Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung Disease (HD), juga dikenal sebagai penyakit

'bawaan megacolon' ditandai dengan tidak adanya ganglion pada sel myenteric

dan submukosa pada pleksus dari usus. Kondisi ini pertama kali dideskripsikan

oleh ahli bedah Hindu kuno di Shushruta Samheta, dan deskripsi pertama dalam

literatur medis modern berasal dari 17 century.1

Pada tahun 1887, Harald Hirschsprung, seorang dokter anak dari

Kopenhagen, menjelaskan dua kasus yang pada akhirnya melahirkan nama

penyakit ini dengan sebutan Hirscsprung Disease. Pada waktu itu kebanyakan

anak dengan megakolon kongenital meninggal akibat malnutrisi dan

enterocolitis. Sebagai penyakit yang mendasari dasar patologis penyakit itu

diketahui, ahli bedah memotong usus proksimal yang dilatasi dan menciptakan

kolostomi. Upaya re anastomosis yang seragam pada waktu itu tidak sukses.1

Meskipun tidak adanya sel ganglion di bagian distal usus pada anak

dengan HD pertama kali dicatat oleh Tittel pada tahun 1901 dan selanjutnya

dipublikasi ulang pengamatan ini, butuh beberapa dekade untuk dokter merawat

anak-anak untuk menjadi sadar. Pengakuan pertama aganglionosis oleh seorang

ahli bedah sebagai penyebab megacolon congenital adalah oleh Ehrenpreis di

tahun 1946, yang di diikuti pada tahun 1949 dideskripsi pertama kali oleh

Swenson dari rekonstruksi yang operasi untuk HD.1

1
Meskipun operasi Swenson adalah awalnya dilakukan tanpa kolostomi,

kesulitan teknis ini sulit dilakukan pada bayi kecil dan lemah dan kurang gizi,

Oleh sebab itu ahli bedah mengadopsi pendekatan multi-dipentaskan dengan

kolostomi sebagai langkah awal. Dalam beberapa tahun terakhir, perbaikan

dalam teknik operasi dan diagnosis awal telah mengakibatkan evolusi menuju

satu-panggung dan prosedur akses minimal. Kemajuan ini telah mengakibatkan

secara signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada bayi dengan

HD.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. EMBRIOLOGI KOLON

Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik

bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas

kemudian melanjutkan ke arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di

esofagus dalam gestasi minggu kelima. Sel-sel saraf sampai di midgut dan

mencapai kolon distal dalam minggu ke-12. Migrasi berlangsung mula-

mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju ke dalam

pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya dibimbing oleh

berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang berkembang

lebih awal daripada sel-sel krista neural.1

Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam

hialuronik, yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf

berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian

bergerak menuju intestine, dimulai dari membran dasar dan berakhir di

lapisan muskular. Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus

tengah, sedangkan kolon kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot

longitudinal kolon membentuk tiga buah pita yang disebut taenia yang

berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat

dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut haustra

3
(bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal

dan dilengkapi dengan mesenterium.1

Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan

embriologik sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium

yang lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus

sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium

yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.1,2

Normalnya sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis ke

saluran gastrointestinal dari oris hingga ke anal. Pada hirschprung migrasi

sel neuroblas terhenti sebelum sampai ke rectum (gambar)1

Gambar 1. Embriologi

4
2.2. ANATOMI ANORECTAL

Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu valvula superior kiri, medial

kanan dan inferior kiri. Sebesar 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga

pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga

abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum

reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.

(Gambar 2).1

Gambar 2. Anorectum

5
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus,

berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal,

dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang

mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Sfingter ani eksterna terdiri dari 3

sling yaitu atas, medial dan depan. (Gambar 3)2.

Gambar 3. Sfingter ani

Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan

medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti

oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior.

6
Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis

interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan

daerah anus.3

Persyarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut syaraf

simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut

syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.

Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan

muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis

mensyarafi sfingter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak

mempengaruhi otot rektum.1,3

Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis).

Kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus

pelvik (syaraf parasimpatis). Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus

terdiri dari 3 pleksus, yaitu Pleksus Auerbach (terletak diantara lapisan otot

sirkuler dan longitudinal), Pleksus Henle (terletak disepanjang batas dalam

otot sirkuler), dan Pleksus Meissner (terletak di sub-mukosa). Pada

penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus

tersebut. (Gambar 4).2

7
Gambar 4. Skema Syaraf Autonom Intrinsik Usus

2.3. FISIOLOGI

Usus normal menerima persarafan intrinsik dari sistem persarafan

parasimpatis (kholinergis) dan simpatis (adrenergis). Serabut saraf

kolinergik menyebabkan perangsangan pada kolon (kontrasi) dan

menginhibisi sphincter ani, sedangkan serabut-serabut adrenergik

menginhibisi kolon (relaksasi) dan mengeksitasi sphincter. Sistem saraf

intrinsik enterik yang luas didalam dinding usus sendiri yang tersusun atas

berbagai macam serabut inhibisi non-adrenergic non-cholinergic (NANC)

8
yang berfungsi dalam pengaturan sekresi intestinal, motilitas, pertahanan

mukosa, dan respon imun. Sel-sel ganglion mengkoordinasikan aktivitas

muskular usus dengan menyeimbangkan sinyal-sinyal yang diterima dari

serabut serabut adrenergik dan kolinergik, dan dari serabut inhibisi intrinsik

(enterik) NANC.1,2

Pada Hirschsprung’s disease, sel-sel ini tidak ditemukan sehingga

koordinasi kontraksi dan relaksasi pada usus tidak terjadi. Kholinergik yang

berlebihan mungkin bertanggung jawab pada spastisitas dari segmen

aganglionik. Asetilkolin yang berlebihan akan menyebabkan produksi

berlebihan dari acetylcholinesterase, yang dapat dideteksi secara

histokimiawi dan digunakan dalam penegakkan diagnosis Hirschsprung’s

disease. Kemungkinan yang lebih penting dari kelainan adrenergik ataupun

kolinergik dalam menyebabkan spasme usus adalah ketiadaan dari serabut

saraf inhibisi NANC dari sistem saraf enterik dan transmitter

neuropeptidanya. Peptida Vasoaktif intestinal (VIP) adalah relaksan utama

pada sphincter ani internus, VIP-mengandung serabut-serabut saraf yang

tidak ada pada usus aganglionik pasien dengan Hirschsprung’s disease.

Nitric oxide (NO) adalah suatu neurotransmitter yang kuat lainnya dalam

saraf penghambat NANC, memediasi relaksasi pada usus. Sintesis NO

normalnya terdapat pada plexus enterik dalam usus. Sintase NO dan oleh

karenanya aktivitas NO tidak terdapat pada usus aganglionik pasien dengan

Hirschsprung’s disease. Kurangnya NO dan serabut saraf yang mengandung

9
VIP pada usus aganglionik pasien dengan Hirschsprung’s disease mungkin

merupakan faktor utama dalam patofisiologi penyakit ini.1,2

2.4. DEFINISI

Penyakit Hirschsprung atau disebut dengan aganglionik megakolon

kongenital merupakan salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus

neonatal (bayi berumur 0-28 hari). Penyakit Hirschsprung merupakan

penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem

saraf enterik.1,2

Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini

dikendalikan oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi

yang lahir dengan penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion

yang berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam

usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot di

bagian usus besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong

keluar feses).1,3 (Gambar 5)

Gambar 5. Gambaran usus pada Hirschprung’s disease

10
2.5. EPIDEMIOLOGI

Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup

dan merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah

pada neonatus. Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan

predominasi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan

4:1. Insidensi penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial

yang rata-rata mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Sementara

untuk distribusi ras setara untuk bayi berkulit putih dan Amerika keturunan

Afrika.4

2.6. ETIOLOGI

Penyebab tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi

genetik. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia

endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar. Gen lain yang

berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial

yang diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen

endothelin-3. Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down syndrome,

sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit Hirschprung juga memiliki

trisomi 21.1,5

11
2.7. KLASIFIKASI HIRSCHPRUNG

Hirschsprung dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang

terkena, yaitu:3,4

 Ultrashort Segment

Segmen aganglionisis mulai dari 1/3 bawah rectum, terjadi pada

sekitar <1% kasus penyakit Hirschsprung.

 Short Segment

Daerah aganglionisis terdapat pada rektosigmoid, merupakan 70-80%

tipe hirschprung yang paling sering terjadi. Tipe ini lebih sering

ditemukan pada laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pada tipe

segmen pendek yang umum, insidennya 5 kali lebih besar pada laki-

laki dibandingkan wanita dan kesempatan saudara laki-laki dari

penderita anak untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20.

 Long Segment

Daerah aganglionisis terdapat di atas rektosigmoid hingga colon

descenden. Insidensi sebesar 10-25% dari total kasus hirschprung.

Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1

dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin.

 Total Segment

Segmen aganglionisis meliputi rektosigmoid hingga seluruh colon.

Angka kejadiannya sebesar 3-15% dari total kasus hirscprung yang

terjadi.

12
2.8. FAKTOR RISIKO

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor

yang mempengaruhi terjadi kelainan kongenital, seperti :4,5,6

1. Umur Bayi

Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling

rentanterkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung

merupakan salah satupenyebab paling umum obstruksi usus neonatal

(bayi berumur 0-28 hari).

2. Riwayat Sindrom Down

Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian

dari sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan

kromosom yang paling umum berisiko menyebabkan terjadinya

penyakit Hirshsprung adalah Sindrom Down. 2-10% dari individu

dengan penyakit Hirschsprung merupakan penderita sindrom Down.

Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan

salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah,

cacat jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.

3. Faktor Ibu

Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat

meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya.

Bayi dengan Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi

yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di

13
Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan

kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak

Karo (impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan

hubungan darah atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada

kesehatan fisik yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan

anak lahir dengan kelainan kongenital.

2.9. PATOFISIOLOGI

Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan

primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada

pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen

kolon atau lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak

adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan

akumulasi atau penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan

dengan kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal

untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi,

karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas.6,7

Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus

yang aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan

obstruksi usus fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi

penebalan dan pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas

yang banyak. Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi

14
kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal

antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada

usus bisa terjadi sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang

berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan

kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi atau anak dengan

penyakit Hirschsprung.5,7

2.10. MANIFESTASI KLINIS

Obstipasi (sembelit) merupakan tanda utama pada Hirschsprung,

dan pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Tiga tanda

(Trias) yang sering ditemukan meliputi mekonium yang terlambat keluar

(lebih dari 24 jam), perut kembung, muntah berwarna hijau. Pada neonatus,

kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari

dan bahkan lebih mungkin menandakan terdapat obstruksi rektum dengan

distensi abdomen progresif dan muntah, sedangkan pada anak yang lebih

besar kadang-kadang ditemukan keluhan adanya diare atau enterokolitis

kronik yang lebih menonjol daripada tanda-tanda obstipasi (sembelit).6,7

Terjadinya diare yang berganti-ganti dengan konstipasi merupakan

hal yang tidak lazim. Apabila disertai dengan komplikasi enterokolitis, anak

akan mengeluarkan feses yang besar dan mengandung darah serta sangat

berbau dan terdapat peristaltik dan bising usus yang nyata. Sebagian besar

tanda dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan, sedangkan yang

15
lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat keparahan

yang meningkat sesuai dengan pertambahan umur anak. Pada anak lebih tua

biasanya terdapat konstipasi kronik disertai anoreksia dan kegagalan

pertumbuhan.6,7

Gambar 6. Tampak perut kembung

16
2.11. DIAGNOSIS

Penyakit Hirschprung pada neonatus harus dibedakan dengan penyakit

obstruksi saluran cerna lainnya. Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dengan pemeriksaan penunjang.4,5,6

I. Anamnesis

1. Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya

keluar >24 jam.

2. Adanya muntah berwarna hijau.

3. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar

obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.

4. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan

serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2

minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.

Gambar 7. Foto anak yang telah besar, sesudah (kiri) dan sebelum
(kanan) tindakan definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik
setelah operasi.

17
II. Pemeriksaan Fisik

Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami

obstipasi. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka

feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian

tampak perut anak sudah kempes lagi.

Gambar 8. Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak


abdomen sangat distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang
menandakan awal terjadi komplikasi infeksi. Pasien tampak amat
menderita akibat distensi abdomennya.

III. Pemeriksaan penunjang

1. Biopsi

Biopsi yang dilakukan dapat dengan dua cara yaitu biopsy rectal dengan

pengambilan sample yang tebal dan biopsy rectal dengan penyedotan

sederhana. Keuntungan cara yang pertama adalah hasil PA yang

didapatkan mempunyai gambaran yang khas namun cara ini agak rumit

karena sebelum biopsy dilakukan prosedur seperti operasi dengan

anastesi umum, serta resiko perdarahan lebih besar. Cara yang kedua

18
mempunyai keuntungan berupa prosedurnya yang tidak rumit, resiko

perdarahan lebih sedikit, akan tetapi gambaran PA tidak khas. Hasil PA

penyakit Hirschprung pada umumnya didapatkan dinding rectum dari

lapisan mukosa sampai muskularis tidak didapatkan adanya ganglion

Meissner dan Aurbachii. 3,4,5

2. Foto Rontgent

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada

penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai

gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk

membedakan usus halus dan usus besar.

Gambar 9. Gambaran radiologi pada Hirschsprung

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa

Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas,

yaitu:

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi

19
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan

ke arah daerah dilatasi

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi

Gambar 10. Barium enema pada Hirschsprung

3. Manometri anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif

mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan

20
spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal

dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan

histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen

dasar yaitu transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon

mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau

komputer.3,4,5

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit

Hirschsprung adalah :

1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;

2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada

segmen usus aganglionik;

3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi

spinkter ani interna setelah distensi rektum akibat desakan feces.

Tidak dijumpai relaksasi spontan.

2.12. PENATALAKSANAAN

Setelah ditemukan kelainan histologik dari Hisrchsprung, selanjutnya mulai

dikenal teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan definitive

bertujuan menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit.8,9,10

1. Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan

tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube

dengan atau tanpa disertai pembilasan air garam hangat secara teratur.

21
Air tidak boleh digunakan karena bahaya absorpsi air mengarah pada

intoksikasi air, hal ini disebabkan karena difusi cepat dari usus yang

mengalami dialatasi air ke dalam sirkulasi. Penatalaksanaan dari

gejala obstipasi dan mencegah enterokolitis dapat dilakukan dengan

bilas kolon mengunakan garam faal. Cara ini efektif dilakukan pada

Hisrchsprung tipe segmen pendek-untuk tujuan yang sama juga dapat

dilakukan dengan tindakan kolostomi didaerah ganglioner.

2. Membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontiuitas usus

dapat dikerjakan dengan satu atau dua tahap. Teknik ini disebut

operasi definitive yang dapat dikerjakan bila berat badan bayi sudah

cukup (lebih dari 9 kg). tindakan konservatif ini sebenarnya akan

mengaburkan gambaran pemeriksaan barium enema yang dibuat

kemudian.

3. Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat untuk menghilangkan

gejala obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan

umum penderita sebelum operasi definitive. Berikan dukungan pada

orang tua. Karena kolostomi sementara sukar diterima. Orang tua

harus belajar bagaimana merawat anak dengan kolostomi, obsevasi

apa yang perlu dilakukan, bagaimana membersihkan stoma, dan

bagaimana menggunakan kantong kolostomi.

4. Intervensi bedah terdiri atas pengangkatan segmen usus aganglionik

yang mengalami osbtruksi. Pembedahan rektosimoidektomi dilakukan

22
dengan teknik pull-through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap

pertama, tahap kedua, dan Tahap ketiga rektosigmoidoskopi didahului

oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur tahap kedua.

Pull-through (Swenson,renbein dan Duhamel) yaitu jenis pembedahan

dengan mereksesi segmen yang menyempit dan menarik usus sehat ke

arah anus.

A. Operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosis

intususepsi ujung ke ujung usus aganglionik dan ganglionik

melalui anus dan reseksi serta anastomosis sepanjang garis

bertitik-titik.

B. Operasi Duhamel/Martin secara lebih spesifik prosedur ini

dilakukan dengan cara menaikan kolon normal kearah bawah

dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik,

membuat dinding ganda yaitu selubang aganglionik dan bagian

posterior kolon normal yang telah ditarik.

23
C. Operasi soave dilakukan dengan cara mukosa diangkat, bagian

muscular usus yang aganglionik ditinggalkan dan usus

ganglionik didorong sampai menggantung dari anus. Cara

Duhamel dan Soave bagian distal rectum tidak dikeluarkan

sebab merupakan pase operasi yang sukar dikerjakan,

anastomosis koloanal dibuat secara tarik terobos (Pull

through).

24
Persiapan prabedah rutin antara lain Lavase kolon, antibiotic, infus

intravena, dan pemasangan Tuba nasogastrik, sedangkan penatalaksanaan

perawatan pasca bedah terdiri atas perawatan luka, perawatan kolostomi,

observasi, terhadap distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis, ileus

paralitik, dan peningakatan suhu.

2.13. KOMPLIKASI

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit

Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,

enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter. Sedangkan tujuan utama dari

setiap operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas

penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik

fungsi sfingter ani.

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh

ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak

adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar

anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang

dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Menurut pengamatan Swenson

sendiri, diperoleh angka 2,5–5 %, sedangkan apabila dikerjakan oleh ahli

bedah lain dengan prosedur Swenson diperoleh angka yang lebih tinggi.

25
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan

oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur

bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi

prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat

prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat

prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa distensi abdomen,

enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan

bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga

sfingterektomi posterior.

Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat

berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat

enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan

18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson.

Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan

4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan

pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan

resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,

melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta

pemberian antibiotika yang tepat. Sedangkan untuk koreksi bedahnya

tergantung penyebab atau prosedur operasi yang telah dikerjakan. Prosedur

Swenson biasanya disebabkan sfingter ani terlalu ketat sehingga perlu

sfingterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,

26
penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak

sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang.

2.14. PROGNOSIS

Secara umum prognosis baik. 90% pasien yang segera dilakukan

tindakan pembedahan akan mengalami penyembuhan.7

27
BAB III

KESIMPULAN

1. Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai

dengan tidak adanya sel ganglion (aganglionik) parasimpatik pada

pleksus mesentrikus aurbach dan pleksus submukosa meissner

mengaikbatkan terhambatnya gerakan peristaltik sehingga terjadi

obstruksi fungsional dan hipertrofi serta dilatasi dari kolon proksimal.

2. Gejala klinis pada masa neonatus berupa pengeluaran mekonium yang

terlambat, muntah hijau, distensi abdomen. Sedangkan pada masa anak -

anak berupa konstipasi berat dan kurang asupan gizi.

3. Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos abdomen dan barium enema

penting dalam menegakkan diagnosis berupa gambaran kolon yang

mengalami dilatasi serta pemeriksaan biopsy rectal yang ditemukan secara

histology tidak ditemukannya sel-sel ganglion (aganglionik).

4. Penatalaksanaan berupa tindakan pengobatan dan pembedahan dengan

membuang bagian kolon yang aganglion dengan beberapa prosedur yaitu

Swenson, Duhamel, soave

5. Komplikasi penyakit hisrschprung yang paling berat adalah enetrokolitis,

diikuti dengan kebocoran anastomose, stenosis.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Parisi MA; Pagon, RA; Bird, TD; Dolan, CR; Stephens, K; Adam, MP
(2002). Pagon RA, Bird TC, Dolan CR, Stephens K, ed. Hirschsprung
Disease Overview. GeneReviews.
2. Samuel Nurko MD, MPH- Director Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorders, Children’s Hospital, Boston.
(2014).Hirschsprung's Disease.
3. Hirschsprung's Disease and Allied Disorders. Berlin: Springer. (2007).
4. Suita S, Taguchi T, Ieiri S, Nakatsuji T (2005). Hirschsprung's disease in
Japan: analysis of 3852 patients based on a nationwide survey in 30 years.
Journal of Pediatric Surgery40 (1): 197–201; discussion 201–2.
5. Martucciello, G; Ceccherini, I; Lerone, M; Jasonni, V (2000).
"Pathogenesis of Hirschsprung's disease". Journal of Pediatric Surgery35
(7): 1017–1025.
6. Martucciello G, Pini Prato A, Puri P, Holschneider AM, Meier-Ruge W,
Tovar JA, Grosfeld JL. (2005). Controversies concerning diagnostic
guidelines for anomalies of the enteric nervous system: a report from the
fourth International Symposium on Hirschsprung's disease and related
neurocristopathies. J Pediatr Surg.40 (10): 1527–31.
7. Kim, H. J.; Kim, A. Y.; Lee, C. W.; Yu, C. S.; Kim, J.-S.; Kim, P. N.; Lee,
M.-G.; Ha, H. K. (2008). Hirschsprung disease and hypoganglionosis in
adults: radiologic findings and differentiation. Radiology247 (2): 428–34.
8. Swenson O (1989). "My early experience with Hirschsprung's disease". J.
Pediatr. Surg.24 (8): 839–44; discussion 844–5.
9. Allan Walker (2004). Pediatric Gastrointestinal Disease:
Pathophysiology, Diagnosis, Managemen
10. Timothy R. Koch (2003). Colonic diseases. Humana Press.

29

Anda mungkin juga menyukai