Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO CAESARIA
DI RUANG BOEGENVILE
RSUD GOETHENG TARUNADIBRATA PURBALINGGA

Di susun oleh :
Christine Olifiani, S.Kep
G4D014029

STASE KEPERAWATAN MATERNITAS

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI


JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
Sectio Caesarea (SC)
1. Pengertian Sectio Caesarea
Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu persalinan
buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan
dinding rahim dengan syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gram. Sementara menurut (Bobak et al, 2004). Sectio Caesarea
merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans abdominal. Menurut (Mochtar,
1998) Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau
Sectio Caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam
rahim. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Sectio Caesarea
merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus.
2. Indikasi Sectio Caesarea
Menurut Kasdu (2003) Indikasi pemberian tindakan Sectio Caesarea
antara lain:
a. Faktor janin
1) Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan
bayi sulit keluar dari jalan lahir, umumnya pertumbuhan janin yang
berlebihan (macrosomia) karena ibu menderita kencing manis (diabetes
mellitus). Apabila dibiarkan terlalu lama di jalan lahir dapat
membahayakan keselamatan janinnya.
2) Kelainan letak janin
Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan letak
lintang. Letak sungsang yaitu letak memanjang dengan kelainan dalam
polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah. Sedangkan letak lintang
terjadi bila sumbu memanjang ibu membentuk sudut tegak lurus dengan
sumbu memanjang janin. Oleh karena seringkali bahu terletak diatas PAP
(Pintu Atas Panggul), malposisi ini disebut juga prensentasi bahu.
3) Ancaman gawat janin (fetal disstres)
Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan, memungkinkan untuk
segera dilakukannya operasi. Apabila ditambah dengan kondisi ibu yang
kurang menguntungkan. Janin pada saat belum lahir mendapat oksigen
(O2) dari ibunya melalui ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi gangguan
pada ari-ari (akibat ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim),
serta pada tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi), maka
suplai oksigen (O2) yang disalurkan ke bayi akan berkurang pula.
Akibatnya janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini dapat
menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang
meninggal dalam rahim. Apabila proses persalinan sulit dilakukan melalui
vagina maka bedah casarea merupakan jalan keluar satu-satunya.
4) Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik, dan hidrosepalus (kepala
besar karena otak berisi cairan), dapat menyababkan memutuskan
dilakukan tindakan operasi.
5) Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan keadaan gawat
darurat pada ibu atau janin sehingga harus dilakukan persalinan dengan
operasi yaitu Plasenta previa (plasenta menutupi jalan lahir), Solutio
Plasenta (plasenta lepas), Plasenta accrete (plasenta menempel kuat pada
dinding uterus), Vasa previa (kelainan perkembangan plasenta).
6) Kelainan tali pusat
Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu prolapsus
tali pusat (tali pusat menumbung), dan terlilit tali pusat. Prolapsus tali
pusat (tali pusat menumbung) adalah keadaan penyembuhan sebagian atau
seluruh tali pusat berada di depan atau di samping bagian terbawah janin
atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi. Dalam hal ini,
persalinan harus segera dilakukan sebelum terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan pada bayi, misalnya sesak nafas karena kekurangan oksigen
(O2). Terlilit tali pusat atau terpelintir menyebabkan aliran oksigen dan
nutrisi ke janin tidak lancar. Jadi, posisi janin tidak dapat masuk ke jalan
lahir, sehingga mengganggu persalinan maka kemungkinan dokter akan
mengambil keputusan untuk melahirkan bayi melalui tindakan Sectio
Caesaerea.
7) Bayi kembar (multiple pregnancy)
Tidak selamanya bayi kembar dilakukan secara Caesarea. Kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Bayi kembar dapat mengalami sungsang atau salah
letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan melalui persalinan alami. Hal
ini diakibatkan, janin kembar dan cairan ketuban yang berlebihan
membuat janin mengalami kelainan letak. Oleh karena itu, pada kelahiran
kembar dianjurkan dilahirkan di rumah sakit karena kemungkinan
sewaktu-waktu dapat dilakukan tindakan operasi tanpa direncanakan.
Meskipun dalam keadaan tertentu, bisa saja bayi kembar lahir secara
alami. Faktor ibu menyebabkan ibu dilakukannya tindaka operasi,
misalnya panggul sempit atau abnormal, disfungsi kontraksi rahim,
riwayat kematian pre-natal, pernah mengalami trauma persalinan
dan tindakan sterilisasi.
Berikut ini, faktor ibu yang menyebabkan janin harus dilahirkan dengan
operasi.
b. Faktor ibu
1) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi perempuan dengan
usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki
penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit
jantung, kencing manis (diabetes melitus) dan pre- eklamsia (kejang).
Eklamsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang
sehingga seringkali menyebabkan dokter memutuskan persalinan
dengan operasi caesarea.
2) Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Kondisi tersebut
membuat bayi susah keluar melalui jalan lahir.
3) Persalinan sebelumnya Caesar
Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
4) Faktor hambatan panggul
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan kelainan
bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit. bemafas.
Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya mioma atau tumor.
Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau macet, yang biasa
disebut distosia.
5) Kelainan kontraksi rahim
Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine
action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar
pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong atau
tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar. Apabila keadaan tidak
memungkinkan, maka dokter biasanya akan melakukan operasi
Caesarea.
6) Ketuban pecah dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi
harus segera dilahirkan. Kondisi ini akan membuat air ketuban
merembes keluar sehingga tinggal sedikit atau habis.
7) Rasa takut kehilangan
Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan
mengalami rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di
pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi tersebut sering
menyebabkan seorang perempuan yang akan melahirkan merasa
ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Sehingga untuk
menghilangkan perasaan tersebut seorang perempuan akan berfikir
melahirkan melalui Caesarea.
3. Jenis Sectio Caesarea
Ada beberapa jenis Sectio Caesarea (SC). Menurut Mochtar (1998), antara
lain:
a. Sectio Caesarea Abdominalis
1) Sectio Caesarea transperitonealis
a) Sectio Caesarea klasik atau kopral dengan insisi memanjang pada
korpus uteri
b) Sectio Caesarea ismika atau profunda dengan insisi pada segmen
bawah rahim
2) Sectio Caesarea Ekstraperitonealis,
yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak
membuka kavum abdominal.
b. Sectio Caesarea Klasik (Kopral)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira
sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
1) Mengeluarkan janin lebih cepat
2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
3) Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
1) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperinonealisasi yang baik
2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
c. Sectio Caesarea Ismika (profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang pada segmen bawah rahim
(low cervical transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
1) Penjahitan luka lebih mudah
2) Penutupan luka dengan reperitonealisasi
3) Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk menahan penyebaran isi
uterus ke rongga peritoneum
4) Perdarahan kurang
5) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan
kurang/lebih kecil
Kekurangan :
1) Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
Sementara menurut Kasdu (2003), membedakan jenis operasi Caesar
menjadi 2 yaitu sayatan melintang dan vertikal. Adapun jenis sayatannya,
operasi berlangsung sekitar 45-60 menit, tetapi proses melahirkan bayi
sendiri hanya berlangsung 5-10 menit Pemilihan jenis sayatan ini tergantung
pada perut pada operasi Caesarea sebelumnya, kembar siam, tumor (mioma
uteri) di segmen bawah uterus, hipervaskularisasi (pembuluh darah
meningkat) di segmen bawah uterus pada plasenta previa, kanker serviks,
risiko bahaya perdarahan apabila di lakukan tindakan sayatan melintang
berhubung letak plasenta, misalnya pada plasenta previa, janin letak lintang,
atau kembar dengan letak abnormal dan apabila akan melakukan
histerektomi setelah janin di lahirkan. Terdapat kerugian dari operasi
Caesarea dengan jenis sayatan melintang, antara lain: lebih berisiko terkena
peritonitis (radang selaput perut), memiliki resiko empat kali lebih besar
terkena rupture uteri pada kehamilan selanjutnya, otot-otot rahimnya lebih
tebal dan lebih banyak pembuluh darahnya sehingga sayatan ini lebih
banyak mengeluarkan darah. Akibatnya, lebih banyak parut di daerah
dinding atas rahim. Oleh karena itu, pasien tidak dianjurkan hamil lagi, jika
menggunakan anestesi lokal, sayatan ini akan memerlukan waktu dan obat
lebih banyak.
4. Anastesi pada Sectio Caesarea
Menurut Cunningham et al (2006), pembiusan adalah upaya untuk
menghilangkan rasa sakit dan nyeri pada waktu menjalani operasi. Seperti pada
tindakan pembedahan lainya, bedah Sectio Caesarea juga memerlukan
pembiusan atau anastesi. Ada 2 macam pembiusan yang biasa dilakukan dalam
operasi Sectio Caesarea, yaitu :
a. Anastesi lokal
Bius lokal merupakan alternative yang aman, namun anastesi ini tidak
dianjurkan pada ibu hamil yang menderita eklamsia, obesitas, atau alergi
terhadap lignokain (obat bius lokal). Pada pemberian obat anastesi, oleh
dokter dilakukan pada bagian lokal sekitar jaringan yang akan dilakukan
sayatan pada Sectio Caesarea, sehingga tidak mempengaruhi keadaan bagi
ibu dan bayi.
b. Anastesi regional/block spinal
Anastesi ini menghilangkan rasa dari bagian tubuh dengan cara
menghalangi transmisi rasa sakit dari serabut saraf. Pembiusan dengan
metode block spinal ini paling banyak dilakukan untuk kasus Sectio
Caesarea, sebab relative aman dan ibu tetap terjaga kesadaranya.
Pembiusan ini dilakukan dengan cara memasukan obat anastesi pada daerah
lumbal dengan jarum functie yang dosisnya telah diatur oleh tim anastesi.
5. Perawatan Pasca Bedah Caesar
Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :
a. Perawatan luka insisi
Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan sebagainya,
lalu ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik pembalut luka
diganti dan luka dibersihkan.
b. Tempat perawatan pasca bedah
Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke dalam
kamar rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar udara
selama beberapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat segera pindahkan ke
unit darurat untuk perawatan bersama-sama dengan unit anastesi, karena di
sini peralatan untuk menyelamatkan pasien lebih lengkap. Setelah pulih
barulah di pindahkan ke tempat pasien semula dirawat.
c. Pemberian cairan
Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit yang
diperlukan, agar tidak terjadi dehidrasi.
d. Nyeri
Nyeri pasca opererasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh
mereka yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri
tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat
operasi. Nyeri tersebut hampir tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan
mengalami nyeri atau gangguan terutama bila aktivitas berlebih atau
melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-tiba. Sejak pasien sadar dalam
24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah operasi. Untuk
mengurangi rasa nyeri tersebut dapat diberikan obat-obat anti nyeri dan
penenang seperti suntikan intramuskuler pethidin dengan dosis 100-150 mg
atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus.
e. Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalanya
penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya
thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak
6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien
sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasies
dapat didukukan selama 5 menit dan dan diminta untuk bernafas dalam-
dalam lalu menghembuskanya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya
untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan
pada diri pasien bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang
dirubah menjadi setengah duduk (semi fowler).selanjutnya secara berturut-
turut, hari demi hari pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar
berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5 pasca bedah.

B. Postpartum
1. Pengertian
Manurut Chaplin dalam Kartono (2006), postpartum adalah sesudah
kelahiran, satu istilah yang digunakan untuk mencirikan kondisi normal atau
kondisi patologis, sesudah kelahiran bayi. Periode postpartum adalah masa
enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi kembali ke
keadaan normal sebelum hamil. Periode ini kadang disebut puerperium atau
trimester ke empat kehamilan (Bobak et al, 2004) Masa puerperium atau
nifas didefinisikan sebagai periode selama dan tepat setelah kelahiran.
Namun secara popular, diketahui istilah tersebut mencakup 6 minggu
berikutnya saat terjadi invulsi kehamilan normal (Cunningham et al, 2006 )
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masa postpartum
adalah masa 6 minggu tepat setelah kelahiran bayi sampai organorgan
reproduksi kembali kekeadaan normal sebelum hamil.
2. Perubahan fisik
Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap normal,
dimana proses-proses pada kehamilan berjalan terbalik. Banyak faktor,
termasuk tingkat energi tingkat kenyamanan, kesehatan bayi baru lahir, dan
perawatan serta dorongan semangat yang diberikan tenaga kesehatan
profesional ikut membentuk respons ibu terhadap bayinya selama masa ini.
Untuk memberi perawatan yang menguntungkan ibu, bayi, dan keluarganya,
seorang perawat harus memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan
fisiologi ibu pada periode pemulihan, karakteristik fisik dan perilaku bayi
baru lahir, dan respons keluarga terhadap kelahiran seorang anak (Bobak et
al, 2004)
Menurut Saleha (2009) perubahan fisiologis pada masa nifas, yaitu :
a. Uterus
Proses kembalinya uterus kekeadaan sebelum hamil setelah melahirkan
disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat
kontraksi otot-otot polos uterus. Pada akhir tahap ketiga persalinan,
uterus berada pada garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilicus
dengan fundus bersandar pada promotorium sakralis. Pada waktu 12 jam
tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas umbilikus. Dalam
beberapa hari kemudian perubahan involusio berlangsung dengan cepat.
Fundus turun kira-kira 1-2 cm setiap 24 jam. Pada hari ke-6 fundus
berada diantara umbilikus dengan pinggir atas simpisis pubis. Uterus
tidak dapat dipalpasi pada abdomen pada hari ke 9 postpartum.
Seminggu setelah melahirkan uterus sudah berada didalam panggul dan
pada minggu ke 6 beratnya menjadi 50-60 gram.
b. Afterpain
Setelah melahirkan tonus uterus meningkat sehingga fundus tetap
kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami multipara
dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang awal puerperium
yang disebut afterpains. Proses menyusui dan pemberian oksitosin
tambahan biasanya meningkatkan nyeri ini karena keduanya dapat
merangsang kontraksi uterus.
c. Lokia
Pengeluaran lokia setelah melahirkan, jumlahnya berkurang secara
perlahan dan disertai perubahan warna. Lokia ini mengalami perubahan,
pada awalnya disebut lokia rubra berwarna merah terutama mengandung
darah dan debris desidua serta debris trofoblastik. Aliran menyembur,
menjadi merah muda atau coklat setelah 3-4 hari yang disebut lokia
serosa. Lokia serosa terdiri dari darah lama, serum, leukosit dan debris
jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi lahir, warna cairan ini menjadi
kuning sampai putih disebut lokia alba. Lokia alba biasanya bertahan
selama 2-6 minggu setelah bayi lahir dan berangsur berhenti.
d. Payudara
Konsentrasi hormon yang menstimulasi perkembangan payudara selama
hamil (estrogen, progesteron, human chorionic gonadotoprin, prolaktin,
kortisol dan insulin) menurun dengan cepat setelah bayi lahir. Waktu
yang dibutuhkan hormon-hormon ini untuk kembali ke kadar sebelum
hamil sebagian ditentukan oleh ibu menyusui atau tidak. Apabila wanita
memilih untuk tidak menyusui dan tidak menggunakan obat
antilaktogenik, kadar prolaktin akan turun dengan cepat. Sekresi dan
ekskresi kolostrum menetap selama beberapa hari pertama setelah
melahirkan. Pada hari kedua atau ketiga ditemukan adanya nyeri seiring
dimulainya produksi air susu. Pada hari ketiga atau keempat bisa terjadi
pembengkakan (engorgement). Payudara teregang, bengkak, keras dan
nyeri bila ditekan serta hangat jika diraba. Apabila bayi belum mengisap
atau dihentikan, laktasi berhenti dalam beberapa hari atau satu minggu
e. Vagina dan perineum
Struktur penopang uterus dan vagina bisa mengalami cedera sewaktu
melahirkan. Jaringan penopang dasar panggul yang teregang memerlukan
waktu sampai enam bulan untuk kembali ketonus semula. Relaksasi
panggul berhubungan dengan pemanjangan dan melemahnya topangan
permukaan struktur panggul. Struktur ini terdiri atas uterus, kandung
kemih dan rektum. Walupun relaksasi dapat terjadi pada setiap wanita,
tetapi biasanya merupakan komplikasi langsung yang timbul terlambat
akibat melahirkan.
3. Perubahan psikologi
Menurut Saleha (2009) yang mengutip pendapat Reva Rubin (1963) faktor
adaptasi psikologi yang terjadi pada ibu postpartum terdiri dari 3 fase juga
dapat menyebabkan depresi postpartum, yaitu : a) fase taking in disebut juga
periode ketergantungan. Pada fase ini ibu berfokus pada diri sendiri dan
tergantung pada orang lain. Pikiran ibu masih berfokus pada persalinan dan
tenaganya diarahkan untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya, dibandingkan
dengan merawat bayinya. Perilaku yang ditunjukkan pasif dan tergantung, ibu
memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosionalnya. Fase
ini terjadi dalam 1 sampai 2 hari dan dapat diobservasi pada satu jam setelah
persalinan; b) fase taking hold merupakan perpindahan dari periode
ketergantungan menjadi mandiri. Pada fase ini tenaga ibu meningkat. Ibu
merasa lebih nyaman dan lebih berfokus pada bayi daripada dirinya sendiri. Ibu
lebih mandiri untuk memulai perawatan diri dan berfokus pada fungsi tubuh.
Ibu dapat menerima tanggungjawab dalam perawatan bayi seperti mengontrol
tubuhnya sendiri. Menurut Rubin, fase ini sangat ideal untuk memberikan
edukasi tentang perawatan diri dan bayinya. Fase ini berlangsung mulai hari
ketiga sampai sampai hari ketujuh; c) fase ketiga adalah letting go, yang
merupakan periode kemandirian dalam menjalankan peran sebagai ibu baru.
Ibu mulai dapat menjalankan peran barunya sebagai ibu secara penuh sejalan
dengan kemampuan merawat bayi dan semakin percaya diri. Fase ini mulai
sekitar dua minggu postpartum

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan
meliputi distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi
janin, prolaps tali pust, abrupsio plasenta dan plasenta previa.
a. Identitas atau biodata klien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa,
status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit
nomor register , dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung,
hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang
keluar pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-
tanda persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga:
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM,
HT, TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit
tersebut diturunkan kepada klien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan
1) pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini,
dan cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya
mrnjaga kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam
perawatan dirinya
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena
dari keinginan untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti
biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga
banyak, cepat lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan
aktivitas karena mengalami kelemahan dan nyeri.
4) Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering
/susah kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena
terjadinya odema dari trigono, yang menimbulkan inveksi dari
uretra sehingga sering terjadi konstipasi karena penderita takut
untuk melakukan BAB.
5) Istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur
karena adanya kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah
persalinan
6) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan
keluarga dan orang lain.
7) Pola penagulangan sters
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
8) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka
janhitan dan nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif
klien nifas primipara terjadi kurangnya pengetahuan merawat
bayinya
9) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-
lebih menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi
perubahan konsep diri antara lain dan body image dan ideal diri
10) Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual
atau fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses
persalinan dan nifas.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang
terdapat adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid,
karena adanya proses menerang yang salah
3) Mata
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva,
dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena
proses persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kunuing
4) Telinga
Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana
kebersihanya, adakah cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-
kadang ditemukan pernapasan cuping hidung
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper pigmentasi
areola mamae dan papila mamae
7) Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih
terasa nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
8) Genitaliua
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila
terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak
dalam kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
9) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur
10) Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karenan preeklamsia atau karena penyakit
jantung atau ginjal.
11) Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun,
nadi cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun. Santosa, Budi.
(2007).
2. Diagnosa Keperawatan Dengan SC
Diagnosa yang mungkin muncul Carpenito. (2001).
1. Nyeri akut berhubungan dengan injury fisik jalan lahir
2. Menyusui tidak efektif berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
ibu tentang cara menyusui yang bernar..
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan sehabis bersalin
4. Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi

3. Tujuan san Intervensi Keperawatan


Tujuan dan intervensi berdasarkan diagnosa keperawatan yaitu: Johnson, M., et

all.(2000) Mc Closkey, C.J., et all. (1996).

N Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


o Keperawata Kriteria Hasil
n
1. Nyeri akut Setelah diberikan 1.Lakukan pengkajian 1.Mempengaruhi
b.d agen asuhan keperawatan secara pilihan / pengawasan
injury fisik selama … x 24 jam komprehensif keefektifan
diharapkan nyeri tentang nyeri intervensi.
klien berkurang / meliputi lokasi,
terkontrol dengan karakteristik,
kriteria hasil : durasi, frekuensi,
1 Klien kualitas, intensitas 2. Tingkat ansietas
melaporkan nyeri nyeri dan faktor dapat mempengaruhi
berkurang / presipitasi. persepsi / reaksi
terkontrol 2. Observasi respon terhadap nyeri.
2 Wajah tidak nonverbal dari
tampak meringis ketidaknyamanan
3 Klien tampak (misalnya wajah
rileks, dapat meringis) terutama 3. Mengetahui sejauh
berisitirahat, dan ketidakmampuan mana pengaruh nyeri
beraktivitas untuk terhadap kualitas
sesuai berkomunikasi hidup pasien.
kemampuan secara efektif.
3. Kaji efek
pengalaman nyeri
terhadap kualitas
hidup (ex: 4. Memfokuskan
beraktivitas, tidur, kembali perhatian,
istirahat, rileks, meningkatkan
kognisi, perasaan, kontrol dan
dan hubungan meningkatkan harga
sosial) diri dan kemampuan
koping
4. Ajarkan
menggunakan 5. Memberikan
teknik nonanalgetik ketenangan kepada
(relaksasi progresif, pasien sehingga
latihan napas nyeri tidak
dalam, imajinasi, bertambah
sentuhan
terapeutik.)
5. Kontrol faktor - 6. Analgetik dapat
faktor lingkungan mengurangi
yang yang dapat pengikatan mediator
mempengaruhi kimiawi nyeri pada
respon pasien reseptor nyeri
terhadap sehingga dapat
ketidaknyamanan mengurangi rasa
(ruangan, suhu, nyeri
cahaya, dan suara)
6. Kolaborasi untuk
penggunaan kontrol
analgetik, jika
perlu.

2. Menyusui Setelah diberikan Health Education: 1. Informasi akan


tidak efektif tindakan keperawatan 1. Berikan informasi membantu pasien
berhubungan selama ...x24 jam mengenai : memahami
dengan klien menunjukkan pentingnya
kurangnya respon breast feeding o Fisiologi menyusui
pengetahuan adekuat dengan menyusui
ibu tentang indikator: o Keuntungan
cara 1. klien menyusui
menyusui mengungkapkan o Perawatan
yang bernar puas dengan payudara
kebutuhan untuk o Kebutuhan diit
menyusui khusus
2. klien mampu o Faktor-faktor
mendemonstrasik yang
an perawatan menghambat
payudara proses 2. Bareast care
menyusui membantu
2. Demonstrasikan memperlancar ASI
breast care dan
pantau kemampuan
klien untuk 3. Memberikan
melakukan secara informasi dengan
teratur tujuan ibu paham
3. Ajarkan cara an
mengeluarkan ASI memperaktekannya
dengan benar, cara
menyimpan, cara 4. ASI ekslusif baik
transportasi untuk bayi
sehingga bisa
diterima oleh bayi
4. Berikan dukungan
dan semangat pada
ibu untuk
melaksanakan 5. Adanya bendungan
pemberian Asi pada payudara
eksklusif membuat ASI tidak
5. Berikan penjelasan lancar
tentang tanda dan 6. Dukungan keluarga
gejala bendungan membuat pasien
payudara, infeksi semangat
payudara memberikan ASI
6. Anjurkan keluarga 7. Memalui tenaga
untuk memfasilitasi kesehatan atau
dan mendukung media tentang
klien dalam menyusui
pemberian ASI
7. Diskusikan tentang
sumber-sumber
yang dapat
memberikan
informasi/memberi
kan pelayanan KIA

3. Defisit Setelah dilakukan Self Care assistane : 1. Kemampuan


perawatan asuhan keperawatan ADLs sesuai dengan
diri selama ...x24 jam 1. Monitor kemampuan
berhubungan ADLs klien kemampuan klien pasien
dengan meningkat dengan untuk perawatan
kelelahan indicator: diri yang mandiri.
sehabis Self care : Activity 2. Monitor kebutuhan 2. Alat bantu
bersalin of Daily Living klien untuk alat- seperti cruch
(ADLs) alat bantu untuk dan kursi roda
1. Klien terbebas kebersihan diri,
dari bau berpakaian,
badan berhias, toileting
2. Menyatakan dan makan.
kenyamanan 3. Sediakan bantuan 3. Membantu
terhadap sampai klien dalam
kemampuan mampu secara utuh perawatan diri
untuk untuk melakukan
melakukan self-care.
ADLs 4. Dorong klien 4. Melakukan
3. Dapat untuk melakukan aktivitas sehari-
melakukan aktivitas sehari- hari
ADLS dengan hari yang normal
bantuan sesuai kemampuan
yang dimiliki.
5. Dorong untuk 5. Bantu klien
melakukan secara dalam
mandiri, tapi beri melakukan
bantuan ketika aktivitas
klien tidak mampu mandiri
melakukannya.
6. Ajarkan klien/ 6. Keluarga
keluarga untuk mengjarkan
mendorong kemandirian
kemandirian, untuk pada pasien
memberikan
bantuan hanya jika
pasien tidak
mampu untuk
melakukannya.
7. Berikan aktivitas 7. Aktivitas yang
rutin sehari- hari ringan dapat
sesuai membantu
kemampuan. pemulihan
8. Pertimbangkan 8. Mendorong
usia klien jika pelaksanaan
mendorong aktivitas sehari-
pelaksanaan hari
aktivitas sehari-
hari.

5. Resiko Setelah diberikan 1.Tinjau ulang kondisi 1.Kondisi dasar seperti


infeksi asuhan keperawatan dasar / faktor risiko diabetes / hemoragi
berhubungan selama … x 24 jam yang ada menimbulkan
dengan luka diharapkan klien sebelumnya. Catat potensial risiko
operasi tidak mengalami waktu pecah infeksi /
infeksi dengan ketuban. penyembuhan luka
kriteria hasil : yang buruk. Pecah
1 Tidak terjadi ketuban yang terjadi
tanda - tanda 24 jam sebelum
infeksi (kalor, pembedahan dapat
rubor, dolor, menimbulkan
tumor, fungsio koriamnionitis
laesea) sebelum intervensi
2 Suhu dan nadi 2. Kaji adanya tanda bedah dan dapat
dalam batas infeksi (kalor, mempengaruhi
normal ( suhu = rubor, dolor, tumor, proses penyembuhan
36,5 -37,50 C, fungsio laesa) luka
frekuensi nadi = 2.Mengetahui secara
60 - 100x/ menit) dini terjadinya
3 WBC dalam batas 3. Lakukan perawatan infeksi sehingga
normal (4,10-10,9 luka dengan teknik dapat dilakukan
10^3 / uL) aseptik pemilihan intervensi
secara tepat dan
4.Inspeksi balutan cepat
abdominal terhadap 3.Meminimalisir
eksudat / rembesan. adanya kontaminasi
Lepaskan balutan pada luka yang dapat
sesuai indikasi menimbulkan infeksi

4.Balutan steril
menutupi luka dan
5. Anjurkan klien dan melindungi luka dari
keluarga untuk cedera / kontaminasi.
mencuci tangan Rembesan dapat
sebelum / sesudah menandakan
menyentuh luka terjadinya hematoma
6. Pantau peningkatan yang memerlukan
suhu, nadi, dan intervensi lanjut
pemeriksaan 5.Cuci tangan
laboratorium menurunkan resiko
jumlah WBC / sel terjadinya infeksi
darah putih nosokomial

6.Peningkatan suhu,
nadi, dan WBC
merupakan salah
satu data penunjang
yang dapat
mengidentifikasi
adanya bakteri di
dalam darah. Proses
7. Kolaborasi untuk tubuh untuk
pemeriksaan Hb melawan bakteri
dan Ht. Catat akan meningkatkan
perkiraan produksi panas dan
kehilangan darah frekuensi nadi. Sel
selama prosedur darah putih akan
pembedahan meningkat sebagai
kompensasi untuk
8. Anjurkan intake melawan bakteri
nutrisi yang cukup yang menginvasi
tubuh.
7. Risiko infeksi pasca
melahirkan dan
proses penyembuhan
akan buruk bila
kadar Hb rendah dan
9. Kolaborasi terjadi kehilangan
penggunaan darah berlebihan.
antibiotik sesuai
indikasi 8.Mempertahankan
keseimbangan nutrisi
untuk mendukung
perpusi jaringan dan
memberikan nutrisi
yang perlu untuk
regenerasi selular
dan penyembuhan
jaringan

9.Antibiotik dapat
menghambat proses
infeksi
Referensi
Bobak,M.Irene.(2004). Perawatan Maternitas dan Gynekologi.Jakarta: EGC
Carpenito. (2001). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Doengoes, Marylinn. (2001). Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi.
Jakarta : EGC
Johnson, M., et all. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Manuaba, I.B. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan KB. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. (1999). Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana
Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam. (1998). Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC
Mansjoer, A. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Manuaba, Ida Bagus Gede. (2002). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana, Jakarta : EGC
Mc Closkey, C.J., et all. (1996). Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Muchtar. (2005). Obstetri patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC
Nurjannah Intansari. (2010). Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC.
Yogyakarta : mocaMedia
Santosa, Budi. (2007). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Saifuddin, AB. (2002). Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo
Sarwono Prawiroharjo. (2009). Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai