yang sangat

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 43


penting bagi rakyat. Apalagi yang menyangkut peran masing-masing kandidat dalam
mempertaruhkan “diri” dalam ajang tersebut lebih menarik juga untuk diamati.Strategi yang
dipakai adalah membangun dan membentuk reputasi politik yang baik, professional, dan
bebas dari KKN atau strategi kotor lainnya seperti money politic. Selain itu, strategi yang
dipakai adalah Political Marketing, yaitu suatu strategi untuk menarik masyarakat agar
bersedia menyumbangkan suaranya dengan melakukan riset pra-pemilu sehingga apa yang
disuarakan dan diperjuangkannya kelak akan tepat sasaran.Dalam perpaduan sistem Political
Marketing dan Pemikiran Politik Tan Malaka ini penulis menawarkan bahwa Sifat hubungan
antara kandidat dengan pemilih adalah relasional. Di mana para kontestan lebih menganggap
masyarakat sebagai teman atau saudara mereka yang suaranya harus didengarkan dan hak-
haknya harus dipenuhi.kemenangan calon bupati menduduki jabatan bupati banyak
ditentukan oleh kesiapan mereka dan timnya dalam mempengaruhi hati konstituennya yang
terdiri dari masyarakat luas. Kesiapan awal calon dalam mempengaruhi masyarakat sangat
besar pengaruhnya. Karena itu sejak awal partai politik yang diberikan kesempatan untuk
memunculkan calonnya harus berinisiatif memberikan rekomendasi sedini mungkin kepada
calon yang “akan bertarung” agar mereka bisa mempersiapkan diri dengan baik.
Keunggulan dari dari political marketing ini adalah retensi memori kolektif yang tidak
mudah hilang karena dengan ini para kontestan akan berlomba-lomba untuk menyajikan
bentuk kampanye yang menarik sehingga dapat membuat masyarakat tidak bosan untuk
mengikuti rangkaian Pemilihan Kepala Daerah di Beberapa Wilayah di Jawa Timur
Desember nanti. Sifat kampanye yang jelas, tanggap terhadap kritikan yang membangun, dan
atraktif.Aplikasi marketing dalam politik justru membantu para kontestan ataupun partai
politik untuk mengetahui aspirasi masyarakat secara komprehensif. Hal ini pada akhirnya
akan memudahkan parpol atau kontestan untuk menyusun platform-nya ketika berkampanye
ataupun setelah berkuasa.Bagi masyarakat Jawa Timur pemilihan Calon Kepala daerah di
Beberapa Wilayah Jawa Timur adalah salah satu faktor penting dalam menentukan masa
depan mereka, karena itu sejak awal masyarakat sudah memberikankriteria seorang calon
yang akan dipilih. Kriteria itu diantaranya seorang bupati harus dekatdengan rakyat kecil,
memiliki pengalaman dalam jabatan pemerintahan, mampu merangkul dan mengakomodasi
semua golongan, shaleh/sholehah. Kriteria itu melebihi keberhasilan kandidat dibidang
usahanya, bahkan seorang cendekiawan sekalipun. Selain itu, seorang calon kepala daerah
harus memiliki sifat jujur dan iklas, menjunjung toleransi dalam perbedaan, seorang
dermawan, dan merangkul siapa saja.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 44


Saran
Berdasarkan atas temuan-temuan dilapangan, bagi siapapun yang ingin mencalonkan
diri menjadi Calon Kepala daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur maka mereka harus
menyiapkan diri sejak awal. Persiapan itu meliputi aspek kredibilitas calon, sampai sejauh
mana mereka dikenal oleh masyarakatnya sampai pada seberapa banyak pengalaman di
dalam bidang pemerintahan. Dengan memperhatikan semua itu, maka calon akan bisa
memperkirakan diri bagaimana elektabilitasnya dimata masyarakat, sehingga jumlah dana
yang dikeluarkan untuk membuat sarana promosi dan sosialisasi bisa digunakan untuk
kepentingan lain yang lebih besar.Di dunia ini memang penuh akan sifat kebalikan. Begitu
juga halnya dengan konsep political marketing ini, selain terdapat potensi positif yang telah
dipaparkan di atas, dia juga memiliki potensi negatif. Potensi negatif pertama yang timbul
dari adanya political marketing ini adalah kemungkinan terjadinya penyelewengan yang
dilakukan oleh mesin politik. Mereka bisa saja justru melakukan penipuan politik dengan
tujuan agar perolehan suara mereka meningkat. Hal ini dikarenakan konsep political
marketing ini belum memiliki payung hukum sehingga masih dapat dimungkinkan terjadinya
penyimpangan yang dilakukan oleh masing-masing mesin parpol. Kedua adalah penggunaan
metode marketing yang berlebihan dalam kehidupan berpolitik yang hanya akan melahirkan
komersialisasi politik dan mereduksi arti berpolitik itu sendiri (O’Soughnessy, 2001).
Artinya, meluasnya penggunaan televisi, media cetak dan radio sebagai media iklan dan
publikasi dikhawatirkan akan semakin menjauhkan masyarakat dari ikatan ideologi sebuah
partai dengan massanya. Masyarakat cenderung akan lebih memperhatikan aspek artistik
daripada pesan politik itu sendiri. Isu politik berbeda dengan produk komersial, karena isu
politik berkaitan erat dengan nilai dan ideology bukan sebuah produk yang diperjualbelikan.
Hal lain yang menjadi perhatian dan pokok kajian pemikiran politik Tan Malaka
dalam keyakinan politik adalah strategi dan taktik. Penulis merangkumnya, sukses gagalnya
suatu program Partai Politik dalam perjuangan revolusi perubahan kearah yang lebih baik
tergantung pada benarnya strategi dan taktik. Hal terakhir dalam pokok kajian dari Pemikiran
Politik Tan Malaka adalah mengenai organisasi (partai). Penulis merangkumnya, yang
dimaksud dengan Partai Revolusioner atau merevolusi segala program yang salah ialah
gabungan orang-orang yang bersamaan pandangan dan perbuatannya dalam revolusi. setiap
Partai Politik wajib bekerja keras dan mendapatkan reward sesuai prestasi kerjanya. Sistem
kepartaian di Indonesia meliputi sistem masyarakat atau kelompok hidup bersama tanpa hak
milik pribadi atau swasta. Semuanya dikelola dari, oleh, dan untuk semua (bersama). Dalam
pemilihan Calon Kepala daerah di Beberapa Wilayah Jawa Timur, masyarakat tidak hanya

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 45


menjadi obyek. Mereka sangat menentukan keberhasilan seseorang untuk menjadi bupati.
Karena itu kedewasaan masyarakat dalam menentukan pilihan akan sangat menentukan
kualitas demokrasi didaerah. Kualitas demokrasi yang baik akan menghasilkan
pimpinan/bupati yang baik dengan selalu memperhatikan kebutuhan dan keinginan
masyarakatnya. Jangan sampai masyarakat terpengaruh oleh faktor “sesaat” seperti politik
uang yang dijanjikan oleh kandidat bupati. Kalau itu terjadi maka “tergadaikanlah” masa
depan masyarakat dan wilayah tersebut kepadamsa depan yang penuh ketidak pastian dan
kebimbangan

Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Kampanye Sukses Lewat Pola


"Marketing".http://www.jppr.or.id/content/view/1471/2/ di akses tanggal 28
September 2008.

Budiardjo, Miriam. 2004 (Cetakan ke-26). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Firmanzah, Ph.D. 2007. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia

Heryanto, Gun Gun. 2008. Marketing Politik dan


IndustriCitra.http://gunheryanto.blogspot.com/2007/12/marketing-politik-dan-
industri-citra.html di akses tanggal 28 September 2008.

Niffenegger, P. B. 1989. Strategies for Success from the Political Marketers. The Journal of
Consumer Marketing. (6).1. hlm. 45-51.

Prasojo E., Maksum, Irfan Ridwan., dan Kurniawan, Teguh. 2006. Desentralisasi &
Pemerintahah Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural.
Jakarta: FISIP UI.

Prihatwono. 2007. Calon Independen. http://prihatwono.blog.friendster.com/2007/07/calon-


independen/ di akses tanggal 28 September 2008.

Rahman, Fadjroel. 2007. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat. Tentang Kebebasan, Demokrasi
dan Negara Kesejahteraan. Jakarta : Koekoesa.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 46


Semarketer. 2008. Marketing Politik PILKADA Jawa Barat 2008.
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10531.html di
akses tanggal 28 September 2008.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.

Ujungpandang Ekspress, Senin, 17 Maret 2008. Saatnya Marketing Politik dalam Pemilu.
http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=16616&jenis=Pilkada di akses
tanggal 28 September 2008.

Wirocst. 2008. Strategi Pemenangan Pemilu. http://wirocst.blog.friendster.com/ di akses


tanggal 28 September 2008.

http://www.kompasiana.com/ Guno Tri Tjahjoko 23 Juli 2013 13:30:54 Diperbarui: 24 Juni


2015 10:09:57.

http://nasional.kompas.com/ Jumat, 2 Januari 2015 | 21:12 WIB Yunarto Wijaya Direktur


Eksekutif Charta Politika Indonesia Editor: Inggried Dwi Wedhaswary Sumber:
KOMPAS CETAK.

http://www.lsi.or.id/Jajak Pendapat Publik Membantu Demokrasi Bekerja Oleh Dr. Saiful


Mujani KOMPAS 01-09-2004 Halaman: 33 Tanggal dimuat: 1 September 2004.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 47


KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA ETNIK PANARAGAN
Alip Sugianto
Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Email: Sugiantoalip@gmail.com

Abstract
Ponorogo according to many people is sub ethnic culture mataraman which includes
Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan And Trenggalek. But based on an analysis writer
ponorogo is sub ethnic culture own not included in territorial mataraman culture. But instead
a ethnic its own culture Ethnic Java Panaragan. Articles that of culture Ethnic Java
Panaragan so as to have its own The Hallmark Of as sub ethnic on own Culture In East
Java.
Keywords: Culture, Java And Panaragan Ethnic

Abstrak
Ponorogo menurut banyak kalangan merupakan sub etnik kebudayaan Mataraman
yang meliputi Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan dan Trenggalek. Namun berdasarkan
analisa penulis Ponorogo merupakan sub etnik kebudayaan sendiri yang tidak termasuk
dalam wilayah kebudayaan Mataraman. Melainkan sebuah Etnik tersendiri Kebudayaan
Jawa Etnik Panaragan. Artikel ini menjelaskan tentang kebudayaan Jawa Etnik Panaragan
sehingga memiliki ciri khas tersendiri sebagai sub etnik budaya sendiri di Jawa Timur.
Kata Kunci: Kebudayaan, Jawa dan Etnik Panaragan

Pendahuluan
Kebudayaan Jawa Etnik Panaragan merujuk kepada suatu wilayah di Jawa Timur
bagian barat, yakni kabupaten Ponorogo. Etnik Jawa Panaragan wilayahnya meliputi barat
gunung wilis dan sebelah timur gunung lawu. Luas wilayah tersebut, dahulu merupakan
daerah kekuasaan kerajaan Wengker. Nama wengker menurut Moelyadi (1986:50) berasal
dari kata wengonan yang angker tempat yang angker, dengan penuh misterius.
Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 48
Kerajaan Wengker pernah dipimpin oleh 8 raja, antara lain: Ratu Shima dan Dewa
Shima yang menurunkan Sri Gajayana dan Pindah ke Kanjuruhan Malang diperkirakan pada
tahun 500 M, Raja Kedua di Pimpin Ketu Wijaya, Sri Garasakan, Raja Kudamerta,
Poerwawisesa Putra Pandanalas Raja Majapahit III, Sri Girishawardana, Singaprabawa di
nobatkan menjadi Raja Majaphit IV1, dan yang terakhir dipimpin oleh Ki Ageng Kutu atau
lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Kutu Suryoalam yang memimpin pada tahun1467-
1468 M.
Setelah wengker takluk oleh Lembu Kanigoro, kemudian nama wengker di ganti
menjadi Ponorogo. Pergantian tersebut, juga diikuti dengan alkulturasi budaya diantaranya
perubahan nama Lembu Kanigoro kemudian dinobatkan menjadi Panembahan Raden Batoro
Katong, nama tersebut sebagai upaya mendekatkan kepada masyarakat wengker agar lebih
mudah diterima, selain itu kesenian Reyog dahulu yang digunakan Ki Ageng Kutu sebagai
sindiran keras kepada Brawijaya V digunakan sebagai media dakwah Islam.
Alkuturasi budaya tersebut, kemudian lebih dikenal sebutan dengan Ponorogoan atau
Panaragan, dengan artian adat istiadat yang memiliki ciri khas Ponorogo. Salah satu ciri khas
masyarakat Ponorogo, adalah memiliki tokoh lokal yang disebut warok. Orang yang
mendapat predikat warok merupakan sebagai tokoh suku dari etnik Masyarakat Ponorogo.
Sebagai seorang kepala suku atau tokoh dalam masyarakat maka warok terkenal dengan sakti
memiliki kelebihan dibidang supranatural, yang bertugas sebagai pemimpin, pelindung, dan
pengayom masyarakat.
Tugas tersebut, sudah sejak zaman dahulu melekat pada warok. Warok pada waktu itu,
memiliki peran menjadi punggawa kerajaan Wengker yang bertugas mengamankan suatu
wilayah, seperti warok Ki Ageng Hanggolono (Sukorejo), Warok Suromenggolo (Balong),
Warok Surohandhoko (Jetis), Surogentho (Gunung Pegat: Bungkal), Warok Singokubro
(Slahung), Warok Gunoseco (Siman), Pun demikian ketika Ponorogo dipimpin Raden Batoro
Katong, untuk membentuk pemerintahan yang baru, maka Raden Katong merekrut para
warok yang mana sebagai tokoh dalam etnik Panaragan untuk dijadikan sebagai Bhayangkara
sehingga dalam pemerintahannya tidak timbul berbagai gejolak dalam masyarakat.
Secara geografis wilayah Jawa Etnik Panaragan, berbatasan dengan wilayah
kebudayaan Jawa Mataraman yang meliputi Madiun, Magetan, Ngawi, dan Pacitan. Ada
beberapa alasan mengapa Jawa Etnik Panaragan sebagai wilayah kebudayaan sendiri, tidak

1Menurut kepercayaan masyarakat Ponorogo, Raja Singaprabawa adalah Warok Singobowo yang
makamnya berada di desa Singosaren, Raja Singaprabawa bergelar Panembahan Wasito Pramono. (Lihat Alip
Sugianto, 2014: 193-194)

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 49


termasuk kedalam wilayah kebudayaan Mataraman. Berdasarkan analisis penulis maka dapat
diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Jawa Etnik Panaragan memiliki tokoh etnik atau suku yang disebut sebagai
warok, warok memiliki status sosial dan kedudukan tinggi sebagai tokoh masyarakat. Tokoh
warok keberadaannya juga tidak bisa dipisahkan dengan kesenian reyog, ibarat dua mata sisi
uang. Tidak ada reyog tanpa warok, tidak ada warok tanpa reyog. Warok dalam kesenian
reyog sebagai seorang pemimpin paguyuban reyog.
Kedua, Kebudayaan Jawa Etnik Panaragan memiliki cirikhas yang membedakan
dengan daerah lain yaitu Pakaian Adat didominasi berwarna hitam dan merah dengan
dilengkapi blangkon serta kolor sakti berwarna putih sebagai senjata andalan para warok
zaman dahulu. Selain dari aspek pakaian adat, Etnik Jawa Panaragan juga memiliki cirikhas
bahasa serta dialek khas Panaragan sebagai ciri komunikasi orang Ponorogo, seperti terdapat
dalam kosakata Jegeg, ora dlomok, dlondongane, patak warak dan lain sebagainya namun
dialek asli Panaragan tersebut, keberadaannya semakin punah akibat pengaruh bahasa Jawa
pada umumnya.
Ketiga, Ponorogo sebagai kota tua terdapat dua peninggalan bersejarah yang diduga
kuat sebagai bekas kerajaan Wengker dan Kerajaan Batarangin. Kedua kerajaan tersebut
sampai sekarang menjadi insprasi dalam cerita Reyog Ponorogo. Adapun tata letak kedua
kerajaan tersebut wilayahnya berada di timur dan barat Ponorogo. Kerajaan Wengker diduga
di daerah Jetis dan Sambit di dua kecamatan tersebut banyak di temukan peninggalan
bersejarah kerajaan Wengker sedangkan Kerajaan Bantarangin terletak di Kauman Sumoroto,
di Kecamatan Kauman terdapat Monument Bantarangin yang setiap tutup suro dirayakan
pesta rakyat Kirab Bantarangin, ditempat ini pula di temukan banyak batu bata kuno yang
membetang di persawahan mirip dengan benteng kerajaan yang dikemudian hari di namakan
Seboto.
Keempat, Kebudayaan Jawa Etnik Panaragan, lebih dahulu hadir sebelum kebudayaan
Mataraman, yang berasal dari kerajaan Mataram yang pecah menjadi dua bagian yakni
keraton Solo-Yogya, bahkan kedua kerajaan tersebut dahulu berhutang budi kepada
masyarakat Ponorogo, utamanya kepada Kiai Ageng Muhammad Besari seorang ulama besar
yang hidup pada abad 16-17. Awal kisah cerita tersebut, pada tahun1742 keraton kartosuro
terjadi pemberontakan geger pecinan, sehingga Paku Buwono II mampu dipukul mundur
hingga ke Ponorogo dan singgah di Pesantren Tegalsari Ponorogo. Singkat cerita selama di
Ponorogo Paku Buwono II ditolong oleh Kyai Muhammad Besari. Pada tahun pertengan abad
18, periode bermasalah pada sejarah Jawa, Mataram kembali bergejolak karena dominasi

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 50


VOC, dua bersaudara Paku Buwono II yang bernama Pangeran Singosari dan Raden Mas
Said semakin tidak puas pengaruh VOC yang semakin kuat, membuat Pangeran singosari
berusaha memisahkan diri ke Malang bersama keturunan Surapati. Hal tersebut dikhawatirka
Mangkubumi karena upaya yang dilakukan Pangeran Singosari bisa mengakibatkan perang
saudara. Mangkubumi2 atas saran konselor mengirim Tumenggungnya untuk menemui Kyai
Ageng Besari guna membantu permaslahan terjadi.
Kelima, menurut Koentjoroningrat (1983) tentang unsur kebudayaan menyatakan ada
tujuh yaitu: Bahasa, sistim pengetahuan, sistim religi, sistim mata pencaharian dan ekonomi,
sistim organisasi masyarakat, sistim teknologi dan peralatan dan kesenian. Dari ketujuh unsur
tersebut etnik Panaragan memiliki kharakteristik tersebut. Sehingga Ponorogo merupakan
etnik sub wilayah kebudayaan sendiri.
Keenam, Kebudayaan Mataraman lebih cenderung santun banyak pengaruh (Solo-
Yogja) sabar, Paternalistik, dan Aristokrat sedangkan Kebudayaan Etnik Panaragan
Monokultur, Tegas, Pemberani, Independent hal tersebut di dukung dengan pendapat Dr
Lucien Adam seorang Asisten Resident Belanda di Madiun yang menyatakan Kharakteristik
Entik Jawa Panaragan sebagai berikut:
“The mystery of the origin of the Ponorogo people is yet to be unveiled. Although they
have not lived in isolation, their type and character differ from the people of the surrounding
regencies. Ponorogans are more independent and more self-confident, but also rougher,
bolder, more reckless, hot-tempered and more fond of travelling than the ordinary central
Javanese.” (Adam, 1938b:288)

Pembahasan
Hasil dan Analisis
"Misteri asal usul orang Ponorogo belum terungkap secara jelas. Meskipun mereka
tidak hidup terisolasi (terpisah dari daerah sekitarnya), type dan karakter mereka berbeda dari
orang-orang dari kabupaten sekitarnya. Orang Ponorogan lebih mandiri dan lebih percaya
diri, tetapi juga keras/kasar, pemberani, nekat, pemarah, dan lebih suka melakukan perjalanan
(merantau) dari umumnya orang di Jawa bagian tengah. "(Adam, 1938b:288)

2 Pangeran Mangkubumi merupakan adik Paku Buwana II yang kemudian hari setelah perjanjian
Giyanti pada tanggal 13 februari 1755, Mataram dibagi menjadi dua, separo tetap dikuasi Susuhunan Paku
Buwana III dengan ibu kota Surakarta dan sisanya diserahkan Susuhunan Kabanaran (Mangkubumi) sejak
peristiwa tersebut Susuhunan Kabanaran menjadi Raja di Yogjakarta dengan Gelar Ngarso Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaya Sayyidina Panatagama Kalifatullah.
Suyam,2008:28)

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 51


Gambaran masyarakat Etnik Panaragan, tercermin dalam kebudayaan Jawa Etnik
Panaragan yang beragam. Keberagaman tersebut dibuktikan banyaknya kesenian Etnik
Panaragan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sampai sekarang. Baik yang
bersifat agraris maupun Islamis. Kesenian tersebut memiliki kaitan erat dengan sistim
kepercayaan, keamanan, kesejahteraan, serta kekuatan yang merupakan simbol identitas
masyarakat Ponorogo yang keras, pemberani sebagaimana yang di gambarkan oleh Dr.
Adam, kesenian tersebut antara lain:

Reyog

Reyog Ponorogo dalam sebuah atraksi


Sumber: diolah dari dokumentasi pribadi

Reyog merupakan seni sendra tari, yang dimainkan oleh beberapa penari seperti
pembarong, bujangganong, klonosuwandono, warok dan jathil. Dalam pentasnya warok
terinspirasi oleh dua garis besar cerita yang pertama mengenai kerajaan wengker yang
dipmpin oleh Ki Ageng Kutu yan menentang Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Bhre
Kertabumi Prabu Brawijaya V, adapun inspirasi kedua tentang kisah raja Klonosuwandono
yang ingin melamar Dewi Songgolangit dari kerajaan Lodaya di kediri.

Gajah-Gajahan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 52


Seni Gajah-gajahan
Sumber : diolah dari dokumentasi pribadi

Gajah-gajahan termasuk kedalam kesenian jalanan, yang berfungsi sebagai


menyampaikan pesan dengan berkeliling. Kesenian ini muncul pada zaman PKI ketika
banyak reyog di manfaatkan oleh PKI sebagai media Kampanye, sehingga muncul seniman-
seniman untuk membuat kesenian gajah-gajahan.

Keling

Kesenian Keling berpenampilan Seram


Sumber : diolah dari dokumentasi pribadi

Keling kesenian ini pada awalnya berfungsi sebagai penolak bala, akibat kekeringan
dan gagal panen yang melanda pada waktu itu, kemudian masyarakat membuat sebuah tarian,
untuk mengingat penderitaan pada waktu itu. Keling berasal dari eling supaya ingat dengan
penderitaan pada zaman dahulu. Dalam sajian tari, kesenian keling menceritakan dua Putri
dari kerajaan Ngerum yang di culik oleh Bagaspati dari kerajaan Tambak Kehing, kemudian
dapat diselamatkan oleh Joko Tawang dari Padepokan Waringin Putih.

Unto-Untoan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 53


Kesenian Unto-untoan seperti Khalifah di Padang Pasar pasir
Sumber : diolah dari dokumentasi pribadi

Unto-untoan mirip dengan Gajah-gajahan lahirnya pun diperkirakan sama dengan


gajah-gajahan, perbedaannya nuansa islami sangat kental pada seni unto-untoan karena dalam
pentasnya diiringi sholawatan dan mengunakan busana layaknya khalifah arab sambil
berkeliling kampung. Kesenian Unto-untoan muncul dikalangan santri, di harapkan dengan
kesenian ini berdampak pada lingkungan masyarakat menjadi lebih islami.

Jaran Thik (Reyog Thik)

Kesenian Jaran Thek atau Reyog Pegon


Sumber : diolah dari dokumentasi pribadi

Jaran thik merupakan kesenian yang di perankan oleh beberapa pemain antara lain
penari kuda lumping, pemain yang disebut celengan (babi), dan ulo-uloan yang terbuat dari
kayu dadap yang menyerupai kepala naga. Kesenian reyog thik merupakan salah satu seni
pertunjukan yang menarik, dalam pertunjukannya sering kali mengundang roh halus sehingga
nuansa mistis sangat terasa hal tersebut didukung dengan tata rias yang seram dan pengunaan
busana yang khas.

Penutup

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 54


Berdasarkan hasil analisa penulis, maka dapat disimpulkan bahwa Ponorogo
merupakan sub etnik kebudayaan sendiri di wilayah Jawa Timur bukan termasuk kedalam
wilayah kebudayaan Mataraman. Hal tersebut di dukung dengan argumen yang sangat kuat
meliputi unsur kebudayaan baik itu bahasa, pakaian adat, tokoh lokal, peninggalan
arkeologis, teknologi, serta sejarah yang melatar belakangi kedua kebudayaan yang saling
berdekatan (serumpun) yaitu Panaragan dan Mataram. Kebudayaan Etnik Jawa Panaragan
juga di dukung dengan banyaknya kesenian khas daerah Ponorogo antara lain Reyog, keling,
unto-untoan, gajah-gajahan, Jaranan thek. Berbagai kesenian tersebut tumbuh sumber di
Ponorogo

Daftar Pustaka

Adam, L. (1938a). Geschiedkundige aanteekeningen omtrent de Residentie Madioen. II.


Bergheiligdommen op Lawoe en Wilis (Historical Notes about the Madiun
Residency. II. Sacred Mountain Domains of Lawu and Wilis). Djawa, 18(6), 97-120.

Alip Sugianto. 2014. Eksotika Pariwisata Ponorogo. Yogyakarta: Samudra Biru.

Moelyadi. 1986. Kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo. Ponorogo: DPC Pemuda
Pancasila.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 55


KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN ARAHAN POTENSI SUMBER DAYA PADA
WILAYAH PERBATASAN NATUNA
KEPULAUAN RIAU
Rendra Setyadiharja dan Wihelmina Yufenta, Marniawati Hia, Ayu Novianti
Dosen dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIPOL Raja Haji
Tanjungpinang
Email: rendra_tanjungpinang@yahoo.co.id

Abstract
The development of a region especially the border which has great potential about is
regions s resources that must be in watch keberadaanya, besides owns large resources the
border area which is bordering on another country also become amplifier continue a country
capable of sustaining kesatuannya.Through many development system that had originally run
regional autonomy, continues with a system of structuring the region continue to grow with
the rising economy and infrastructure and last by conducting changes on the potential
areas.The border area natuna administratively bordering north with vietnam and cambodia
and south islands bordering bintan as well as east side bordering malaysia east and west
kalimantan.The district owns natuna territorial waters broad and mainland shaped islands,
the border region that is rich agricultural food crops, plantation, pertenakan, fisheries, even
the mining industry.Direction.
Password: The Development Potential Of The Region, Regional Autonomy, Structuring
Areas.

Abstrak

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 56


Perkembangan sebuah daerah khususnya perbatasan yang memiliki potensi besar
mengenai sumberdaya adalah daerah yang harus di perhatikan keberadaanya, selain
memilki sumberdaya besar daerah perbatasan yang letaknya berbatasan dengan negara lain
juga menjadi penguat sebuah negara terus mampu mempertahankan kesatuannya.
Perkembangan melalui banyak sistem yang mulanya menjalankan otonomi daerah ,berlanjut
dengan sistem penataan wilayah terus berkembang dengan naiknya perekonomian dan
insfrastruktur dan terakhir dengan cara melakukan perubahan pada potensi wilayah.
Daerah perbatasan natuna secara administratif berbatasan Utara dengan Vietnam dan
Kamboja dan Selatan berbatasan dengan Kepulauan Bintan serta sebelah Timur berbatasan
dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat. Kabupaten Natuna memilki wilayah perairan
yang luas dan daratan yang berbentuk kepulauan, Wilayah perbatasan yang kaya akan
pertanian tanaman pangan,perkebunan,pertenakan, perikanan, perindustrian bahkan
pertambangan. Arahan kebijakan pemerintah dalam hal ini mengacu pada perkembangan
potensi sumberdaya yang dimilki Kabupaten Natuna sebagai daerah perbatasan.
Kata Kunci: Perkembangan Potensi Wilayah, Otonomi Daerah, Penataan Wilayah.

Pendahuluan
Pembangunan Nasional Indonesia secara umum bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat dan mewujudkan keadilan yang merata di seluruh pelosok wilayah Indonesia.
baik yang tinggal di daerah perbatasan maupun perkotaan. dalam mewujudkan hal tersebut
masih terdapat banyak kendala. yaitu masalah kemiskinan, masalah ketenagakerjaan, masalah
pendidikan bahkan lingkungan hidup. pengertian daerah perbatasan adalah daerah yng
memiliki keterbelakangan dalam segi kehidupan tetapi memiliki potensi pada sumber daya
alam atau dapat di arahkan sebagai daerah terpencil di perbatasan Negara.
Pembangunan daerah perbatasan harus membutuhkan langkah yang strategis. Daerah
perbatasan seperti pulau-pulau kecil terluar yang memiliki potensi sumber daya alam cukup
besar, merupakan wilayah yang sangat penting dijaga keamanan dan pertahanan
Negara.Seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang
wiayah negara bahwa:
a. Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kepulauan yang berciri
nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di
luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu hanya untuk dikelola dan
dimanfaatkan sebesar- besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republilk Indonesia
Tahun 1945.
b. bahwa pengaturan mengenai wilayah negara meliputi wilayah daratan, peraiaran
kedalaman, perairan kepulauan dan laut Teritorial beserta dasar laut, dan tanah di
bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 57


Maka negara memiliki hak untuk mengelola, memanfaatkan, serta mensejahterahkan
masyarakat khususnya pada wilayah perbatasan, perbatasan kita kaya potensi sumber daya
alam, kita perlu ajak para investor untuk masuk dan mengambil peluang ini sekaligus ikut
mempercepat pembangunan di desa-desa perbatasan negara. salah satu potensi bisnis untuk
itu perlu ada kombinasi faktor- faktor sumber daya alam dan manusia secara optimal
dipadukan dengan kejelihan memilih jenis usaha. Potensi dan aset tersebut merupakan modal
awal yang dapat didaya gunakan oleh semua pihak termasuk oleh pihak swasta yang akan
mengurangi biaya awal investasi secara keseluruhan, penerapan teknologi, penyertaan modal
dan manajemen pemasaran adalah cara meningkatkan perekonomian di daerah perbatasan
dan wilayah sekitarnya.Oleh karna itu, pembangunan pada daerah perbatasan sangat penting
untuk meningkatkan perekonomian. Daerah perbatasan Provinsi Kepulauan Riau. terutama di
Kabupeten Natuna adalah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Pembahasan seputar masalah pembangunan dan pemberdayaan daerah perbatasan atau
pulau terdepan Indonesia, terutama di Natuna. Hal ini berkaitan dengan memperkokoh NKRI
serta mensejahterahkan masyarakat setempat. Rapat berlangsung di Kantor Gubernur
Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Dompak, Tanjung Pinang. hadir juga pada kesempatan ini
mendampingi Asisten I Reni yusneli, yakni kepada Biro Hukum Mariani Ekawati. Reni
tampak menyambut baik kunjungan rombongan staff ahliKasad Republik Indonesia ini. dan
menyangkut pulau terdepan di Kepulauan Riau seperti di Natuna memang perlu diperhatikan
secara khusus dan campur tangan pemerintah pusat dan instansi terkait, apalagi di Kabupaten
Natuna berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, dan sering terjadi pencurian ikan
di daerah tersebut. oleh sebab itu sudah semestinya dilakukan pengawasan dan pengamanan
dengan cara memperhatikan pembangunan serta pengembangan di sana, terutama
menyangkut kesejahteraan masyarakat setempat. (www.kepriprov.go.id diakses tanggal 13
maret 2016). Pembangunan Kabupeten Natuna sebagai daerah perbatasan yang memiliki
potensi sumber daya alam adalah tugas bagi setiap masyarakat, pemerintah bahkan investor
agar natuna dapat menjadi daerah yang berkembang pesat dengan memanfaatkan potensi
lingkungan yang ada di sekitarnya.

Pembahasan
Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan
Rustiadi, dkk (2009:4) menjelaskan “bahwa secara umum terdapat dua unsur penting
dalam perencanaan yaitu hal yang ingin dicapai,dan cara untuk mencapainya”.Dalam proses
perencanaan,kedua unsur tersebut baik secara eksplisit maupun implisit dimuat pada berbagai

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 58


nomenklatur seperti visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, aktivitas,
dan lain sebagainya. Perencanaan memiliki dimensi ruang dan waktu, sehingga memerlukan
penjelasan mengenai fenomena dimasa lalu dan yang akan datang, serta distribusinya secara
spesial. Selain itu, hal mendasar dalam perencanaan adalah bahwa perencanaan haruslah
ditujukan untuk kepentingan pembangunan manusia secara berkelanjutan. Oleh karena itu,
perencanaan harus juga dimaknai dengan kinerja sosial budaya masyarakat yang selaras
dengan kelestarian lingkungannya.Kedua hal terakhir ini menunjukkan bahwa didalam suatu
proses perncanaan harus mempertimbangkan modal sosial (sosial capital) dan sumberdaya
bersama (common pool resources) yang harus di kelola secara berkelanjutan.
Perencanaan pembangunan suatu daerah juga merupakan urusan pemerintah yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah menurut Wasistiono (2008:76) “skenario pencapaian
kesejahteraan rakyat didaerah telah disusun lengkap dengan rambu-rambu yang mudah
terbaca oleh semua pihak, dituntut kecermatan pemerintah daerah untuk membuat sikap yang
konkret dalam menjabarkan rambu-rambu penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk
segera mengembangkan daya saing daerah dan daya saing di daerah”.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah urusan yang tidak
boleh dan tidak harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi,kabupaten/kota
Urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah
yang bersangkutan.Wasistiono (2008:78) kembali menjelaskan bahwa terdapat 8 (delapan)
urusan pilihan yaitu meliputi :
1. Kelautan dan Peikanan;
2. Pertanian;
3. Kehutanan;
4. Energi dan Sumber Daya Mineral;
5. Pariwisata;
6. Industri;
7. Perdagangan;
8. Ketransmigrasian.
Urusan pilihan satu daerah kabupaten tidak sama dengan urusan pilihan kota. Secara
umum kabupaten dengan ciri keunggulan daerahnya adalah pertanian atau perikanan,
sementara kota lebih kepada industri dan perdagangan. Posisi pengembangan daya saing
berbasis potensi daerah sesungguhnya terletak pada urusan pilihan. Artinya kalau pemerintah
daerah ingin mengembangkan daya saing maka harus berangkat dari potensi unggulan daerah
yang dimiliki daerah secara nyata.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 59


Menurut Wasistiono (2008:48) perencanaan pembangunan untuk daerah/wilayah
perbatasan apabila digambarkan urutan prioritas pembangunan infrastruktur dan sumber daya
alam tampak sebagai berikut:
1. Pembangunan infrastruktur sebagai pembuka akses dengan daerah lain, serta rehabilitasi
atas bencana alam sebagai langkah prioritas utama.
2. Kondisi geografis menentukan bentuk infrastruktur yang diperlukan, misalnya daerah
pantai,pegunungan,daratan rendah, ngarai, rawa, sungai. yang kesemuanya memerlukan
pembangunan sarana dan prasarana untuk optimalisasi potensi daerah yang secara nyata
dapat mendorong aktivitas perekonomian daerah.
3. Sumber daya alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari kondisi geografis.
Pemanfaatan SDA untuk kesejahteraan masyarakat, merupakan sasaran utama dari
pengembangan daya saing berbasis potensi daerah, hal ini diperjelas dengan Gambar.1
berikut:

Gambar 1.Urutan Prioritas Pembangunan Wilayah

SOSIAL HUMANIORA `` MASYARAKAT


DAN KEAGAMAAN
1.Infrastruktur 2.Kondisi
Geografis

3.Sumber Daya
Alam

Sumber: Wasistiono: 2008, Hal.48

Pembahasan mengenai sumber daya alam muncul pemikiran mengenai perspektif


kepemilikan sumberdaya alam adanya mitos tragedi kepemilikan bersama menurut Arifin
(2001:111) menjelaskan “bahwa Profesor Hardin seorang biolog atau tepatnya ahli ekologi
manusia dari University of California, Santa Barbara menurutnya sumber daya milik bersama
adalah sumber bencana yaitu penyebab utama hancurnya sumber daya alam atau kerusakan
lingkungan”. Sumber daya milik bersama itu menjadicepat rusak dan sumber tragedi bagi
kelangsungan hidup manusia yang jelas-jelas sangat tergantung pada sumber daya alam dan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 60

2
lingkungan.Sumber daya milik bersama menurut Hardin hanya sesuai dengan zaman dahulu
kala dan konsep milik bersama itu hanya layak diterapkan pada waktu penduduk bumi tidak
sepadat sekarang ini. Hardin begitu gigih untuk membuang jauh-jauh konsep kepemilikan
pribadi, hak penguasaan, pengusahaan pribadi, Disini terlihat bahwa Hardin dan para
pengikutnya,termasuk di Indonesia ternyata telah menyamakan konsep sumber daya alam tak
bertuan (open acces)dengan sumber daya milik umum (common property).
Pada Hakekatnya Arifin (2001:112) kembali menjelaskan mengenai kepemilikan
terdapat empat macam hak kepemilikan atas sumber daya yang sangat berbeda satu dengan
lainnya :
(1) Milik negara (state property). Para individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi
aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola
sumberdaya itu. Demikian pula, departemen bersangkutan mempunyai hak untuk
memutuskan aturan main penggunaanya. contoh sumber daya alam milik negara ini
adalah tanah hutan , mineral serta sumber daya pertambangan, dan sumber daya alam lain
yang dikuasai negaa untuk hajat hidup orang banyak.
(2) Milik pribadi (private property). Para individu pemilik mempunyai hak untuk
memanfaatkan sumber daya sesuai aturan dan norma yang berlaku (socially
acceptable)serta mempunyai kewajiban untuk menghindari pemanfaatan sumberdaya
yang eksesif dan tak dapat dibenarkan menurut kaidah norma yang berlaku (socially
unacceptable uses).Misalnya lahan pertanian yang dimiliki perorangan termasuk disini.
(3) Milik umum (common property). Kelompok masyarakat yang berhubungan dengan
sumberdaya milik umum mempunyai hak untuk tidak mengikutsertakan individu lain
yang bukan berasal dari kelompok itu, disamping kewajiban untuk mematuhi statusnya
sebagai orang luar. Sementara itu setiap anggota kelompok masyarakat yang terikat dalam
sistem sosial tertentu untuk mengelola sumber daya mempunyai hak dan kewajiban untuk
memelihara kelestariannya sesuai dengan aturan yang disepakati bersama. Misalya tanah
marga atau sebidang tanah diperdesaan atau air irigasi(sistem subak diBali),dimana
penduduk yang terikat dalam kelompok sosial yang ada dapat memanfaatkan dan
mengelolanya secara bersama berdasarkan norma hidup dan budaya yang berlaku.
(4) Tak bertuan (open acces). Dalam hal ini tidak ada unsur kepemilikan atas sumberdaya
tersebut sehingga setiap orang dari kelompok sosial manapun hanya memiliki privilis
(privilege), siapa cepat dia dapat, tetapi bukan hak.

Konsep perencanaan pengembangan daerah perbatasan mencakup beberapa wilayah


tertinggal tetapi memiliki potensi yang cukup besar terhadap hasil sumber daya. Salah satu

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 61


daerah yang masih terdapat hasil sumber daya yaitu kawasan perdesaan, prospek
pengembangan desa adalah konsepsi umum pengembangan otonomi desa.Kebijakan
pengembangan Otonomi Desa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan umum
pembangunan pemerintah Kabupaten atau Kota, provinsi dan nasional ,yang telah dituangkan
dalam berbagai Dokumen Perencanaan, baik jangka panjang ,jangka menengah ,maupun
jangka pendek. Rencana umum pengembangan otonomi desa sebagai perencanaan jangka
menengah, minimal mengacu kepada rencana pembangunan jangka menengah, daerah
maupun nasional.
Visi pengembangan otonomi desa menurut Wasistiono dan Tahir (2007:98)“harus
tetap mengacu kepada visi RPJM daerah ,yang merupakan akselerasi karena RUPOD
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka RPJMD”. Dalam rangka
mewujudkan visi akselerasi tersebut, dilaksanakan melalui 4 (empat) misi sebagai berikut :
1. Meningkatkan kapasitas tata kepemimpinan desa
2. Meningkatkan kapasitas tata pemerintahan desa
3. Meningkatkan kapasitas tata kemasyarakatan
4. Meningkatkan kapasitas tata ruang dan lingkungan
Untuk keperluan implemitasinya selanjutnya masing-masing misi akan diuraikan
menurut strategi, sasaran, arah kebijakan dan program. Strategi adalah merupakan langkah-
langkah berisikan program-program yang indikatif untuk mewujudkan visi dan misi sasaran
adalah hasil yang dicapai secara nyata oleh instansi pemerintah dalam rumusan yang lebih
spesifik,terukur dan dalam kurun waktu yang lebih pendek dari tujuan sedangkan kebijakn
merupakan arah atau tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan visi
dan misi dan program adalah instrumen kebijakan yang berisisatu atau lebih kegiatan yang
dilaksanakan oleh organisasi atau satuan kerja perangkat daerah untuk mencapai sasaran dan
tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat.
Pengembangan prasarana wilayah saat ini memegang peranan yang penting bagi
tumbuhnya perekonomian suatu wilayah. Bahkan, penyediaan prasarana wilayah dapat
menjadi indikator apakah suatu wilayah cukup demokratis dan transparan dalam memberikan
layanan publik. Dengan diterapkannya otonomi daerah, terdapat daerah-daerah yang cukup
kaya dan daerah-daerah yang kurang mampu dalam pembiayaan pembangunannya.Sebagai
sebuah negara Ambardi dan Prihawantoro (2002:280) menyatakan “wilayah Indonesia yang
terbentang dari Sabang sampai Marauke sangat luas (setengah benua Eropa) dan terdiri dari
lebih kurang 13.000 pulau besar dan kecil dengan pantainya yang terpanjang didunia Sampai
tahun 2000, pengelolaan negara masih dilakukan secara terpusat,tetapi sejak tahun 2001
otonomi daerah telah diterapkan”. Maka dengan dilakukannya otonomi daerah

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 62


tanggungjawab pengelolaan prasarana wilayah sebagian besar akan dialihkan kedaerah. Hal
ini dapat mendatangkan keuntungan bagi daerah khususnya perbatasan sekaligus beban
anggaran. Otonomi daerah yang dilaksanakn dalam negara Republik Indonesia telah diatur
kerangka landasannya dalam Undang-undang Dasar 1945, antara lain:
Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi :

“negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”

Pasal 18 yang berbunyi ;

“Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa”

Seperti yang dijelaskan Widjaja (1998:124) “tujuan pembangunan otonomi daerah


yaitu:Efesiensi danefektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunandi daerah
berdaya guna dan berhasil guna, dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, pembangunan kestabilan politik dan dalam rangka mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa (pembauran), dalam rangka peran serta masyarakat dalam
pembangunan”.

Widjaja (1998:125) kembali menjelaskan bahwa prinsip-prinsip Otonomi Daerah


adalah:
a. Yang nyata,berarti urusan pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan
pembangunan.
b. Dinamis,berarti sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
c. Serasi,berarti urusan dilaksanakan sesuai dengan arah,dan kebijaksanaan pemerintah
pusat/nasional.
d. Bertanggung jawab ,berarti tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada dan berlaku.
Maka dengan demikian konsep perencanaan pembangunan daerah perbatasan
membutuhkan sumber daya dan adanya Otonomi daerah yang sangat erat dengan pemerintah
dan masyarakat, jika dilaksanakan dengan berdasarkan ketentuan/ketetapan yang telah
tercantum baik pada Undang-undang Dasar 1945 maupun dalam pelaksanaan otonomi setiap
daerah.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 63


Analisis
Perubahan Sistem Penataan Wilayah
Indikator perubahan pembangunan pada suatu wilayah pertama dilihat dari bagaimana
perubahan sistem penataan daerah. Pada konteksini, adalah bagaimana suatu daerah
perbatasan mengalami perubahan sistem pembangunan dengan memanfaatkan potensi
sumber daya alam dalam hal ini perbatasan Kabupaten Natuna Kepulauan Riau. Dengan
penerapan Otonomi daerah yang dilakukan pemerintah pada perencanaan pembangunan
wilayah maka pengembangan sistem penataan dapat diterapkan. Dalam hal ini, telah
menandakan bahwa peran Otonomi daerah telah membantu pemerintah dan masyarakat untuk
membangun wilayah perbatasan menjadi sebuah wilayah yang memiliki potensi sumber daya
alam sebagai modal awal menuju perkembangan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi
,meningkatnya sistem perdagangan, timbulnya peran pengusaha dalam pembangunan industri
merupakan langkah awal terciptanya perkembangan daerah. Sementara menurut Rustiadi,dkk
(2009:121) “bahwa hakekat pembangunan secara sederhana adalah terjadinya pertumbuhan
ekonomi”.Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, maka hal ini berbeda dengan yang
dikatakan oleh Kaloh (2007:37) bahwa “teknologi informasi memungkinkan pertumbuhan
ekonomi yang berdasarkan ilmu pengetahuan”. Dalam sistem Otonomi daerah yang
dilaksanakan pemerintah Kabupaten Natuna dapat dilihat bahwa perubahan penataan telah
mengalami peningkatan diantaranya pembangunan jalan-jalan infrastruktur umum,
banyaknya ruko usaha, pembangunan bandara pesawat terbang, pelabuhan, sektor-sektor
pendidikan dan lainnya.

1. Perubahan
Ekonomi dan infrastruktur
Hal selanjutnya yang menjadi fokus perhatian dalam melihat perubahan
pertumbuhan ekonomi masyarakat adalah melihat bagaimana meningkatnya proses jual-
beli, industri yang mendorong naiknya perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang
meningkat diharapkan dapat terus stabil agar bisa terus mendorong berkembangnya
perubahan pembangunan daerah. Namun sekarang kita akan melihat bagaimana Kabupaten
Natuna berkembang layaknya perkotaan.
Menurut Gubernur Provinsi Riau Drs. H. Muhammad Sani Sebagian besar alokasi
anggaran adalah untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan. Dengan
transportasi lancar, maka pergerakan ekonomi juga akan lancar, Apalagi untuk kawasan
Natuna sudah ada tambahan dua kapal yaitu Sabuk Nusantara 30 dan Sabuk Nusantara 39

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 64


maka Frekuensi akan semakin singkat, sehingga arus uang orang dan barang semakin
lancar.
Pembangunan pelabuhan di Pulau Laut, Midai, Serasan dan Subi. Ini semua dalam
rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk bidang perhubungan
dialokasikan dana sebesar 74,145 miliar, untuk kegiatan perikanan dan kelautan
dialokasikan dana sebesar 6,579 miliar dan untuk program pengentasan kemiskinan
dialokasikan sebesar 23,801 miliar rupiah.

2. Perubahan
Pengembangan Potensi Wilayah
Potensi pengembangan wilayah di Kabupaten Natuna sangat beragam, kabupaten
Natuna yang secara geografis terdiri dari kepulauan memiliki keunggulan di bidang
pariwisata alam. Gugusan kepulauan Kabupaten Natuna memiliki pemandangan yang
indah, dengan panorama pantai yang masih terjaga keasriannya. Sejumlah lokasi bahkan
menjadi tempat favorit bagi penggemar snorkling, pengamat habitat penyu, dan pecinta
wisata bawah air. Selain potensi pariwisata alam Kabupaten Natuna saat ini memang
menjadi salah satu daerah andalan penghasil minyak dan gas Indonesia. Kabupaten Natuna
memilki potensi sumber daya alam yang sangat besar, diantaranya sumber daya perikanan
laut yang mencapai lebih dari satu juta ton pertahun dengan total pemanfaatannya hanya
sekitar 36%. selain itu juga memiliki objek wisata bahari seperti pantai dan biota laut yang
indah untuk kegiatan penyelaman, gunung, air terjun,dan lain sebagainya. Namun potensi
kekayaan Kabupaten Natuna yang paling fenomenal adalah cadangan migas di ladang gas
Blok D-Alpha yang teletak 225 km di sebelah Utara Pulau Natuna, dengan taksiran total
cadangan 222 TCT dan gas hidrokarbon sebesar 46 TCT yang merupakan salah satu sumber
terbesar di Asia.
Transportasi eksternal adalah sistem transportasi yang menghubungkan pulau-pulau
di wilayah Kabupaten Natuna dengan pulau-pulau di kabupaten tetangga lainnya. Moda
transportasi yang digunakan adalah jenis kapal perintis dan kapal pelni dengan rute yang
telah terjadwal. Selain prasarana dan sarana transportasi laut, Kabupaten Natuna juga
mengandalkan prasarana dan sarana perhubungan udara. Prasarana perhubungan udara di
Kabupaten Natuna hanya terdapat di Pulau Bunguran. Moda transportasi dengan
menggunakan pesawat udara terdiri dari tiga model penggunaan yaitu digunakan untuk
transportasi komersil, untuk kepentingan militer, dan untuk kepentingan perusahaaan.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 65


Penutup
Dengan pengembangan pada daerah perbatasan Natuna diharapkan dapat
memperkokoh dan memperkuat NKRI dari negara-negara lain yang ingin masuk serta
mengambil hak Indonesia terutama di wilayah perairan.Perkembangan wilayahakan
membawa perekonomian yang baik, dapat dilihat dari pola perkembangan infrastruktur dan
proses jual beli serta potensi alam. Dengan mengembangnkan potensi sumber daya yang
dimiliki diharapkan Kabupaten Natuna mampu berkembang pesat layaknya perkotaan. Selain
itu pola perubahan penataan wilayah dengan menjalankan sistem otonomi daerah mampu
mempercepat pesatnya perkembangan pada sebuah wilayah pada pola perkembangan
berikutnya adalah perubahan ekonomi dan infrastruktur baik darat maupun laut , perubahan
ekonomi dari masyarakat yang tadinya belum memilki usaha atau mata pencarian kini beralih
profesi hingga mampu menghasilkan lapangan pekerjaan buat orang lain, insfrastruktur
pelabuhan yang dulunya menggunakan perahu atau pompong kini beralih menjadi kapal pelni
dan sabuk, selain itu hasil alam yang dulunya tidak dikembangkan nyata nya mampu
menghasilkan sumber uang bagi para pengusaha. keindahan alam, luasnya laut beserta isinya
terjaga oleh negara dengan terus memperkuat NKRI.
Pola perubahan juga menghasilkan pengembangan pada potensi wiilayah kekayaan
alam Indonesia mampu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Transportasi keberadaanya meningkat
ada nya penambahan kapal laut dan bandara udara mampu menjadikan sebuah daerah
perbatasan berkembang baik. Namun dari berbagai perkembangan setidaknya tidak
menjadikan berpuas hati, diharapakan kedepannya Kabupaten Natuna mampu terus bertahan
dengan potensi sumber daya dan terus menjadikan wilayah perbatasan yang berkembang
dengan memperkokoh NKRI.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 66


Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Erlangga: Jakarta

Ambardi, Urbanus M, Prihawantoro, Socia. 2002. Pengembangan Wilayah dan


OtonomiDaerah. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT:
Jakarta.

Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global. Rineka Cipta: Jakarta.

Rustiadi, Ernan,dkk.2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Yayasan Pustaka Obor


Indonesia: Jakarta.

Wasistiono, Sadu. 2008. Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Fokusmedia: Bandung.

______________, Tahir, Irwan. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Fokusmedia: Bandung.

Widjaja, A.W. 1998. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Rineka Cipta: Jakarta.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Perpajakan

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang wiayah negara

http://www.kepriprov.go.id : dibaca tanggal 13 maret 2015

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 67


INTERAKSI SIMBOLIK DALAM KOMUNIKASI BUDAYA
(STUDI ANALISIS FASILITAS PUBLIK DI KABUPATEN PONOROGO)
Oki Cahyo Nugroho Dan Eli Purwati
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Email: Okicahyo@umpo.ac.id dan ellie_purwanti@umpo.ac.id

Abstract
Ponorogo is one city in the west end of the east java art is a typical reyog ponorogo.
Art is one of national wealth art be an asset nations in rich cultural the world.It uses reyog
own already mendarah meat and integrated in social life in the community ponorogo.This is
reflected in the number of even held both in the village, sub and national level.Will this of art
diwujudakan in various forms, one of them is the sort of public or rather a landmark which is
typical and identity of this city.If we look at further, public buildings in the entrance district
ponorogo of four corners have a difference compared with several buildings have cirikhas or
related to reyog itself. So it is with some gate in the population different from the city center.
This research trying to discover meaning contained in any building characterized by reyog
and trying to find the process of symbolic interaction happened between building is viewed
from different sides communication. minds, self and society of mead in interaction symbolic
this is the basic theories that became the in analysis phenomenon is in ponorogo this. The
importance of purpose to human behavior, the importance of the concept of out of, the
relationship between individual by communities is the fundamental concept of the buildings
that characterizes a condition community social that is present at the time of the, The
methodology it uses the kualitiatif where data taken with tekhnik snowball sampling.hasil
from the study said the district ponorogo built for four era different in the point of view of
handling of art reyog this as the identity and pride ponorogo as a city reyog. Political,
economy, education impact on the copyright, think, and karsa in the formation of facilities in
tugu or gate (a landmark). Social conditions influenced by community groups dominant
contribute diversity in the formation of identity in this city.
Keywords: Reyog Ponorogo, Interaction Symbolic, Communication, Facilities.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 68


Abstrak
Ponorogo adalah salah satu kota diujung barat Propinsi Jawa Timur yang
mempunyai kesenian khas yaitu Reyog Ponorogo. Kesenian ini merupakan salah satu
kekayaan kesenian nasional yang menjadi aset bangsa dalam kekayaan budaya dunia. Reyog
sendiri ibaratnya sudah mendarah daging dan menyatu dalam kehidupan sosial
dimasyarakat Ponorogo. Hal ini tercermin dari banyaknya jumlah even yang
diselenggarakan baik dalam tingkat desa, kecamatan maupun tingkat nasional. Kebanggan
akan kesenian ini diwujudakan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah bangunan yang
bersifat public atau lebih tepatnya landmark yang menjadi cirri khas dan identitas kota ini.
Jika kita perhatikan lebih jauh, bangunan public berupa gerbang masuk kabupaten
Ponorogo dari empat penjuru mempunyai perbedaan jika dibandingkan dengan beberapa
bangunan yang mempunyai cirri khas atau yang berkaitan langsung dengan reyog itu
sendiri. Begitu pula dengan beberapa gapura masuk perkampungan penduduk yang berbeda
dari pusat kota. Penelitian ini berusaha mengungkap makna yang terkandung dalam setiap
bangunan yang bercirikan reyog dan berusaha menemukan proses interaksi simbolik yang
terjadi antar bangunan tersebut dilihat dari sudut pandang ilmu komunikasi.”Mind, Self and
Society dari Mead dalam interaksi simbolik ini merupakan teori dasar yang menjadi
pegangan dalam menganalisa fenomena yang ada di Ponorogo ini. Pentingnya makna bagi
perilaku manusia, pentingnya konsep mengenai diri, hubungan antara individu dengan
masyarakat merupakan konsep dasar bangunan-bangunan yang mencirikan sebuah kondisi
sosial masyarakat yang hadir pada jaman tersebut. Metode penelitian ini menggunakan
metode kualitiatif dimana data yang diambil dengan tekhnik snowball sampling. Hasil dari
penelitian ini mengungkapkan bahwa Kabupaten Ponorogo dibangun atas empat era yang
berbeda dalam sudut pandang memaknai kesenian reyog ini sebagai identitas dan
kebanggan Ponorogo sebagai kota reyog. Politik, ekonomi, pendidikan berpengaruh
terhadap daya cipta, rasa, dan karsa dalam pembentukan fasilitas publik berupa tugu atau
gerbang (landmark). Kondisi sosial yang dipengaruhi oleh kelompok masyarakat yang
dominan turut menyumbang keragaman dalam pembentukan identitas di kota ini.
Keywords: Reyog Ponorogo, interaksi simbolik, komunikasi, fasilitas publik.

Pendahuluan
Kabupaten Ponorogo merupakan kabupaten diujung barat propinsi Jawa timur yang
langsung berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Tengah. Sebuah kota kabupaten dengan
keragaman budaya yang sangat unik dan menjadi salah satu ikon budaya jawa timur. Salah
satu bentuk kesenian yang sangat terkenal tersebut adalah reyog ponorogo. Reyog Ponorogo
adalah sebuah pertunjukan tarian yang dinamis dan atraktif. Dalam bukunya, Jazuli (1994:4)
menjelaskan bahwa bentuk merupakan wujud dari sebuah tarian, sebuah tarian akan
menemukan bentuk seninya apabila pengalaman batin pencipta maupun penarinya dapat
menyatu dengan pengalaman lahirnya. Hal ini dapat dimaksudkan agar audience dapat
tergerak dan bergetar emosinya atau dengan kata yang lebih sederhana penonton dapat
terkesan setelah menyaksikan pertunjukan tari tersebut. Kebanggan terhadap reyog yang
menjadi salah satu pendukung kesenian nasional sudah menjadi darah daging dalam diri
masyarakat Ponorogo. Hal ini dapat dilihat secara langsung dengan banyaknya monumen

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 69


atau bangunan publik yang sangat kental dengan nuansa reyognya. Bangunan – bangunan ini
dapat berupa gapura, patung yang berada disetiap perempatan jalan besar di kota ponorogo,
patung diseputar alun-alun dan beberapa yang masih tersisa pintu gerbang masuk kerumah
warga. Bangunan – bangunan ini dalam perspektif komunikasi budaya dapat dijadikan
sebuah data penting yang berkaitan langsung dengan informasi yang terkandung didalamnya
dalam berbagai sudut pandang seperti sejarah, sosial budaya dan politik yang
menyelimutinya. Dari perkembangan inilah, Ponorogo menjadi salah satu magnet budaya di
kawasan Jawa timur bagian barat. Hal demikian manjadi pemicu turut berkembangnya
tatanan sosial budaya dan pemerintahan pada masyarakat ini.
Dalam konteks yang lebih besar, jika kita amati lebih jauh maka dalam sebuah
bangunan publik terutama yang menjadi landmark terjadi sebuah proses interaksi satu dengan
yang lainnya berdasarkan simbol - simbol yang terkandung didalamnya. Proses interaksi ini
dapat dijelaskan sebagai sebuah proses saling mempengaruhi dalam bentuk perilaku atau
kegiatan diantara anggota – anggota masyarakat (Effendy.1989:184) sedangkan simbolik
adalah bersifat melambangkan sesuatu (Effendy. 1989: 354). Hal ini sangat memungkinkan
karena sifat dasar dari manusia salah satunya adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan
lambang, dimana manusia adalah satu – satunya hewan yang menggunakan lambang
(Susanne K.Langer dalam Mulyana.2008:92). Secara spesifik fokus dalam penelitian ini
adalah: 1). Bagaimana interaksi simbolik yang terjadi antar fasilitas publik di Kabupaten
Ponorogo? 2). Apa makna yang terkandung dalam simbol masing – masing fasilitas publik di
Kabupaten Ponorogo?.

Pembahasan
Pemetaan fasilitas umum (landmark)
Ponorogo mempunyai sebuah kajian budaya yang unuk dan menarik dalam ranah
kebudayaan Indonesia khususnya Jawa Timur bagian barat. Kebudayaan dalam sebuah
masyarakat dapat kita lihat dalam bentuk fisiknya yang bisa kita jumpai sehari-hari. Bentuk-
bentuk fisik ini kemudian menjadi ciri khas dari sebuah daerah yang ditempatinya. Artinya,
sebuah tempat dapat dikenali dengan baik dari ciri khas fisik yang ada disekitarnya. Sebagai
contoh orang akan menyimpulkan dengan cepat bahwa foto seseorang berada di kota
ponorogo dengan ciri khas patung reyog yang ada dibelakangnya. Kebudayaan juga sangat
dipengaruhi oleh kemampuan pemimpin dan individu pada suatau tatanan masyarakat dalam
menangkap dan merepresentasikan dalam bentuk simbol, lambang atau tanda. Penanda-
penanda inilah yang menjadi kekuatan dalam sebuah ungkapan yang mengandung bayak

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 70


makna. Disamping banyak makna, penanda-penanda ini juga mewakili suatu kondisi tertentu
yang mencerminkan kondisi pada suatu massa tanda itu dibuat. Selain itu, beberapa faktor
lain turut menyumbang dalam pembentukan tanda dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal
yang terwakili dalam bentuk tugu batas, gerbang masuk atau beberapa gerbang masuk rumah
penduduk.
Keberadaan tugu batas atau gerbang masuk sebuah daerah diponorogo ini sangat unik
jika dibanding dengan daerah lain. jika kita perhatikan dengan seksama, ada beberapa model
yang mewakili beberapa era dalam pembangunannya. Tetapi yang paling banyak dan tersebar
didaerah sampai kepelosok desa adalah dalam bentuk reyog yang dibelah menjadi dua
bagian. Dalam hal ini peneliti hanya fokus pada bangunan fasilitas umum dalam bentuk tugu
batas, gerbang masuk atau keluar daerah serta bangunan-bangunan non gerbang seperti
patung yang berada hampir disetiap perempatan yang ada dikota Ponorogo. Hal ini sebagai
fokus dalam penelitian ini yang membatasi hanya bangunan yang berkaitan langsung dengan
bentuk reyog yang menjadi subyek penelitian. Gedung pemerintah yang pada dasarnya
merupakan fasilitas umum tidak termasuk dalam subyek penelitian karena secara fisik tidak
mencirikan bentuk atau ada kaitan secara bentuk dengan reyog. Sebagai contoh stadion
batoro katong, stadion ini secara nama terkait langsung dengan reyog ponorogo, tetapi dalam
bentuknya tidak ada ciri fisik yang mengingatkan kita terhadap bentuk atau wujud dari reyog
itu sendiri. Oleh karena itu, dalam fasiitas publik yang ada di Kabupaten Ponorogo terbagi
menjadi empat bentuk yang mewakili beberapa era kepemimpinan bupati di Ponorogo
dengan dinamika politik yang menyertainya. Dalam hal ini dinamika politik yang
menyangkut langsung dengan kesenian reyog ponorogo secara langsung.
Wilayah utara Kabupaten Ponorogo dengan Kabupaten Madiun juga dipisahkan oleh
sungai yang membentang dari wilayah timur ponorogo ke bagian barat kota madiun. Oleh
masyarakat sekitar sunagi yang membentang ini disebut sebagai sungai Mlilir. Perbatasan
Ponorogo dengan madiun ini peneliti menemukan tugu batas dalam bentuk gerbang pintu
masuk Kabupaten Ponorogo dengan bentuk merak yang membentang dari barat ke Timur
yang kemudian bersatu ditengah. Hal ini melambangkan sebuah kesenian terkenal dari
wilayah Ponorogo sendiri yaitu reyog Ponorogo. Disamping kanan dan kiri merak yang
menjadi gerbang pintu masuk, terdapat iringan dari pertunjunkan reyog yang lengkap dengan
penari Klana Sewandna, Bujangganong, Jathil, dadak merak serta pengiring gamelan. Wujud
penampilan pentas Reyog ini tampil lengkap pada kedua sisi baik sisi timur atau barat
gerbang.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 71


Gambar 1. Gerbang masuk Kabupaten Ponorogo sebelah utara
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Hal ini juga masih kita temui pada wilayah Ponorogo pada wilayah selatan yang
berbatasan langsung dengan kabupaten Pacitan. Kabupaten Ponorogo bagian selatan yang
berbatasan dengan Kabupaten dipisahkan oleh sungai Grindulu. Sungai ini membentang dari
Ponorogo menuju Kabupaten Pacitan menyusuri sepanjang jalan menuju kota Pacitan. Pada
umumnya, tugu dengan bentuk mirip atau menyerupai candi ini diberi warna hitam yang
mencirikan sebuah tugu yang terbuat dari batu, meskipun pada dasarnya tugu-tugu ini dibuat
dengan semen dan batu bata dengan tekhnik pembuatan yang modern seperti sekarang.

Gambar 2. Gerbang masuk Kabupaten Pacitan dengan


bentuk menyerupai candi
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Tugu batas dengan bentuk menyerupai candi ini juga bisa kita temui pada perbatasan
kabupaten Ponorogo dengan kabupaten Trenggalek yang berada disebelah timur kota
Ponorogo. Tugu yang dibangun sebagai penanda batas dengan kabupaten Trenggalek ini juga
dibangun dengan bentuk menyerupai candi atau pura yang sering kita temui pada bangunan
di pulau Bali. Ukuran tugu batas dengan Trenggalek ini lebih besar daripada ukuran yang
berada pada perbatasan antara Kabupaten Pacitan dan Ponorogo. Berbeda dengan kedua

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 72


perbatasan diatas, perbedaan terlihat nyata dan bersebalahan pada perbatasan anatara kedua
kabupaten ini, jadi kabupaten Trenggalek tetap ingin mempertahankan tugu dengan ciri candi
sedangkan kabupaten Ponorogo berusaha menjadikan reyog sebagai ciri dan identitas kota
reyog. Menurut artefak atau dokumen yang tertulis di fisik tugu batas ini, tugu reyog yang
menggambarkan adegan atau pertunjukkan reyog secara lengkap ini dibangun mulai tahun
1992 dan selesai pada tahun 1993.
Pada tugu perbatasan antara Kabupaten Ponorogo dan Trenggalek yang berada pada
desa Pangkal Kecamatan Sawoo ini terlihat bahwa reyog merupakan ciri utama yang
disajikan dalam bentuk patung-patung realis yang menggabarkan sebuah adegan
pertunjukkan. Patung-patung yang menggambarkan bentuk kesenian reyog dengan bentuk
iringan ini sering kita jumpai pada pertunjukkan reyog dengan format obyogan. Tampil
dengan personil lengkap dalam sebuah pertunjukkan yang layaknya sebuah pertunjukkan
dalam pementasan sebenarnya yaitu dadak merak, prabu Klanasewandana, Bujangganong,
Jathil dan para nayogo atau penabuh gamelan. Pakaian dan asesoris yang dipakai juga
menggambarkan sebuah bentuk layaknya bentuk dan warna asli dalam perunjukkan. Artinya
dadak merak tampil dengan warna hijau pada bulu meraknya, jathil memakai kemeja putih
lengkap dengan kuda lumpingnya, bujangganong dan Klanasewandana dengan topengnya,
serta para nayogo atau penabuh gamelan layaknya konco reyog yang memakai baju khas
Ponoragan yaitu Penadon lengkap dengan seperangkat gamelan reyog.

Gambar 3. Gerbang masuk Kabupaten Ponorogo dari


wilayah timur yang berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Bentuk serupa juga bisa kita temukan pada perbatasan wilayah ponorogo pada bagian
barat yang berbatasan langsung dengan kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Tugu perabtasan
yang dibangun relatif baru ini mempunyai bentuk dan karakteristik yang hampir sama dengan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 73


tugu-tugu perbatasan yang lain, yaitu tetap mempertahankan wujud atau bentuk reyog sebagai
ciri utama yang menjadi ciri khas kota Ponorogo. Pada gerbang ini terdapat empat kelompok
yang berada pada sisi kanan dan kiri jalan. Dua kelompok berada pada sisi masuk menuju
Ponorogo dibwah tulisan selamat datang sedang dua grup yang lain berada di sisi keluar
menuju propinsi Jawa Tengah tepat dibawah tulisan selamat jalan. Bentuk dan ciri yang sama
dapat kita temukan pada bentuk dan ciri khas spesifik pada pintu gerbang ini. dari keempat
grup yang menjadi ciri khas kota ponorogo yaitu reyog , masing-masing tampil dengan
format dan bentuk sama seperti layaknya sebuah potongan adegan dalam sebuah pemantasan
reyog. Artinya, masing-masing grup reyog ini mempunyai ciri-ciri dan personil yang sama
sebagaimana layaknya dalam sebuah pementasan. Jumlah personil dan kelengkapan pada
patung-patung ini laykanya sebuah pementasan yang lengkap meliputi dadak merak, Prabu
klanasewandana, Bujangganong dan penari Jathil. Salah satu kekurangan yang tidak
ditemukan dan berbeda dari gerbang yang lain adalah tidak adanya pengiring gamelan yang
berada di dalam kalangan pertunjukkan reyog ini.

Gambar 4. Gerbang masuk Kabupaten Ponorogo dari


arah barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Jika diperhatikan lebih seksama, gerbang masuk menuju kabupaten Ponorogo masih
didominasi oleh bentuk yang menggambarkan bentuk reyog yang mencirikan sebuah fragmen
layaknya sebuah pertunjukkan reyog. Hal ini masih dapat kita jumpai dengan mudah ketika
didalam kabupaten Ponorogo. Bentuk yang menyerupai bahkan mirip reyog ini merupakan
bentuk khas yang menjadi ikon Ponorogo. Dalam perwujudannya, bentuk ini mempunyai
beberapa versi dalam pembangunannya.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 74


Gambar 5. Peta penyebaran gerbang pintu masuk Kabupaten Ponorogo
dari kabupaten lain.
Sumber: Diolah dari map: google maps, proses lokasi: Adobe Lightroom

Gambar 6. Peta tugu yang menjadi sampel penelitian dari


berbagai masa pembangunan
Sumber: Diolah dari map: google maps, proses lokasi: Adobe Lightroom

Era Pemerintahan lama


Tugu pertama yang dipetakan berbentuk mirip pura yang terbuat dari batu bata yang
disusun tinggi. Tugu ini dibangun sebegai penanda batas wilayah suatu desa,kecamatan atau
wilayah administrasi tertentu. Wilayah-wilayah ini biasanya dibatasi oleh sebuah kondisi
alam sebagai penanda wilayah yang nyata seperti sungai, gunung,bukit atau tanah lapang.
Sehingga sering disbut sebuah wilayah sebagai etan kali atau kulon kali yang artinya timur
sungai atau barat sungai sebagai sebutan pada suatu wilyah yang dibatasi oleh sungai sebagai
pembatasnya. Contoh yang nyata dapat kita jumpai dalam skala yang lebih besar adalah
perbatasn Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dibatasi oleh sungai atau bengawan Solo yang
membentang membelah pulau Jawa. Sungai sebagai unsur alami sebagai pembatas suatu
wilayah dikuatkan lagi dengan adanya tugu dengan bentuk seperti pura atau candi yang
dibuat dari batu bata dengan ciri arsitektur menyerupai bangunan candi diwilayah mojokerto

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 75


atau lebih tepatnya bekas peninggalan kerajaan Mojopahit. Hal ini masih kita jumpai
meskipun sangat jarang yakni di perbatasan antara Kecamatan Sambit dan Kecamatan
Sawoo. Tugu dengan warna cat hitam ini sebagai penanda bahwa tempat tersebut merupakan
batas dari kedua wilayah kecamatan antara kecamatan Sambit diwilayah barat dengan
kecamatan Sawoo diwilayah timur. Dari semua tugu dengan bentuk pura atau candi ini, tugu
inilah yang kelihatan masih terawat dengan baik dan mempunyai bentuk yang paling besar.
Bentuk yang lebih kecil dapat kita temui pada beberapa titik seperti di didesa
Madusari yang menjadi perbatasan dengan desa Jenes, masuk desa winong Jetis, perbatasan
antara kecamatan Kauman dengan kecamatan Badegan yang berada di desa Srandil. Pada
bentuk ini, tidak ada ciri khas dari bentuk atau yang mencerminkan dari bentuk reyog itu
sendiri. Peneliti memberikan nama untuk pada masa ini adalah era pemerintahan lama.
Pemeritahan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1980an dengan bupati yang
memerintah antara lain R Soesanto Tirtoprodjo ( 1944-1945), R Tjokrodiprojo (1945-1949),
R Prajitno (1949-1951), R Moehammad Mangoendiprdja (1951-1955), R Mahmoed (1955-
1958),R.M. Harjogi (1958-1960), R. Dasoeki Prawirowasito (1960-1967), R. Soejoso (1967-
1968), dan R. Soedono Soekirdjo (1968-1974),Jika kita perhatikan lebih seksama, masa
memangku jabatan pada bupati-bupati diatas tidaklah terlalu lama dan rata-rata dibawah 5
tahun. Oleh karena itu, pada masa ini reyog belum menjadi sebuah ikon wisata atau identitas
daerah yang menjadi kebanggaan kabupaten ini. Pengetahuan tentang pentingnya sebuah
pencitraan pada sebuah daerah juga belum menjadi sebuah perhatian dalam masa ini, hal ini
dapat dilihat dari jumlah peninggalan artefak yang ada yang bisa kita jumpai sekarang.
jumlah yang sedikit dan cenderung sudah rusak sulit untuk dijadikan sebuah rujukan dalam
membuat sebuah kesimpulan yang valid dan akurat.
Pengaruh feodalisme yang kuat juga menjadi salah satu alasan reyog belum menjadi
sebuah ikon kabupaten ini yang diwujudkan dengan simbolisasi tugu atau landmark
Ponorogo. Jika diperhatikan dengan seksama, nama-nama bupati yang ada dari tahun 1944-
1974 semuanya memakai nama gelar kebangsawanan yaitu Raden atu dalam sebuah nama
disingkat R. Nama dengan gelar kebangsawanan Raden merupakan gelar kehormatan yang
diberikan oleh sebuah kerajaan atau keraton. Sedangkan didaerah ponorogo kerajan yang
terakhir beridiri adalah kerajaan Bantarangin yang pada masa ini sudah tidak ada lagi
keberadaannya. Oleh karena itu, Keraton atau institusi yang memberikan gelar
kebangsawanan yang terdekat dengan Kabupaten Ponorogo adalah keraton Solo atau
Surakarta.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 76


Gambar 7. Tugu yang mempunyai bentuk seperti
Pura /Candi di desa Demangan Kecamatan Jetis.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 8. Tugu yang mempunyai bentuk seperti


Pura /Candi di desa Demangan Kecamatan Jetis.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 9. Peta penyebaran tugu dengan bentuk menyerupai pura


Sumber: Diolah dari map: google maps, proses lokasi: Adobe Lightroom

Tugu dengan bentuk Reyog (era bupati H. Soemadi (1974-1984), Bupati Drs. Soebarkah
Poetro Hadiwirjo 1984-1989 dan Drs. R. Gatot Soemani 1989-1994)
Bentuk yang kedua adalah berupa tugu reyog. Bentuk ini pada beberapa desa atau
tempat berbeda-beda. Bentuk yang paling lazim dan banyak kita temui adalah bentuk reyog

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 77


yang dibelah menjadi dua bagian. Setengah bagian dikanan dan setengah bagian dikiri,
kemudian ditengah-tengahnya adalah jalan masuk menuju suatu kampung atau daerah
tertentu. Bentuk ini pada beberapa daerah mempunyai detil, warna dan ukuran yang berbeda-
beda. Dengan demikian, setiap tugu mempunyai keunikan dan ciri khas masing-masing.
Khusus untuk bentuk ini dalam observasi penggalian data dan wawancara muncul 2 versi
dalam proses pembangunannya. Data dari Drs.Budi Satriyo (badan Arsip daerah Kabupaten
Ponorogo) menyebutkan bahwa tugu-tugu reyog yang dibangun merupakan prakarsa dari
Bupati Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo 1984-1989. Tugu-tugu ini dibangun sebagai penanda
mulai bangkitnya kesenian reyog ponorogo yang menjadi sebuah ikon budaya daerah
Ponorogo dengan mulai dipertontonkan sebagai pertunjukkan wajib dalam setiap perayaan 1
Muharram atau 1 Suro.
Wawancara dengan Drs Budi Satriyo menyatakan bahwa latar belakang didirikan atau
dibangunnya secara massif tugu dalam bentuk reyog ini sebagai penguat dan identitas
ponorogo sebagai kota reyog sesungguhnya. Latar berlakang yang kedua adalah reyog mulai
menjadi tontonan dan pertunjukkan wajib pada setiap gelaran 1 suro. Hal ini didasari dari
pengamatan oleh bupati Soebarkah ketika melihat kerumunan dan ritual masyarakat
Ponorogo pada waktu itu yang melekan dialun-alun kota Ponorogo. Masyarakat yang
melekan selama semalam suntuk ini mempunyai kepercayaan untuk tirakat dalam menyambut
bulan yang dianggap sakral oleh masyrakat jawa yaitu bulan suro. Kerumunan massa ini bisa
dimaksimalkan dengan adanya suguhan pertunjukkan reyog. Pada masa itu pertunjukkan
reyog belum menjadi sebuah Festival seperti sekarang. Gagasan dari bupati Soebarkah untuk
menjadikan reyog sebagai pusat pertunjukkan menjadikan reyog sebagai bentuk baru dalam
model pertunjukannya.Oleh karena itu, tugu dengan bentuk reyog ini sangat banyak dan
mudah kita jumpai dibeberapa tempat di Ponorogo. Tugu degan bentuk reyog ini tersebar
mulai dari pusat kota Ponorogo yang mempunyai beberapa kelurahan dan jalan serta gang
yang pintu masuknya dihiasi dengan patung reyog ini. menyebar ke pinggiran kota masih
dapat kita temui sebagai perbatasan pintu masuk kota Ponorogo yang terletak di kawasan
desa wisata kerajinan gong atau gamelan reyog, desa Jenes.
Khusus dalam tugu reyog dengan bentuk ini, peneliti menemukan beberapa versi dan
bentuk selama dalam pengamatan atau observasi dilapangan. Pertama adalah bentuk tugu
atau penanda masuk suatu daerah dengan bentuk tugu reyog lengkap,kedua bentuk reyog
yang diwakilkan oleh karakter dadak meraknya saja, ketiga bentuk dadak merak yang dibelah
menjadi dua bagian. Bentuk yang pertama adalah bentuk tugu reyog dengan bentuk yang
lengkap layaknya sebuah penampilan reyog sesungguhnya. Hal ini mencerminkan sebuah

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 78


pertunjukkan yang menampilkan pementasan atau cerita dalam sebuah pertunjukan reyog.
Bentuk dengan formasi lengkap ini dapat kita temui tersebar dengan jumlah yang tidak
banyak muali dari pusat kota Ponorogo sampai daerah pinggiran seperti yang bisa kita temuai
didesa Caluk Kecamatan Slahung Ponorogo. Bentuk ini mempunyai dua versi dalam
pembangunannya, yang pertama berupa bentuk patung tiga dimensi dan yang kedua bentuk
patung atau tugu dua dimensi. Bentuk tugu tiga dimensi ini merupakan bentuk patung yang
kelihatan dan menyerupai bentuk aslinya, artinya karakter orang yang dibuat patung benar-
benar menunjukkan bentuk aslinya. Bentuk asli dengan wujud dan asesoris yang dipakai
sebagaimana layaknya seorang penari yang sedang mengadakan pementasan. Bentuk yang
kedua adalah dua dimensi. Yang dimaksud dengan bentuk dua dimensi ini adalah patung atau
karakter penari yang dibuat bukan merupakan sebuah patung yang sesungguhnya tetapi lebih
mengarah atau lebih cenderung kelihatan seperti relief. Bentuk yang dibuat merupakan
perwujudan seluruh tokoh dalam penampilan reyog, tetapi hadir dalam sebuah tembok
layaknya kanvas dalam sebuah lukisan. Hal ini dapat kita temukan didesa Caluk Kecamatan
Slahung dengan bentuk relief penampilan dari sebuah pertunjukkan reyog ini.

Gambar 10. Bentuk tugu reyog yang menampilkan


seluruh penari lengkap dalam bentuk tiga dimensi
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 11. Bentuk tugu reyog yang menampilkan seluruh


penari lengkap dalam bentuk relief

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 79


Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Karateristik bentuk tugu reyog yang kedua adalah bentuk reyog yang hanya
diwakilkan karakter tertentu saja. Hal ini dapat kita jumpai pada beberapa daerah meskipun
dengan jumlah yang sangat sedikit. Dalam beberapa tugu, karakter yang ditonjolkan
merupakan ikon khas ponorogo yaitu dadak merak. Dengan bentuk dan variasi ukuran yang
berbeda, beberapa daerah ini berusaha menampilkan ciri kota reyog meskipun hadir dalam
bentuk perwakilan dari karakter yang bermain dalam sebuah pertunjukkan reyog. Usaha
dalam menampilkan dan merawat bentuk tugu ini terbilang cukup baik karena pada sebuah
tugu dengan bentuk ini terus dibenahi dan dikembangkan seperti yang terjadi pada gerbang
masuk Desa Singkil Kecamatan Slahung ini. Sebaliknya, beberapa daerah atau desa kurang
menjaga dan merawat gerbang mereka dengan bukti semakin rusak dan usangnnya bentuk
dan cat warna pada tugu tersebut. Hal ini bisa kita jumpai pada gerbang masuk Desa Sukosari
Kecamatan Kuaman dan di desa Bajang Kecamatan Mlarak.

Gambar 12. Bentuk gerbang masuk dengan bentuk


perwakilan dari karakter reyog di kecamatan Balong
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 13. Bentuk gerbang masuk dengan bentuk perwakilan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 80


dari karakter reyog di Desa Singkil, Kecamatan Slahung.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 14. Bentuk gerbang masuk dengan bentuk perwakilan


dari karakter reyog di Desa Sukosari, Kecamatan Kauman.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Bentuk gerbang masuk yang berwujud reyog yang ketiga adalah berbentuk gerbang
dengan bentuk dadak merak yang dibelah menjadi dua bagian. Bentuk ketiga ini lah yang
sering kita jumpai ketika melintas memasuki sebuah daerah atau suatu kawasan tertentu.
Ukuran, warna dan bentuknya pada setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-
beda. Tetapi pada dasarnya tetap mempunyai satu kesamaan yang dapat dilihat dengan cepat
yaitu bentuk aslinya berupa dadak merak yang dibelah menjadi dua bagian. Gerbang inilah
yang populer dan menjadi ikon kota ponorogo sekaligus menjadi bagian lambang kabupaten
ponorogo. Salah satu bagian lambang kabupaten ponorogo adalah reyog yang seakan dibelah
menjadi dua bagian, tetapi kalau diperhatikan bentuk dadak merak dengan warna putih pada
lambang Ponorogo adalah satu bagian yang utuh. Pada situs resmi pemerintah kabupaten
Ponorogo, dadak merak ini mempunyai arti kesenian khas dari kabupaten Ponorogo. Motif
dan warna dari model gerbang yang dibelah ini mempunyai bentuk yang berbeda-beda.
Setiap gerbang mempunyai warna yang berbeda dengan motif gambar yang berbeda yang
dipengaruhi kondisi setempat. Kondisi-kondisi ini adalah kondisi seperti intelektualitas dari
seniman setempat. Beberapa tempat menggunakan detil yang kuat dengan warna yang
mencolok dan berbeda dari warna bulu merak yang biasanya hijau. Tetapi sebagian besar
menggunakan warna hijau sebagai dan warna sama dengan warna dadak merak yang
berwarna hijau. Sebagian tugu hadir dengan motif polos dengan hanya bermain warna dan
motif sederhana yang lain seperti garis dan bentuk kurva yang lain. Tugu dengan model ini
juga banyak ditemukan karena lebih mudah dibuat karena lebih sederhana dalam hal motif,
bentuk dan ornamen yang ada. Lebih jauh berkaitan dengan motif ini, beberapa tugu
mempunyai motif yang berbeda-beda. Mengacu pada detil lambang kabupaten Ponorogo

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 81


yang mempunyai semacam gerbang yang disebut sebagai Gapura Bentar atau Candi Bentar.
Candi bentar atau gerbang Bentar ini lazim kita temui pada wilayah Jawa Timur karena
diprediksi candi ini muncul pertama kali pada jaman Majapahit. Motif ini juga banyak
ditemukan pada beberapa tugu yang bisa kita jumpai pada perbatasan desa Jambon dengan
desa Blembem yang terletak tepat didepan Polsek Jambon.

Gambar 15. Tugu reyog dengan motif sederhana / polos


di wilayah desan Nailan Kecamatan Slahung
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 16. Tugu reyog dengan motif candi Bentar pada perbatasan
anatar desa Jambon dengan desa Blembem kecamatan Jambon
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 17.Lambang Kabupaten Ponorogo yang menggunakan


dadak merak sebagai salah satu bagiannya
Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 82
Sumber: Diolah dari ponorogo.go.id
Pada era ini juga mempunyai bentuk yang berbeda yaitu dadak merak yang dibelah
menjadi dua dengan berbagai ukuran dan bentuknya. Hal ini masih kita jumpai dengan
mudah pada setiap kita memasuki sebuah kawasan desa, kampung, atau daerah tertentu.
Jumlahnya masih banyak dan menyebar sampai kepelosok desa, meskipun sekarang sudah
mulai tergantikan dengan bentuk yang baru. Melihat beberapa artefak atau peninggalan yang
dapat memberikan informasi mengenai waktu pembuatan tugu ini, beberapa tugu dibuat
sekitar tahun 1977. Hal ini dapat ditemukan pada salah satu tugu dengan motif reyog yang
ada di desa Nongkodono Kecamatan Kauman. Dengan demikian, jika ditarik kebelakang
berdasarkan bupati yang memerintah pada waktu itu maka bupati H.Soemadi yang menjabat
pada tahun 1974-1984. Menurut Drs.Jusuf Harsono (pemerhati sosial dan politik Ponorogo)
masa tersebut merupakan era mulai bangkitnya reyog Ponorogo setelah di cap jelek sebagai
antek-antek PKI pada tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, bupati Soemadi berusaha
mengembalikan citra pertunjukkan reyog dengan berusaha mengangkatnya ke pentas nasional
sebagai salah satu budaya khas Jawa Timur yang ditampilkan di Anjungan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII).

Gambar 18. Peta penyebaran tugu dengan bentuk reyog.


Sumber: Diolah dari map: google maps, proses lokasi: Adobe Lightroom

Era Patung Singa (era pemerintahan Bupati DR.H.M.Markum Singodimejo 1994-2004)


Bentuk yang ketiga adalah landmark yang dibangun pada jaman Bupati Markum
Singodimejo. pada jaman ini, bupati Markum Singodimejo membangun dengan massif
beberapa fasilitas publik yang bercirikan langsung reyog ponorogo atau sebagai fasilitas
dalam petunjukkan reyog. Diantaranya adalah panggung utama pertunjukkan yang digunakan
pada setiap Festival Reyog Nasional pada sisi selatan alun-alun kota ponorogo. Disamping
itu, Bupati Markum juga membangun landmark berupa patung-patung singa yang berada
Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 83
pada setiap sisi alun-alun kota Ponorogo. Pada jaman Bupati Markum Singodimejo ini,
pembangunan di Ponorogo sangat pesat yang dilihat dari ciri fisik bangunan yang ada. Paling
fenomenal adalah pembangunan panggung utama alun-alun yang berada disisi selatan alaun-
alun. Hal ini dilakukan oleh bupati Markum karena pada tahun1995, pertunjukkan reyog yang
awalnya hanya sebagai pertunjukkan pentas pada saat bulan Suro atau 1 Muharram berubah
menjadi Festival Reyog dalam skala nasional. Nama pementasan yang awalnya hanya pentas
atau pertunjukkan reyog menjelang 1 suro berubah menjadi Festival Reyog Nasional dengan
memperebutkan Piala Presiden Republik Indonesia. Menurut Drs Budi Satriyo, yang pada
waktu itu menjadi panitia Festival Reyog Nasional mulai tahun 1995-2000, festival ini
mengundang peserta atau grup reyog yang berada diluar Ponorogo, tetapi setiap kecamatan di
wilayah Kabupten Ponorogo wajib untuk ikut serta dalam Festival ini. Adanya Festival reyog
Nasional ini, maka Ponorogo memerlukan sebuah panggung permanen yang dapat
menampung segala aktifitas yang berkaitan dengan pertunjukkan reyog ini. Oleh karena itu
sekitar tahun 1995, dimulailah pembangunan panggung utama pertunjukkan reyog yang
berada disisi selatan alun-alun tersebut. Menurut Setyo Budiono, Humas Pemerintahan
Kabupaten Ponorogo, pembangunan ini berawal dari rasa kurang puasnya bupati Markum
Singodimejo pada panggung semi permanen yang terbuat dari besi yang pada waktu Festival
Reyog Nasional berada disisi utara alun-alun. Panggung-panggung semi permanen atau
bongkar pasang ini kurang leluasa dan untuk gerakan tari dalam jumlah yang besar dengan
bermain konfigurasi tari seperti yang diinginkan.

Gambar 19. Panggung Utama Pertunjukkan Festival Reyog


Nasional yang berada disisi selatan alun-alun
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 84


Setelah selesai dalam pembangunan panggung utama pertunjukkan reyog, bupati
Markum Singodimejo ingin membuat Ponorogo tampil lebh cantik dengan penambahan-
penambahan landmark yang belum ada sebelumnya. Pembangunan landmark ini dibuat
secara besar-besaran dengan ciri khas binatang singa sebagai unsur utama dalam setiap
patung yang ada di alun-alun ponorogo. Menurut Drs Budi Satriyo (badan Arsip Daerah
Kabupaten Ponorogo), bupati Markum Singodimejo ingin menguatkakan karakternya
sebagai figur bupati yang sekuat binatang singa, begitu juga menurut Setyo Budiono (humas
Pemerintah Kabupaten Ponorogo) yang mengatakan bahwa patung-patung singa ini
merupakan representasi dari Bupati Markum Singodimejo yang gagah dan kuat dalam
memerintah Kabuapaten Ponorogo sekaligus penuh kasih sayang layaknya singa menjaga
anaknya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai patung singa yang berada dikawasan
sekitar alun-alun.
Pada sisi selatan alun-alun terlihat patung singa jantan yang berusaha menerkam dan
mengalahkan serigala. Posisi patung singa jantan sudah berada diatas dengan kepala sedikit
mendongak keatas sedangkan kaki kiri depan masih mencengkeranm tubuh serigala yang
berada dibawah kaki singa. Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana
bahwa patung singa jantan ini sudah mengalahkan sarigala yang dianggap musuh.Patung-
patung ini pernah menjadi polemik dimasyarakat yang menentang bianatang singa sebagai
ikon utama kota ponorogo. Dalam kesenian reyog yang kita ketahui, binatang utama dalam
tarian reyog bukanlah singa tetapi harimau. Ciri fisik yang terlihat jelas membuat perbedaan
ini sempat menjadi headline salah satu surat kabar harian terkenal di wilayah karisidenan
Madiun dan sekitar ( Radar Ponorogo 17 November 2014).

Gambar 20.gambar patung singa yang berada disisi selatan


alun-alun dengan adegan sedang menerkam serigala.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 85


Gambar 21. Gambar deretan patung singa didepan pondopo
kabupaten Ponorogo yang sedang dihalau oleh Klanasewandana
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 22. Gambar sosok Dewi Songgolangit


di kompleks Pemkab Ponorogo.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 23. Gambar sosok Bujangganong pada perempatan


Jl. Juanda (perempatan jeruk sing).
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 86


Gambar 24.patung singa didepan Graha Krida Praja gedung
lantai 8 Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 25. Patung sosok Prabu KlanaSewandana


di panggung utama pertunjukkan alun-alun Ponorogo.
Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Gambar 26. Sosok Penari Jathil pada panggung utama alun-alun


Sumber: Diolah dari Dokumentasi Peneliti

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 87


Gambar 27. Peta penyebaran landmark yang dibangun
pada jaman bupati Markum Singodimejo.
Sumber: Diolah dari map: google maps, proses lokasi: Adobe Lightroom

Era Modern (era pemerintahan bupati Muhadi Soeyono (2005-2010) dan Bupati Amin
(2010-2015)
Peneliti memberikan kategori ini karena pembangunan setelah era bupati Markum
Singodimejo tidak ada ciri khusus yang dapat kita lihat pada model tugu atau penanda-
penanda dalam bentuk fisik yang kita temui. Ketogori ini merupakan gabungan dari beberapa
kategori yang berkaitan langsung dengan fasilitas publik yang berhubungan dengan sebuah
identitas kota Ponorogo, terutama pada tugu batas, gerbang masuk dan beberapa penanda
lainnya. Bentuk tugu pada kategori ini mempunyai bentuk yang sangat beragam dan sangat
berbeda antar satu tugu dengan tugu yang lain. Fasilitas berupa tugu batas atau gerbang
masuk ini seakan-akan menghilangkan ciri khas dari reyog itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat
pada beberapa tugu masuk ke beberapa desa yang tidak ada bentuk reyog sama sekali. Ciri
khas reyog dalam bentuk dadak merak atau penari reyog yang sebelumnya bisa kita temui
pada beberapa tugu yang dibangun pada masa pemerintahan bupati Soemadi,Soebarkah dan
Gatot Soemani tidak bisa kita temukan lagi sekarang. Tugu atau gerbang yang dibangun
cenderung menggunaan model yang sedang populer pada saat sekarang yang disebut dengan
model minimalis. Seperti yang terlihat pada gerbang masuk desa Plancungan Kecamatan
Slahung yang menggunakan model minimalis dan modern.
Fenomena gerbang yang berkesan modern ini dapat kita lihat pada bentuknya yang
terkesan sederhana, bersih dan rapi. Unsur modern ditunjukkan dengan model dan ornamen
dari besi mengkilap atau disebut dengan stainless steel. Model ini mulai banyak kita temukan
pada beberapa desa yang tersebar mulai dari dalam kota Ponorogo sampai pinggiran

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 88


kabupaten Ponorogo. Bentuk ini merupakan bentuk modern yang dipengaruhi oleh swadaya
masyarakat sendiri dalam mengkreasi gerbang masuk atau landmark daerah mereka sendiri-
sendiri. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, intelektualitas para perangkat
desa atau tokoh masyarakat setempat. Beragam bentuk dan model yang menjadi gerbang
masuk suatu daerah tanpa adanya unsur reyog merupakan sebuah kondisi dimana masyarakat
sudah mulai kehilangan identitas dan ciri khas masing-masing yaitu reyog Ponorogo. Melihat
lebih jauh fenomena ini, beberapa daerah juga sudah mulai meninggalkan reyog sebagai ciri
utama dari kabupaten ini yaitu reyog. Dominasi kelompok sosial bahkan partai politik sedikit
demi sedikit mulai menggeser keberadaan tugu atau gerbang dengan bentuk reyog ini. hal ini
dapat kita lihat dari beberapa tugu gerbang masuk di selatan kecamatan Bungkal menuju desa
Munggu dengan mencantumkan atau memberikan unsur salah satu partai politik didalamnya.
Kondisi dan gejolak sosial di Ponorogo pada akhir tahun 1990an dan memasuki
tahun 2000an sampai sekarang mempengaruhi beberapa penanda berupa gerbang masuk atau
tugu-tugu tertentu. Dalam hal ini adalah konflik dalam kelompok masyarakat dalam
kelompok olahraga tradisional, pencak silat. Dua kelompok yang dominan merupakan bukan
asli kelompok dari Ponorogo, tetapi kedua kelompok ini mempunyai massa yang sangat
banyak di Ponorogo dengan daerah dan basis massa yang berbeda-beda. Dua kelompok ini
adalah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Persaudaraan Setia Hati Winongo
(PSHW). Sampai beberapa tahun inipun kedua kelompok ini sering berseteru yang
memperebutkan identitas dengan simbolisasi pendirian tugu-tugu ini. Seperti yang dikutip
pada berita tanggal 15 Januari 2013 pada beberapa media seperti televisi dan koran. Pada hari
minggu tanggal 15 Januari 2013 Ratusan pendekar dari dua perguruan pencak silat bentrok di
Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Empat rumah warga rusak
akibat terkena lemparan batu. Sebuah sepeda motor yang kebetulan terparkir di lokasi
bentrokan juga ikut dirusak. Menurut warga bentrok terjadi ketika massa salah satu perguruan
terbesar di Ponorogo tengah berkonvoi. Entah apa pemicunya, tiba-tiba mereka saling lempar
dengan massa perguruan silat lainnya. Untuk menghidari bentrok susulan, ratusan polisi
berjaga di sejumlah titik rawan kerusuhan (Dirgo Suyono, berita liputan 6 pagi SCTV).
Analisa singkat dari berita diatas adalah adanya perebutan identitas yang dalam hal ini adalah
peristiwa perusakan salah satu tugu oleh anggota perguruan yang lain. Dari peristiwa ini
dapat kita lihat bahwa identitas atas komunitas sangat berpengaruh terhadap pola komunikasi,
kondisi sosial serta politik yang mewarnai suatu daerah tersebut.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 89


Gambar 28. Tugu dengan bentuk baru dengan betuk yang
Modern dan minimalis di desa Plancungan kecamatan Slahung.
Sumber: Diolah dari map: google maps, proses lokasi: Adobe Lightroom

Gambar 29. Salah satu gerbang masuk yang mencirikan sebuah


organisasi massa di desa Sendang, Kecamatan Jambon.
Sumber: Diolah dari map: google maps, proses lokasi: Adobe Lightroom

Analisis Interaksionisme Simbolik pada Fasilitas publik di Kabupaten Ponorogo


Melihat lebih jauh dan detil terhadap bangunan yang merupakan fasilitas publik dalam
hal ini adalah landmarkyang terdapat di Kabupaten Ponorogo merupakan sebuah usaha lintas
waktu dan cross culture study. Landmark yang ada diPonorogo merupakan ciri khas dari
sebuah perkembangan tata kota dan tata budaya dari masyarakatnya yang terus berkembang
secara dinamis. Bangunan-bangunan yang dibangun tersebut merupakan sebuah penanda
adanya sebuah lompatan sejarah yang tidak bisa dihapus begitu saja. Layaknya sebuah cincin
pohon yang menandakan usia dari batang pohon tersebut. Bentuk dan simbol yang
terkandung didalamnyapun mempunyai makna dan maksud tersendiri yang disiratkan dalam
wujud bangunan tersebut.
Konsepsi dari Herbert Blumer bahwa manusia bertindak terhadap manusia lainnya

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 90


berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka jika dikaitkan dengan beberapa
kemunculan tanda yang terdapat pada ciri fisik bangunan pada fasilitas umum dapat kita
lihatHerbert Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99). Sebagai contoh jika kita lihat
kebelakang sesuai dengan urutan bupati yang memerintah di Kabupaten Ponorogo, maka
akan ada kesamaam pola dalam nama yaitu didepan namanya terdapat gelar kehormatan
kerajaan yaitu gelar Raden atau didalam penulisan disingkat dengan R. Hal ini bisa kita lihat
pada deretan nama berikut ini R Soesanto Tirtoprodjo ( 1944-1945), R Tjokrodiprojo (1945-
1949), R Prajitno (1949-1951), R Moehammad Mangoendiprdja (1951-1955), R Mahmoed
(1955-1958),R.M. Harjogi (1958-1960), R. Dasoeki Prawirowasito (1960-1967), R. Soejoso
(1967-1968), dan R. Soedono Soekirdjo (1968-1974). Menurut Drs. Budi Satriyo dari Badan
Arsip dan Dokumentasi Pemerintah Kabupaten Ponorogo, pembangunan tugu dengan motif
atau bentuk menyerupai tugu dibangun sebelum era pemerintahan bupati Drs.Soemadi, yang
artinya tugu-tugu ini dibangun pada masa bupati dengan gelar Raden didepan namanya.
Rupanya gelar Raden ini juga mempengaruhi dalam penentuan kebijakan tata kota Ponorogo
waktu itu. Pengetahuan yang diturunkan melalui institusi kerajaan dengan segala makna, tata
cara dan adat istiadat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dalam pembuatan
fasilitas umum diPonorogo. Gelar Raden merupakan gelar kebangsawanan yang diturunkan
melaui garis keturunan dari keluarga raja atau keraton. Mengacu pada jaman-jaman feodal,
yang berhak dalam menduduki jabatan pemerintahan adalah mereka yang mempunyai
keturunan bangsawan, dan salah satu ciri dari keturunan kerajaan atau bangsawan ini adalah
adanya gelar raden atau disingkat R. Meskipun pada saat sekarang gelar ini sudah tidak
berpengaruh lagi terhadap status sosial dimasyarakat.
Setelah era bupati dengan gelar raden, Ponorogo mulai memasuki era pemerintahan
dengan gelar bupati yang menandakan gelar akademis. hal ini dapat dilihat dalam beberapa
nama bupati H. Soemadi (1974-1984),Bupati Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo (1984-
1989),Drs. R. Gatot Soemani (1989-1994), Bupati DR.H.M.Markum Singodimejo (1994-
2004), bupati Muhadi Soeyono (2005-2010) dan Bupati Amin (2010-2015).Nama-nama yang
mendominasi pada masa memasuki tahun 70an gelar Raden didepan nama-nama tersebut
tidak ada, hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang berjalan di Ponorogo sudah
tidak lagi berdasarkan sistem feodal kerajaan yang mengutamakan keturunan. Oleh karena
itu, tugu atau penanda-penanda yang dibangun mengalami beberapa bentuk dan perubahan.
Pada awalnya, tugu yang dibangun menyerupai bentuk candi, mirip dengan bentuk candi-
candi yang ada di daerah mojokerto. Jika kita tarik lebih jauh lagi, maka bentuk ini mirip
dengan bentuk candi-candi pada jaman Majaphit yang banyak ditemukan didaerah Trowulan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 91


Mojokerto dengan ciri khas utama yaitu bangunan tinggi dengan batu bata yang tersusun
rapi.Berbeda dengan candi-candi di Pulau Bali yang mayoritas berbentuk mirip seperti di
Mojokerto tetapi dengan bahan yang terbiat dari batu.
Era pembanguan tugu dengan bentuk candi berakhir seiring dengan berakhirnya masa
pemerintahan dengan bupati bergelar Raden yang disusul dengan bupati-bupati dengan gelar
akademik. Era ini merupakan tonggak sejarah reyog menjadi sebuah ikon dan kebanggaan
tersendiri dari kabupaten Ponorogo. Era tugu dengan bentuk reyog ini mulai marak pada
tahun 1970an pada masa bupati Soemadi (1974-1984). Menurut Drs Jusuf Harsono, pada
masa ini merupakan masa dimana reyog mulai naik daun dalam pementasan-pementasan di
istana negara. Tokoh-tokoh yang terlibat pada masa ini merupakan tokoh-tokoh sentral pada
saat sekarang dalam pemerintahan dan seni budaya ponorogo pada saat sekarang. Diantara
tokoh-tokoh tersebut ada Mbah Tobron dan Mbah Wo Kucing. Kedua tokoh ini merupakan
tokoh sentral dalam perkembangan reyog menuju kancah nasional. Era ini menjadikan reyog
sebagai wujud kesenian tunggal yang hanya ada di Ponorogo saja, meskipun beberapa
kesenian tetap eksis. Hal ini memicu pada beberapa kepentingan dalam pencitraan khususnya
dalam identitas suatu lokasi atau lebih dikenal dengan sebutan landmark. Bentuk-bentuk
bangunan ini mulai muncul pada tahun 1977 seperti yang ada di desa Nongkodono
kecamatan Kauman sampai sekarang tetap dilestarikan, bahkan beberapa mulai membangun
baru dengan bentuk dan kemampuan menerjemahkan kedalam bentuk tiga dimensi patung
mempunyai beberapa bentuk dan karakteristik. Dengan demikian, ketika reyog menjadi
sebuah ikon tersendiri dalam sebuah tata kota, maka peran tokoh sentral dalam pemerintahan
dalam hal ini adalah bupati segera menjadikan Ponorogo sebagai holy Land of Reyog dengan
menjadikan setiap tempat penuh dengan nuansa reyog denga berbagai model dan bentuk serta
ukuran. Kekuatan dari seorang Bupati dalam hal ini sangat mendominasi dan peka terhadap
sebuah identitas yang bisa disimbolkan dengan bentuk bangunan yang sederhana tetapi
sanggup menceritakan sebuah uforia budaya pada jaman tersebut. Eforia budaya pada jaman
tersebut ditandai deang pembangunan tugu dalam bentuk reyog ini yang massif dari pusat
pemerintahan sampai kepelosok desa bahkan warga masyarakatpun antusias membangun
tugu dengan bentuk reyog ini di halaman rumah mereka masing-masing.Memasuki
pemerintahan Bupati Markum Singodimejo yang memerintah Ponorogo pada tahun 1994-
2004, reyog masih menjadi uforia yang semakin dikuatkan dengan adanya Festival Reyog
Nasional. Bupati Markum Singodimejo menggagas Festival Reyog dengan skala nasional
mulai tahun 1995. Hal ini merupakan refleksi dari beberapa pementasan yang menjadi
tontonan wajib dalam setiap perayaan Grebeg Suro yang diselenggarakan oleh beberapa

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 92


bupati sebelumnya. Peluang untuk menjadikan reyog sebagai ikon, identitas serta budaya
yang eksklusif membuat Bupati Markum Singodimejo membangun panggung utama yang
permanen disisi selatan alun-alun Ponorogo. Drs. Budi Satriyo dari Badan Arsip dan
Dokumentasi Pemerintah Kabupaten Ponorogo serta peran sertanya sebagai Panitia serta
ketua umum dalam Festival Reyog Nasional dari tahun 1995 sampai 2013 mengatakan bahwa
bupati Markum sangat mencintai dan antusias terhadap kesenian reyog ini, karena reyog
merupakan aset daerah sekaligus aset nasional dalam bidang seni budaya.
Usaha bupati Markum tidak berhenti sampai pembangunan panggung utama alun-
alun, tetapi berlanjut sampai pembangunan beberapa patung dengan figur binatang pada
setiap sisi alun-alun. Figur binatang ini merupakan figur bianatang singa yang sampai
sekarng masih manjadi polemik dan wacana dalam seni dan budaya ponorogo. Begitu pula
dengan 9 patung singa betina yang ada didepan paseban alun-alun yang menghadap
keselatan. Dua patung singa jantan yang berada di depan pendopo kabupaten serta didepan
gedung lanati 8 yang fenomenal juga menguatkan karakter bupati Markum dalam
pembangunannya. Menurut Setyo Budiyono, Humas Pemerintah Kabupaten Ponorogo,
patung-patung singa ini dibuat sebagai bentuk representasi dari bupati Markum yang nama
belakangnya merupakan Singodimejo. Oleh karena itu, keberhasilan dalam pembangunan
Ponorogo ini, bupati Markum mempunyai prasasti sebagai representasi diri yang diwakilkan
dengan patung binatang singa. Perdebatan ini mewakili konsepsi Blumer yang
mengungkapkan makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Bahkan perdebatan ini
sampai diangkat menjadi headline pada sebuah harian regional Madiun (Jawa Pos Radar
Ponorogo 17 November 2014). Hal ini menjadi sebuah prioses intepretatif tersendiri pada
masyarakat yang ditandai dengan nama-nama grup reyog yang mengikuti Festival. grup-grup
reyog tersebut antara lain Singo Budoyo Kab. Muara Enim,Singo Watu Ireng PT.Bukit Asam
Muara Enim.,Singo Manggolo Kota Balikpapan, Singo Budoyo Kab Pacitan, Singo Joyo Jati
Kota Balikpapan, Singo Mulang Joyo Kota Metro Lampung, Karyo Singo Yudho Kab. Kutai
Kartanegara,Singo Manggolo Mudho kota Malang dan beberapa grup reyog lokal yang
menggunakan nama depan Singo. Hal ini menunjukkan bahwa proses intrepetasi warga
masyarakat mulai terbentuk dengan kuatnya figur atau sosok bupati Markum Singodimejo.
Ditambah lagi dengan ciri khas bangunan dengan wujud singa sebagai representasi bupati
Singodimejo ini. Jauh melihat dengan lebih seksama, sosok binatang singa tidak ada
hubungannya dengan kesenian reyog itu sendiri, karena reyog merupakan representasi dari
binatang harimau atau macan, atau dalam bahasa kawi jawa disebut degan Simo. Binatang
Singa tidak dikenal oleh masyarakat indonesia karena binatang singa ini merupakan binatang

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 93


endemik benua Afrika, sedangkan harimau atau macan merupakan binatang endemik yang
menyebar dari India sampai pulau Jawa. Meskipun kedua binatang ini dari keluarga yang
sama yaitu kucing besar.
Nama-nama yang terpengaruh menjadi nama singo ini lebih dipengaruhi adanya
individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Hal ini
sesuai dengan konsepsi Blumer tentang konsep diri yang berhubungan langsung dengan
proses interaksi yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Desa-desa yang
mempunyai kesenian reyog lebih cenderung menggunakan nama sesuai dengan nama asal
desa masing-masing, tetapi keyataan sekarang lebih banyak desa yang menggunakan nama
yang mengandung unsur “singo” didalam nama kelompoknya.Hal ini juga memberikan
sebuah kesimpulan bahwa orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya
dan sosial yang sesuai dengan konsepsi Blumer. Bukti nyata dari tindakan ini adalah adanya
nama-nama dengan nama “singo”di depan nama grup reyog mereka sendiri-sendiri. Satu
nama yang masih menggunakan nama harimau atau macan adalah grup reyog dari instansi
pendidikan yaitu Simo Budi Utomo, yang arti nama dari Simo itu sendiri adalah harimau atau
macan dalam bahasa jawa Kawi. Pemahaman orang akan pemberian nama ini mengacu pada
sebuah proses interaksi dengan masyarakat atau kondisi sosial yang diciptakan oleh
pemerintahan pada saat itu, terutama pada masa pemerintahan bupati Markum Singodimejo.
Pada era selanjutnya mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Pada era ini
dipimpin oleh Bupati Muhadi Soeyono dan Bupati Amin. Konsepsi Blumer tentang struktur
sosial dihasilkan melalui interaksi sosial merupakan bentuk nyata yang dapat kita lihat
keberadaanya berdasarkan ciri fisik yang bisa kita lihat secara nyata. Bukti adanya struktur
sosial yang sedang berkembang adalah masyarakat mulai mengembangkan struktur organisasi
sosial berdasarkan dominasi kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok dalam persilatan
yang mempunyai dominasi massa terbanyak yang mempunyai kekuasaan membangun tanda
pada suatu tempat. Dominasi kekuasaan bermotifkan dominasi kekuatan massa dengan
berbasis persilatan ini mulai muncul dan marak sekitar tahun 2008 sampai sekarang dan terus
mengalami konflik. Akhir dari konflik ini secara simbolis dapat kita lihat dengan adanya
pembangunan tugu-tugu dengan nama perguruan silat mereka yang menadakan bahwa unsur
pemerintahan dapat dipengaruhi oleh struktur sosial pada sebuah kondisi sosial pada suatu
masyarakat yang diawali dengan interaksi satu orang atau kelompok sosial dangan individu
atau kelompok yang lain.

Penutup

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 94


Dari data yang diperoleh dilapangan dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat
mengarahkan hasil akhir dari penelitian ini. Data dari pemetaan berupa foto geo-tagging
memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam menganalisa lokasi landmark-landmark
tersebut tersebar. Hal ini dapat dijadikan sebuah analisa sendiri yang menghasilkan
kesimpulan bahwa pada jaman sebelum bupati Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo yang
menjadi bupati Ponorogo pada tahun 1984-1989 belum menemukan identitas sesungguhnya
dalam kehidupan sehari-hari dalam pemerintahan, meskipun kesenian reyog pada tahun-tahun
tersebut masih tergolong murni dan belum ada sentuhan-sentuhan kreasi modern seperti
sekarang ini.Kesimpulan selanjutnya pada jaman Drs Soemadi dan Bupati Drs. Soebarkah
inilah mulai muncul ide untuk membuat reyog menjadi sebuah tontonan wajib dalam setiap
perayaan satu Muharram atau 1 syuro dalam penanggalan jawa. Oleh karena itu dalam masa
bupati inilah digalakkan ciri khas kota ponorogo sebagai kota reyog dengan memberikan
identitas reyog yang menjadi nafas utama dalam setiap sendi kehidupan masyarakat desa
maupun kota. Wujud dari kentalnya nuansa reyog adalah dibangunnya tugu atau landmark
dengan bentuk dadak merak yang dibelah menjadi dua bagian yang melambangkan reyog
melebur dalam diri setiap pribadi orang yang melintas gerbang tersebut. Pada waktu bupati
Gatot Sumani yang menjadi bupati Ponorogo tahun 1989-1994 usaha ini diteruskan
meskipun sudah mulai tidak adanya inovasi dan pembangunan yang berarti. Pada tahun 1995
merupakan tahun revolusi bagi pertunjukkan reyog dimana Festival Reyog secara nasional
diadakan pertama kali di Alun-alun kota Ponorogo oleh Bupati Markum Singodimejo.
Dengan adanya Festival Reyog Nasional inilah,laju perekonomian, politik dan sosial budaya
juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Dibangunnya gedung pemerintahan
Kabupaten dengan lantai 8 merupakan sebuah peristiwa yang fenomenal untuk ukuran kota
kecil seperti ponorogo ini. begitu pula dengan pembangunan landmark berupa patung-patung
singa yang ada diseputar alun-alun dan halaman pendopo kabupaten Ponorogo.
Kesimpulan sederhana dari peristiwa diatas adalah pembangunan landmark
diponorogo didasari beberapa kepentingan seperti politik, ekonomi dan kepentingan-
kepentingan lain dibelakangnya. Pembangunan landmark yang dianggap berhasi dalam
melestarikan identitas dan cirikhas ponorogo sebagai kota reyog dimulai dari Bupati Drs.
Soebarkah yang mencetuskan pembangunan landmark berupa reyog pada seluruh element
dari kota sebagai pusat keuasaan dan pemerintahan serta desa sebagai pemerintahan lokal
yang mengawal warganya dari tingkat terendah dalam sususan kehidupan bermasyarakat.
Bupati Markum dianggap berhasil dalam mengembangkan kesenian reyog, tetapi beberapa
budayawan cenderung menolak dengan tegas adanya patung-patung singa yang tidak

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 95


mencirikan reyog, karena pada dasarnya reyog merupakan kepala harimau, bukan singa.
Sebagai kota dengan sebutan kota reyog, kabupaten ponorogo sebenarnya cukup disegani
dalam tatanan budaya di Jawa Timur bagian barat serta sebagai khasanah budaya nasional
yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, pihak – pihak yang berkepentingan seperti
dinas kebudayaan merupakan ujung tombak dalam menjaga ciri khas, identitas dan
keberlangsungan budaya ini. Pembangunan-pembangunan fasilitas publik hendanya
memperhatikan aspek kekayaan budaya sendiri bukan didasarkan kepentingan politk,
ekonomi ataupun dominasi sebuah organisasi masyarakat. Hal ini sudah terlihat dengan
semakin berkurangknya jumlah landmark yang menggambarkan reyog secara seutuhnya.
Dengan demikian semakin menambah kekhawatiran kelak anak cucu kita adakan melihat
reyog hanya sebagai pertunjukkan saja, bukan sebagai bagian hidup dalam kehidupan sehari-
hari
Daftar Pustaka
Abdulsyani. (1992). Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.

Cleary, S. (2009). Communication:A Hand –On Approach. Lansdowne: Juta and co ltd.

Dahlan, A. (1983). Budaya Komunikasi di Indonesia : Beberapa pengamatan, Makalah yang


disampaikan pada seminar/diskusi tentang budaya komunikasi dan permasalahannya
di Indonesia. Jakarta: LPKN-LIPI.

Griffin, E. (2012). A First Look At Communication Theory. 8th edition . New York: Mac
GrawHill.

Gutierrez, J. (2009). Oral Communication: A content-Based And Learning Centered Text-


manual In Effective Speech Communication.Second Edition. Philipines: Katha
Publishing Co, INC.

Hall, E. T. (1976). Beyond Culture. new york: Doubleday.

Hong, Y., & Chiu, C. (2006). Social Psycology of Culture. New York: Psycology Press.

Kluckholm, C., & Kroeber, A. (2005). “Culture: A Critical Review of Concepts and
Definitions,” Harvard University Peabody Museum of American Archeology and
Ethnology Papers. In L. A. Samovar, R. E. Porter, & E. R. McDaniel, Communication
Between Cultures (p. 181). Boston: Wadsworth Cengage Learning.

Moleong, L. J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Mulyana, D. (2008). Ilmu Komunikasi:Suatu Pengantar. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Rosengren, K. E. (2000). Communication. An Introduction. London: SAGE Publication Ltd.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 96


Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2009). Communication Between Cultures.
Boston: Wadsworth Cengage Learning.

Steinberg, S. (1995). Introduction to Communication Course Book 1: The Basics. . Cape


Town. South Africa: Juta & co Ltd.

Storti, C. (2011). Culture Matters.The Peace Corps Cross-Cultural Workbook. Peace


Corps,US.

Sunarwinandi, I. (2000). Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-
ilmu Sosial Universitas Indonesia.

Wiryanto. (2004). pengantar ilmu komunikasi. jakarta: grasindo.

Wood, J. T. (2013). Communication in Our Lives.Sixth Edition. Boston USA: Wadsworth


Cengage Learning.

ANALISA MELEK POLITIK WARGA PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014


Studi Kasus: Desa Jerukwudel dan Desa Karangawen Kecamatan Girisubo Kabupaten
Gunungkidul DIY
Rosalia Widhiastuti Sri Lestari
Dosen di Universitas Gunung Kidul Yogyakarta
Email: rosalia_widhiastuti@yahoo.co.id

Abstract
Election, collectively is an instrument embody sovereignty of people intend to create
government and articulate absah of their opinions and also the interests of the people , the
election is requisite at least for the democracy and held by choosing the house of
representatives .Based on data the ballot of its election in 2014 in kabupaten gunungkidul so
prosentase participation or presence of voters legislative elections by 2014 470.455 or 78.53
% of 591.600 DPT (election in the 2014) year. For the gunungkidul in the legislative
elections and presidential election 2014 period , public participation is quite high between 73
% to 84 % in each subdistrict .Participation in the presence of voters in legislative elections
the highest of 83 % the sub wonosari and presence of voters in legislative elections the lowest
of 73,04 % the sub girisubo. While the absence of the lowest in district wonosari of 16,89 %
and the absence of the highest in district girisubo at 26,96 % .partisipasi political people are
usually are to social basis - particular political base. The same base will get people to
participate hence can dilkelompokkan over, first, class, namely individu-individu involved in
political participation because have social status, income and lapngan the same job, both,
communal group, namely individuals engaged having tribe, religion, race and the same
language.Third, neighborhood the individuals engaged because have residence adjacent to
each other, fourth, faction, the individuals engaged in participation because they united by
private inetraksi very high each other yang.literarasi politics was, practical understanding
on the concept “ taken from the day to “ day and language.One of the politics of cultural
political prominent in indonesia tendency the formation of links between patronage , both for

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 97


the and the community. There are two individuals in this culture the patron and client that
make interaction timbale back with exchange resources masing-masing parties. Patron with
the resources of power, position, protection, attention and often of material, while clients with
the resources of energy, support, and loyaltyThis tendency patronage can be determined
widely both in the bureaucracy and in the masyarakat.penelitian it uses a qualitative
methodology the case study commonly used for exposing and understand something behind a
little was found and give details on the phenomena complex difficult expressed by
quantitative methods. A population that used in this research was people were enrolled in
regular voters (DPT) in the village jerukwudel and karangawen in girisubo, gunungkidul
district.
Password: Election, Participation, Literate Political, Patronage.

Abstrak
Pemilu, secara umum adalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang
bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi
dan juga kepentingan rakyat, pemilu adalah syarat minimal bagi adanya demokrasi dan
diselenggarakan dengan memilih wakil rakyat. Berdasar data hasil perolehan suara pemilu
tahun 2014 di Kabupaten Gunungkidul maka prosentase partisipasi atau kehadiran pemilih
Pemilu Legislatif 2014 sebesar 470.455 atau 78.53% dari 591.600 DPT (Pemilu dalam
angka tahun 2014). Untuk masyarakat Gunungkidul dalam pelaksanaan Pemilihan Legislatif
maupun Pemilihan Presiden periode 2014, tingkat partisipasi masyarakatnya cukup tinggi
yaitu antara 73% sampai dengan 84% di setiap kecamatan. Partisipasi dalam kehadiran
pemilih pada pemilu legislatif yang paling tinggi sebesar 83% yaitu di Kecamatan Wonosari
dan kehadiran pemilih pada pemilu legislatif yang terendah sebesar 73,04% yaitu di
kecamatan Girisubo. Sedangkan ketidakhadiran paling rendah di Kecamatan Wonosari
sebesar 16,89% dan ketidakhadiran paling tinggi di Kecamatan Girisubo yang mencapai
26,96%. Partisipasi politik masyarakat biasanya juga bersumber pada basis- basis sosial
politik tertentu. Basis yang sama akan mendorong orang untuk berpartisipasi oleh karena itu
bisa dilkelompokkan atas, Pertama, kelas, yaitu individu-individu yang terlibat dalam
partisipasi politik karena memilki status sosial, income dan lapngan pekerjaan yang sama,
Kedua, communal group, yaitu individu yang terlibat karena memiliki suku, agama, ras dan
bahasa yang sama. Ketiga, neighborhood yaitu individu – individu yang terlibat karena
memiliki tempat tinggal yang berdekatan satu sama lain, Keempat, faction, yaitu individu –
individu yang terlibat dalam partisipasi karena mereka disatukan oleh inetraksi pribadi yang
sangat tinggi satu sama lain yang.Literarasi Politik adalah, pemahaman praktis tentang
konsep – konsep yang diambil dari kehidupan sehari – hari dan bahasa. Salah satu budaya
politik termasuk budaya politik yang menonjol di Indonesia yaitu kecenderungan
pembentukan pola hubungan patronase, baik di kalangan penguasa maupun masyarakat.
Ada dua individu dalam budaya ini yaitu patron dan klien yang membuat interaksi timbale
balik dengan tukar menukar sumber daya masing-masing pihak. Patron mempunyai sumber
daya berupa kekuasaan,kedudukan, perlindungan, perhatian dan tidak jarang berupa materi,
sedangkan klien mempunyai sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas.
Kecenderungan patronase ini dapat ditentukan secara luas baik dalam lingkungan birokrasi
maupun dalam kalangan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan studi kasus yang biasa digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu
dibalik fenomena yang sedikit baru diketahui dan memberi rincian yang kompleks tentang
fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. populasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
di desa Jerukwudel dan Karangawen Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul.
Kata kunci : Pemilu, Partisipasi, Melek Politik, Patronase.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 98


Pendahuluan
Pemilihan umum (pemilu) adalah sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang
aspiratif, berkualitas dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Pemilihan Umum tersebut menjamin tersalurnya suara rakyat. Di Indonesia
sampai saat ini ada beberapa pemilihan umum, seperti Pemilihan Umum untuk legislatif
tingkat Nasional (DPR), DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Pemilihan Umum
Presiden, dan Pemilihan Umum tingkat Daerah untuk pemilihan Bupati/Walikota. Di tingkat
desa dilakukan pesta demokrasi untuk memilih seorang Kepala Desa yang disebut dengan
PILKADES (Pemilihan Kepala Desa). Pemilihan umum merupakan suatu pencerminan dari
sistem demokrasi, dengan dilakukannya pemilihan umum dianggap dapat menyuarakan suara
rakyat yang sesungguhnya. Berdasarkan ketentuan pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD tingkat Propinsi, ataupun
DPRD tingkat Kabupaten Kota. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Pemilihan Umum
adalah sarana pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung Umum
Bebas, Jujur, dan Adil dalam kesatuan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang – Undang Dasar 1945.
Berdasar data hasil perolehan suara pemilu tahun 2014 di Kabupaten Gunungkidul
maka prosentase partisipasi atau kehadiran pemilih Pemilu Legislatif 2014 sebesar 470.455
atau 78.53% dari 591.600 DPT (Pemilu dalam angka tahun 2014). Untuk masyarakat
Gunungkidul dalam pelaksanaan Pemilihan Legislatif maupun Pemilihan Presiden periode
2014, tingkat partisipasi masyarakatnya cukup tinggi yaitu antara 73% sampai dengan 84%
di setiap kecamatan. Partisipasi dalam kehadiran pemilih pada pemilu legislatif yang paling
tinggi sebesar 83% yaitu di Kecamatan Wonosari dan kehadiran pemilih pada pemilu
legislatif yang terendah sebesar 73,04% yaitu di kecamatan Girisubo. Sedangkan
ketidakhadiran paling rendah di Kecamatan Wonosari sebesar 16,89% dan ketidakhadiran
paling tinggi di Kecamatan Girisubo yang mencapai 26,96%. Tingkat kehadiran dan
ketidakhadiran dalam pemungutan suara merupakan cerminan dari tingkat partisipasi
masyarakat dalam mensukseskan Pemilu. Daerah dengan tingkat partisipasi yang tinggi
merupakan daerah yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan yaitu Kecamatan Wonosari.
Namun Kecamatan Girisubo, menurut data KPUD Kabupaten gunungkidul diketahui tingkat
partisipasi warga Kecamatan Girisubo tercatat terendah dalam pemilu legislatif dan presiden
2014 sebesar 73,04%.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 99


Perilaku demokrasi yang tercermin dari perilaku pemilih dipengaruhi oleh nilai-nilai
dan pengetahuan tentang segala hal yang terkait tentang partai politik dan calon yang
diusungnya. Melek Politik atau Literasi Politik adalah bauran kompleks dari praktek –
praktek sosial yang memungkinkan orang untuk menjadi warga negara yang aktif dan efektif.
(Catherine Macrae dkk; 2006).Terdapat keyakinan bahwa tingkat melek politik warga
berpengaruh pada sikap dan perilaku politik warga negara. Muaranya adalah pada tingkat
kedewasaan perilaku berdemokrasi. Relasi itu bersifat perbandingan lurus, yaitu semakin
tinggi tingkat melek politik warga semakin matang perilaku demokrasinya, dan sebaliknya.
Dengan kata lain, wajah demokrasi sebuah negara sebagian ditentukan oleh tingkat melek
politik warganya.
Sasaran utama penelitian ini adalah mengkaji seberapa dalam melek politik warga
dalam pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Gunungkidul. Kegiatan yang
masih merupakan bagian dari riset partisipasi pemilih Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Lokasi yang dipilih untuk penelitian adalah Desa Jerukwudel dan Desa Karangawen
Kecamatan Girisubo Kabupaten Gunungkidul. Daerah tersebut dipilih karena pertimbangan
angka partisipasi pemilihnya yang paling rendah di Kabupaten Gunungkidul pada Pemilu
legislatif tahun 2014 dan berada di daerah perbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah
(Kabupaten Wonogiri). Hal ini tentunya cukup menarik untuk dikaji terutama mengenai
tingkat melek politk warga.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dalam penelitian ini
dirumuskan beberapa pertanyaan :
1. Bagaimana perilaku demokrasi masyarakat di Kabupaten Gunungkidul khususnya di Desa
Jerukwudel dan Desa Karangawen Kecamatan Girisubo pada pemilu legislatif 2014?
2. Bagaimana tingkat melek politik warga selama ini terbentuk di Desa Jerukwudel dan Desa
Karangawen?

Pembahasan
Kajian Pustaka
Pemilu, secara umum adalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang
bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan
juga kepentingan rakyat (Tricahyo,2009:6) Sedangkan menurut Soedarsono (2005, dalam
Tricahyo,2009) pemilu adalah syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakan
dengan memilih wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis. Pemilu merupakan pranata terpenting suatu negara demokratis terlebih bagi
negara yang berbetuk Republik, seperti negara Indonesia. Pranata itu berfungsi untuk

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 100


memenuhi tiga prinsip demokrasi yaitu Kedaulatan rakyat, Keabsahan Pemerintah, dan
Pergantian pemerintahan secara teratur (Fadjar, 2013:1)
Pemilu Legislatif tahun 2014 ini memilih 560 anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten / Kota) se-
Indonesia periode 2014-2019. Di Indonesia terdapat dua lembaga Legilatif nasionalyaitu:
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan
badan yang sudah ada didirikan berdasarkan UUD 1945 dan DPD yang dibentuk pada tahun
2001 adalah lembaga perwakilan baru yang secara konstitusional dibentuk melalui
amandement UUD 1945. Akan tetapi hanya DPR yang melaksanakan fungsi secara penuh,
DPD memiliki mandat yang lebih terbatas. Gabungan kedua lembaga ini disebut dengan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari perwakilan DPR dan DPD yang dipilih untuk
jangka waktu lima tahun. DPR terdiri dari 560 anggota yang berasal dari 77 daerah
perwakilan majemuk (multi member electoral districts). Yang memiliki 3 sampai 10 kursi per
daerah pemilihan (tergantung populasi penduduk dapil terkait) yang dipilih melalui sistem
proporsional terbuka. DPD memilki 132 perwakilan, yang terdiri dari 4 orang dari masing –
masing propinsi. Yang dipilih melalui sistem mayoritarian dengan varian distrik berwakil
banyak. Sedangkan DPRD Propinsi (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi) terdiri dari
34 provinsi, masing – masing berjumlah 35 sampai 100 anggota, tergantung populasi
pneduduk provinsi yang bersangkutan.
Salah satu indikator keberhasilan penyelenggaraan pemilu, baik Pemilu Presiden,
Pemilu Legislatif dan termasuk pemilukada langsung adalah tingkat partisipasi masyarakat.
Dalam hal ini orang akan menganggap semakin tinggi tingkat partisipasi dalam pemilu maka
berarti semakin berhasil, demikian juga sebaliknya semakin rendah partisipasinya maka tidak
berhasil (Budiarjo, M :1998). Dengan kata lain, adanya (golongan putih) GOLPUT, warga
yang terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) tetapi tidak hadir, DPT hadir tetapi tidak
menggunakan hak pilihnya, adanya suara tidak sah, dan sebagainya merupakan suatu
permasalahan dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
Partisipasi politik adalah setiap tindakan sukarela, yang berhasil dan yang gagal, yang
terorganisir atau tidak, kadang – kadang atau terus menerus, menggunakan cara-cara yang sah
ataupun tidak, untuk mempengaruhipilihan – pilihan kebijakan pemerintah, penyelenggaraan
pemerintah, atau pemilihan kepada para pemimpin politik dan pemerintahan pada tingkat
nasional atau local (Putranto, Sahdan dan Haboddin, 2009:223). Sedangkan Milbrath dan
Goel membedakan partisipasi pemilih menjadi beberapa kategori: Pertama, apatis. Artinya
orang tidak berpartisipasi dan menarik diri dalam proses politik. Kedua, spectator, artinya

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 101


orang yang pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga Gladiator, artinya mereka
yang secara aktif terlibat dalam proses politik seperti komunikator, apesialis, mangadakan
kontak tatap muka, aktivis partai, dan peserta kampanye dan aktivis masyarakat, keempat
pengkritik (dalam Sahdan dan Haboddin,2009:234)
.Pendapat lain tentang partisipasi politik (menurut Hutington dan Nelson, dikutip
dalam Inu kencana Syafei) bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga masyarakat sipil
(private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif
dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi kebijakan Pemerintah (Budiarjo dalam Faturrohman dan
Sabari)
Masih menurut Affan Gafar, partisipasi politik masyarakat biasanya juga bersumber
pada basis- basis sosial politik tertentu. Basis yang sama akan mendorong orang untuk
berpartisipasi oleh karena itu bisa dilkelompokkan atas, Pertama, kelas, yaitu individu-
individu yang terlibat dalam partisipasi politik karena memilki status sosial, income dan
lapngan pekerjaan yang sama, Kedua, communal group, yaitu individu yang terlibat karena
memiliki suku, agama, ras dan bahasa yang sama. Ketiga, neighborhood yaitu individu –
individu yang terlibat karena memiliki tempat tinggal yang berdekatan satu sama lain,
Keempat, faction, yaitu individu – individu yang terlibat dalam partisipasi karena mereka
disatukan oleh inetraksi pribadi yang sangat tinggi satu sama lain yang ditopang pola
hubungan yang bersifat clientilistic (dalam Sahdan dan Haboddin,2009:234)
Partisipasi politik menurut Mc Closky (1972:252) adalah kegiatan – kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui hal mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, berpartisipasi dalam proses
pembuatan kebijakan umum. Partisipasi politik dapat dibagi menjadi partisipasi aktif dan
partisipasi pasif. Partispasi aktif merupakan kegiatan mengajukan usul mengenai suatu
kebijakan, menagajukan kritik terhadap suatu kebijakan, membayar pajak, dan memilih
pemimpin atau pemerintahan. Partisispasi pasif merupakan kegiatan yang menaati
pemerintah, menerima dan melaksanakan apa saja yang diputuskan pemerintah. Selain itu ada
model yang lain, yaitu golongan putih (golput). Tingginya perilaku politik aktif menunjukkan
indikator kedewasaan perilaku demokrasi.
Untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dapat dilihat dari
beberapa hal, yaitu: 1).Terdaftarnya sebagai pemilih tetap (DPT) dengan terdaftarnya ia
punya kesempatan untuk ikut menetukan masa depan bangsa dan negara setidaknya melalui
kesertaanya dalam pemilu. (2) Keterlibatannya dalam kampanye baik sebagai tim sukses,

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 102


peserta, pengawas maupun pemantau pemilu dengan keikutsertaanya bisa mengarahkan
pemilih lebih kepada kandidat yang berkualitas bukan hanya karena pertemanan (3)
keterlibatan dengan memberikan suara pada hari pencoblosan.
Pengertian dari melek politik adalah sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan
yang ditujukan untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan adalah suatu alat yang diperlukan untuk meraih hak dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaan itu sendiri tidak dijalankan begitu saja, akan
tetapi dibutuhkan suatu pemahaman dan pengetahuan untuk dapat dijalankan dengan
sebagaimana mestinya. Melek politik ini adalah fondasi yang paling penting dalam
membangun suatu bangsa dan negara. Akan lebih baik jika suatu bangsa ini dibangun dan
digerakkan oleh seluruh elemen masyarakat yang terlibat secara aktif, ketimbang hanya
digerakkan oleh sekelompok tertentu. Peran politik dari masyarakat ini sangat menentukan ke
mana arah layar dan kemudian mesti digerakkan baik ketika laut sedang tenang, atau
mungkin sedang bergejolak (Rahmad Abd Fatah, 2009).
Di beberapa artikel dan buku, Istilah melek politik sering disamakan dengan istilah
literasi politik (political literacy). Menurut pandapat Benard Crick (2000:61) dalam
tulisannya Essays on Citizenship definisi dasar tentang Literarasi Politik adalah, pemahaman
praktis tentang konsep – konsep yang diambil dari kehidupan sehari – hari dan bahasa.
Merupakan upaya memahami seputar isu utama politik, apa keyakinan utama para konsestan,
bagaimana kecenderungan mereka mempengaruhi diri anda dan saya. Singkatnya, literasi
politik merupakan senyawa dari pengetahuan, ketrampilan dan sikap.Crick menegaskan
literasi politik lebih luas melainkan cara “membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan
publik” dan mendorong menjadi lebih aktif, partisipatif, dalam melaksanakan hak dan
kewajiban baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di
arena publik yang sifatnya suka rela.
Melek politik menurut Jenni S Bev, literasi politik mengacu kepada seperangkat
ketrampilan yang diperlukan bagi warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
masyarakat. Berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum, melek politik dapat dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu melek prosedural dan melek substansial. Melek prosedural antara lain
memahami regulasi kepemiluan, memahami proses penyelenggaraan pemilu, dan memahami
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Melek substansial antara lain
memahami esensi pemilu dalam demokrasi, memahami urgensi partisipasi politik, memahami
penyakit politik yang harus dihindari, memahami substansi isi kampanye politik, serta
memilih dan memilah dalam pemberian suara.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 103


Terkait dengan pemilihan umum, sejak Juni 2004 Bangsa Indonesia memasuki babak
baru dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui prorses langsung. Hal ini
menunjukkan memalui lansung berarti mengembalikan “hak- hak dasar masyarakat di
daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekruetmen politik lokal
secara demokratis, seperti dinyatakan dalam Undang – Undang No. 15 tahun 2011. Tentang
Penyelenggaraan Pemilu, Pasal 1 (ayat 11) bahwa Gubernur , Bupati dan Walikota adalah
pilihan untuk memilih Gubernur, walikota/Bupati secara demokratis dalam Negara Kesatuan
Pancasila dan UUD 1945. Negara memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah
untuk menentukan sendiri segala bentuk kebijakan menyangkut harkat hidup rakyat daerah
(Prihantoko, Joko)
Di Indonesia peranan lingkungan sosial tampaknya masih besar apabila dibandingkan
dengan keluarga batih, terutama pada lapisan, menengah dan bawah (Soekanto, 2009).
Bahkan dapat dikatakan bahwa faktor-faktor eksternal lebih besar peranannya dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Hal ini tidak saja berkaitan dengan pola hidup spiritual,
akan tetapi juga aspek materiilnya. Lingkungan sosial tersebut secara sederhana dapat
dibedakan antara lingkungan pendidikan formal, pekerjaan dan tetangga./ kekerabatan.
Kelompok kekerabatan merupakan suatu kelompok yang anggota-anggotanya
memiliki hubungan darah atau persaudaraan. Kelompok sosial inilah yang mula-mula muncul
sebagai unit pergaulan hidup bagi manusia. Bahkan di Indonesia diantara berbagai suku yang
ada, kelompok kekerabatan masih berfungsi secara kuat terhadap kepribadian manusia.
Kepribadian tersebut mencakup pola interaksi, sistem nilai-nilai, pola pikir, pola sikap, pola
tingkah laku maupun sistem kaidah-kaidah. Kelompok tersebut masih sangat kuat terutama
pada masyarakat-masyarakat bersahaja-tradisional. Masyarakat ini banyak terdapat di
wilayah pedesaan. Di Indonesia terutama di kota – kota pengaruh keluarga batih terhadap
anak besar sekali, sedangkan di wilayah pedesaan biasanya kelompok kekerabatan yang
berpengaruh.Walaupun demikian, pengaruh kelompok kekerabatan di wilayah pedesaan
biasanya juga berlangsung lewat keluarga batih (Soekanto, 2009).
Pengertian dari melek politik adalah sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan
yang ditujukan untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan adalah suatu alat yang diperlukan untuk meraih hak dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaan itu sendiri tidak dijalankan begitu saja, akan
tetapi dibutuhkan suatu pemahaman dan pengetahuan untuk dapat dijalankan dengan
sebagaimana mestinya. Melek politik ini adalah fondasi yang paling penting dalam
membangun suatu bangsa dan negara. Akan lebih baik jika suatu bangsa ini dibangun dan
digerakkan oleh seluruh elemen masyarakat yang terlibat secara aktif, ketimbang hanya

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 104


digerakkan oleh sekelompok tertentu. Peran politik dari masyarakat ini sangat menentukan ke
mana arah layar dan kemudian mesti digerakkan baik ketika laut sedang tenang, atau
mungkin sedang bergejolak (Rahmad Abd Fatah, 2009).
Di beberapa artikel dan buku, Istilah melek politik sering disamakan dengan istilah
literasi politik (political literacy). Menurut pandapat Benard Crick (2000:61) dalam
tulisannya Essays on Citizenship definisi dasar tentang Literarasi Politik adalah, pemahaman
praktis tentang konsep – konsep yang diambil dari kehidupan sehari – hari dan bahasa.
Merupakan upaya memahami seputar isu utama politik, apa keyakinan utama para konsestan,
bagaimana kecenderungan mereka mempengaruhi diri anda dan saya. Singkatnya, literasi
politik merupakan senyawa dari pengetahuan, ketrampilan dan sikap.Crick menegaskan
literasi politik lebih luas melainkan cara “membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan
publik” dan mendorong menjadi lebih aktif, partisipatif, dalam melaksanakan hak dan
kewajiban baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di
arena publik yang sifatnya suka rela.
Melek politik menurut Jenni S Bev, literasi politik mengacu kepada seperangkat
ketrampilan yang diperlukan bagi warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
masyarakat. Berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum, melek politik dapat dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu melek prosedural dan melek substansial. Melek prosedural antara lain
memahami regulasi kepemiluan, memahami proses penyelenggaraan pemilu, dan memahami
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Melek substansial antara lain
memahami esensi pemilu dalam demokrasi, memahami urgensi partisipasi politik, memahami
penyakit politik yang harus dihindari, memahami substansi isi kampanye politik, serta
memilih dan memilah dalam pemberian suara.
Terkait dengan pemilihan umum, sejak Juni 2004 Bangsa Indonesia memasuki babak
baru dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui prorses langsung. Hal ini
menunjukkan memalui lansung berarti mengembalikan “hak- hak dasar masyarakat di
daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekruetmen politik lokal
secara demokratis, seperti dinyatakan dalam Undang – Undang No. 15 tahun 2011. Tentang
Penyelenggaraan Pemilu, Pasal 1 (ayat 11) bahwa Gubernur , Bupati dan Walikota adalah
pilihan untuk memilih Gubernur, walikota/Bupati secara demokratis dalam Negara Kesatuan
Pancasila dan UUD 1945. Negara memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah
untuk menentukan sendiri segala bentuk kebijakan menyangkut harkat hidup rakyat daerah
(Prihantoko, Joko)
Di Indonesia peranan lingkungan sosial tampaknya masih besar apabila dibandingkan
dengan keluarga batih, terutama pada lapisan, menengah dan bawah (Soekanto, 2009).

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 105


Bahkan dapat dikatakan bahwa faktor-faktor eksternal lebih besar peranannya dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Hal ini tidak saja berkaitan dengan pola hidup spiritual,
akan tetapi juga aspek materiilnya. Lingkungan sosial tersebut secara sederhana dapat
dibedakan antara lingkungan pendidikan formal, pekerjaan dan tetangga./ kekerabatan.
Kelompok kekerabatan merupakan suatu kelompok yang anggota-anggotanya
memiliki hubungan darah atau persaudaraan. Kelompok sosial inilah yang mula-mula muncul
sebagai unit pergaulan hidup bagi manusia. Bahkan di Indonesia diantara berbagai suku yang
ada, kelompok kekerabatan masih berfungsi secara kuat terhadap kepribadian manusia.
Kepribadian tersebut mencakup pola interaksi, sistem nilai-nilai, pola pikir, pola sikap, pola
tingkah laku maupun sistem kaidah-kaidah. Kelompok tersebut masih sangat kuat terutama
pada masyarakat-masyarakat bersahaja-tradisional. Masyarakat ini banyak terdapat di
wilayah pedesaan. Di Indonesia terutama di kota – kota pengaruh keluarga batih terhadap
anak besar sekali, sedangkan di wilayah pedesaan biasanya kelompok kekerabatan yang
berpengaruh.Walaupun demikian, pengaruh kelompok kekerabatan di wilayah pedesaan
biasanya juga berlangsung lewat keluarga batih (Soekanto, 2009).
Almond dan Verba (dalam Martono, 2014) mendefinisikan budaya politik sebagai
sebuah sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada dalam sistem tersebut. Masih
menurut Almond dan Verba (dalamMartono, 2014) budaya politik berdasarkan dimensi
tersebut antara lain: 1) Budaya politik parokial, bila masyarakat memiliki frekuensi orientasi
terhadap empat dimensi tersebut mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali; 2)
Budaya politik subjek, bila frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang
berbeda secara khusus, dan masyarakat menjadi partisipan yang aktif; 3) Budaya politik
partisipan, bila masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit dalam sistem politik
sebagai keseluruhan serta dalam struktur dan proses politik yang administratif.
Salah satu budaya politik termasuk budaya politik yang menonjol di Indonesia yaitu
kecenderungan pembentukan pola hubungan patronase, baik di kalangan penguasa maupun
masyarakat(James C Scot 1972, Gaffar dalam Martono, 2014). Ada dua individu dalam
budaya ini yaitu patron dan klien yang membuat interaksi timbale balik dengan tukar
menukar sumber daya masing-masing pihak. Patron mempunyai sumber daya berupa
kekuasaan, kedudukan, perlindungan, perhatian dan tidak jarang berupa materi, sedangkan
klien mempunyai sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan loyalitas. Kecenderungan
patronase ini dapat ditentukan secara luas baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam
kalangan masyarakat.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 106


Data
Kecamatan Girisubo terdiri dari delapan (8) desa, yang meliputi Desa Balong, Jepitu,
Karangawen, Tileng, Nglindur, Jerukwudel, Pucung, dan Songbanyu. Lokasi penelitian ini
mengambil desa Karangawen dan Desa Jerukwudel.Adapun untuk luas masing-masing desa
dan persentase luas desa terhadap Kecamatan Girisubo bisa dilihat pada tabel di bawah 4.1

Tabel 4.1
Luas Desa dan Persentase Luas Desa Kecamatan GirisuboTahun 2013
Luas Desa Persentase Luas Desa Terhadap
No. Nama Desa
(Ha) Luas Kecamatan (%)
1 Balong 1.093,60 11,60219822
2 Jepitu 1.673,40 17,75340024
3 Karangawen 629,9 6,682721891
4 Tileng 1.699,80 18,03348257
5 Nglindur 714,4 7,579197522
6 Jerukwudel 618,50 6,56177725
7 Pucung 1.442,60 15,30480171
8 Songbanyu 1.553,60 16,48242059
Jumlah 9.425,80 100
Sumber : Kecamatan Girisubo Dalam Angka, 2014
Desa Jerukwudel merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Girisubo
dengan luas desa 618,50 Ha. Berdasarkan estimasi Sensus Penduduk 2010 - BPS Kabupaten
Gunungkidul tahun 2010, jumlah penduduk wilayah Desa Jerukwudel tahun 2013 adalah
1.581 jiwa yang terdiri dari 758 jiwa laki – laki dan 823 jiwa perempuan. Sedangkan jumlah
penduduk wilayah Desa Karangawen tahun 2013 adalah 1.482 jiwa yang terdiri dari 703 jiwa
laki – laki dan 779 jiwa perempuan.
Wilayah Kecamatan Girisubo terdiri dari 82 dusun, 82 RW, dan 253 RT. Secara detail
jumlah RT, RW, dan dusun di delapan desa bisa dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3
Jumlah Dusun, RW, dan RT di Kecamatan GirisuboTahun 2013
Jumlah
No. Nama Desa
Dusun RW RT
1 Balong 9 9 47

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 107


2 Jepitu 10 10 38
3 Karangawen 8 8 17
4 Tileng 16 16 49
5 Nglindur 8 8 24
6 Jerukwudel 8 8 21
7 Pucung 10 10 31
8 Songbanyu 13 13 27
Jumlah 82 82 253
Sumber : Kecamatan Girisubo Dalam Angka, 2014

Daftar pemilih Kecamatan Girisubo terdiri dari Daftar Pemilih Tetap sejumlah 30.156
orang (di delapan desa) dan Daftar Pemilih Khusus 140 orang (di tujuh Desa). Selain itu DPT
ada di 72 (tujuh puluh dua TPS) dan DPK ada di 32 (tiga puluh dua) TPS.
Tabel 4.6
Daftar Pemilih Kecamatan Girisubo
JUMLAH JUMLAH JUMLAH PEMILIH
JENIS DAFTAR PEMILIH
DESA TPS L P L+P
DAFTAR PEMILIH TETAP 8 72 14.841 15.315 30.156
DAFTAR PEMILIH 7 32 70 70 140
KHUSUS
Sumber : Pemilu Tahun 2014 Dalam Angka

Daftar calon tetap Pemilu Legislatif Kabupaten Tahun 2014 terdiri dari 447 orang
terdiri dari 259 orang laki-laki dan 188 orang perempuan. Sedang untuk Dapil IV yang
meliputi wilayah Rongkop, Girisubo, Tepus, dan Tanjungsari yaitu: 81 orang terdiri dari 46
orang laki-laki dan 35 orang perempuan.

Analisis
Partisipasi Politik
Menggunakan Hak Pilih
Sebagai warga negara masyarakat Jerukwudel dan Karangawen sudah menyadari akan
hak dan kewajibannya. Salah satu hak warga negara dalam pemilihan umum adalah berhak
menggunakan hak pilihnya. Hampir seluruh masyarakat Jerukwudel maupun Karangawen
menggunakan hak pilih. Sudaryanto selaku tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam
proses Pemilu mengatakan bahwa hampir seluruh warga desa menggunakan hak pilih pada
saat hari pemungutan suara. Hal ini seperti hasil petikan wawancara :

“pada hari pemungutan suara hampir seluruh warga yang tercantum dalam DPT
datang ke TPS”. (wawancara tanggal 20 Agustus 2015 pukul 10.00 wib).

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 108


“hampir semua warga yang mempunyai hak pilih dan berada di rumah sudah
menggunakan hak pilihnya. Karena sikap tidak menggunakan hak pilih bagi
masyarakat desa merupakan ‘ketidaklaziman’ dan tidak wajar”. ( Informan Sukito
Atmojo sebagai ketua KKPPS dan Iduh, sebagai Kadus Karanggede B, petikan
wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 10.12 wib)

Ada sebagaian masyarakat yang tercatat dalam DPT bekerja di luar daerah. Hal ini
ditegaskan pula oleh Sudaryanta (sekretaris KPPS) seperti berikut:

“mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani sedangkan sebagian lainnya bekerja


sebagai buruh dan lain-lain di kota lain (Kalimantan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta).
Pada saat Pileg penduduk yang bekerja di kota lain tersebut tidak berkesempatan
pulang dan menggunakan hak pilih (presentase penduduk ini ±30%). Hal ini
disebabkan tidak diperbolehkan ijin kerja dsb. Nama-nama penduduk tersebut
tercantum dalam DPT karena mereka memiliki hak pilih”. (Petikan wawancara
tanggal 21 Agustus 2015 pukul 10.34 wib).

Beberapa orang warga desa ini yang tidak menggunakan hak pilih karena tidak
memungkinkan untuk menuju TPS (sudah jompo). Seperti peryataan Bapak Sukiyatno
Kepala Dukuh Duwet yang sekaligus juga sebagai anggota KPPS, menyampaikan :

“Ada dua warga yang sakit tua, Bu Suminem usia 95 tahun. Kondisinya jalan dari
kursi ke tempat tidur saja susah. Yang satunya lagi Bu Sakiyem, usia 87 tahun.
Kondisi saat Pemilu dulu sudah tidak bisa jalan, sudah ngebrok. Bu Sakiyem pada
bulan Juli 2015 meninggal. Dari keluarga Bu Suminem dan Bu Sakiyem,
menyampaikan agar anggota keluarganya tersebut tidak usah memilih saja. Beresiko
kalau harus memboncengkan orang tua dan sakit”. (petikan wawancara tanggal 21
Agustus 2015 pukul 13.10 wib)

Namun ada satu informan yang menyatakan secara tegas tidak menggunakan hak
pilihnya. Hal ini karena informan merasa tidak punya pilihan. Dan keputusan untuk tidak
memilih ini merupakan sikap politik yang bersangkutan.Dalam mengukur partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pemilu syarat pertama hingga ketiga telah terpenuhi, yaitu:
1).Terdaftarnya sebagai pemilih tetap (DPT). (2) Keterlibatannya dalam kampanye baik
sebagai tim sukses, peserta, pengawas maupun pemantau pemilu dengan keikutsertaanya bisa
mengarahkan pemilih lebih kepada kandidat yang berkualitas bukan hanya karena
pertemanan (3) Keterlibatan dengan memberikan suara pada hari pencoblosan. Partisipasi
yang demikian termasuk partispasi aktif dalam memilih pemimpin atau pemerintahan.

Pengetahuan Masyarakat Terhadap Caleg

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 109


Dari hasil wawancara dengan informan, hampir seluruh informan mengenal caleg
dengan baik. Dalam Pileg 2014, Girisubo termasuk Dapil IV Gunungkidul bersama Tepus,
Tanjungsari, dan Rongkop. Di Dapil ini, terdapat 8 orang caleg dari wilayah Girisubo.
Namun dari ke kedelapan calon tersebut Caleg yang paling dikenali oleh masyarakat adalah
Tina Kadarsih, Gimun, dan Jumeno.
Mayoritas masyarakat memilih calon sesuai dengan pilihannya. Alasan memilih caleg
didominasi oleh figur caleg. Sebagian yang lain menyebutkan ketertarikannya pada partai
politik. Pengetahuan informan terhadap para caleg karena kekerabatannya yang begitu dekat.
Baik sebagai tetangga, saudara, teman maupun simpatisan sehingga para pemilih tidak ada
keragu-raguan dalam menentukan pilihan. Konsistensi para pemilih terhadap calon
pilihannya menyebabkan mereka solid bahkan mampu menanggulangi pihak lain yang akan
mengintervensi pilihan mereka, meski pihak-pihak tersebut berupaya dengan berbagai macam
cara. Sudaryanto mengatakan bahwa :

“sebagian caleg melakukan pertemuan dengan warga sekaligus sebagai kegiatan


sosialisasi dalam rangka kampanye”. (petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015
pukul 13.10 wib)

Sedangkan kampanye penggalangan masa (rapat umum) adalah strategi untuk


mempengaruhi masyarakat agar memiliki ketertarikan pada salah satu partai politik. Iduh
menjelaskan bahwa :

“kalau di daerah saya, kampanye rapat umum biasanya yang mengadakan adalah dari
partai politik, sedangkan caleg biasanya datang dalam pertemuan-pertemuan warga
saja untuk mensosialisasikan visi dan misinya”.(petikan wawancara tanggal 21
Agustus 2015 pukul 13.10 wib)

Ada beberapa warga menjelaskan bahwa mereka sudah mempunyai pilihan caleg
tertentu, salah satu pilihan adalah caleg yang masih mempunyai hubungan kekerabatan.
Seperti yang dituturkan oleh Sukito Admojo :

“saya sudah mempunyai pilihan sendiri, dan saya mengenal secara pribadi calon
tersebut”.(petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 13.10 wib)

Para caleg yang cukup dikenal oleh masyarakat. Sebagai contoh Gimun sebagai
anggota masyarakat yang bekerja sebagai petani, terlibat aktif dalam partai PAN dan aktif
sebagai anggota dewan budaya desa Jerukwudel, saat Pileg mencalonkan diri sebagai calon
legislatif dan mendapat dukungan masyarakat sekitarnya. Figur ini dipercaya masyarakat
akan dapat menyampaikan aspirasi demi kemajuan dan perkembangan desa. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Sudaryanto seperti berikut:

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 110


“saya memilih pak Gimun karena saya kenal dan berharap beliau dapat memberi
kemajuan bagi desa”. (petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 13.10 wib)

Sudaryanto merupakan kerabat dari Gimun. Sebagai kerabat maka, Sudaryanto


memiliki rasa bertanggung jawab untuk mendukung beliau. Sudaryanto menambahkan,
dalam menggunakan hak pilih ada budaya‘ewuh pakewuh’di masyarakat, termasuk dalam
menentukan pilihan caleg (mereka memilih kerabat terdekatnya). Sedangkan Iduh
menambahkan bahwa:

“pak Gimun itu orangnya sering mengikuti kegiatan sosial di masyarakat dan
merupakan tokoh masyarakat yang sering memberikan masukan bagi perkembangan
desa sehingga banyak orang yang kenal dengan beliau”. (petikan wawancara tanggal
21 Agustus 2015 pukul 11.10 wib)

Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa figur caleg yang sering
berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat lebih diminati. Kekerabatan para
caleg ini sangat dekat dengan pemilih. Kekerabatan tersebut membentuk salah satu budaya
politik yang homogen yang menjadi bagian dari proses sosialisasi politik. Dari hasil
perolehan suara, Gimun kalah dari perolehan Tina Kadarsih. Strategi yang digunakan oleh
Tina Kadarsih berbeda dengan strategi yang digunakan Gimun, hal ini seperti penuturan Iduh
sebagai berikut:

“Strategi yang digunakan Tina Kadarsih adalah dengan mendirikan TCC-nya (Tina
Cadarsih Centre) yang digunakan sebagai alat bersosialisasi kepada masyarakat”.
(petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 11.10 wib)

Selain itu, menurut Sukito Atmojo menyebutkan bahwa beberapa caleg memberikan
bantuan secara personal maupun kelompok tetapi yang bersangkutan tidak menerima bantuan
tersebut karena calon pemberi merasa enggan dan tidak akan mempengaruhi pilihan.
Sudaryanto menyebutkan berupa bantuan pembangunan jalan, uang, seperangkat gamelan
dan dropping air bersih.
Hal tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat jelas tidak hanya karena satu
faktor saja, melainkan berbagai faktor. Orang bisa saja terdorong untuk berpartisipasi karena
kualitas calonnya baik, tetapi biasanya juga karena calon biasanya merupakan keluarganya,
saudara atau teman dari para pemilihnya,. Ada dua individu dalam budaya ini yaitu patron
dan klien yang membuat interaksi timbal balik dengan tukar menukar sumber daya masing-
masing pihak. Patron mempunyai sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan, perlindungan,
perhatian dan tidak jarang berupa materi, sedangkan klien mempunyai sumber daya berupa

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 111


tenaga, dukungan, dan loyalitas. Bagi masyarakat desa Jerukwudel dan Karangawen hal ini
dipahami sebagai hal yang wajar apalagi kondisi desa yang memang masih membutuhkan
bantuan seperti pembangunan sarana dan pra sarana serta penyediaan air bersih (mengingat
kondisi desa termasuk daerah rawan kekeringan). Sedangkan Suharno mengatakan bahwa dia
tidak memilih caleg karena diberi bantuan tetapi mengenal betul figur caleg yang dia pilih
karena:

“saya mengenal caleg karena memiliki hubungan keluarga dan bertempat tinggal
dekat rumah.” (petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 11.10 wib dan
wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 13.10 wib)

Kedekatan hubungan keluarga yang demikian memungkinkan caleg memiliki


dukungan yang merata, bahkan beberapa caleg dapat menembus perolehan suara maksimal
untuk mendapatkan jatah kursi. Selain hubungan kekeluargaan, masyarakat juga
beralasanmemilih karena adanya hubungan bisnis. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Sarpanta dan Kaswan berikut ini:

“....saya mengenal caleg karena memiliki hubungan relasi bisnis yang sudah lama
terjalin....” (informan Sarpanta, petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul
11.10 wib) “saya mengetahui wajah caleg dari sosialisasi dan spanduk yang terpasang
di jalan”. (informan Kaswan, petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul
09.20 wib)

Sedangkan Surip, Rianti, Sanem dan Suparto tidak mengenal secara langsung namun
kenal dari tetangga dan Dukuh. Heni memiliki pilihan yang berbeda karena informasi yang
dimiliki dari kampanye caleg. Namun ada beberapa informan yang menyatakan tidak
mengenal caleg sehingga dalam menggunakan hak pilihnya ada yang ‘asal memilih’. Di sisi
lain, para pemilih yang tidak mengenal tersebut beralasan tempat tinggal maupun
kekerabatannya tidak dekat dengan para caleg.

Alasan Informan Menggunakan Hak Pilih Dalam Pemilu


Hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa semua menggunakan hak
pilihnya dalam pemilihan legislatif tahun 2014, dan sebagian besar memahami hak dan
kewajiban warga Negara.Sebagian lainnya menyatakan bahwa berpartisipasi turut serta dalam
menentukan nasib bangsa. Informan memiliki alasan yang berbeda-beda dalam menggunakan
hak pilihnya, seperti dikemukakan oleh para informan bahwa:

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 112


“alasan saya menggunakan hak pilih saya karena mendapat undangan, menyadari
tanggungjawab saya, dan karena memiliki hak pilih”. ( informan Heni Nurhayati,
petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 13.10 wib)

“saya memilih karena saya baru satu kali mencoblos (Menjadi pemilih pemula)”.
(informan Riksa Ristu Putra, petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul
13.10 wib)

“…mengunakan hak pilih dalam pemilu adalah hak dan tanggung jawab saya sebagai
warga negara yang baik..” (Informan Kaswan, petikan wawancara tanggal 21 Agustus
2015 pukul 14.10 wib)

Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan partisipasi masyarakat yang besar karena
masyarakat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dimana sikap ini
merupakan salah satu dimensi yang dapat menjadi indikator budaya politik seperti tingkat
pengetahuan masyarakat mengenai sistem politik bernegara. Dalam hal ini masyarakat desa
Jerukwudel maupun Karangawen cukup dewasa dalam bersikap sehingga sebagian besar
memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.Namun masih adanya budaya ‘ewuh
pakewuh’ di masyarakat, merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk
hadir dan menggunakan hak pilihnya di TPS. Seperti pendapat Sudaryanto yang menyatakan
bahwa:

“adanya sikap ‘ewuh pakewuh’ di masyarakat menyebabkan tingkat kehadiran di TPS


pada saat pemungutan suara menjadi tinggi karena jika tidak menggunakan hak
pilihnya maka masyarakat merasa isin dan ora kepenak atine, umum sanak mas”.
(petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 09.30 wib)

Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya budaya yang dianut
oleh masyarakat yaitu budaya “ewuh pakewuh” menyebabkan masyarakat datang ke TPS
karena jika tidak datang maka akan merasa malu dan merasa memiliki beban moral terhadap
masyarakat yang lain. Letak TPS yang tidak terlalu jauh dan mudah dijangkau dari tempat
tinggal juga merupakan alasan masyarakat untuk datang dan menggunakan hak pilihnya. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat dari Sanem berikut ini:

“.....kulo nggih dugi mas ten TPS, lha wong gur cerak kok mosok ora teko.. (saya juga
datang di TPS soalnya jaraknya hanya dekat saja masak tidak berangkat)...” (petikan
wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 10.30 wib)

Hal ini memperlihatkan bahwa partisipasi politik adalah kesadaran sosial untuk
datang ke TPS menggunakan hak pilih termasuk tangung jawab sebagai anggota masyarakat.

Peran Agen-agen Sosialisasi Politik

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 113


Dalam suatu proses sosialisasi nilai dan perilaku politik diperlukan agen-agen
sosialisasi yang merupakan pihak yang melakukan transfer nilai. Agen pertama adalah
keluarga dimana individu menerima warisan nilai-nilai pada tahap awal dalam hidupnya.
Hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa kelaurga memiliki peran yang penting
dalam meningkatkan pemahaman politik khususnya dilingkungan keluarga. Hal ini seperti
penuturan Riksa Ristu Putra berikut ini :

“…saya banyak belajar dari ayah saya terkait dengan pemilu, saya sering bertanya
tentang pemilu kepada bapak saya itu lho mas…walaupun tidak semuanya dapat
dijawab oleh bapak saya…” (petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul
09.30 wib)

Hal tersebut memperlihatkan bahwa kehidupan keluarga dalam mendorong partisipasi


politik seseorang cukup signifikan. Setidaknya dalam keluarga yang memiliki minat politik
yang tinggi, cenderung homogen dalam pilihan politik, Aspek-aspek kehidupan keluarga
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi partisipasi politik seorang
anak. Hal tersebut tampak jelas dipengaruhi oleh:1). Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang
anak; 2) Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) politik orang tua; 3) Tingkat keutuhan
(cohesiveness) keluarga; 4) Tingkat minat orang tua terhadap politik; 5) Proses sosialisasi
politik.
Sedangkan keluarga batih berkaitan erat dengan unit yang lebih besar lagi, yang lazim
disebut kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan merupakan suatu kelompok yang
anggota-anggotanya memiliki hubungan darah atau persaudaraan (pada umumnya
masyarakat pedesaan masih memiliki kekerabatan dan hubungan keluarga yang sangat dekat).
Kelompok tersebut masih sangat kuat terutama pada masyarakat-masyarakat bersahaja-
tradisional. Masyarakat ini banyak terdapat di wilayah pedesaan, termasuk desa Jerukwudel
dan Karangawen. Sekolah juga merupakan agen sosialisasi politik sebab sekolah
menjalankan fungsi transformasi ilmu pengetahuan, nilai dan sikap yang di dalamnya juga
termasuk ilmu, nilai, dan sikap politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Riksa seperti berikut
ini:

”…menurut saya sekolah banyak memberikan pengetahuan bagi saya terkait dengan
hak dan kewajiban saya sebagai warga Negara Indonesia, dan salah satu hak dan
kewajiban saya adalah memberikan hak suara saya dalam pemilu….” (petikan
wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 09.30 wib)

Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah mampu membentuk sikap
dan nilai politik bagi masyarakat khususnya bagi para pemilih pemula. Selain lembaga

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 114


keluarga dan sekolah, sosialisasi politik juga dapat melalui teman sebaya (peer group) yang
sifatnya informal. Teman sebaya memiliki peranan yang penting bagi pendidikan politik.
Sedangkan pendapat Heni Nurhayati seperti petikan wawancara berikut ini:

“…saya biasanya mendiskusikan masalah-masalah politik dengan teman-teman saya,


saya senang bisa berdiskusi dengan teman saya karena kita bisa lebih terbuka…”
(petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 09.30 wib)

Sudaryanto mengatakan bahwa diskusi politik dalam arti yang luas merupakan hal
yang biasa. Apalagi dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat pemerintah sebagai perannya
dalam bidang politik. Namun Sudaryanto tidak mau berdiskusi politik praktis karena sebagai
aparat pemerintah harus bersikap netral, khawatir akan mempengaruhi kinerjanya. Sukito
Atmojo berdiskusi tentang caleg di rumah warga saat pertemuan. Demikian halnya dengan
Riksa, Suharno, Sanem, Surip dan Rianti yang mendiskusikan caleg yang akan dipilih. Riksa
juga berdiskusi tentang bagaimana cara berpolitik yang baik. Sedangkan Kaswan tidak
berdiskusi politik karena merasa tidak paham masalah politik, Sarpanta mengatakan takut
kalau salah persepsi. Hal tersebut oleh masyarakat dimaknai sebagai ranah politik dalam arti
yang luas. Dalam mendiskusikan politik praktis, masyarakat sangat berhati-hati karena
kekerabatannya yang begitu dekat.Sedangkan agen sosialisasi terakhir adalah media, dimana
berita yang dilihat atau dibaca setiap hari merupakan sosialisasi yang efektif. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sudaryanta berikut ini:

“…saya sering membaca koran Kedaulatan Rakyat dan biasanya saya memperoleh
informasi yang berkaitan dengan politik berasal dari Koran tersebut…” (petikan
wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 09.35 wib)

Melek Politik
Keterlibatan masyarakat dalam Kegiatan Partai Politik
Sebagian besar informan menyatakan tidak terlibat dalam kegiatan partai politik.
Ketidakterlibatan ini didasari alasan ketidakmampuan, ketidaktertarikan, ketidakpahaman
proses politik dan sikap netralitas (karena yang bersangkutan adalah PNS dan aparat
pemerintah seperti Surip, Suharno, Suprapto, Heni Rianti, dan Sarpanta). Sedangkan Kaswan
dan Sukito Atmojo memilih bersikap netral, bebas aktif dan tidak terlibat partai karena dia
bekerja sebagai guru PNS dan anggota KPPS. Demikian halnya dengan Sudaryanto yang
memilih netral karena sebagai aparat pemerintah desa serta bertugas sebagai anggota KPPS.
Sanem memiliki pendapat yang berbeda seperti penuturannya sebagai berikut:

“Kulo mboten purun tumut parte-partean... walah nopo niku.. sing penting kulo nek
kon mangkat coblosan nggih mangkat... (saya tidak mau ikut partai politik..apa itu...

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 115


yang penting saya kalau diminta untuk memberikan suaran saya berangkat)...”
(petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015 pukul 10.30 wib)
Dari hasil petikan wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat lebih
memilih bersikap politik pasif dan enggan untuk ikut berpolitik aktif dengan ikut dalam partai
politik.Bagi informan yang terlibat dalam partai, dimotivasi oleh ketertarikan kepada partai
politik. Iduh menjelaskan hal tersebut sebagai aktivis partai PPP. Selaku Dukuh, ketertarikan
kepada partai politik didasari semangat untuk membangun desa demi kesejateraan
masyarakat. Keterlibatan dan ketidakterlibatan informan di atas, menggambarkan perilaku
masyarakat dalam hal terlibat dalam partai politik. Perbedaan kelas sosial dalam suatu
masyarakat akan berpengaruh pada perbedaan keyakinan dan pola perilaku individu di
berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik.

Pernah menjadi KPPS


Sebagian besar informan mengatakan tidak pernah ikut dalam KPPS. Alasan yang
mendasari informan tidak ikut sebagai KPPS karena ketidakmampuan, ketidaktertarikan serta
tidak ada minat. Sanem, Surip, Riksa, Suharno, Heni, Rianti dan Suparto menyatakan hal
tersebut. Sukito Atmojo mengatakan sudah sering menjadi anggota KPPS sejak Pemilu tahun
1999, 2004, 2009 dan 2014. Sarpanta dan Kaswan pernah bertugas sebagai KPPS selama 3
periode. Sudaryanto menjadi sekretariat KPPS. Demikian halnya Iduh sebagai Dukuh turut
bertugas sebagai KPPS. Dalam mengukur partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu
syarat kedua yaitu keterlibatannya dalam kampanye baik sebagai tim sukses, peserta,
pengawas maupun pemantau pemilu dengan keikutsertaanya bisa mengarahkan pemilih lebih
kepada kandidat yang berkualitas bukan hanya karena pertemanan. Partisipasi yang demikian
termasuk partisipasi aktif dalammensukseskan agenda-agenda Pemilu.

Memahami Tahapan Pemilu


Riksa dan Heni merupakan pemilih yang mengenyam pendidikan tinggi meski tidak
terlibat dalam agenda pemilu. Sedangkan Iduh, Sarpanta, Kaswan, Sudaryanta dan Sukito
Atmojo memahami tahapan pemilu karena terlibat langsung dalam agenda pemilu. Dari
informan yang mereka ketahui antara lain tercantumnya nama dalam daftar DPT, masa
kampanye, sosialisasi tentang Pemilu, aturan main dalam kampanye, memahami dokumen
KPU.
Informan yang tidak memahami tahapan pemilu didominasi oleh tidak adanya
informasi tentang tahapan pemilu. Sanem, Surip, Suparto, Suharno dan Rianti (informan ini

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 116


berpendidikan SD) menyatakan hal tersebut. Tahapan Pemilu merupakan salah satu agenda
sosialisasi. Di samping keluarga dimana individu menerima warisan nilai-nilai pada tahap
awal dalam hidupnya,sosialisasi ini dapat terjadi secara represi atau partisipatoris. Sosialisasi
politik juga dapat melalui teman sebaya (peer group) yang sifatnya informal. Pengetahuan
warga negara, nilai-nilai, sikap dan perilakunya dalam kehidupan demokrasi tersebut
dipengaruhi oleh sosialisasi politik.

Menjadi Saksi
Sebagian besar informan mengatakan tidak pernah menjadi saksi, namun sebagian
informan pernah menjadi saksi karena dengan alasan dipilih petugas dan panitia serta teman
mereka. Dengan menjadi saksi dalam pemilu, maka mereka termasuk dalam kategori
Electoral activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung
berkaitan dengan pemilu. Termasuk dalam kategori ini adalah ikut serta secara langsung
ataupun tidak langsung berkaitan dengan pemilu. Namun partisipasi masyarakat desa
Jerukwudel maupun Karangawen yang tergolong electoral activity sebagai saksi tidak terlalu
tinggi.

Mengetahui Namanya Tercantum dalam DPT


Sebagian besar informan mengetahui namanya tercantum dalam DPT dari papan
informasi yang mereka baca di TPS dan sebagian lagi melalui Dukuh dan RW (informasi
tersebut disampaikan secara langsung dalam pertemuan warga). Sedangkan informan yang
tidak mengetahui namanya tercantum dalam DPT mendapat undangan untuk hadir dalam
pemungutan suara.Sebagian besar masyarakat mengakui bahwa namanya sudah terdaftar di
DPT, seperti diungkapkan oleh Atmo Sukito, Kaswan, Sudaryanto, Heni, Sanem, dan
Sukiyatno. Kaswan menuturkan:

“ saya tahu nama saya terdaftar, ya dari pak dukuh... selain itu rumah saya ditempeli
stiker pencatatan pemilih..”

Dengan adanya stiker di rumah, warga mengetahui bahwa mereka berhak


untukmemilih dalam Pemilihan Umum.

Mengetahui Pemilu Bersih

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 117


Demikian halnya dalam pengetahuan masyarakat akan Pemilu bersih,.beberapa warga
mengungkapkan pentingnya pelaksanaan pemilu yang bersih dan bertanggungjawab. Seperti
penuturan Atmo Sukanto:

“Pemilu bersih sangat penting, karena warga ingin suasana yang damai dan tidak ada
perpecahan. Semua..kan ya untuk masyarakat to mas..” (wawancara tanggal, 20
Agustus 2015 pukul 11.15 Wib)

Warga sebenarnya sudah sadar betul tentang pentingnya pemilu yang bersih dan
bermartabat. Masyarakat berpendapat bahwa dengan Pemilu bersih maka akan menemukan
pemimpin yang memikirkan masyarakatnya. Pendapat tersebut disampaikan oleh Sudaryanto
dalam petikan wawancara berikut ini:

“ Saya berkeyakinan pemimpin yang dipilih secara bersih dan jujur akan dekat dengan
masyarakat, dan tidak akan meninggalkan masyarakatnya demi kepentingan
pribadinya..” (wawancara tanggal 20 Agustus 2015 pukul 11.15 Wib)

Dari hasil wawancara tersebut sudah diketahui harapan masyarakat terhadap pemilu
yang bersih, dan jujur. Harapan masyarakat dengan pemilu yang bersih dan jujur, adalah
terpilihnya pemimpin yang mau memperjuangkan aspirasi masyarakatnya.

Mengetahui Serangan Fajar


Sebagian informan mengetahui adanya serangan fajar. Praktek ini merupakan salah
satu strategi untuk memobilisasi suara masyarakat. Dalam hal ini Riksa mengatakan bahwa:

“saya diberi uang tapi saya tolak.” (petikan wawancara tanggal 21 Agustus 2015
pukul 10.30 wib)
Sukito menyatakan memang ada serangan fajar namun tidak akan mempengaruhi
pilihannya, bahkan beberapa informan mengatakan ada partai yang melarang untuk memberi
uang. Dalam hal ini Sudaryanto mengatakan bahwa praktek ini tidak banyak mempengaruhi
pilihan masyarakat. Bagi mereka hal ini sangat sensitif, dengan budaya ‘ewuh’ mereka masih
mengedepankan pilihan nurani, apalagi dengan kekerabatan yang begitu dekat.

Penutup
Kesimpulan.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa agen-agen sosialisasi politik seperti
keluarga, sekolah, teman, dan media mampu membentuk dan mempengaruhi tingkat melek
politik di masyarakat serta meningkatkan efektifitas diri dalam kehidupan publik dan
mendorong menjadi lebih aktif, partisipatif, dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 118


baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela. Disamping agen –
agen sosialisasi tersebut, tokoh masyarakat memberikan peran yang cukup besar dalam
sosialisasi politik.Secara khas, budaya masyarakat Jawa ‘ewuh pakewuh’ mendominasi
perilaku partisipasi masyarakat ini. Budaya tersebut tidak hanya muncul pada saat menghadiri
TPS namun juga dalam hal menentukan pilihan. Keragaman tingkat usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan dan pendapatan sedikit banyak menambah variasi kedalaman
pemahaman mereka mengenai partisipasi politik.
Tersirat pula bahwa dalam hal melaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Partisipasi politik, pada tataran electoral activity yang meliputi khususnya kegiatan
memilih CALEG dan mengikuti kampanye dapat disimpulkan bahwa hampir secara
keseluruhan masyarakat desa Jerukwudel dan Karangawen berpartisipasi politik cukup
memadai dan tidak menarik diri dalam proses politik. Namun untuk aspek
organizational activity, partisipasi politik masih kurang memadai yang ditandai masih
terbatasnya akses, peran, dan kedudukannya selaku pemimpin partai, anggota aktif partai,
dan menjadi CALEG itu sendiri, bahkan sampai terpilih menjadi legislatif.
2. Penelitian ini menunjukkan bahwa PEMILU tetap dibutuhkan oleh warga sebagai media
dan sarana terbaik menuju pemerintahan yang demokratis, karena mayoritas responden
telah menyadari dan memahami arti pentingnya PEMILU sebagai bentuk partisipasi
politik bagi tercapaianya tujuan berbangsa dan bernegara.
3. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa terdapat hambatan prosedural dan
administratif dalam partisipasi politik warga, dan hal tersebut menjadi tugas semua pihak
termasuk penyelenggara pemilu dan SKPD yang membidangi Bidang Politik untuk segera
diselesaikan yaitu : ijin kerja dan biaya kerja untuk pulang karena bekerja di luar daerah
meskipun namanya sudah tercantum dalam DPT di Girisubo. Angka 30 % harus menjadi
perhatian melalui penyadaran dan intensifikasi sosialisasi politik agar partisipasi politik
dapat ditingkatkan.
4. Bentuk-bentuk dan kadar partisipasi mayoritas masyarakat desa Jerukwudel dan
Karangawen masih pada fase proses menuju aktif, dimana dalam proses politik aktivitas
mereka belum menonjolkan peranannya sebagai komunikator, spesialis mengadakan
kontak tatap muka, aktivis partai, peserta kampanye dan aktivis masyarakat. Peranan
tokoh dan budaya jawa (baca “ ewuh pakewuh”) menjadi penting diperhatikan sebagai
faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi, khususnya kehadiran dalam
memilih.Hal tersebut sesuai dengan pola budaya Jawa dalam partisipasi politik
sebagaimana dikenal dengan budaya Patron Client yaitu hubungan antara patron dan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 119


klien yang membuat interaksi timbal balik dengan tukar menukar sumber daya masing-
masing pihak.
5. Melek politik desa Jerukwudel dan Karangawen berdasarkan hal penelitian sudah cukup
memadai, paling tidak pada pengetahuan tentang pemilu bersih, ada tidaknya serangan
fajar, dan pengetahuan kriteria tentang PenCALEGan. Hal tersebut merupakan modal
yang penting untuk meningkatkan partisipasi politik, sebagai contoh ketika serangan fajar
sebagai bentuk perilaku yang negatif, maka mereka tentu akan menolaknya.

Rekomendasi.
Selanjutnya berdasarkan penelitian dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Data PEMILU agar diperbaiki. Kisaran data 30 % DPT yang tidak berpartisipasi agar
dicermati kembali agar persoalan data ke depan tidak menjadi hambatan dalam
pelaksanaan PEMILU.
2. Partisipasi dalam kontrol pemilu agar juga ditingkatkan agar pemilu berjalan dengan jujur
dan adil, oleh karena itu syaratnya pemilih harus melek politik terlebih dahulu.
3. Melek politik di Kecamatan Girisubo agar ditingkatkan melalui media-media komunikasi
politik yang lebih efektif bagi mayoritas warga perdesaan dengan memanfaatkan bidang
kesenian daerah seperti pementasan Ketoprak bisa digunakan sebagai media
pembelajaran tentang Pemilu dan demokrasi.
4. Untuk meningkatkan melek politik warga diperlukan keterlibatan semua pihak yang
meliputi : penyelenggara pemilu, KPU, Kantor KESBANGPOL, partai politik, ormas,
tokoh masyarakat, dan tokoh agama melalui pendidikan politik secara berjenjang dan
berkelanjutan, yang mencerdaskan secara politik ke arah pemahaman tentang pemilu
termasuk mengenali visi misi caleg, tata cara pencalegan, pemilu yang bersih,
penghindaran politik uang seperti serangan fajar dan sebagainya.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 120


Daftar Pustaka

Bakti, AndiFaisal, Prof, Ph.D dkk (2012), Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi, Churia Press,
Tangerang selatan, 2002
Budiardjo, Miriam, (1986), Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia,Cetakan X: April 1986, Jakarta.
Inu Kencana Syafie, Sistem Pemerintahan Indonesia,. Refika aditama, Bandung, 2002
Fadjar, A,Muktie ,2013. Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi: Membangun Legislatif,
Presiden dan Kepala daerah dan Penyelesaian Persilisihan Hasil Pemilu Secara Demokratis,
Malang, setara Press.
Faturrahman, Deden, dan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, PT. Universitas Muhammadiyah Malang
2004.
Fatah, Rahmad Abd., (2009), Melek Politik, http://nohsaketa.blogspot.com/2009/07/melek-
politik.html, Sabtu, 18 Juli 2009,
Maran, Rafael Raga, (2007), Pengantar Sosiologi Politik.
Martono, Nanang, (2014), Sosiologi Perubahan: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Post
Kolonial.
Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Press)
Pribadi, Toto dkk, (2010), sistem Politik Indonesia, Penerbit Universitas Terbuka, Cetakan Ketujuh :
April 2010
Sahdan, Gregorius dan Haboddin, Muhtar, (2009), Evaluasi Kritis Penyelenggaraan di Indonesia.
Soekanto, Soerjono, (2009), Sosiologi Keluarga, Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak.
Sugiyono,2009, Statistik untuk penelitian, ALFABETA, Bandung.
Sutoro Eko, 2004 Politik dan Pemberdayaan Masyarakat. APMD press, yogyakarta.
Tricahyo,Ibnu 2009. Refoemasi Pemilu: menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Malang:In
Trans Publising.
Undang – Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum.

PENGARUH IKLAN LAYANAN MASYARAKAT PICTORIAL HEALTH WARNING


(PHW) PADA BUNGKUS ROKOK DI WARUNG KOPI DOEL SURYA PONOROGO
Pinaryo
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP / Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 121


Email: pinaryo@umpo.ac.id

Abstract
Most of smokers know danger of smoking.In fact behavior smoking keep going, good
at the home or office, a public place, stalls etc. Age smokers spread in young children, and
the junior high school students. Teenage boys smoking is communication “slang” version of
teenagers, that confidence, adult. Smoking very dangerous health. A lot of reasons smoking,
as the life (lifestyle), satisfaction (satisfaction), dashing / macho (Masculine) etc .Smoking
harms organ of the body slowly for example the heart, the lungs, even canker of the mouth
and cancer the throat is harmful for health. Health department has made efforts prevention
smoking with various the appeal, posters, tv commercials, film, discussion / seminars. With
the smoking can cause cancer, a heart attack, impotence and disorders pregnancy and fetus,
then cigarettes kill you with a picture Mens smoking and the two the skull is pictorial health
warning (PHW).Chemicals in cigarettes: nicotine, tar (Carcinogenic), cyanide, benzene,
cadmium, methanol acetylene, ammonia, formaldehyde, hydrogen cyanide, arsenic, .karbon
monoxide, poison dangerous chemical compounds. In conclusion, smokers unaffected by
drawing (pictorial health warning), new smoker cringe, fear. His behavior remove phw
picture, buying tobacco retail, and the point remain smoking.
Keywords: Advertising, Cigarette, Pictorial Health Warning (PHW)

Abstrak
Sebagian besar perokok tahu bahaya merokok. Kenyataannya perilaku merokok terus
berjalan, baik di rumah/kantor, tempat umum, warung dsb. Usia perokok meluas pada anak-
anak muda, dan kalangan pelajar SMP. Remaja laki-laki merokok merupakan
komunikasi“gaul” ala remaja, agar percaya diri, dewasa. Merokok sangat membahayakan
kesehatan. Banyak alasan merokok, seperti gaya hidup (lifestyle), kepuasan (satisfaction),
gagah/macho (masculine) dll. Merokok merusak organ tubuh perlahan-lahan misalnya
jantung, paru-paru, bahkan kanker mulut dan kanker tenggorokan yang amat berbahaya
bagi kesehatan. Dinas Kesehatan telah melakukan upaya pencegahan merokok
dengan berbagai himbauan, poster-poster, iklan TV, film, diskusi/seminar.Dengan
tulisan MEROKOK DAPATME NYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN
GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN, kemudian ROKOK MEMBUNUHMU dengan gambar
laki-laki merokok dan dua buah tengkorak merupakan Pictorial Health Warning (PHW).
Bahan kimia dalam rokok: Nikotin, Tar (karsinogenik), Sianida, Benzene, Cadmium, Metanol
Asetilena, Amonia, Formaldehida, Hidrogen sianida, Arsenik, .Karbon monoksida, senyawa racun
kimia berbahaya. Kesimpulannya, perokok tidak terpengaruh oleh gambar (pictorial health
warning), perokok pemula merasa ngeri, takut. Perilakunya menyobek gambar PHW, membeli
rokok eceran, dan intinya tetap merokok.
Kata kunci: Iklan, Rokok, Pictorial Health Warning (PHW)

Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, sebenarnya banyak dari sebagian besar
perokok yang sudah tahu akan bahaya merokok. Namun kenyataannya, perilaku yang dinilai
buruk ini masih terus berjalan dan tidak pernah surut, sehingga kebiasaan merokok menjadi

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 122


perilaku yang terkesanbiasa saja dimata masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, di
lingkungan sekitar kita, baik di rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan, banyak
orang yang merokok sembari melakukan segala aktivitasnya. Penanggulangan perilaku
merokok ini sudah banyak dilakukan pemerintah misalnya dengan dibuatnya smooking area
(tempat khusus merokok) dibeberapa tempat khusus dan larangan dalam bentuk iklan layanan
masyarakat untuk tidak merokok, namun masyarakat kurang begitu mempedulikan hal
tersebut.
Hal yang menjadi perhatian publik dewasa ini adalah usia para perokok yang kian
lama semakin meluas pada golongan anak-anak muda. Dapat dicontohkan dengan melihat
usia para perokok yang sering dijumpai, banyak dari kalangan pelajar sekolah menengah
pertama (SMP) sudah dengan terbiasa melakukan kegiatan tersebut. Bahkan, dalam beberapa
kasus penyimpangan, anak usia sekolah dasar (SD) pun juga sudah mengenal dan begitu
akrab dengan perilaku merokok ini.Dalam kasus seperti ini tidak dapat dipungkiri banyak
remaja sekarang yang belum cukup umur tetapi sudah berani bahkan di tempat umum
sekalipun.
Di kota Ponorogo sendirimisalnya, banyak anak seumuran SD, SMP, dan SMA yang
berani merokok, padahal mereka masih menggunakan seragam sekolah. Tindakan ini
menambah daftar panjang bentuk penyimpangan perilaku pelajar kita sekaligus tanda awal
dari rusaknya generasi muda secara mental akibat dari rokok, karena jelas-jelas akan
mengganggu kesehatan dalam jangka panjang dan mempengaruhi kegiatan belajarnya.
Diantara para remaja khususnya laki-laki merokok dianggap sebagai bentuk dari perilaku
komunikasi “gaul” ala remaja, dapat menambah kegagahan diri dan menambah keberanian,
dengan kata lain lebih percaya diri dan aktualisasi diri sebagai pencerminan kedewasaannya.
Namun faktanya merokok memiliki efek buruk antara lain menganggu orang disekelilingnya,
perilaku merokok pada kalangan remaja dapat menjerumuskan ke hal-hal negatif, (misalnya:
narkoba, pencurian, dll).Selain itu secara tidak sengaja kesehatannya pun juga menjadi
taruhan.
Perilaku merokok secara aktif dapat merusak organ dalam tubuh secara perlahan-
lahan misalnya jantung, paru-paru, bahkan kangker mulut dan kangker tenggorokan dan
kanker paruparu yang amat berbahaya.Dinas Kesehatan RI dalam melakukan upaya
pencegahan merokok khususnya untuk anak-anak dan remaja serta orang dewasadengan
melakukan berbagai penyuluhan tentang bahaya merokok, bertujuan untuk menekan perilaku
merokok tersebut dari berbagai sudut. Antara lain berbagai himbauan, poster-poster, iklan TV,
film, dan diskusi – diskusi/seminar tentang berbagai aspek buruk yang berhubungan dengan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 123


merokok.Selanjutnya, himbauan keras juga mulai diberikan Pemerintah kepada para perokok
dengan adanya peringatan bahaya merokok pada setiap bungkus rokok. Pada awalnya untuk
menyadarkan para perokok, di bungkus rokok terdapat tulisan:“MEROKOK DAPAT
MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN
KEHAMILAN DAN JANIN”, kemudian ungkapan tersebut diganti dengan tulisan:“ROKOK
MEMBUNUHMU”, dengan backgroundwarna hitam bergaris kotak putih dengan sisi kiri
terdapat sebuah foto laki-laki merokok dan disanding gambar dua buah tengkorak di
sampingnya.
Sekarang ini hal tersebut semakin diperjelas dengan menampilkan Pictorial Health
Warning (PHW)yang sekarang lebih dikenal dengan gambar seram. Peringatan ini digulirkan
sejak 24 Juni 2014 sesuai yang diamanatkanPeraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 28 tahun 2013 tentang pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan
pada kemasan produk tembakau. Pada bungkus rokok akandijumpai bukan hanya sekadar
gambar namun foto kanker paru-paru, kanker tenggorokan, kanker mulut, dan gambar lain
sebagai bentuk himbauan keras dari Pemerintah agar perilaku merokok bisa terkendali dan
tidak semakin menjalar kemana-mana.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui bagaimana perilaku,
alasan dan tanggapan perokok tentang peringatan merokok melaluigambar seram tersebut di
warungkopi Doel Surya Ponorogo. Maka penelitian ini berjudul “Pengaruh iklan layanan
masyarakat Pictorial Health Warning (PHW) pada bungkus rokok terhadap perilaku perokok
di warungkopi Doel Surya Ponorogo, alasan dipilihnya lokasi ini karena di warung ini
tempat berkumpulnya para remaja, sopir, wartawan/jurnalis, PNS dan orang-orang yang
merokok.Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih jauh aplikasi dari
advertensi/iklan layanan masyarakat berupa himbauan larangan merokok yang digunakan
dalam situasi dan konteks penelitian ini. Tujuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
diketahui tanggapan / persepsi perokok terhadap iklan layanan masyarakat bergambar PHW
dalam mengurangi dan memberantas perilaku kebiasaan perokok.Populasi penelitian ini
adalah para perokok mulai dari perokok pemula (SMP), remaja SMA), mahasiswa, sopir,
PNS, jurnalis/wartawan. Sampel yang diwawancarai sejumlah 38 orang, yang diambil dengan
tehnik snowball sampling. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
analisis non statistik.

Pembahasan
Pictorial Health Warning (PHW)

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 124


Peringatan kesehatan bergambar atau Pictorial Health Warning (PHW) pada bungkus
rokok telah digulirkan sejak 24 Juni 2014.Peringatan kesehatan bergambar seram tersebut
sudah dicantumkan dalam setiap bungkus rokok. Indonesia menjadi negara keenam di
ASEAN yang menerapkan kebijakan serupa, setelah Singapura, Thailand, Brunei
Darussalam, Malaysia dan Vietnam. Hal tersebut merupakan tindakan kerasPemerintah
karena himbauan yang dicanangkan pemerintah selama ini tidak diindahkan oleh
masyarakat.Pemerintah terus berupaya menekan jumlah perokok aktif di Indonesia agar tidak
terus bertambah secara signifikan, cara ini dianggap sebagai langkah terbaik untuk
melaksanakan tujuan tersebut.Setidaknya ada lima gambar yang telah disusun Departemen
Kesehatan RI dan wajib dicantumkan di bagian wajah kemasan bungkus rokok. Kelima
gambar wajib itu bertema: “Merokok Menyebabkan Kanker Mulut, Merokok Membunuhmu,
Merokok Sebabkan Kanker Tenggorokan, Merokok Dekat Anak Berbahaya bagi mereka,
serta Merokok Sebabkan Kanker Paru-Paru dan Bronkitis Kronis”.Kalimat tersebut dibubuhi
gambar-gambar yang dinilai berbahaya atau mengerikan maupun menjijikkan sesuai dengan
akibat yang timbul apabila perilaku merokok tidak terkontrol. Untuk pencantuman lima
gambar PHW tersebut dibuat cukup besar dan menonjol yaitu seluas 40% dari pada ukuran
kemasan rokok dimuka dan belakang, yaitu masing-masing gambar diterapkan sebanyak 20%
dari setiap jenisn rokok. Sedang, sanksi bagi produsen yang tidak mencantumkan PHW
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka BPOM akan memberikan teguran tertulis
sebagai sanksi awal. Selanjutnya, sanksi bisa berupa peringatan keras, berupa penghentian
sementara, hingga penutupan usaha jika produsen tetap tidak taat pada peraturan yang sudah
dicanangkan pemerintah.
Peringatan “Rokok Membunuhmu” adalah salah satu peringatan yang digunakan
untuk mengurangi perokok di Indonesia merujuk kepada Peraturan Pemerintah nomor 109
tahun 2012 yang mengatur tentang iklan rokok baik di tempat umum, media cetak dan
televisi. Dalam pasal 27 bahkan disebutkan bahwa iklan rokok diwajibkan agar tidak
menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan.PP
109 tahun 2012 itu mulai berjalan efektif pada bulan Juni tahun 2014. Pemerintah telah
mengirimkan master file gambar bahaya rokok pada beberapa perusahaan rokok. Pihak
perusahaan rokok dengan tidak boleh mengubah kata-kata peringatannya akan bahaya rokok
tersebut. Peringatan “ROKOK MEMBUNUHMU” disertai dengan gambar seorang pria yang
sedang merokok dan dilator belakangi gambar tengkorak pada setiap baliho, billboard atau
poster iklan rokok.Jika membahas permasalahan signifikan mengenai merokok, tentunya
semua orang paham akan bahaya merokok. Dan seharusnya melihat bahaya yang

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 125


ditimbulkan, tidak perlu lagi ada perdebatan atas madhorot rokok tersebut. Namun demikian
ada banyak alasan orang merokok, seperti gaya hidup (lifestyle), kepuasan (satisfaction),
merasa gagah/macho (masculine) adalah beberapa sebab orang tetap mengkonsumsi rokok.
Bahan kimia yang terkandung dalam rokok, berikut adalah beberapa bahan kimia yang
terkandung di dalam rokok:
1) Nikotin, kandungan yang menyebabkan perokok merasa rileks.
2) Tar, yang terdiri dari lebih dari 4000 bahan kimia yang mana 60 bahan kimia di antaranya
bersifat karsinogenik.
3) Sianida, senyawa kimia yang mengandung kelompok cyano.
4) Benzene, juga dikenal sebagai bensol, senyawa kimia organik yang mudah terbakar dan
tidak berwarna.
5) Cadmium, sebuah logam yang sangat beracun dan radioaktif.
6) Metanol (alkohol kayu), alkohol yang paling sederhana yang juga dikenal sebagai metil
alkohol.
7) Asetilena, merupakan senyawa kimia tak jenuh yang juga merupakan hidrokarbon alkuna
yang paling sederhana.
8) Amonia, dapat ditemukan di mana-mana, tetapi sangat beracun dalam kombinasi dengan
unsur-unsur tertentu.
9) Formaldehida, cairan yang sangat beracun yang digunakan untuk mengawetkan mayat.
10) Hidrogen sianida, racun yang digunakan sebagai fumigan untuk membunuh semut. Zat
ini juga digunakan sebagai zat pembuat plastik dan pestisida.
11) Arsenik, bahan yang terdapat dalam racun tikus.
12) Karbon monoksida, bahan kimia beracun yang ditemukan dalam asap buangan mobil dan
motor.

Diantara gambar seram tersebut adalah sebagai berikut:

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 126


Keuntungan Rokok
Pada kenyataannya rokok memberikan laba besar bagi Pemerintah.Dalam hal ini,
Pemerintah diuntungkan dengan adanya penerimaan negara dari cukai dan PPN.Selain itu
rokok juga memberikan sumbang sih terhadap terbukanya lapangan pekerjaan. Pada industri
rokok terbuka peluang kerja mulai dari buruh linting, tenaga pemasaran, petugas devisa dari
ekspor, hingga petani tembakau.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menunjukkan bahwa penerimaan negara dari
sektor bea dan cukai hasil tembakau dan rokok mendominasi dengan angka mencapai
Rp103,53 triliun. Selanjutnya, berdasarkan data Kementrian Perekonomian, ada 5,1 juta
tenaga kerja langsung dan tidak langsung di industri hulu dan hilir petani tembakau. Jumlah
ini terdiri atas 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000 tenaga kerja di pabrik
rokok, 1 juta pengecer rokok, serta 1 juta tenaga percetakan dan periklanan rokok.
Dalam hal ini peneliti mengamati beberapa tempat, misal Kota Bojonegoro, Jawa
Timur, dimana tembakau adalah primadona sebagai produk lokal tanaman pertanian, karena
setiap masa panen tembakau merupakan hasil pertanian yang menjanjikan di mana para
petani sekaligus tengkulak tembakau mendapatkan untung besar. Dengan adanya Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) Kota Bojonegoro yang terfokus di sektor tembakau, produksi

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 127


tembakau Bojonegoro semakin maju. Badan usaha ini terkenal dengan nama Perum
Pengeringan Tembakau Bojonegoro (PPTB) yang sekarang menjadi Koperasi Redrying yaitu
semacam perusahaan Green Leaf Threshing (GLT ) processing atau pengeringan tembakau.
Sisi positifnya, ribuan karyawan menggantungkan nasib pada perusahaan tersebut.
Sementara keuntungan industri hulu rokok juga di dapat dari hasil tembakau yang
melimpah dari pulau garam Madura, yang konon termasuk jenis varietas tembakau terbaik di
dunia. Kita pun tak bisa menafikkan atau menutup mata keuntungan lapangan industri rokok
di kota Kediri (Gudang Garam), Kudus (Djarum) atau Surabaya (Sampoerna), puluhan ribuan
buruh linting meyandarkan penghidupan dari usaha ini.Dari ulasan diatas tak dapat dipungkiri
industri rokok dengan segala bentuknya dari hulu ke hilir memberi manfaat penghidupan
masyarakat dan penerimaan bagi negara.Namun, hal ini bukan hanya semata menjadi sebuah
keuntungan yang menggemberikan, pada kenyataannya juga rokok dipastikan memberikan
garansi kerugian yang fatal dalam hal kesehatan.

Kerugian Rokok
Sisi lain Pemerintah juga yang perlu sangat diperhatikan bahwa terdapat merokok
yang meningkatkan anggaran kesehatan. Seperti yang diungkapkan Sekjen Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. Bahtiar Husain, Sp.P, MH.Kes, menyatakan cukai rokok
yang diterima oleh negara tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus dibayar oleh
negara dan masyarakat akibat rokok.
Fakta yang mencengangkan bahwa pendapatan negara dari cukai rokok,ternyata tak
sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan karena merokok.Pada tahun 2012
pendapatan negara dari cukai, hanya sebesar Rp 55 triliun. Namun, kerugiannya mencapai Rp
254,41 triliun. Kerugian tersebut, rinciannya adalah uang yang dikeluarkan untuk pembelian
rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis rawat inap dan jalan Rp 1,11 triliun, kehilangan
produktivitas akibat kematian prematur dan morbiditas maupun disabilitas Rp 105,3 triliun.
Pemerintah sedang memikirkan, apakah resiko penyakit akibat rokok ini harus
dibiayai atau tidak oleh BPJS. Hal ini merupakan pendapat atau wacana dari Wakil Menteri
Kesehatan, Ali Gufron Mukti, di acara Focus Group Discussion dengan tema dilema APBN
untuk membiayai penyakit terkait rokok dalam perspektif asas keadilan.

Perbuatan Merokok Menurut Hukum Islam.


Berikut adalah dalil yang melandasi diambilnya keputusan bahwa merokok hukumnya
adalah haram:

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 128


1. Merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabaa’its(kotor/najis) yang
dilarang dalam Al Quran Surat Al a’raf (ayat) 157.
2. Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan
bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan sehingga itu bertentangan dengan
larangan Al Quran Surat Al Baqoroh (ayat) 2 dan An Nisa (ayat) 29.
3. Perbuatan merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan asap
rokok sebab rokok adalah zat adiktif plus mengandung 4000 zat kimia, 69 di antaranya
adalah karsinogenik/pencetus kanker (Fact Sheet TCSC-AKMI), sebagaimana telah
disepakati oleh para ahli medis dan para akademisi kesehatan. Oleh karena itu merokok
bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadits Nabi SAW bahwa “tidak ada perbuatan
membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”
4. Rokok diakui sebagai zat adiktif dan mengandung unsur racun yang membahayakan
walaupun tidak seketika melainkan dalam beberapa waktu kemudian sehingga oleh karena
itu perbuatan merokok termasuk kategori melakukan sesuatu yang melemahkan sehingga
bertentangan dengan hadits Nabi SAW yang melarang setiap perkara yang memabukkan
dan melemahkan.
5. Oleh karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar
yang terkena paparan asap rokok, maka pembelanjaan uang untuk rokok berarti
melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam Al Quran Surat Al Isra
(ayat) 26-27.
6. Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (maqaasid asy-syariiah)
yaitu perlindungan agama, jiwa/raga, akal, keluarga dan harta.Pemerintah Indonesia
bahkan hingga kini tidak ’’berani’’ meratifikasi –sekarang disebut mengaksesi– Konvensi
Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/
FCTC) yang dibuat WHO pada tahun 2003. Padahal, Indonesia ikut merancang FCTC.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi
FCTC meski sudah ditandatangani 168 negara dan resmi mengikat total 178 di antara 193
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. FCTC yang terdiri atas sebelas bagian itu,
antara lain, mengatur kebijakan harga dan pajak rokok, perlindungan terhadap paparan
asap rokok, kandungan rokok, kemasan rokok, edukasi, komunikasi, pelatihan dan
perhatian publik, promosi atau iklan rokok, serta perlindungan bagi lingkungan.
Tujuannya, melindungi generasi masa kini dan mendatang dari dampak konsumsi
tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 129


Penutup
Hasil wawancara dengan informan secara acak yang dapat dijumpai secara insidental
sejumlah 38 orang, dapat ditarik kesimpulan, bahwa persepsi infoman secara umum tidak
terpengaruh oleh gambar (pictorial health warning) yang terdapat pada bungkus rokok, hanya
perokok pemula dan sebagian kecil dari perokok merasa ngeri, takut dengan penyakit akibat
merokok, perokok juga paling takut pada gambar kanker mulut dan paru-paru, bahkan
seorang perokok wanita mengatakan bahwa tidak percaya atas dampak merokok terhadap
janin.Gambar yang menurut para perokok tidak menakutkan adalah gambar pria yang
merokok sambil menggendong anak kecil, bahkan perokok dewasa mengganggap hal tersebut
biasa dan kalau sayang anak ya merokok sambil menggendong anak itu biasa ngak apa-
apa.Hal yang dilakukan informan/perokok adalah segera menyobek gambar PHW, membeli
rokok dalam bentuk eceran (khususnya pelajar, mahasiswa), tidak memperhatikan gambar,
dan intinya adalah tetap merokok.

Daftar Pustaka

Al Quran Surat Al a’raf (ayat) 157.

Al Quran Surat Al Baqoroh (ayat) 2 dan An Nisa (ayat) 29.

Naskah Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid bernomor 6/SM/MTT/III/2010

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang


pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk
tembakau.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 130


Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 yang mengatur tentang iklan rokok baik di
tempat umum, media cetak dan televisi

PEMANFAATAN DIGITAL PUBLIC RELATIONS (PR) DALAM SOSIALISASI


TAGLINE “jogja istimewa” HUMAS PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
Adhianty Nurjanah & Frizki Yulianti Nurnisya
Dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
Email: adhianty.nurjanah@yahoo.co.id & frizkinurnisya@gmail.com

Abstract
In disseminating new tagline to all the people of Yogyakarta, the government needed
the socialization process so Public Relations of the Government of Yogyakarta take a role as
a communicator and mediator between the government and the people of the city of
Yogyakarta. In the era of digital communications, the use of Digital Public Relations (PR)

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 131


becomes urgent things to do in the process of socialization. By utilizing Digital PR, expected
the process of socialization of “Jogja Istimewa” as the new branding more quickly,
accurately and effectively socialized to all elements of society in the city of Yogyakarta. This
research using the case study method and qualitative descriptive research. Descriptive study
by Whitney (in Nazir, 1988: 63) said that the research for finding the facts with proper
interpretation. Studying the problems in society, research was conducted in Government
Public Relations of Yogyakarta, specializing in digital implementation of the Public Relations
(PR) in disseminating "jogja istimewa".
Keywords: Digital PR, Public Relations, Socialization

Abstrak
Dalam mensosialisasikantagline baru kepada seluruh masyarakat kota Yogyakarta
dibutuhkan proses sosialisasi dan disini peranan Humas Pemerintah Kota Yogyakarta
sebagai komunikator dan mediator antara pemerintah dan masyarakat kota Yogyakarta
sangat penting. Di era komunikasi digital, pemanfaatan media komunikasi Digital Public
Relations (PR) menjadi hal urgent yang dapat dilakukan dalam proses sosialisasi.Dengan
memanfaatkan Digital PR, diharapkan proses sosialisasi Jogja Istimewa sebagai branding
baru Kota Yogyakarta lebih cepat, tepat dan efektif tersosialisasi kepada seluruh elemen
masyarakat di Kota Yogyakarta. Dengan demikian Daerah IstimewaYogyakarta Yang Lebih
Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri dan Sejahtera Menyongsong Peradaban Baru dapat
dengan mudah terwujud. Metode penelitian ini menggunakan metode studi kasus dan
termasuk kedalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif menurut Whitney
(dalam Nazir, 1988: 63) yaitu penelitian untuk pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat. Mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, Penelitian ini dilakukan pada
Humas Pemerintah Kota Yogyakarta dengan pengkhususan pada implementasi digital Public
Relations (PR) dalam mensosialisasikan “jogja Istimewa”.
Kata Kunci: Digital, Public Relations, Sosialisasi

Pendahuluan
Sejak Undang – undang Keistimewaan (UUK) disahkan, Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) merasa perlu untuk melakukan perubahan terhadap predikat / tagline Kota Yogyakarta
dengan melakukan rebranding. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membentuk
Tim 11 yang bertugas menyeleksi 10 logo dan tagline terbaik untuk keperluan
rebrandinglogo maupun tagline Kota Yogyakarta. Adapun Tim 11 adalah Tim yang
beranggotakan tokoh masyarakat, pekerja kreatif, dan akademisi di Kota Yogyakarta. Tim 11
ini akan menjadi formatur awal untuk merealisasikan terbentuknya dewan yang akan
mengawal proses city branding yang melibatkan seluruh ekosistem masyarakat Kota
Yogyakarta.1 Dengan demikian, rebranding ini tak hanya menghasilkan logo dan slogan baru
bagi Kota Yogyakarta, tetapi juga sosialisasi nilai dan semangat baru kepada warga
Yogyakarta yang sesuai dengan visi misi pemerintah daerah yaitu Daerah

1 Diakses dari http://urunrembugjogja.com pada pada tgl 2 Feb 2016 pukul 13:10 WIB.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 132


IstimewaYogyakarta Yang Lebih Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri dan Sejahtera
Menyongsong Peradaban Baru.2
Tagline baru Kota Yogyakarta berupa kata “istimewa” sebagai pengganti tagline lama
“Never Ending Asia”. Sedangkan logo barunya berupa tulisan “jogja” dengan huruf kecil
semua. Tampilan logo dan tagline menggunakan warna merah bata dengan latar belakang
putih.Warna merah bata,mewakili warna khas Kraton Yogyakarta. Warna itu merupakan
simbol keistimewaan Yogyakarta yang dalam bahasa Jawa diartikan sama dengan
gumregahsimbol gerakan rakyat. Jogja gumregah itu sama istimewanya. Sultan, yang turut
menentukan branding baru “jogja Istimewa”, mengatakan branding baru itu dipilih karena
kalimat yang dipakai sederhana. Tak banyak lekukan pada logonya, dan kesederhanaan itu
mewakili karakter masyarakat Yogyakarta.3
Logo dan Tagline baru Kota Yogyakarta membutuhkan proses sosialisasi agar bisa
diterima oleh seluruh elemen masyarakat Kota Yogyakarta. Apalagi saat ini telah muncul
gerakan #JogjaDaruratLogo, sebuah gerakanyang merespon kegundahan logo brand jogja
yang baru karena ketidakpuasan terhadap bentuk visual baru yang digunakan untuk
rebranding Yogyakarta.Adanya gerakan semacam ini membuktikan bahwa proses perubahan
brand ataupun logo Jogja Istimewa memerlukan proses sosialisasi yang dilakukan terutama
dari pihak Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) khususnya pihak Humas
pemerintah kota Yogyakarta. Dalam mensosialisasikan tagline baru kepada seluruh
masyarakat kota Yogyakarta dibutuhkan proses sosialisasi dan disini peranan Humas
Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai komunikator dan mediator antara pemerintah dan
masyarakat kota Yogyakarta sangat penting.
Di era komunikasi digital, pemanfaatan media komunikasi Digital Public Relations
(PR) menjadi hal urgent yang dapat dilakukan dalam proses sosialisasi.Dengan demikian,
peran Humas Pemerintah dalam menjalankan fungsi komunikasi menjadi sangatlah vital. Hal
ini dapat dilakukan melalui berbagai media komunikasi yang ada. Salah satu media yang saat
ini digunakan Humas adalah memanfaatkan Digital Public Relations.
Internet selama ini selalu menyediakan segala informasi yang dibutuhkan, sehingga
akhirnya memberikan dimensi baru dalam proses komunikasi praktisi public relations, yakni
digital public relations. Menurut Duhe, seluruh pelanggan maupun stakeholder perusahaan

2Diakses dari http://www.jogjaprov.go.id/pemerintahan/kalender-kegiatan/view/visi-misi-tujuan-dan-


sasaran pada tgl 12 maret 2015 pukul 15:32

3Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2015/02/05/058640235/Inilah-Logo-Baru-Yogyakarta-


Jogja-Istimewa pada tgl 2 Feb 2016 pukul 10:00

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 133


membutuhan informasi resmi yang bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan sehingga
keberadaan digital public relations bagi perusahaan adalah hal mutlak (Duhe, 2007: 140).
Mereka tidak boleh mengandalkan informasi liar yang disampaikan orang asing karena justru
akan menjadi bumerang yang bisa menghancurkan reputasi perusahaan. Keberadaan digital
public relations ini akan memungkinkan perusahaan terkoneksi langsung oleh pelanggan
maupun stakeholder perusahaan secara real time.
Dengan memanfaatkan Digital PR, diharapkan proses sosialisasi “jogja Istimewa”
sebagai branding baru Kota Yogyakarta lebih cepat, tepat dan efektif tersosialisasi kepada
seluruh elemen masyarakat di Kota Yogyakarta. Dengan demikian Daerah
IstimewaYogyakarta Yang Lebih Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri dan Sejahtera
Menyongsong Peradaban Baru dapat dengan mudah terwujud. Berdasarkan latar belakang
diatas, penelitian ini ingin mengetahui implementasi Digital Public Relations(PR) dalam
sosialisasi tagline “jogja Istimewa” sebagai branding baru kota Yogyakarta.

Pembahasan
Tinjauan Pustaka
Konsep Dasar Humas Pemerintah
Menurut Ruslan (2011:111) Humas pemerintah mempunyai peran yang sangat besar
dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Ada dua peran yang dimainkan oleh Humas
Pemerintah yaitu : (1) peran taktis (jangka pendek) dan (2). peran strategis (jangka panjang).
Dalam peran taktis (jangka pendek), Humas pemerintah berupaya memberikan pesan-pesan
dan informasi yang efektif dapat memotifasi rakyat dan mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap rakyat melalui pesan-pesan yang disampaikan. Dalam pesan jangka panjang
(peran strategis) Humas pemerintah berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan,
dalam memberikan proses sumbang saran, gagasan dan ide yang kreatif secara cemerlang
untuk melaksanakan program lembaga yang bersangkutan.

Humas merupakan suatu bentuk komunikasi yang berlaku terhadap semua jenis
organisasi, baik yang bersifat komersial atau bertujuan mencari keuntungan (profit) maupun
perusahaan non komersial yang tidak mencari keuntungan. Tidak perduli apakah organisasi
tersebut berada di sektor pemerintahan maupun sektor swasta. Berdasarkan penjabaran di
atas, dapat dipahami bahwa Humas adalah salah satu usaha untuk menciptakan hubungan
yang harmonis dan menguntungkan antara organisasi dengan publik dengan menumbuhkan
saling pengertian antara organisasi dengan publiknya.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 134


Adapun menurut Betty Wahyu Nilasari (2012:7) dalam bukunya Humas Pemerintah,
secara garis besar tujuan Humas Pemerintah menyangkut tiga hal yaitu:
a) Reputasi dan citra: tugas humas tidak lepas dari reputasi dan citra, ini artinya asumsi
bahwa citra yang positif akan berkaitan dengan tingginya akses publik terhadap output
dari organisasi tersebut.
b) Jembatan komunikasi: humas menjadi komunikator dan mediator dalam penyampaian
aspirasi kepemerintah.
c) Mutual benefi trelationship: ,humas harus menjamin bahwa pemerintah berada dalam
operasinya memiliki niat baik dalam mewujudkan tanggungjawab social dan
diekspresikan melalui hubungan yang saling menguntungkan diantara pemerintah dan
publik.
Sedangkan fungsi Humas pemerintah Menurut Edward L Bernays dalam (Nilasari : 9) yaitu:
a. Memberikan penerangan kepada masyarakat
b. Melakukan persuasi untuk mengubah sikap dan perbuatan masyarakat secara langsung,
dan.
c. Berupaya untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan suatu badan atau lembaga sesuai
dengan sikap dan perbuatan masyarakat atau sebaliknya.

Konsep Dasar Sosialisasi


Sosialisasi menurutBroom dalamSoekamto(2005)dapat dilihat berdasarkan dua sudut
pandang yaitu dari sudut masyarakat dan individu. Sosialisasi dari sudut pandang masyarakat
yaitusebuah proses penyelarasan individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan
hidup yang terorganisasi dan mengajarkan tradisi-tradisi budaya masyarakatnya. Dengan kata
lain sosialisasi dalah sebuah tindakan yang mengubah kondisi manusia dari human-animal
menjadi human-being untuk menjadi mahluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan
kebudayaannya.
Sedangkan dari sudut individual, sosialisasi merupakan proses mengembangkan diri
melalui interaksi dengan orang lain dalam memperoleh indentitas, mengembangkan nilai-
nilai dan aspirasi-aspirasi.Dalam hal ini, sosialisasi adalah suatu proses mendapatkan
pembentukan sikap atau untuk berperilaku sesuai dengan prilaku kolompoknya. Adapun
dalam hal ini proses sosialisasi khususnya untuk kegiatan Humas Pemerintah lebih kepada
bagaimana proses mengenalkan, mengkampanyekan suatu program pemerintah melalui
interaksi untuk memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi kepada
masyarakat.

Sosialisasi Efektif

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 135


Menurut Emerson (dalam Hasibuan 2005:242) efektifitas adalah pengukuran dari
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Sedangkan Sondang P Siagian (2001:24) mendefinisikan bahwa efektifitas adalah
pemanfaatan sumberdaya, sarana, dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar
ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa dari kegiatan yang
dihasilkan. Dalam hal ini efektifitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya
sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, jika hasil kegiatan mendekati sasaran berarti
kegiatan tersebut semakin tinggi tingkat efektifitasnya. Dalam hal ini, proses sosialisasi
dikatakan efektif jika kegiatan proses mengenalkan, mengkampanyekan melalui interaksi
dengan memanfaatkan sumberdaya, sarana dan prasarana tercapai sesuai dengan sasaran yang
telah ditetapkan sebelumnya yakni untuk memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai
dan aspirasi kepada masyarakat.

Konsep Digital Public Relations


Ada banyak istilah yang digunakan para akademisi saat menulis literatur untuk
penelitian ataupun ulasan mengenai perkembangan komunikasi internet 2.0, misalkan saja
ada yang menggunakan istilah cyber (siber), new media (media baru), social media (media
sosial), media online,media virtual, media web dan media digital. Termasuk di ranah public
relations, istilah itupun berkembang menjadi cyber public relations, online PR, humas online,
PR 2.0, PR on the net, dan digital PR.Namun, istilah tersebut sebenarnya memiliki kesamaan
yakni kesemuanya melakukan peran, tugas dan praktek kehumasan dengan memanfaatkan
media internet.
Misalkan saja Bob Julius Onggo memiliki judul Cyber Public Relations akan tetapi
dalam kontennya menggunakan istilah e-PR yang didefinisikan “e” sama halnya “e” sebelum
mail dan commerce yang mengacu pada penggunaan media internet yang dimanfaatkan untuk
membangun merek (brand) dan kepercayaan (trust) (Onggo, 2004: 1). Sama halnya Walikota
Bogor, Bima Arya, dalam Konvensi Nasional Humas 2015 dengan tema Public Relations
Journey: The Sustainable Path To Trust and Reputation pada 19 November 2015 di Jakarta
menjelaskan bahwa digital media perupakan konvergensi media, karena selain mengubah
tools yang digunakan juga telah mengubah interaksi yang dilakukan. Dalam dua pendapat ini
maka bisa disimpulkan bahwa digital media ialah usaha praktisi public relationsdengan
menggunakan teknologi internet baik menggunakan perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software) untuk menjalin komunikasi one-to-manysecara terencana dan
terus menerus agar terjalin kepercayaan publik.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 136


Kegiatan PR yang dilakukan secara PR Digital tentu bersinergi dengan kegiatan PR
yang dilakukan secara offline. Diantara kedua kegiatan ini tentu memiliki benang merah yang
harus konsisten antara satu dengan yang lain. Meskipun banyak pandangan menilai media
digital lebih memiliki kelebihan melebihi media tradisional karena sifat internet yang bisa
berinteraksi mengaburkan batas geografis, kapasitas interaksi, dan yang terpenting bisa
dilakukan secara real time (Vivian dalam Nasrullah: 2014: 14).
Perbedaan karakteristik tersebut bisa disederhanakan dengan tabel berikut ini
(Nasrullah, 2014: 14) :
Tabel 1. Perbedaan Antara Era Media Pertama dan Kedua
Era Media Pertama (Broadcast) Era Media Kedua (Interacivity)

Tersentral (dari satu sumber ke banyak Tersebar ( dari banyak sumber ke


khalayak) banyak khalayak)
Komunikasi terjadi satu arah Komunikasi terjadi timbal balik atau
dua arah
Terbuka peluang sumber atau media untuk Tertutupnya penguasaan media dan
dikuasai bebasnya kontrol terhadap sumber
Media merupakan instrumen yang Media memfasilitasi setiap khalayak
melanggengkan strata dan ketikda setaraan kelas (warga negara)
sosial
Terfragmentasinya khalayak dan dianggap Khalayak bisa terlihat sesuai dengan
sebagai massa karakter dan tanpa meninggalkan
keragaman identitasnya masing-masing
Media dianggap dapat atau sebagai alat Media melibatkan pengalaman
mempengaruhi kesadaran khalayak baik secara ruang dan waktu.

Ini mengindikasikan bahwa penggunaan media digital tidak sekedar mengubah media
komunikasinya sebab juga berimplikasi pada perubahan interaktivitas antara PR dengan
publiknya. Posisi diantara keduanya setara karena proses komunikasi yang dilakukan secara
digital juga memungkinkan penggunanya untuk saling memberikan tanggapan secara
langsung tanpa terhalang ruang dan waktu.
Salah satu alasan penggunaan digital public relations dikarenakan penggunaan alat ini
maka akan menghemat waktu dan uang namun bisa menciptakan metode komunikasi baru
yang lebih efektif bagi pelanggan, karyawan, investor, media dan masyarakat umum.
Kreatifitas dan keterampilan public relations dikombinasikan dengan keahlian dan
pemahaman komputer maka akan membangun citra positif perusahaan.
Hal yang harus diperhatikan oleh praktisi PR ialah ketika ia telah memutuskan untuk
menggunakan platform digital untuk aktifitas kehumasannya maka ia harus konsisten unntuk
terus memperbaharui timeline di akun digitalnya. Selain ini perlu adanya komunikasi dua

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 137


arah dengan konsumen untuk menciptakan engagement, sehingga akan lebih mudah untuk
membangun kepercayaan maupun meningkatkan pengaruh persuasif kepada khalayaknya.
Untuk mengoptimalkan fungsi digital PR, maka berikut ini adalah aktifitas PR yang bisa
dilakukan secara digital:
Gambar1. Aktifitas Digital PR

Untuk melakukan aktifitas digital PR tersebut maka praktisi PR dituntut harus


memahami secara komprehensif seluruh fungsi dan tugas PR sebagai garda terdepan menjaga
“wajah organisasi” di media digital yang dikelolanya. Bukan sekedar ikut-ikutan
menggunakan media digital karena makin maraknya pengguna media ini.

Pembahasan
Semenjak Undang – Undang No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, pemerintahan Provinsi DIY segera berbenah diri untuk mengukuhkan
keistimewaanya. Selama 13 tahun Provinsi DIY menggunakan branding “Jogja Never
Ending Asia” yang dirancang oleh pakar pemasaran, Hermawan Kartajaya.

Gambar 1. Branding Kota Yogya Tahun 2001 - 2014


Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 138
Perubahan branding yang dilakukan Pemprov DIY memang merupakan perintah dari
Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X. Jika di tahun 2001 dilaksanakan karena adanya
kebijakan otonomi daerah, maka kali ini perubahan dilakukan karena adanya Undang –
Undang yang melegalkan keistimewaan Yogyakarta. Perubahan ini juga dikarenakan semakin
ketatnya persaingan pariwisata antar daerah di Indonesia, sehingga harapannya dengan
perubahan branding ini juga bisa meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke
Yogyakarta.Dalam pembuatan logo dan Tagline “Jogja Istimewa” ini dibentuklah tim 11,
yakni mereka yang terdiri dari berbagai kalangan agar mampu mewakili aspirasi seluruh
masyarakat Yogyakarta. Adapun kesebelas (11) orang tersebut ialah4
1. HerryZudianto, mantan Walikota Jogja yang juga ditunjuk sebagai Ketua Tim 11.
2. Butet Kartaredjasa (Seniman), putra seniman besar Bagong Kussudiardjo. Butet juga
dikenal sebagai seniman yang vokal terhadap berbagai permasalahan, baik di tingkat lokal
maupun nasional.
3. SumboTinarbuko, dosen Prodi Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan
Sekolah Pascasarjana ISI Jogja. Sumbo merupakan perwakilan dari Jogja Darurat Logo,
sebuah gerakan akar rumput untuk menampung masukan maupun sumbangan logo
alternatif.
4. Ong Hari Wahyu, seniman asal Jogja ini juga bergabung dengan Asosiasi Desain Grafis
Indonesia (ADGI) Jogja. Ong merupkan art director di Film Daun di Atas Bantal.
5. Ahmad Noor Arief, direktur PT Aseli Dagadu Djogja. Dagadu dikenal sebagai produsen
aneka produk yang berciri khas Jogja.
6. Marzuki Mohammad, di akun twitternya, @killthedj, Marzuki menyebut dirinya sebagai
petani yang nyambi nge-rap di unit hip hop agraris; Jogja Hip Hop Foundation. Marzuki
juga yang menciptakan lagu Jogja Istimewa saat perjuangan Undang-undang
Keistimewaan (UUK).
7. dr. Tandean Arif Wibowo (IMA Jogja), Direktur Utama RS Panti Nugroho. Tandean
sekaligus perwakilan dari Indonesia Marketing Association (IMA) Jogja.
8. Waizly Darwin, CEO muda media Marketeers sekaligus perwakilan dari MarkPlus Inc.
9. M. Suyanto, dosen sekaligus pendiri Amikom Jogja. Selain dikenal sebagai pendidik,
Suyanto merupakan wiraswasta.
10. Fitriani Kuroda, Direktur PT Yarsilk Gora Mahottama Fitriani Kuroda. Seorang eksportir
benang sutra ke Jepang sekaligus Secretary general Jogja International Heritage Walk.

4 Diakses dari http://www.harianjogja.com/baca/2015/02/07/rebranding-jogja-inilah-11-abdi-dalem-


visual-dibalik-jogja-istimewa-575080

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 139


11. M. Arief Budiman (P31 Jogja/ADGI), CEO dan Pendiri perusahaan periklanan PT
Petaumpet. Perusahaan yang didirikan Arief pernah diganjar sebagai The Most Creative
Agency di Pinasthika Ad.Festival 2003, 2005 dan 2006.
Tim Sebelas inilah yang menciptakan branding baru “jogja istimewa” yang digunakan
sebagai rebranding Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2015 hingga sekarang.

Gambar 2. Branding Kota Yogya Tahun 2013 - Sekarang


Berdasarkan pada booklet rebrandingyang dilansir Pemerintah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, rebranding ini memiliki banyak makna yang filosofis. Penggunaan font
yang berlandaskan aksara Jawa merupakan simbol dari kekuatan akar budaya masyarakat
Yogyakarta. Menggunakan tulisan huruf kecil semua untuk penulisan “jogja” dikarenakan
simbol dari egaliterisme, kesederajatan dan persaudaraan. Sedangkan pengunaan warna
merah bata merupakan perlambang keraton dan spirit keberanian untuk mewarnai zaman baru
(masa depan) berbekal akar budaya masa lalu yang diperkaya kearifan lokal yang genuine.
Penggunaan warna merah di atas warna putih juga sebagai tanda bahwa Yogyakarta selalu
menyimpan ruh ke-Indonesiaan yang berdiri kokoh di atas sejarah panjan kebudayaan unggul
Nusantara.Diantara huruf “o” dan huruf “j” terdapat huruf “g” yang ditulis seperti angka “9”
yang merupakan perwakilan 9 renaisance yang dimanifestasikan dalam slogan gerakan
“Jogja Gumregah” dalam bidang: 1. Pendidikan; 2. Pariwisata; 3. Teknologi; 4. Ekonomi; 5.
Energi; 6. Pangan; 7. Kesehatan; 8. Keterlindungan Warga; 9. Tata Ruang dan Lingkungan.
Selain itu brandingkota Yogya menggunakan tagline “istimewa” yang berarti
pembeda dan lebih baik di banding yang lainnya. Tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai
tagline karena menginginkan masyarakat Yogyakarta menjadi bangga dengan bahasa ibu
yakni Bahasa Indonesia. Selain memiliki logo dan tagline, sebagai pendamping juga terdapat
9 ikon khusus yang mencerminkan Yogyakarta yakni: 1. Beringin Kembar; 2. Tugu; 3.
Andong; 4. Wayang; 5. Keraton; 6. Becak; 7. Merapi; 8. Pantai; dan 9. Lampu Antik. Ikon
tersebut dipilih karena merupakan ciri yang melekat pada Provinsi Daerah Istimewa

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 140


Yogyakarta sehingga dalam penulisan logo dan tagline Yogyakarta maka bisa dilengkapi
dengan ikon tersebut.Dengan demikian, inilah rebranding terbaru dari Daerah Istimewa
Yogyakarta yang harus disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Yogyakarta termasuk
masyarakat Indonesia dan mancanegara
Pemerintahan Kota Yogyakarta tentumempunyai kewajiban untuk mendukung
kebijakan yang telah ditentukan oleh Pemerintahan Provinsi DIY. Salah satu kebijakan
tersebut ialah melakukan rebranding Yogyakarta dari “never ending asia”menjadi “jogja
istimewa”. Proses sosialisasi ini dimulai dengan penerimaan perintah dari atasan.
“Kami sebagai Humas Pemkot Yogyakarta, tidak terlibat langsung saat proses
pembuatan rebranding Yogyakarta. Karena proyek ini dilakukan oleh tim sebelas atas
koordinasi dari Bappeda dan Pemerintahan Provinsi DIY. Kami hanya mendapat
anjuran agar melakukan sosialisasi dengan menggunakan media sosialisasi di semua
lini.” (wawancara dengan Tri Hastono, Kepala Humas Pemkot Yogya, tanggal 25
Februari 2016)
Dari penjelasan Tri Hastono di atas maka dapat disimpulkan bahwa peran Humas
Pemerintah Kota Yogyakarta dalam sosialisasi tagline baru kota Yogyakarta, hanya sebagai
pelaksana / implementator saja untuk memperkenalkan adanya branding baru kota
Yogyakarta saja tetapi tidak dilibatkan secara langsung. Tentu hal ini amat disayangkan
karena posisi humas dalam sebuah instansi memiliki peranan penting karena ia adalah orang
yang memiliki perpanjangan telinga untuk mendengar pendapat dari seluruh stakeholder, tak
berlebihan jika kemudian Humas dianggap bisa memiliki pertimbangan yang lebih matang
karena bisa berada diantara kepentingan seluruh stakeholder.
Peran yang dilakukan Humas Pemerintah Kota Yogyakarta juga hanya peran taktis
(jangka pendek) yakni berupaya memberikan pesan-pesan dan informasi yang efektif agar
dapat memiliki pengaruh bagi rakyat melalui pesan-pesan yang disampaikan. Dalam
pelaksanaan sosialisasi branding baruYogyakarta, Humas Pemkot Yogyakarta tidak memiliki
peran jangka panjang (peran strategis)karena ia tidak dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan, memberikan proses sumbang saran, gagasan dan ide yang kreatif untuk
melaksanakan program institusi yang bersangkutan. Humas Pemerintah Kota Yogyakarta
hanya diberikan kekuasaan untuk merancang dan menentukan alat / media komunikasi apa
yang akan digunakan untuk melakukan proses sosialiasi.
Humas Pemkot Yogyakarta dalam sosialialisasi kepada masyarakat kota Yogyakarta
menggunakan berbagai media komunikasi diantaranya dengan pemasangan baliho di
beberapa titik di Kota Yogyakarta,melakukan jumpa pers dengan media lokal seperti SKH
Kedaulatan Rakyat, SKH Harian Jogja, SKH Tribun, ,termasuk mengadakan talkshow

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 141


bekerjasama dengan TVRI Jogja , Jogja TV, ADI TV dan RRI serta bekerjasama dengan
komunitas sego gurih yang merupakan komunitas budaya lokal kota Yogyakarta untuk
memperkenalkan kepada masyarakat luas terkait dengan perubahan branding “jogja
istimewa.”
Penggunaan Digital Public Relations (PR) Humas Pemerintah Kota Yogyakarta dalam
proses sosialisasi memang belum maksimal pemanfaatannya. Sosialisasi dilingkungan
publikInternal dengan caramewajibkan seluruh pejabat di kawasan Pemerintahan Kota untuk
mengganti seluruh photo profile di social medianya, (BBM, WA, LINE dan terutama
facebook) dengan branding “jogja istimewa”. Sedangkan sosialisasi kepada masyarakat luas
(publik eksternal) hanya menggunkan websitedilakukan dengan mengganti header pada
website resmi Pemerintah Kota Yogyakarta dengan menggunakan logo baru tersebut.
Gambar 3. Header di Website Pemkot Yogyakarta saat sosialisasi tagline “jogja

istimewa”.

Gambar di atas merupakan headerwebsite yang digunakan oleh Pemerintahan Kota


Yogyakarta saat mempromosikan jogja istimewa. Diletakan di laman utama paling atas
karena dianggap bisa langsung “menyapa” orang yang berkunjung ke situs resmi milik
pemerintahan Yogyakarta. Menurut Mikael Mitangkasi, Amd selaku teknisi dan pengelola
yang bertanggung jawab terhadap situs di Pemkot Kota, pemasangan header websitehanya 1-
2 bulan saja pada saat sosialisasi tagline jogja istimwa dan setelah itu diganti sesuai tema.
“ Kami ambil gambar dari google saja, karena sudah banyak gambarnya setelah
launching di Pemprov. Kami pasang sekitar 1 atau 2 bulan setelah itu ganti
disesuaikan dengan tematik dari kami di Pemkot” (Wawancara Mikael Mitangkasi,
Amd, Pengelola Website Pemkot Yogyakarta, Jumat 8 April 2016)

Berdasarkan pernyataan, Mikael sebagai pihak pengelola Website dapat disimpulkan


bahwa pihak Pemerintah Provinsi memang tidak menyiapkan program sosialisasi ini tidak
direncanakan dengan baik karena media sosialisasi seperti materi gambar, foto, booklet,
acuan gambar dan lain sebagainya tidak diberikan kepada pihak SKPD 2 sehingga mereka
terpaksa mengambil materi dari sumber internet. Padahal untuk membuat sebuah program
sosialisasi yang terintegrasi maka perlu diadakan koordinasi dari tingkat pusat agar pesan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 142


yang akan diberikan kepada masyarakat bisa memiliki makna yang sama. Begitupun dengan
masa pemasangan yang hanya 1-2 bulan saja, kurang efektif karena tidak setiap saat
masyarakat luas membuka situs resmi Pemkot Yogyakarta namun harus berganti dengan tema
yang berbeda.
Proses maintance website ditangani pihak humas Pemkot yakni Mikael Mitangkasi,
Amd selaku admin yang bertanggung jawab atas pemilihan galeri foto, peletakan berita,
hingga sirkulasi running text di situs. Untuk pengisian konten tersebut, Mikael dibantu oleh
Kasubag Media Relations, Teddy beserta tim jurnalis untuk mengisi berita regular bahkan
dibantu oleh pihak SKPD lainnya yang akan menjadi kontributor konten website.

Gambar 4. Homepage situs www.jogjakota.go.id yang dikelola


Humas Pemkot Yogyakarta
Jika mengunjungi situs di atas maka sekilas kita bisa memantau bahwa situs tersebut
didominasi mengenai informasi bagi mereka yang akan berkunjung ke Yogyakarta baik dalam
rangka ingin berwisata ataupun berinventasi karena disiapkan portal khusus berupa peta
petunjuk daerah perkotaan Yogyakarta juga panduan investasi di Yogyakarta bahkan
dipersiapkan juga AMDAL sebagai pertimbangan rencana pembangunan proyek di
Yogyakarta. Maka bisa disimpulkan bahwa situs tersebut memang diperuntukkan bagi pihak
masyarakat luar yang akan liburan di Yogyakarta juga untuk panduan berinvestasi di
Yogyakarta.
Apalagi jika diamati portal forum berisikan masukan, komentar, saran, kritik hingga
pertanyaan sederhana, nyatanya tidak mendapat respon berupa reply atau balasan sama sekali.
Hal yang perlu diapresiasi ialah pihak humas memberikan banyak informasi berupak alamat
email, nomer telpon, bahkan hotline agar masyarakat dapat berkomunikasi secara realtime.
Akan tetapi, komentar ataupun masukan dari masyarakat tidak mendapatkan balasan sama
sekali. Apakah tidak dibalas ataukah ternyata dibalas secara personal secara langsung ke
masyarakat bersangkutan, maka ada baiknya respon tersebut juga disampaikan secara terbuka
karena untuk menghindari memberikan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan
sebelumnya.
Sosialisasi tagline “jogja istimewa” bagi warga masyarakat Kota Yogyakarta juga
belum efektif dilakukan oleh Humas Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini berdasarkan hasil

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 143


wawancara kami, banyak masyarakat Kota Yogyakarta yang belum mengetahui perubahan
tagline “jogja istimewa” tersebut. Seperti yang disampaikan Ratih Herningtyas berikut ini:
“Sebagai warga Yogya, saya tidak memahami maksud dari “jogjaistimewa”, mengapa
logonya seperti itu yang saya tahu bahwa “jogja istimewa adalah branding baru kota
Yogyakarta”. (Wawancara, Ratih Herningtyas, 12 April 2016).

Hal senada juga disampaikan oleh warga masyarakat lainnya, yang menilai bahwa
branding “jogja istimewa” dengan simbol-simbol keistimewaanya sangat “tidak familier”
untuk masyarakat Yogyakarta dan minimnya sosialisasi dari pihak pemerintah Kota
Yogyakarta terkait branding baru “jogja istimewa”.

“Saya memahami, makna “jogjaistimewa” itusebagaipenegasan dari keistimewaan


Yogyakarta yang sudahterlegitimasidalam RUUK, akan tetapi sebagai orang Yogya
asli, sayapun tidak memahami ikon / simbol yang terdapat dalam logo “jogja
istimewa”. “Menurut saya, pemerintah kota Yogyakarta juga tidak pernah melakukan
sosialisasi komprehensif terkait hal tersebut”. (Wawancara,Rahadi Saptata Abra, 15
April 2016).

Hal yang sama juga disampaikan oleh warga masyarakat kota Yogyakarta, yang
menilai bahwa simbol-simbol yang ada dalam tagline “jogja istimewa” tidak hanya tidak
dipahami oleh warga masyarakat Yogyakarta, tetapi juga kurang mendapatkan tempat bagi
masyarakat kota Yogyakarta.
“ Menurut saya, logo “jogja never ending asia” lebihmengenadaripada logo baruini,
logo yang baru ini visualnya aneh dan tidak memiliki “roh jogja” sama sekali.
(Wawancara,Surya Rahmandanu, 15 April 2016).

Berdasarkan hasil wawancara diatas, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dari
pihak Humas Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai mediator dan komunikator penyampai
pesan sosialisasi “jogja istimewa” agar seluruh elemen masyarakat tidak hanya tahu
perubahan tagline kota Yogyakarta yang baru, tetapi juga memahami nilai-nilai mulia yang
terkandung dalam branding “jogja istimewa” tersebut sehingga bukan hanya secara visual
logo “jogja istimewa” dapat diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat Kota Yogyakarta,
tetapi juga cita-cita luhur yang terkandung dalam ikon keistimewaan dalam logo “jogja
istimewa” dapat terintegrasi sehingga Daerah IstimewaYogyakarta yang lebih berkarakter,
berbudaya, maju, mandiri dan sejahtera menyongsong peradaban baru dapat terwujud.
Implementasi Digital Public Relations dalam sosialisasi tagline baru “jogja istimewa”
memang belum efektif, belum sampai pada tujuan sosialisasi yang sebenarnya yakni untuk
mengenalkan, mengkampanyekan melalui interaksi untuk memperoleh identitas,
mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam branding “jogja istimewa” dan
aspirasinya kepada seluruh masyarakat kota Yogyakarta. Selain itu kurangnya pemanfaatan

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 144


media sosialisasi yang bersifat masive, dilakukan berulang-ulang sehingga masyarakat
Yogyakarta tidak hanya tahu bahwa ada perubahan tagline “jogja istimewa, melainkan juga
bisa memahami dan memaknai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam logo “jogja istimewa”
tersebut.

Penutup
Dalam sosialisasi tagline “jogja istimewa” Humas Pemerintah Kota Yogyakarta hanya
sebagai pelaksana saja tidak dilibatkan secara langsung dan yang paling berperan adalah
Bappeda DIY dan Pemerintah Provinsi DIY. Pemanfaatan Digital Public Relationsdalam
sosialisasi “jogja istimewa” belum efektif dikarenakan kegiatan proses mengenalkan,
mengkampanyekan melalui interaksi dengan memanfaatkan sumberdaya, sarana dan
prasarana belum meyentuh pada sasaran dan tujuan sosialisasi yaitu memperoleh identitas,
mengembangkan nilai-nilai mulia yang terkandung dalam branding “jogja istimewa”.
Perlunya juga pemanfaatan media sosialisasi konvensional lainnya seperti iklan,
banner, media cetak, media elektronik, dalam sosialisasi tagline “jogja istimewa” secara lebih
massiv dan komprehensif. Perlunya pemanfaatan Digital PR yang lebih optimal agar
mempermudah tercapainya efektifitas proses sosialisasi yakni mengenalkan,
mengkampanyekan melalui interaksi untuk memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai
yang terkandung dalam branding “jogja istimewa” dan aspirasinya kepada seluruh
masyarakat kota Yogyakarta.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 145


Daftar Pustaka

Cresswell, J.W. 2009. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif and Mixed. Edisi
Ketiga. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.

Hidayat, Dasrun. 2014. Media Public Relations: Pendekatan Studi Kasus Cyber Public
Relations Sebagai Metode Kerja PR Digital. Graha Ilmu.Yogyakarta.

Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Bumi
Aksara : Jakarta.

Nazir, Muhammad.1988. Metode Penelitian.Ghalia. Jakarta.

Nilla sari, Betty Wahyu. 2012. Humas pemerintah. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Nasrullah, Rulli.2015. Media Sosial: Perspektif Komunikasi Budaya dan Sosioteknologi.


PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Morissan.2014. Manajemen Public Relations : Strategi Menjadi Humas Profesional.


Kencana Prenadamedia. Jakarta.

Moleong J, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung

Ruslan, Rosady. 2011. Manajemen Humas & Manajemen Komunikasi: Konsep dan Aplikasi.
Rajawali Press. Jakarta.

Suryani, Tatik. 2013. Perilaku Konsumen Di Era Internet. Yogyakarta: Graha Ilmu

Soerjono,Soekamto. 2005. Sosiologisuatupengantar. Rajawali Press.Jakarta.

Siagian, Sondang P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta

Sutopo, HB. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya Dalam
Penelitian, Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta.

Sugiono. 2012. Metode penelitian kuantitaif kualitatif dan R & D. Alfabeta. Bandung.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 146


BELAJAR DARI DESA:
PKK SEBAGAI ORGANISASI GERAKAN PEREMPUAN
Audra Jovani
Prodi Ilmu Politik, Fisipol-Universitas Kristen Indonesia
audra.jovani@yahoo.com

Abstract
The family is the smallest unit in society that have significant importance in the
development process, women have animportant role in shaping dignified families and foster
families. Governmentand Statecan learn from women about how to manage or make the
‘desa’ as a place to work as well as home. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) is
an women’s movement organization that make a real contribution to the Stateof trans
boundary strata,ethnicity,and religion withfamily as a priority. Members of PKK are a
partner with government and community organizations that serve as facilitator, planners,
implementers, controllers on each division for the implementation of the Ten PKK Programs.
Keywords : PKK, Women's Movement, Participation, Village.

Abstrak
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai arti penting dalam proses
pembangunan, perempuan mempunyai andil besar dalam membentuk keluarga yang bermartabat,
membina keluarga secara langsung dan menjangkau sasaran sebanyak mungkin. Negara dapat
belajar dari perempuan tentang bagaimana mengelola atau menjadikan desa sebagai tempat
berkarya sekaligus rumah. PKK merupakan organisasi gerakan perempuan dalam memberikan
kontribusi nyata bagi negara melintasi batas kelas, etnis, agama dengan prioritas menghasilkan
keluaga yang berkualitas. Tim PKK adalah mitra kerja pemerintah dan organisasi kemasyarakatan
yang berfungsi sebagai fasilitator, perencana, pelaksana, pengendali dan penggerak pada masing-
masing bidang demi terlaksananya Sepuluh Program PKK.
Kata kunci: PKK, Gerakan Perempuan, Partisipasi, Desa

Pendahuluan
PKK yang merupakan gerakan pembangunan masyarakat bermula dari Seminar
Home Economic di Bogor pada tahun 1957, yang menghasilkan rumusan 10 Segi Kehidupan
Keluarga. Kemudian ditindak lanjuti oleh Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan pada tahun 1961 yang menetapkan 10 Segi Kehidupan Keluarga sebagai
Kurikulum Pendidikan Kesejahteraan Keluarga yang diajarkan di sekolah-sekolah oleh
Pendidikan Masyarakat (PENMAS) sampai sekarang. Pada bulan Mei tahun 1962 di Desa
Salaman Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, didirikan Pusat Latihan Pendidikan
Masyarakat (PLPM) untuk menyebarluaskan 10 Segi Kehidupan Keluarga. Sekitar tahun

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 147


1967 kehidupan sebagian masyarakat Jawa Tengah sangat menyedihkan dan memprihatinkan,
khususnya daerah Dieng Kabupaten Wonosobo diantara mereka banyak yang menderita
Honger Odeem (HO). Kenyataan itu menyentuh hati Ibu Isriati Moenadi, sebagai Isteri
Gubernur Jawa Tengah saat itu, beliau merasa bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
masyarakatnya dan berinisiatif membentuk PKK di Jawa Tengah, dari tingkat Provinsi
sampai ketingkat Desa dan Kelurahan. Dengan susunan pengurus terdiri dari unsur-unsur
Isteri Pimpinan Daerah, Tokoh-tokoh masyarakat, perempuan dan laki-laki untuk
melaksanakan 10 Segi Pokok PKK secara intensif. Dari keberhasilan PKK di Jawa Tengah,
maka Presiden RI menganjurkan kepada Menteri Dalam Negeri Bapak Amir Machmud agar
PKK dilaksanakan di daerah-daerah seluruh Indonesia. Pada tanggal 27 Desember 1992
Menteri Dalam Negeri mengirimkan Surat Kawat Nomor: SUS 3/6/12 tangal 27 Desember
1972 kepada Gubernur Jawa Tengah untuk merubah nama Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, tembusan disampaikan kepada
Gubernur seluruh Indonesia. Sejak tahun 1974 Ketua PKK Jawa Tengah Ibu Kardinah
Soepardjo Rustam banyak menerima tamu-tamu dari Luar Negeri seperti; Pakistan, Burma,
Malaysia dan lain-lainnya untuk belajar mengenai PKK. Pada tahun 1978 Gubernur Jawa
Tengah Bapak Soepardjo Roestam melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri tentang hasil
Lokakarya Pembudayaan 10 Segi Pokok PKK menjadi 10 Program Pokok PKK yang sampai
sekarang menjadi program Gerakan PKK.5
Tujuan Gerakan PKK untuk mencapai keluarga sejahtera dengan tidak membeda-
bedakan golongan, agama, partai dan lain - lain. Hal ini menarik perhatian Pemerintah yang
selanjutnya Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) diatur dan dibina oleh
Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan Keputusan Presiden No 28 Tahun 1980, tentang
Perubahan LSD menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan PKK sebagai
Seksi ke 10 di LKMD. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1982,
Tim Penggerak PKK Pusat dibentuk dan dipimpin oleh Ibu Amir Mahmud, Isteri Menteri
Dalam Negeri pada tahun 1982. Sebagai langkah selanjutnya, diadakan pemantapan Gerakan
PKK baik tentang pengelolaan dan pengorganisasiannya maupun program kerja dan
administrasi melalui Pelatihan, Orientasi, RAKON dan RAKERNAS. RAKERNAS I PKK
diadakan pada bulan Maret 1982. Selanjutnya pada tahun 1983 dibawah pimpinan Ibu
Kardinah Soepardjo Roestam, melaksanakan RAKERNAS II PKK untuk memantapkan
kelembagaan PKK dengan 10 Program Pokok PKK nya. Setiap tahun diadakan Rapat

5 “Sejarah Singkat PKK” diakses dari http://www.tp-pkkpusat.org, pada tanggal 2 Mei 2016

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 148


Konsultasi, lima tahun sekali diselenggarakan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) PKK.
Kemudian pada Sidang Umum MPR Tahun 1983, berdasarkan TAP MPR No. II/ MPR/1983
tentang GBHN, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga ditetapkan sebagai salah satu wahana
untuk meningkatkan Peranan Wanita Dalam Pembangunan. Pada tahun 1984 Menteri Dalam
Negeri menerbitkan Surat Keputusan No. 28 Tahun 1984 tentang Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) yang menetapkan tentang pengertian, tujuan, sasaran, fungsi, tugas Gerakan
PKK dan ketentuan atribut-atributnya.6
Tahun 1987 atas persetujuan Presiden RI dibentuk Kelompok-kelompok PKK
Dusun/Lingkungan, RW, RT dan kelompok Dasawisma, guna meningkatkan pembinaan
warga dalam melaksanakan 10 Program Pokok PKK dan mulai tahun 1988 PKK
mendapatkan penghargaan-penghargaan Internasional seperti Maurice Pate, Sasakawa
Health Price, maupun penghargaan tingkat nasional untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan
selama ini antara lain dalam bidang; kesehatan, pendidikan, keluarga berencana, lingkungan
hidup dan lainnya. RAKERNAS III PKK dilaksanakan pada saat dipimpin oleh Ketua Umum
Ibu Kardinah Soepardjo Rustam pada tahun 1988, memantapkan pelaksanaan program-
program PKK dan mendapatkan penghargaan Hari Bumi Sedunia di Miami, Amerika. Pada
tahun 1993 dalam RAKERNAS IV PKK, yang dipimpin oleh Ibu Ketua Umum Ny. Odiana
Rudini telah memutuskan untuk ”MENETAPKAN TANGGAL 27 DESEMBER SEBAGAI
HARI KESATUAN GERAK PKK", yang diperingati setiap tahun. Pada bulan Desember
1997 menyelenggarakan Jambore Nasional Kader Posyandu yang diikuti oleh Kader-kader
PKK dari 27 provinsi, kabupaten/kota, desa/kelurahan. RAKERNAS V diadakan pada tahun
1998 dipimpin oleh Ketua Umum Ny. Emy Yogie S.M.7
Dalam acara tersebut Menteri Dalam Negeri Bapak Yogie S.M selaku Pembina PKK
memberikan penghargaan kepada Pelindung, Penasehat, Kader-kader PKK yang telah
berpartisipasi selama 25 tahun atau lebih, 15 tahun dan 10 tahun tanpa terhenti.
1. Medali Tertinggi disebut PARAMAHITA NUGRAHA.
2. Medali Utama disebut ADHI BHAKTI UTAMA.
3. Medali Madya disebut ADHI BHAKTI MADYA.
Selanjutnya TP PKK Pusat pada periode 1998 – 2005 dipimpin oleh :
1. Ibu Utari Hartono
2. Ibu Endang Syarwan Hamid
3. Ibu Suryadi Sudirdja

6 “Tujuan Gerakan PKK” diakses dari http://www.tp-pkkpusat.org, pada tanggal 2 Mei 2016

7 “Penghargaan PKK” diakses dari http://www.tp-pkkpusat.org, pada tanggal 2 Mei 2016

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 149


4. Ibu R.A. Dewi Hari Sabarno
Sesuai dengan Era Reformasi dan GBHN 1999 adanya paradigma baru pembangunan
serta Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, maka Tim
Penggerak PKK Pusat telah menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Luar Biasa PKK pada
tanggal 31 Oktober sampai dengan 02 Nopember 2000 di Bandung, yang dipimpin oleh Ibu
Suryadi Sudirdja, yang menghasilkan pokok-pokok kesepakatan antara lain, adalah
pengertian dan nomenklatur Gerakan PKK berubah dari Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, disingkat PKK., dan adanya Badan
Penyantun TP PKK disemua tingkatan.
Untuk upaya upaya peningkatan, pembinaan PKK maka diadakan :
1. Pemetaan UP2K PKK pada saat dipimpin oleh Ibu Endang Syarwan Hamid
2. Lomba Lomba Kesatua Gerak PKK- KB- Kesehatan
Hasil Kesepakatan Rakernaslub PKK tersebut selanjutnya ditetapkan menjadi
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 53 Tahun 2000 tentang Gerakan
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Dengan dasar Kepmendagri tersebut
disusunlah Pedoman Umum Gerakan PKK sebagai panduan pelaksanaan Gerakan PKK,
sampai saat ini. Pada tahun 2005 TP PKK Pusat mengadakan Rakernas VI PKK dipimpin
oleh Ketua Umum Ibu Susiyati Ma’ruf menetapkan perubahan nama badabn Penyantun PKK
menjadi Dewan Penyantun PKK, serta adanya Seragam Nasional PKK. Sejak Tahun 2009
Ketua Umum TP PKK adalah Ibu Hj. Vita Gamawan Fauzi, SH, dan pada Tahun 2010
melaksanakan Rakernas VII, dengan hasil kesepakatan penetapan perubahan Hari Kesatuan
Gerak PKK menjadi tanggal 4 Maret.8 Berdasarkan uraian diatas, penulis akan membahas
mengenai PKK sebagai gerakan perempuan dan bagaimana bangsa ini dapat belajar dari
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan perempuan yang hampir semua kegiatannya
dilakukan oleh perempuan di desa.

Pembahasan
Tinjauan Pustaka
Gerakan perempuan
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2013 tentang pemberdayaan masyarakat melalui gerakan pemberdayaan kesejahteraan

8 “Reposisi Gerakan PKK” diakses dari http://www.tp-pkkpusat.org, pada tanggal 2 Mei 2016.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 150


keluarga.9 Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat antara lain
dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat melalui gerakan pemberdayaan dan
kesejahteraan keluarga. Sesuai dengan pasal 1 ayat 5 Gerakan Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga, selanjutnya disingkat Gerakan PKK adalah gerakan nasional dalam
pembangunan masyarakat yang tumbuh dari bawah yang pengelolaannya dari, oleh dan untuk
masyarakat, menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju dan mandiri, kesetaraan
dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan. Pasal 2 Pemberdayaan
masyarakat melalui Gerakan PKK merupakan upaya memandirikan masyarakat dan bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju dan
mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan.
Gerakan pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) merupakan wadah yang
diberikan oleh pemerintah untuk perempuan. Pengelolaannya mulai dari lingkup terendah
berupa satuan pokok kerja (pokja) hingga tingkat nasional dibawah naungan menteri dalam
negeri. PKK juga dikelola oleh perempuan-perempuan akar rumput (grass root) yang
menandakan bahwa pemerintah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk
berpartisipasi aktif. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan PKK juga dapat dimanfaatkan
langsung oleh perempuan yang aktif tergabung dalam PKK diseluruh tingkatan. Keunggulan
dari PKK adalah anggotanya adalah seluruh perempuan (istri) yang keluarganya terdaftar
dalam kartu keluarga dan kependudukan. PKK tidak memberikan syarat anggota yang
berpartisipasi memiliki jenjang pendidikan atau memiliki pengalaman.
Dalam PKK siapapun perempuan, berlatarbelakang pendidikan apapun, beragama,
dan bersuku apapun diizinkan untuk aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan. PKK hanya
memberikan kewajiban berupa pengamalan sepuluh program pokok yang kemudian bisa
dikembangkan oleh anggotanya sesuai dengan potensi dan sumber yang tersedia di masing-
masing wilayah.

Partisipasi
Menurut Herbert McClosky mengatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-
kegiatan sukarela dari warga masyarakat yang melalui mana mereka mengambil bagian

9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013, Tentang Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 151


dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses
pembentukan kebijakan umum.10
Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson mengatakan bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan maksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi dapat bersifat individual
atau kolektif, terorganisir atau spontan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. 11 Definisi
Partisipasi menurut Mikklesen adalah sebagai berikut ini 12: Pertama, partisipasi adalah
“pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemampuan menerima
dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan. Kedua, partisipasi adalah
suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait,
mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu. Ketiga,
partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang
melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek agar memperoleh informasi mengenai
konteks lokal dan dampak-dampak sosial. Keempat, partisipasi adalah keterlibatan sukarela
oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. Kelima, partisipasi adalah
keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Desa
Desa adalah desa dan desaadat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asalusul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.13

10 Herbert McClosky, Political Participation, International Encyclopedia of the Social Sciences,


ed.ke-2, dalam Miriam Budiardjo. 2013.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.Hal.
367.

11 Samuel P Huntington dan Joao M. Nelson, No Easy Choice: Political Participation in Developing
Countries dalam Miriam Budiardjo. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama.Hal. 368.

12 Glenda A. Bayoa, “Partisipasi Perempuan dalam Implementasi Kebijakan Pengelolahan Program


Keluarga dan Masyarakat Sejahtera (Suatu Studi Analisi Dalam Peraturan Daerah Propinsi Papua No.9 Tahun
2008 Di Kampung Menawi Distrik Angkaisera Kabupaten Kepulauan Yapen)” dalam Governance Jurnal Ilmiah
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unsrat, Vol 5 Tahun 2013. Manado. Unsrat. Hal. 6

13 UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa diakses dari http://www.dpr.go.id pada tanggal 2 Mei 2016.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 152


Desa berhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga berdasarkan asal usul dan adat
istiadat. Desa pun merupakan wadah pemberdayaan warga negara sebagai subjek
pembangunan. Melalui UU Desa terdapat panduan dalam memuat dan mengembangkan
kemajemukan, dan dapat memberdayakan perempuan.

Analisa
PKK Sebagai Mitra Pemerintah
Gerakan PKK adalah gerakan nasional dalam pembangunan masyarakat yang tumbuh
dari bawah yang pengelolaannya dari, oleh dan untuk masyarakat menuju terwujudnya
keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan
berbudi luhur, sehat sejahtera, maju dan mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta
kesadaran hukum dan lingkungan (Rakernas VII PKK, 2010)14
Dalam hasil Rakernas dijelaskan bahwa pemberdayaan keluarga yang dimaksud
adalah segala upaya bimbingan dan pembinaan agar keluarga dapat hidup sehat sejahtera,
maju dan mandiri. Konsep kesejahteraan keluarga adalah konsep tentang terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia dari setiap anggota keluarga secara material, sosial, mental dan
spiritual sehungga dapat hidup layak sebagai manusia yang bermanfaat. Tim PKK adalah
mitra kerja pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang berfungsi sebagai fasilitator,
perencana, pelaksana, pengendali dan penggerak pada masing-masing bidang agar
terlaksananya program PKK.Secara nasional, PKK berkantor di Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia dan dipimpin oleh istri menteri Dalam Negeri. Tim penggerak PKK
diketuai oleh istri kepala daerah yang sedang menjabat baik di provinsi, kebupaten/kota,
kecamatan, kelurahan/desa hingga dusun.

Sepuluh Program PKK


Sebagai mitra pemerintah, Tim penggerak PKK wajib melaksanakan Sepuluh
Program PKK Pokok yaitu15:
1. Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Berupaya menumbuhkan ketahanan keluarga melalui kesadaran bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dengan pemahaman secara terpadu seperti: (a) Pembinaan
Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang mencakup lima unsur yaitu kecintaan tanah air,
14 Ani W. Soetjipto dan Shelly Adelina. 2013. Suara dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK. Jakarta.
Program Studi Kajian Gender dan Yayasan TIFA. Hal. 51.

15 Idem. Hal. 54-61.

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 153


kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan atas kebenaran Pancasila, kerelaan
berkorban untuk bangsa dan negara, serta memiliki kemampuan awal bela negara; (b)
Kesadaran hukum (Kadarkum) untuk meningkatkan pemahaman tentang peraturan
perundang-undangan untuk pencegahan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), trafficking (perdagangan orang), perlindungan anak, penyalahgunaan narkoba,
dan lain sebagainya; (c) Pola asih anak dan remaja dengan menumbuhkan dan
membangun perilaku, budi pekerti, sopan santun di dalam keluarga sesuai budaya bangsa;
(d) Pemahaman dan Keterampilan Hidup yaitu usaha menumbuhkan kesadaran orangtua
dalam upaya mencegah penyalahgunaan narkoba; (e) Pemahaman tertib administrasi
dalam rangka meningkatkan dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan di
keluarga.
2. Gotong Royong
Membangun kerja sama yang baik antarsesama keluarga, warga dan kelompok untuk
mewujudkan semangat persatuan dan kesatuan. Sifat gotong royong sudah ada dalam
budaya masyarakat di Indonesia seperti:
a) Jawa Tengah dan Jawa Timur: selapanan, patungan, lebotan, arisan
b) Jawa Timur: resaya, tabor
c) Jawa Barat: rereyongan, sarumpi
d) Bali: subak, sekaha
e) NTB: basuri, matag, siru
f) NTT: arong, engko, gemoking
g) Lampung: sakai-sembahyangan
h) Sumatera Utara: marsi-dapara
i) Maluku: pela-masori
j) Sulawesi Utara: mapalus
k) Kalimantan: puludow, pongerih
3. Pangan
Bidang ini mendapat perhatian khusus dengan cara menggalakkan penyuluhan untuk
pemanfaatan pekarangan antara lain dengan menanam tumbuh-tumbuhan bermanfaat
seperti sayur, umbi-umbian, buah-buahan dan bumbu-bumbu dapur, bahkan tanaman obat
yang bisa menjadi apotek hidup atau tanaman obat keluarga (toga). Pembinaan teknis
dilakukan dalam kerjasama dengan Dinas Pertanian agar warga memiliki keterampilan
pemanfaatan teknologi tepat guna untuk menunjang usaha horticultural dan agribisnis.
4. Sandang
PKK berupaya melestarikan dan menggalakkan produksi bahan dan corak pakaian yang
menjadi kekayaan budaya lokal, berupa batik, tenun, lurik, songket dan lain sebagainya.
Dengan ini juga mengikutsertakan warga dalam pameran dan lomba di tingkat lokal,
nasional bahkan internasional.
PKK menjadi fasilitator untuk menjembatani hubungan dengan para pemerhati mode
nasional, pengusaha dan dunia industry dan pariwisata. Hal utama dalam program

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 154


sandang adalah upaya PKK membudidayakan perilaku berbusana sesuai dengan budaya
Indonesia dan meningkatkan kesadaran masyarakat mencintai produksi dalam negeri.
5. Perumahan dan Tata Laksana Rumah Tangga
Melalui program ini PKK menggerakan ipaya pemugaran perumahan dan lingkungan
desa terpadu melalui pemugaran rumah layak huni terutama keluarga miskin dan
pengungsi dengan asas tri bina (bina usaha, bina manusia dan bina lingkungan) gotong
royong serta mengupayakan bantuan dari instansi/dinas terkait, bank, swasta dan
masyarakat.
Menumbuhkan kesadaran akan bahwa tinggal di daerah tegangan listrik tinggi, di
bantaran sungai, timbunan sampah, tepian rel kereta api dan menumbuhkan kesadaran
hukum tentang kepemilikan rumah dan tanah, menghemat energi, meningkatkan
pengetahunan dan keterampilan tentang tata laksana rumah tangga dalam
mengharmoniskan dan membahagiakan kehidupan berkeluarga. Bermitra dengan
instansi/dinas terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan, Badan Bimas
Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Perguruan Tinggi, dan lain-lain
6. Pendidikan dan Ketrampilan
PKK memanfaatkan jalur pendidikan non-formal, program “wajib belajar” PKK
menganjurkan keluarga untuk dapat memberikan pendidikan bagi putra-putrinya. Anak
laki-laki dan anak perempuan mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Sebagai mitra
pemerintah PKK juga berperan dalam melaksanakan program Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) dan Bina Keluarga Balita (BKB). PKK juga melaksanakan program keaksaraan
fungsional, pelatihan yang dilakukan untuk membuat kerajinan tangan, produk makanan
dan minuman yang hasilnya dapat dijual untuk meningkatkan penghasilan pendapatan
keluarga.
PKK juga meningkatkan kejar Paket A, B dan C, pendidikan dasar Sembilan tahun,
peningkatan penyuluhan, orientasi dan pelatihan, meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan baca tulis, serta membudayakan minat baca masyarakat melalui Taman
Bacaan Masyarakat (TBM) dan Sudut Baca bekerja sama dengan instansi terkait.

7. Pengembangan Kehidupan Berkoperasi


Melaksanakan evaluasi UP2K-PKK dan mengadakan lomba UP2K untuk mengetahui
progress pelaksanakan kegiatan UP2K-PKK di daerah-daerah. PKK juga memotivasi
keluarga agar menjadi anggota koperasi, memberikan pengetahuan tentang cara
pemecahan masalah permodalan untuk kegiatan UP2K-PKK melalui APBD, Lembaga
Keuangan Mikro yang ada baik yang bersifat bank seperti BRI Unit Desa, Bank

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 155


Perkreditan Rakyat, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Pedesaan, Alokasi Dana Desa (ADD), dan lain-lain.
8. Kesehatan
PKK menggerakkan terwujudnya Keluarga Sadar Gizi (Kadar-zi) dalam upaya
menurunkan prevalansi anak balita kurang gizi yang mencakup:
a) Gizi seimbang pada ibu hamil, ibu menyusui dan balita
b) Kualitas gizi pada ibu hamil yang kekurangan energy kronis dengan mengukur
lingkar lengan atas
c) Penanggulangan gangguan akibat kekurangan garam yodium
d) Suplementasi zat gizi
e) Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan
f) Makanan pendamping ASI
g) Pemberian makanan tambahan bagi balita dan lansia di posyandu
Selain itu, PKK membantu pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu saat
melahirkan, angka kematian bayi, angka kematian balita, kegiatan Posyandu melalui
pelatihan, penyegaran dan pembinaan.
9. Kelestarian Lingkungan Hidup
PKK menanamkan kesadaran tentang pengelolan kamar mandi dan jamban keluarga,
saluran pembuagan air limbah, penghematan air bersih dalam keluarga, pencegahan banjir
dengan cara tidak menebang pohon sembarangan, pembuatan lubang resapan untuk
mencegah genangan air (biopori).
10. Perencanaan Sehat
PKK meningkatkan kegiatan dalam penyuluhan tentang keluarga berencana,
membiasakan menabung, menyelanggaran peringatan hari keluarga nasional, penyuluhan
kesehatan reproduksi bagi remaja dan calon pengantin, mengatur keseimbangan antara
pemasukan dan pengeluaran keuangan keluarga.
Kesepuluh program tersebut telah dilaksanakan oleh seluruh Penggerak PKK yang
berada di tingkat pusat sampai dengan tingkat dusun. Dan jelas disini bahwa Penggerak PKK
merupakan gerakan perempuan yang mencakup seluruh aspek kehidupan dalam keluarga.

Penutup
Desa memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya berdasakan asal
usul dan adat istiadat. Oleh sebab itu, PKK dan Penggerak PKK pun dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, terlebih lagi dengan adanya Sepuluh Program yang telah
diberikan oleh pemerintah dapat meningkatkan kualitas perempuan melalui gerakan PKK.
Peran PKK tentu saja sangat bermanfaat bagi seluruh sendi kehidupan dalam masyarakat, ini
terlihat dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Penggerak PKK melalui Sepuluh
Program tersebut. Dan sebagai mitra pemerintah, PKK telah menjalankan fungsinya terutama

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 156


dalam mewujudkan pembangunan di Indonesia sekaligus membuktikan bahwa perempuan
sebagai penggerak PKK dapat diandalkan dan diperhitungkan.

Daftar Pustaka
Budiarjo, Miriam. 2013. Dasar-dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Glenda A. Bayoa. 2013 “Partisipasi Perempuan dalam Implementasi Kebijakan
Pengelolahan Program Keluarga dan Masyarakat Sejahtera (Suatu Studi Analisi Dalam
Peraturan Daerah Propinsi Papua No.9 Tahun 2008 Di Kampung Menawi Distrik
Angkaisera Kabupaten Kepulauan Yapen)” dalam Governance Jurnal Ilmiah Jurusan
Ilmu Pemerintahan FISIP Unsrat, Vol 5 Tahun 2013. Manado. Unsrat.
Mardalis. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
www.tp-pkkpusat.org/

Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 157


Jurnal Aristo Vol. 06 Tahun 2016 | 158

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai