Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus RNA yang

dapat menyebabkan penyakit klinis, yang kita kenal sebagai Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS)1. Transmisi dari ibu ke anak merupakan

sumber utama penularan infeksi HIV pada anak. Peningkatan transmisi dapat

diukur dari status klinis, imunologis dan virologis maternal. Menurut beberapa

penelitian, kehamilan dapat meningkatkan progresi imunosupresi dan penyakit

maternal. Ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat meningkatkan resiko

komplikasi pada kehamilan.1,2,3,4

Pada tahun 2001, United Nations General Assembly Special Session

untuk HIV/AIDS berkomitmen untuk menurunkan 50% proporsi infeksi HIV

pada bayi dan anak pada tahun 2010. Program tersebut termasuk intervensi yang

berfokus pada pencegahan primer infeksi HIV pada wanita dan pasangannya,

pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita infeksi HIV,

pencegahan transmisi dari ibu ke anak, pengobatan, perawatan serta bantuan

bagi wanita yang hidup dengan HIV/AIDS, anak dan keluarga mereka. Oleh

karena itu, untuk memberantas transmisi vertical HIV yang terus meningkat

diperlukan penatalaksanaan yang tepat pada ibu dan bayi selama masa

antepartum, intrapartum dan postpartum.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

HIV/AIDS ialah penyakit akibat menurunnya daya tahan tubuh yang

didapat karena infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) atau dapat juga

dikatakan sebagai kumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem imun

seseorang karena terinfeksi oleh virus HIV.

2.2. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization

(WHO) pada tahun 2008, lebih dari 15,7 juta wanita dan 2,1 juta anak dibawah

umur 15 tahun hidup dengan AIDS.5 Di Amerika Serikat sendiri, tercatat 71%

terinfeksi HIV terjadi pada wanita berumur 25 sampai 44 tahun dan 20% dari

kasus tersebut mengidentifikasi wanita berkulit hitam. Sebanyak 80% kasus

2
disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20% akibat terkontaminasi jarum

suntik dan sisanya melalui transfusi darah dan transmisi perinatal.2,4,6

HIV tipe 1 lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan HIV

tipe 2 merupakan virus endemik di Afrika, Portugal dan Perancis. Meskipun

demikian, kedua jenis virus ini akan berkembang menjadi AIDS dan

menyebabkan kematian.1,2,6

2.3. ETIOLOGI

Virus HIV adalah retrovirus yang dulu disebut LAV (Lymphadenopathy

Associated Virus)  HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III)  HIV

tipe I dan II. LAV yang ditemukan oleh Montagnier dkk pada tahun 1983 di

Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada

tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemkan di Afrika

Tengah. HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 dan yang terbanyak adalah HIV-1.

Partikel HIV terdiri atas dua untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi

envelope lipid asal sel hospes.

Virus penyebab adalah HIV merupakan virus yang secara progresif

menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan tubuh

manusia dan menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan

terhadap infeksi ataupun mudah terkena tumor/kanker. Pada awalnya penularan

HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan secara horizontal yaitu melalui

cairan tubuh saat terjadi kontak seksual (heteroseksual/homoseksual) atau

3
transfusi darah. Setelah itu, mulai terjadi penularan secara vertikal yaitu dari ibu

yang positif HIV/AIDS ke bayi.

Pada tahun 2010, sekitar 390.000 anak-anak di bawah 15 tahun terinfeksi

HIV. Sekitar 95% anak/bayi/neonatus yang positif HIV/AIDS tertular dari

ibunya.1,3,4 Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita

HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program PMTCT (Prevention of

Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT ini sangat penting karena

penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal, dan

hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan

jarum suntik yang tidak steril.

2.4. CARA PENULARAN

Terdapat beberapa cara dimana seseorang dapat terinfeksi oleh HIV.

Infeksi HIV dapat ditransmisi melalui:

1. Kontak seksual : HIV terdapat dalam air mani dan sekret vagina yang akan

ditularkan virus ke sel, kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit

menular seksual seperti sifilis akan memudahkan terjadinya infeksi HIV.

Hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus)tanpa

menggunakan proteksi dengan partner yang terinfeksi, sehingga

memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk

hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan

darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus.

4
2. Transfusi : HIV ditularkan melalui transfusi atau injeksi dengan darah yang

sudah tercemar HIV atau produk darah (infeksi melalui graf kulit, transplant

organ).

3. Melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai

bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan

pengguna narkotika, penyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang

menembus kulit.

4. Transimi vertikal (Perinatal): wanita yang terinfeksi HIV sebanyak 15-40%

berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkan

melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.

2.5. VIROLOGI DAN PATOGENESIS

HIV adalah jenis virus RNA rantai tunggal dari keluarga lentivirus.

Karakteristik dari virus ini adalah panjangnya periode inkubasi yang diikuti

dengan panjangnya durasi penyakit. HIV tipe1 lebih kuat, mematikan dan

mudah bertransmisi daripada HIV tipe2.

HIV masuk ke dalam makrofag dan sel T CD4+ melalui glikoprotein

pada permukaan sel menuju reseptor pada sel target. Keadaan ini diikuti oleh

penggabungan viral envelope dengan membran sel dan pelepasan capsid HIV ke

sel. Virus ini menggunakan virally-encoded enzyme reverse transcriptase untuk

membentuk salinan DNA yang akan disisipkan ke dalam DNA sel host dan

direkam, menyebabkan lepasnya virus baru dan penghancuran limfosit CD4.

5
Proses reverse transcription ini mudah tejadi kesalahan, mutasi dapat terjadi dan

mengarah pada resistensi obat.

HIV mempunyai kemampuan khusus untuk menginfeksi sel imun dan

menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ melalui 3 mekanisme yaitu (1)

membunuh virus langsung dari sel yang terinfeksi, (2) meningkatkan apoptosis

sel yang terinfeksi, dan (3) membunuh sel T CD4+ oleh limfosit CD8 sitotoksik.

Apabila sel T CD4+ berada dibawah level kritis, tubuh lebih mudah terserang

penyakit oportunistik, mengarah ke diagnosis AIDS.6

2.6. MANIFESTASI KLINIS

Infeksi HIV dibagi menjadi 4 fase. Fase awal atau masa inkubasi terjadi

2-4 minggu pertama setelah terinfeksi, tidak ada gejala yang terjadi. Beberapa

minggu kemudian, pasien masuk ke fase infeksi akut yang ditandai oleh gejala

mirip flu, termasuk fatigue, demam, sakit kepala, limfadenopati. Karakteristik

dari fase ini adalah viral load tinggi, berlangsung selama 28 hari sampai

beberapa minggu. Fase ini diikuti oleh fase laten panjang yaitu 5 sampai 10

tahun, gejala hampir tidak ada tetapi virus tetap aktif berkembang dan

menghancurkan sistem imun tubuh. Seiring dengan menurunnya jumlah CD4,

penurunan imun juga terjadi dan AIDS terdiagnosis saat CD4 <200/ml.

Pasien akan menghadapi ancaman hidup dari infeksi oportunistik, seperti

Pneumocystis Carinii pneumonia (PCP), Micobacterium avium complex

(MAC), tuberkulosis pulmonari, toksoplasmosis, kandidiasis, dan infeksi

cytomegalovirus (CMV) atau keganasan seperti sarkoma Kaposi dan limfoma

6
non-Hodgkin.1,2,4,6 Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh

transmisi perinatal. Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran

hematogen. Beberapa penelitian melaporkan tingginya kasus terjadi akibat

terpaparnya intrapartum terhadap darah maternal seperti pada kasus episiotomi,

laserasi vagina atau persalinan dengan forsep, sekresi genital yang terinfeksi dan

ASI. Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan infeksi HIV

mencapai 25-30%.2,3 Faktor lain yang meningkatkan resiko transmisi ini, antara

lain jenis HIV tipe 1, riwayat anak sebelumnya dengan infeksi HIV, ibu dengan

AIDS, lahir prematur, jumlah CD4 maternal rendah, viral load maternal tinggi,

anak pertama lahir kembar, korioamnionitis, persalinan pervaginam dan pasien

HIV dengan koinfeksi.2,4

Interpretasi kasus sering menjadi kendala karena pasien yang terinfeksi

HIV adalah karier asimptomatik dan mempunyai kondisi yang memungkinkan

untuk memperburuk kehamilannya. Kondisi tersebut termasuk ketergantungan

obat, nutrisi buruk, akses terbatas untuk perawatan prenatal, kemiskinan dan

adanya penyakit menular seksual. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi

lahir prematur, premature rupture of membran (PROM), berat bayi lahir rendah,

anemia, restriksi pertumbuhan intrauterus, kematian perinatal dan endometritis

pospartum.1,2

7
2.7. DIAGNOSIS

Diagnosis infeksi HIV dapat dikonfirmasi melalui kultur virus langsung

dari limfosit dan monosit darah tepi. Diagnosis juga dapat ditentukan oleh

deteksi antigen virus dengan polymerase chain reaction (PCR). Terlihat

penurunan jumlah CD4, ratio CD4 dan CD8 terbalik dan level serum

imunoglobulin meningkat pada HIV positif. Enzyme-linked immunosorbent

assay (ELISA) merupakan tes skrining HIV yang paling sering digunakan unruk

mengidentifikasi antibodi spesifik virus, baik HIV tipe 1 maupun HIV tipe 2.

Tes ini harus dikonfirmasi dengan Western blot assay atau immunoflourescent

antibody assay (IFA), untuk mendeteksi antigen spesifik virus yaitu p24,

gp120/160 dan gp41.1,2,4,6

American Congress of Obstetrics and Gynecology (ACOG)

merekomendasikan wanita berumur 19-64 tahun untuk melakukan skrining HIV

secara rutin, khususnya wanita yang beresiko tinggi diluar umur tersebut. 6 Pada

kunjungan prenatal pertama, ibu hamil harus melakukan skrining untuk infeksi

HIV.1,4,6 Apabila ibu menolak untuk melakukan tes, hal tersebut harus

dicantumkan kedalam rekam medisnya dan skrining bisa dilakukan lagi sebelum

umur kehamilan 28 minggu. Apabila hasil tes negatif tetapi dokter memutuskan

bahwa ibu adalah resiko tinggi terinfeksi HIV, tes bisa diulang kembali pada

trimester ketiga.4,6,7

Skrining untuk penyakit seksual lainnya, seperti herpes dan sifilis, juga

dianjurkan pada kehamilan. Pemeriksaan dengan spekulum vagina dikerjakan

8
untuk mendapatkan hapusan sitologi servikal dan assays untuk gonore dan

klamidia. Skrining ini juga bisa dipakai untuk rubela, hepatitis B dan C, varisella

zoster, measles, CMV dan toksoplasmosis. Apabila tes tuberkulin kulit positif,

foto toraks sebaiknya dikerjakan setelah umur kehamilan > 12 minggu untuk

mengidentifikasi penyakit paru aktif. Ibu hamil dengan HIV positif harus

mendapat vaksin hepatitis A, hepatitis B, Pneumovax, untuk mencegah infeksi

pneumokokal dan virus influenza, termasuk vaksin H1N1.1,2,6,7

Selama kehamilan, status viral load (HIV RNA-PCR) harus diperiksa

setiap bulan sampai virus tidak terdeteksi, dan dilanjutkan 3 bulan sekali

setelahnya. Pengobatan yang tepat dapat menurunkan viral load sebanyak 1

sampai 2 log dalam bulan pertama dan menghilang setelah 6 bulan pengobatan.

Evaluasi jumlah CD4 juga sangat diperlukan untuk mengetahui derajat

imunodefisiensi, perencanaan terapi ARV, terapi antibiotik profilaksis dan

metode persalinan yang akan dilakukan.2,4,5

2.8. PENATALAKSANAAN

1. Tatalaksana Prenatal

Sebelum konsepsi, wanita yang terinfeksi sebaiknya melakukan

konseling dengan dokter spesialis. Program ini membantu pasien dalam

menentukan terapi yang optimal dan penanganan obstetrik, seperti toksisitas

ARV yang mungkin terjadi, diagnosis prenatal untuk kelainan kongenital

(malformasi atau kelainan kromosomal) dan menentukan cara persalinan yang

boleh dilakukan.7,8 Wanita yang terinfeksi disarankan untuk melakukan servikal

9
sitologi rutin, menggunakan kondom saat berhubungan seksual, atau menunggu

konsepsi sampai plasma viremia telah ditekan. Profilaksis terhadap PCP tidak

diperlukan, tetapi infeksi oportunistik yang terjadi harus tetap diobati.7 Status

awal yang harus dinilai pada ibu hamil dengan infeksi HIV adalah riwayat

penyakit HIV berdasarkan status klinis, imunologis (jumlah CD4 <400/ml) dan

virologis (viral load tinggi).4,6 Riwayat pengobatan, operasi, sosial, ginekologi

dan obstetrik sebelumnya harus dilakukan pada kunjungan prenatal pertama.

Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk membedakan proses penyakit HIV

dengan perubahan fisik normal pada kehamilan.6

Intervensi untuk Mencegah Progresifitas Penyakit Pada Ibu Hamil. Highly

active anti-retroviral therapy (HAART) adalah kemoterapi antivirus yang

disarankan oleh WHO untuk ibu hamil sebagai pengobatan utama HIV selama

masa kehamilan dan postpartum. Selain memperbaiki kondisi maternal, HAART

terbukti dapat mencegah transmisi perinatal yaitu dengan mengurangi replikasi

virus dan menurunkan jumlah viral load maternal.2,3,4,5,6,8

Obat pilihan pertama yang boleh digunakan untuk ibu hamil adalah

lamivudine (3TC) 150 mg dan zidovudine (ZDV) 250 mg untuk golongan

nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), nevirapine (NVP) 200 mg

untuk golongan non-NRTIs (NNRTIs), indinavir 800 mg dan nelfinavir 750 mg

untuk golongan protease inhibitors (PI).2 Obat-obatan ini terbukti memiliki

potensi teratogenik dan efek samping maternal yang sanagt minimal. Sasaran

terapi ARV pada kehamilan adalah untuk menjaga viral load dibawah 1000

10
kopi/ml. Kombinasi terapi ARV dianjurkan untuk semua kasus yaitu 2

NRTIs/NNRTIs dengan 1 PI.3,5 Berhubung ZDV merupakan satu-satunya obat

yang menunjukkan penurunan transmisi perinatal, obat ini harus digunakan

kapan saja memungkinkan sebagai bagian dari HAART. Apabila viral load

<10,000 kopi/mL, monoterapi ZDV 250 mg dapat diberikan secara oral 2x

sehari, dimulai antara umur kehamilan 20 sampai 28 minggu. Jika wanita yang

terinfeksi HIV ditemukan pada proses kelahiran, baik dengan status HIV positif

sebelumnya atau dengan hasil rapid test, lebih dari satu pilihan pengobatan

tersedia, tetapi semua harus termasuk infus ZDV.3,4,6,9

Ibu hamil yang terinfeksi HIV dan tidak pernah mendapatkan terapi

ARV, HAART harus dimulai secepat mungkin, termasuk selama trimester

pertama. Pada kasus dimana ibu hamil yang sebelumnya mengkonsumsi

HAART untuk kesehatannya sendiri, harus melakukan konseling mengenai

pemilihan obat yang tepat. Efek samping obat terlihat meningkat pada ibu hamil

dengan jumlah sel T CD4+ <250/mL. Misalnya pada ibu dengan CD4 <200/ml

yang sebelumnya mendapat pengobatan single dose NVP, ritonavir-boosted

lapinavir ditambah tenofovir-emtricitabine, diganti dengan NVP ditambah

tenofovir-emtricitabine sebagai terapi awal. Oleh karena itu, NVP sebaiknya

bukan single dose karena berpotensi menimbulkan hepatotoksik yang fatal pada

ibu hamil.6

11
Ibu hamil juga membutuhkan antibiotik profilaksis terhadap infeksi

oportunistik yang dideritanya. Apabila CD4 <200/ml, profilaksis pilihan untuk

PCP adalah Trimetrophine/sulfamethoxazole (TMX/SMX). Pada trimester

pertama, sebaiknya obat ini diganti dengan pentamidine aerosol karena obat

berpotensi teratogenik. TMX/SMX juga digunakan untuk mencegah

toksoplasmik ensefalitis dan diberikan saat level CD4 <100/ml. Azithromycin

menggantikan clarithromycin sebagai profilaksis MAC. Dosis seminggu sekali

jika jumlah CD4 <50/ml. Wanita yang sebelumnya mengkonsumsi obat-obatan

tersebut sebelum hamil sebaiknya tidak menghentikan pengobatannya.1,2,3,6,7

Intervensi untuk Mencegah Transmisi Perinatal (PMTCT). Selain terapi

ARV dan profilaksis, pemilihan susu formula dibandingkan ASI terbukti dapat

menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak dari 15-25% sampai kurang dari

2%. Persalinan dengan elektif seksio sesaria ternyata juga dapat menurunkan

transmisi perinatal. Persalinan ini dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin

terhadapa darah maternal, akibat pecahnya selaput plasenta dan sekresi maternal,

saat janin melewati jalan lahir. Indikasi persalinan dengan elktif seksio sesaria

adalah wanita tanpa pengobatan antiviral, wanita yang mengkonsumsi HAART

dengan viral load >50kopi/mL, wanita yang hanya mengkonsumsi monoterapi

ZDV, wanita dengan HIV positif dan koinfeksi virus hepatitis, termasuk HBV

dan HCV.2,4,5,6,7,9

12
HIV dengan koinfeksi dapat meningkatkan resiko transmisi HBV dan

HCV pra perinatal. Oleh sebab itu, kombinasi 3 obat antivirus sangat

direkomendasikan tanpa memperdulikan level viral load. Misalnya pada wanita

dengan koinfeksi HBV/HIV, obat yang digunakan adalah kombinasi dual NRTI

tenofovir dengan 3TC/emitricitabine. Pasien juga harus sadar akan gejala dan

tanda dari toksisitas hati dan pemeriksaan transamninase dilakukan setiap 2-4

minggu. Selain ibu, bayi juga harus menerima imunoglobulin hepatitis B dan

memulai vaksinnya pada 12 jam pertama kelahiran. Seperti HIV, PROM juga

dapat meningkatkan transmisi HCV pada perinatal. Persalinan dengan elektif

seksio sesaria merupakan indikasi pada kasus ini. Bayi harus dievaluasi dengan

tes HCV RNA pada umur 2 dan 6 tahun atau HCV antibodi setelah umur 15

bulan.

2. Tatalaksana Komplikasi Obstetrik

Wanita dengan HIV positif yang menjadi lemah mendadak pada masa

kehamilannya, harus segera dievaluasi oleh tim multidisiplin (dokter obstetrik,

pediatrik dan penyakit dalam) untuk mencegah kegagalan diagnostik.

Komplikasi yang berhubungan dengan HIV sebaiknya dianggap sebagai

penyebab dari penyakit akut pada ibu hamil dengan status HIV tidak diketahui.

Pada keadaan ini, tes diagnostik HIV harus segera dikerjakan.

13
HAART dapat meningkatkan resiko lahir prematur. Oleh sebab itu,

pemilihan dan penggunaan terapi ARV yang tepat berperan penting dalam hal

ini. Wanita yang terancam lahir prematur baik dengan atau tanpa PROM harus

melakukan skrining infeksi, khususnya infeksi genital sebelum persalinan. Bayi

prematur <32 minggu tidak dapat mentoleransi medikasi oral, sehingga

pemberian terapi ARV pada ibu sesudah dan saat persalinan akan memberikan

profilaksis pada janinnya. Apabila bayi lahir prematur dengan PROM terjadi

pada umur kehamilan >34 minggu, persalinan harus dipercepat. Augmentation

dapat dipertimbangkan jika viral load <50 kopi/mL dan tidak ada kontraindikasi

obstetrik. Pertimbangan tersebut termasuk pemberian antibiotik intravena

spektrum luas, jika pasien terbukti ada infeksi genital atau korioamnionitis. Lain

halnya pada umur kehamilan <34 minggu, penatalaksanaannya sama tetapi obat

antibiotik oral yang diberikan adalah eritromisin.7 Semua ibu hamil, baik yang

terinfeksi HIV maupun tidak sangat memungkinkan untuk menderita anemia.

Untuk itu pemeriksaan darah lengkap wajib dikerjakan.6

3. Tatalaksana Persalinan

Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu

untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load

dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART

harus mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah

persalinan.4,5,7 Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk

melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Infus ZDV diberikan secara

14
intravena selama persalinan elektif seksio sesaria dengan dosis 2 mg/kg selama 1

jam, diikuti dengan 1 mg/kg sepanjang proses kelahiran. Pada persalinan ini,

infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya dan dilanjutkan sampai tali pusar sudah

terjepit. National Guidelines menyarankan pemberian antibiotik peripartum pada

saat persalinan untuk mencegah terjadinya infeksi.3,4,6,7,9

Ruangan operasi juga harus dibuat senyaman mungkin untuk mencegah

PROM sampai kepala dilahirkan melalui operasi insisi. Kelompok meta-analisis

Internasional Perinatal HIV, menemukan bahwa resiko transmisi vertikal

meningkat 2% setiap penambahan 1 jam durasi PROM. Jika persalinan sesaria

dikerjakan setelah terjadi PROM, keuntungan operasi jelas tidak ada. Pada kasus

ini, pemilihan jalan lahir harus disesuaikan secara individu. Oleh karena itu,

usahakan agar membran tetap intak selama mungkin.6,7 Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh ACOG pada tahun 2000, pasien HAART dengan viral load

>1000 kopi/mL, harus konseling berkenaan dengan keuntungan yang didapat

dari persalinan dengan elektif seksio sesaria dalam menurunkan resiko transmisi

vertikal pada perinatal.

Persalinan pervaginama yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh

wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Jika pasien

ini tidak ingin melakukan persalinan lewat vagina, seksio sesaria harus

dijadwalkan pada umur kehamilan 39+ minggu, untuk meminimalkan resiko

transient tachypnea of the newborn (TTN).7 Prosedur invasif seperti

pengambilan sampel darah fetal dan penggunaan elektrode kulit kepala fetal

15
merupakan kontraindikasi.2,7 Pada persalinan pervaginam, amniotomi harus

dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat

indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah lebih disarankan

untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil.6,7

4. Tatalaksana Posnatal

Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan

bayi. Dosis terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa

kembali. Indikasi penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP

200 mg dengan 3TC 150 mg tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang

lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah resistensi NVP. Imunisasi MMR

dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit CD4 diatas 200 dan

400. Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan

seksual.1,2,4,6,7

Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan

transmisi perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian

ASI pada ibu dengan HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi

ARV.2,3,5 Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan

untuk mencegah gizi buruk pada bayi. Menurut penelitian yang dilakukan di

Eropa, semua wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk

mengkonsumsi kabergolin 1 mg oral dalam 24 jam setelah melahirkan, untuk

menekan laktasi.7

16
5. Tatalaksana Neonatus

Semua bayi harus diterapi dengan ARV <4jam setelah lahir. Kebanyakan

bati diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten

terhadap ZDV, obat alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV

positif tanpa indikasi terapi ARV. Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi

HIV, seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati atau ibu dengan plasma

viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama.3,5,7

Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib

dilakukan. Tes IgA dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR

merupakan serangkaian tes yang harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6

minggu dan 12 minggu. Jika semua tes ini negatif dan bayi tidak mendapat ASI,

orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka tidak terinfeksi HIV.

Konfirmasi HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.1,7

2.9. PENCEGAHAN HIV PADA BAYI DAN ANAK

Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World

Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of

the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan

vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta

keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan.

PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol serta

kebijakan nasional.

17
Intervensi PMTCT :

 Pemeriksaan dan konseling HIV

 Antiretroviral

 Persalinan yang lebih aman

 Menyusui yang lebih aman

Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:

 Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama

persalinan dan masa menyusui

 Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV

 Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT

Faktor resiko MTCT selama kehamilan:

 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)

 Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)

 Infeksi menular seksual

 Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)

Faktor resiko MTCT selama persalinan:

 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)

 Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai

 Prosedur persalinan invasif

 Janin pertama pada kehamilan multipel

18
 Korioamnionitis

Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:

 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)

 Lama menyusui

 Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal

 Abses payudara / puting yang terinfeksi

 Malnutrisi maternal

 Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

WHO mencanangkan dua strategi untuk pencegahan penularan HIV pada

bayi dan anak, yaitu :

1. Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita

jangan sampai terinfeksi HIV.

Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat

jangan sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia pada

pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal ini

dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan secara seksual harus

dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika

suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.

Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal

standar. Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien dengan

19
HIV / AIDS (ODHA) tidak termasuk kelompok resiko tinggi tertular HIV,

khususnya bila menerapkan prosedur baku kewaspadaan universal pencegahan

penularan infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat

menularkan HIV atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.

Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah

dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah

autologus. Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV

sebelum kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada

kunjungan pertama. Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT

(Voulentary Counseling and Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani

tes HIV. Sasarannya adalah wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan

menyusui.

2. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV

positif

Ada tiga strategi yang dicanangkan :

1. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan

Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak

mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan

penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk

mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk

mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah

20
terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk

keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat

membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.

2. Menunda kehamilan berikutnya

Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun

jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :

 Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat

menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita

yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan mengalami

perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih mudah terjadi.

 Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah

penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai

angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya

seperti kontrasepsi oral atau noorplant.

 Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti

noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada

wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk

mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap

perjalanan penyakit HIV.

 Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun

mencegah penularan HIV.

21
 Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat

adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).

Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah

kehamilan, maka pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk

mencegah penularan HIV.

3. Gantikan efek kontrasepsi menyusui

Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke

bayi menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu

alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

22
BAB III

ILUSTRASI KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. K Nama suami : Tn. E


Umur : 27 tahun Umur : 28 tahun
Pendidikan : DIII Kebidanan Pendidikan : SMA
Jenis kelamin : Perempuan Agama : Kristen
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : PT. Lindo
Alamat : Jl. Jend Sudirman Suku : Batak
Agama : Kristen
Suku : Batak
No RM : 326805

2. ANAMNESIS

Seorang pasien masuk kamar bersalin RSUD Kota Dumai pada hari

jumat tanggal 11 Agustus 2017 kiriman URJ/Unit Rawat Jalan RSUD Kota

Dumai jam 11.15 WIB.

Keluhan utama

Hemoglobin Rendah yaitu 8,6 gr/dl

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli kebidanan RSUD kota Dumai untuk kontrol

kehamilannya dan persiapan sc besoknya atau hari sabtu tanggal 12 agustus

2017. Dari hasil labornya terdapat keluhan hemoglobin rendah yaitu 8,6

gr/dl, dan pasien dianjurkan untuk dirawat diruangan kebidanan serta

23
transfusi darah 1 kantong. Pasien mengaku hamil anak pertama dengan usia

kehamilan 37-38 minggu. Keluar air-air tidak ada, keluar lendir bercampur

darah juga disangkal. pasien mengaku tidak mengeluhkan demam, pusing,

mual dan muntah. BAK (+), BAB (+). Pasien mengaku masih merasakan

gerak aktif janin dalam kandungannya. HPHT tanggal 10 November 2016.

Riwayat hamil muda

Mual (+), muntah (+), pusing (-), nafsu makan baik, tidak mengganggu

aktivitas

Riwayat hamil tua

Mual (-), muntah (-), nafsu makan baik

Riwayat Pre Natal Care

Pasien rutin periksa kehamilannya.

Riwayat makan obat

Minum vitamin dan suplemen asam folat

Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat hipertensi (-)

- Riwayat DM (-)

- Riwayat asma (-)

- Riwayat alergi (-)

Riwayat penyakit keluarga

- Riwayat hipertensi (-)

- Riwayat DM (-)

- Riwayat asma (-)

24
- Riwayat alergi (-)

Riwayat haid

Menarche usia 14 tahun. Haid teratur setiap bulan, selama 7 hari, nyeri

berlebihan saat menstruasi disangkal. Siklus 28 hari, jumlah darah haid 2x

ganti pembalut sehari. HPHT 10 November 2016, TP 17 Agustus 2017

Riwayat perkawinan

- Ini pernikahan yang pertama tahun 2016, menikah umur 26 tahun, lama

pernikahan 9 bulan.

Riwayat kehamilan/R. Abortus/R. Persalinan

- Kehamilan pertama tahun 2017. Hamil saat ini

Riwayat KB : -

3. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD = 120/80 mmHg R = 20 x/menit
N = 80 x/menit T = 36,5 oC
- Gizi : Baik
- Kepala : Normochepal
- Mata : Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra (-)
- Hidung : Deviasi septum (-)
- Mulut : Bibir sianosis (-), lidah kotor (-)
- Leher :Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),
peningkatan JVP (-)

25
- Thorak

Paru-paru : I : Pergerakan dinding dada simetris

P : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri

P : Sonor pada kedua lap. Paru

A : Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung

I : Ictus cordis tidak terlihat

P : Ictus cordis Teraba di ICS V, linea

midclavicula sinistra

P : Batas jantung kanan linea sternalis

Batas jantung kiri  ICS V linea

midclavicula sinistra

A : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

- Abdomen : Sesuai status obsetrikus

- Genitalia : Sesuai status obsetrikus

- Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2”

4. STATUS OBSTETRIKUS

- Muka : Chloasma gravidarum (-)

- Mammae : Hiperpigmentasi areola (+), pembengkakan (-)

- Abdomen

 Inspeksi : Perut cembung besar sesuai dengan usia

kehamilan

26
 Palpasi

 L1 teraba massa bulat lunak besar (bokong)

 L2 tahanan terbesar di kiri dan bagian kecil di kanan

(Punggung kiri)

 L3 bulat keras kecil (kepala)

 L4 sudah masuk pintu atas panggul/divergent

TFU : 34 cm, TBJ: 3200 gram, His (-)

 Auskultasi : DJJ 142x/menit

- Genitala eksterna : keluar air (-), perdarahan (-)

- Pemeriksaan dalam (VT) : Tidak dilakukan

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Laboratorium tanggal 3/08/2017

Darah lengkap

Golongan Darah : O Rh (+)


Hemoglobin : 8,6 gr/dL
Leukosit : 9.300 mm3
Trombosit : 303.000 mm3
Eritrosit : 3.380.000 mm3
MCV : 75 FL
MCH : 25 PG
MCHC : 34%
Hematokrit : 25%
Masa perdarahan : 3 menit
Masa pembekuan : 3 menit

27
GDR : 106 mg/dL
SGOT : 35 mg/dL
SGPT : 12 mg/dL
Ureum : 5 mg/dL
Kreatinin : 0,9 mg/dL
Imuno Serologi
HbsAg : Negatif
HIV (rapid test) / AIDS : Reaktif

- Laboratorium tanggal 11/08/2017 jam 12.00


Hemoglobin : 8,8 gr/dl
Leukosit : 10.600 mm3
Trombosit : 221.000 mm3
Eritrosit : 3.360.000
MCV : 74 FL
MCH : 26 PG
MCHC : 35%
Hematokrit : 25%
Hemostasis
Masa perdarahan : 2 menit
Masa pembekuan ; 3 menit

28
- USG

Gravid tunggal intrauterine, hidup, letak kepala, usia kehamilan 37-38

minggu, DJJ 142 kali/m, tafsiran berat janin 3200 gr, ketuban cukup,

OUI terbuka, plasenta lokalisasi korpus posterior.

6. DIAGNOSIS

G1P0A0 Gravid 37-38 minggu + HIV (+) pada ibu, Janin tunggal intrauterin

keadaan hidup.

7. TERAPI

- Jelaskan hasil pemeriksaan

- Observasi his, DJJ, TTV dan tanda-tanda inpartu

- Rencana transfusi darah 1 kolf, 1 kolf lagi untuk SC besok

- Lakukan persiapan untuk transfusi darah

29
- Lakukan persiapan untuk SC elektif besok (sio chrosmatch)

- IVFD RL 20 tpm

- IVFD Nacl 0,9% sebelum transfusi

- Transfusi darah 1 kolf (malam harinya)

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK YANG DIUSUSLKAN

- Cek Hb setelah transfusi

Hasil labor setelah transfusi : Hb 9,8 gr/dl

9. RENCANA TINDAKAN

Seksio Cesarea

10. LAPORAN TINDAKAN

Dilakukan operasi sesksio sesarea pada hari sabtu, 12 Agustus 2017, jam

12.10 WIB, dengan G1P0A0 (37-38 minggu) + HIV, presentasi kepala,

keaadaan pasien sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan sadar,

tanda – tanda vital TD : 130/90 mmHg, HR : 100 x/m, RR : 22 x/m, T :

37oC, SpO2 : 98. Obat yang di berikan pramedikasi inj. Ondansentron 1

ampul. Jam operasi selesai 13.10 WIB. Bayi lahir hidup dengan jenis

kelamin perempuan, berat badan lahir 3930 gram, panjang 49 cm, keadaan

bayi hidup. Plasenta lahir manual di OK, utuh dengan kesan lengkap.

Keadaan ibu setelah operasi kesadaran composmentis, TD 100/70, HR 80

x/m, RR 20 x/m. Diet pasien boleh makan 3-4 jam setelah operasi.

30
11. PROGNOSIS

Dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


11/08/17 Pasien tidak KU: Baik G1P0A0 IVDR RL
23.00 ada keluhan, Kesadaran: CM (37-38 Jam 19.00
Os rencana TD : 110/80 mgg) + transfusi darah
operasi sc mmHg HIV 1 kolf,
elektif besok HR : 80 kali/menit sebelum
pagi. RR : 20 kali/menit transfusi IVFD
T : 36,5 Nacl 0,9%
DJJ(+)

12/08/2017 Os tidak ada KU: sedang G1P0A0 IVFD RL


08.00 keluhan, Kesadaran: CM. (37-38
rencana sc TD :120/70 mgg) +
elektif pagi ini mmHg HIV
RR : 20
kali/menit.
HR : 82
kali/menit.
TFU : sesuai usia
kehamilan, his (-),
DJJ (+)
Hb setelah
transfusi 9,8 gr/dl

12/08/17 Nyeri luka TD 100/70 mmHg Post SC IVFD RL


Post operasi opersi (+) HR : 80 x/i jam 13.10 Inj.
Menggigil (+) RR : 20 x/i dengan Cefotaxime/
BAK (kateter) T : 36,5 ºC P1A0 + 12 jam
BAB (-) HIV Kalnex/8 jam
Pronalges/8
jam
Drip Syinto :
Metergin 1 : 1

31
13/08/2017 Nyeri luka TD 110/70 mmHg Post SC IVFD RL
operasi (+) HR : 84 x/i hari I Inj.
BAK lancar RR : 20 x/i P1A0 + Cefotaxime/
(kateter) T : 36,8 ºC HIV 12 jam
BAB (-) Hb : 10,0 gr/dl Kalnex/8 jam
Demam (-) L : 18.600 Pronalges/8
HT : 29 % jam
Sore aff Cripsa tab 2x1
kateter Nonemi
tab1x1
Methilergo tab
3x1
Asam
mefenamat tab
3x1
14/08/2017 Nyeri luka TD : 110/80 Post SC Cripsa tab
operasi (+) mmHg hari ke II 2x1
BAK lancar HR : 82 x/i P1A0 + Nonemi
BAB (+) RR : 20 x/i HIV tab1x1
Demam (-) T : 36,8 ºC Methilergo tab
3x1
Asam
mefenamat tab
3x1
15/08/2017 Nyeri luka TD : 110/70 Post SC Cripsa tab 2x1
operasi (+) mmHg hari ke III Nonemi
BAK lancar HR : 80 x/i P1A0 + tab1x1
BAB belum RR : 20 x/i HIV Methilergo tab
ada pagi ini T : 36,8 ºC 3x1
Demam (-) Asam
mefenamat tab
3x1

* Pasien boleh
pulang dan
dianjurkan
untuk kontrol

32
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, berdasarkan definisi HIV/AIDS adalah penyakit akibat

menurunnya daya tahan tubuh yang didapat karena infeksi HIV (Human

Immunodeficiency Virus) atau dapat juga dikatakan sebagai kumpulan gejala

penyakit karena menurunnya sistem imun seseorang karena terinfeksi oleh virus

HIV. Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh transmisi

perinatal. Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen.

Penegakan diagnosis infeksi HIV dapat dikonfirmasi melalui kultur virus

langsung dari limfosit dan monosit darah tepi. Diagnosis juga dapat ditentukan

oleh deteksi antigen virus dengan polymerase chain reaction (PCR). Terlihat

penurunan jumlah CD4, ratio CD4 dan CD8 terbalik dan level serum

imunoglobulin meningkat pada HIV positif. Dari anamnesis yang dilakukan

pada pasien, diketahui bahwa pasien sudah menderita HIV sebelum menikah

dengan suaminya. Pada tahun 2015 pasien sudah pernah di rawat di RSUD ini

dengan keluhan hemoglobin rendah dan harus transfusi darah sebanyak enam

kantong. Keluhan lain yang dirasakan pasien pada saat itu ialah demam. Namun

selama kehamilan ini pasien tidak ada merasakan demam, baik dari kehamilan

muda sampai kehamilan tua. Pasien hanya merasakan badan terasa lemas, nyeri

di pinggang, dan pusing namun hanya sekali-sekali. Pada pemeriksaan fisik pada

pasien semua dalam batas normal, hanya terdapat hemoglobin rendah. Pasien

masih merasakan gerak aktif janin.

33
Pada pasien ini dilakukan operasi seksio sesarea, indikasi dilakukannya

operasi seksio sesarea yaitu kehamilan dengan HIV

34
BAB V

KESIMPULAN

Di negara berkembang, lebih dari 10 juta wanita hamil hidup dengan

HIV/AIDS. Sebanyak 80% kasus disebabkan oleh hubungan heteroseksual, 20%

akibat terkontaminasi jarum suntik dan sisanya melalui transfusi darah dan

transmisi perinatal. Frekuensi rata-rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan

infeksi HIV mencapai 30%. Kasus tertinggi terjadi akibat terpaparnya

intrapartum terhadap darah maternal, sekresi saluran genital yang terinfeksi dan

ASI. ACOG merekomendasikan wanita berumur 19-64 tahun untuk melakukan

skrining HIV secara rutin, khususnya wanita yang beresiko tinggi diluar umur

tersebut. Kombinasi terapi ARV yang tepat dan pemilihan cara persalinan, yaitu

persalinan dengan elektif seksio sesaria terbukti dapat menurunkan prevalensi

transmisi HIV dari ibu ke anak dan mencegah komplikasi obstetrik secara

signifikan. Konseling dan follow up dengan dokter spesialis dari awal kehamilan

sampai persalinan juga sangat dianjurkan.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B. Human Immunodeficiency


Virus. Dalam: High Risk Pregnancy: Management Options. Edisi ke-1.
London: W. B. Saunders Company Ltd, 1994; h. 498-502.
2. Gabbe SG, Nielbyl JR, Simpson JL. Maternal and Perinatal Infection.
Dalam: Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Edisi ke-4.
Philadelphia: Churchill Livingstone, 2002; h.1320-25.
3. Department of HIV/AIDS, Department of Reproductive Health and
Research. Antiretroviral Drugs For Treating Pregnant Women and
Preventing HIV Infection in Infants. Dalam: Guidelines on Care,
Treatment and Support for Women Living With HIV/AIDS and Their
Children in Resource-Constrained Settings. Geneva: WHO. 2004; h. 1-
41.
4. Minkoff HL. Human Immunodeficiency Virus. Dalam: Creasy RK,
Resnik R, Iams JD, penyunting. Maternal-Fetal Medicine Principles and
Practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2004; h. 803-14.
5. Zorilla CD, Tamayo-Agrait V. Pharmacologic and Non-Pharmacologic
Options for The Management of HIV Infection During Pregnancy.
HIV/AIDS Research and Palliative Care in Review. 2009;1:41-53.
6. Marino T. HIV in Pregnancy. Emedicine, 2010.
7. Green-top Guideline No.39. Management of HIV in Pregnancy. Royal
College of Obstetricians and Gynecologists. 2010; h. 1-28.
8. Coll O, Suy A, Hernandez S, Pisa S, Lonca M, Thorne C, Borrell A.
Prenatal Diagnosis in HIV-Infected Women: A New Screening Program
For Chromosomal Anomalies. American Journal of Obstetricians and
Gynecologists. 2006;194:192-8.
9. Chasela CS, Hudgens MG, Jaimeson DJ, Kayira D, etc. Maternal or
Infant Antiretroviral Drugs to Reduce HIV-1 Transmission. N Engl J
Med. 2010;362:2271-81.

36

Anda mungkin juga menyukai