Anda di halaman 1dari 24

LONGCASE EXAMINATION

GENERAL ANESTESI LARINGEAL MASK AIRWAY (LMA)


PADA PASIEN FRAKTUR HUMERI

Disusun Untuk Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :
Muhammad Satya Arrif Zulhani
20120310038

Pembimbing :
dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp. An

SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN
GENERAL ANESTESI LARINGEAL MASK AIRWAY (LMA)
PADA PASIEN FRAKTUR HUMERI

Disusun Untuk Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:
Muhammad Satya Arrif Zulhani
20120310038

Dokter Pembimbing

dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp. An


BAB I
STATUS UJIAN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : FS
Umur : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Blali RT 01 Seloharjo Pundong Bantul
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk : 12 Agustus 2017
Berat Badan : 52 Kg
Diagnosis : CKR & Close fraktur humeri

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri kepala dan siku kanan post KLL
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri kepala dan siku kanan post KLL motor beruntun.
Pasien mengaku sempat pingsan ±5 menit, mual (-), muntah (-), ingat
kejadian (-), sakit perut (-),
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
Riwayat TB Paru : Disangkal
Riwayat Jantung : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
Riwayat TB Paru : Disangkal
Riwayat Jantung : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal

5. Riwayat Personal Sosial


Pasien tidak merokok, personal higiene baik dan menstruasi teratur.
6. Kesimpulan Evaluasi Pra Anestesi
Ya Tidak
Hilangnya Gigi V
Masalah mobilisasi leher V
Leher pendek V
Batuk V
Sesak nafas V
Nyeri dada V
Denyut jantung tidak normal V
Kejang V
Merokok V
Alergi V
Stroke V
Pingsan V
Muntah V
Sedang hamil V
Periode menstruasi tidak normal V
Susah kencing V
Obesitas V
Hipertensi V
Gigi palsu V
Diabetes melitus V

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Baik, tampak kesakitan
2. Kesadaran
Compos Mentis (E4V5M6)
3. Tanda Vital
Suhu badan : 36,6 0C
Frekuensi nadi : 92 x/menit
Frekuensi pernafasan : 18 x/menit
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Skor nyeri : 5

4. Status General
a. Kepala
Mata : Pupil isokor, Konjungtiva anemis -/- , Sklera
Ikterik -/-
Hidung : Simetris +, Sekret -/-, perdarahan -/-
Mulut : Mukosa bibir lembab, tonsil T0-T0, faring
hiperemis - , Tanda candidiasis - , sariawan -,
gusi berdarah - , Mallampati II, buka mulut 3
jari, VE (+) di bibir inferior
Telinga : Simetris, serumen -/- , Membran timpani
intak, perdarahan -/-

b. Leher
Pembesaran limfonodi - , nyeri - , peningkatan JVP - , leher jarak
pendek - , tyromandibula > 6,5 cm, pergerakan leher bebas.
c. Thoraks
1) Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba pada SIC 4 linea
midclavicula kiri.
Perkusi : Batas kanan atas linea para sternalis
kanan SIC 2, batas kiri atas linea
para sternalis kiri SIC 2, batas
kanan bawah linea para sternalis
SIC 4, batas kiri bawah line mid
sternalis SIC 4.
Auskultasi : S1-S2 Reguler, murmur - , gallop -

2) Paru
Inspeksi : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi,
retraksi intracostal - , retraksi
substernal -
Palpasi : Fremitus +/+
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ , suara
tambahan -

d. Abdomen
Inspeksi : Supel +
Auskultasi : Peristaltik +
Perkusi : Tympani +
Palpasi : Hepar lien dbn, massa - , nyeri -

e. Ekstremitas
Akral hangat, nadi kuat, capillary refill time <2 detik, edema kaki -/-
5. Pemeriksaan Khusus
Tinggi Badan : 161 cm
Berat Badan : 52 Kg
Buka mulut : 3 Jari
Jarak Thyromental : 3 Jari
Mallampati : II
Gerakan Leher : Bebas

6. Evaluasi Airway, Breathing, Circulation (ABC)


Airway (A) : Jalan nafas clear, jarak tyromandibula > 6,5
cm, buka mulut 3 jari, mallampati II,
pergerakan leher bebas.
Breathing (B) : Spontan, RR 16 x/menit, Suara dasar vesikuler
+/+, suara tambahan -/-
Circulation (C) : TD 120/70 mmHg, N 92 x/menit, s1-s2
Reguler.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen Thoraks dan Elbow joint dextra
Pulmo tak tampak kelainan
Besar cor normal
Fraktur complete condylus lateralis humeri dextra
2. Elektrocardiogram (EKG)
Dalam batas normal
3. Laboratorium
Hematologi
Hemoglobin 12.3 12.0-16.0 gr/dL
Lekosit 7.14 4.0-11.0 ribu/uL
Eritrosit 4.17 4.00-5.00 ribu/uL
Trombosit 183 150-450 ribu/uL
Hematokrit 36.5 36.0-46.0 ribu/uL
Hitung jenis
Eosinofil 2 2-4 %
Basofil 1 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 56 51-67 %
Limfosit 34 20-35 %
Monosit 7 4-8 %
Golongan Darah
Golongan O
Darah
Hemostatis
PTT 15.2 12-16 detik
APTT 38 28-38 detik
Control PTT 12.3 11-16 detik
Control APTT 29.7 28-36.5 detik
Diabetes
GDS 98 80-200 mg/dl
Elektrolit
Natrium 138.6 137.0-145.0 mmol/l
Kalium 3.62 3.50-5.10 mmol/l
Klorida 105.5 98.0-107.0 mmol/l
Sero-Imunologi
Infeksi Lain
HbSag Negatip 0.01 Negatip <0.13
HIV Screening Non Reaktip Non Reaktip

E. DIAGNOSIS KERJA
1. CKR dan Close fraktur complete condylus lateralis humeri dextra
2. American Society of Anesthesiologists (ASA) I pada Rencana ORIF
dengan Rencana General Anestesi, teknik LMA (Laringeal Mask Airway)
F. PENATALAKSANAAN ANESTESI
1. Pra Anestesi
Intruksi pra Anestesi :
a. Pasang IV line ukuran 16
b. Puasa minimal 8 jam sebelum operasi (Mulai tanggal 17 Agustus 2017,
pukul 24.00 WIB)
c. Lengkapi Inform Consent Anestesi
2. Anestesi
Diagnosa Pra Bedah : Close fraktur complete condylus
lateralis humeri dextra
Diagnosa Pasca Bedah : Post ORIF condylus lateralis humeri
dextra ???
Jenis Pembedahan : ORIF
Premedikasi : Injeksi Midazolam 2.5 mg
Injeksi Fentanyl 50 mcg
Induksi : Injeksi Propofol 100 mg
Inhalasi Sevoflurane 2% ???
Jenis Anestesi : General Anestesi
Teknik Anestesi : Laringeal Mask Airway
Pemeliharaan : O2 50%
N2O 50%
Sevoflurane 2% ???
Obat-obat : Injeksi Ondansetron 4 mg
Injeksi Ketorolac 30 mg

Kebutuhan cairan selama operasi


Maintenance Operasi : 2cc/kg BB
(MO) 2 cc x 52 kg = 104 cc
Pengganti Puasa (PP) : Lama puasa x MO
8 jam x 104 cc = 832 cc
Stress Operasi (SO) : 4cc/kgBB/jam (Operasi ringan)
4 cc x 52 kg = 208 cc
Kebutuhan cairan I : (½ x 832) + 104 + 208 = 728 cc
Perdarahan : 50 cc
Urin output : 0
Total kebutuhan cairan : 728 cc + 50 cc + 0 cc = 778 cc
Jumlah pemberian : Infus RL 500 cc
cairan
Sisa kebutuhan : 500 cc – 778 cc = -278 cc
Estimation Blood : 65 x 52 = 3380 cc
Volume (EBV)
Average Blood Loss : 20% x 3380 = 676 cc
(ABL)
Lama Operasi : 30 Menit

3. Post Anestesi
a. Maintenance anestesi
B1 (Breathing) : RR 17-22 x/menit
Suara dasar vesikuler +/+
Nafas terkontrol
VT 417-500 cc
B2 (Blood) : Perdarahan 50 cc
Tekanan darah terkontrol
B3 (Brain) : Pupil isokor
B4 (Bladder) : Tidak terpasang kateter
B5 (Bowel) : Peristaltik -
B6 (Bone) : ROM ekstremitas terbatas

b. Pemantauan di ruang PACU/RR


1) Monitoring Tanda Vital
Tekanan Darah : 122/72 mmHg
Frekuensi Nadi : 78 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Saturasi : 99 %

2) Oksigenasi : Nasal Canul 2 liter/menit


3) Skor Aldrete Pasien
Skor Jam I Jam II Jam Jam IV
Aldrate III
Kesadaran 1 2
Sirkulasi 2 2
Pernafasan 2 2
Aktifitas 0 1
Warna 2 2
Kulit
TOTAL 7 9
Keterangan : pasien boleh pindah ke bangsal jika skor Aldrete > 8

c. Intruksi pasca Operasi


Observasi : Awasi Keadaan Umun dan Tanda
vital
Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat 20 tpm
Analgetik : Injeksi Ketorolac 30 mg/8jam IV
mulai pukul 17.00 WIB
Anti Muntah : Injeksi Ondansetron 4 mg/8jam IV
mulai pukul 17.00 WIB (kp)
Mobilisasi : Jika sadar penuh, peristaltik + ,
mual -, muntah -, coba makan
minum bertahap.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MOW (Medis Operasi Wanita)
1. Pengertian
MOW (Medis Operatif Wanita) / MOW atau juga dapat disebut dengan sterilisasi.
MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri
yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur, dengan demikian
sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki laki sehingga tidak terjadi
kehamilan, oleh karena itu gairah seks wanita tidak akan turun.
Kontrasepsi mantap wanita (kontap wanita) adalah cara kontrasepsi untuk tujuan
mencegah terjadinya kehamilan pada seorang wanita dari suatu pasangan usia
subur (PUS) atas dasar alasan jumlah anaknya telah cukup dan tidak ingin
menambah anak lagi, dengan cara penutupan kedua saluran telur melalui cara
MOW atau mekanik dengan pemasangan cincin atau klip, melalui suatu tindakan
pembedahan minilaparatomi atau laparaskopi.
MOW (medis operatif wanita) adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur
yang mengakibatkan orang wanita atau pasangan yang bersangkutan tidak akan
mendapat keturunan lagi (Handayani, 2010). Tubektomi adalah metode
kontrasepsi permanen dimana saluran tuba diblokir sehingga sel telur tidak bisa
masuk ke dalam rahim.
Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas atau
kesuburan perempuan dengan mengokulasi tuba fallopi (mengikat dan memotong
atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum
(Noviawati dan Sujiayatini, 2009) jadi dasar dari MOW ini adalah mengokulasi
tubafallopi sehingga spermatozoa dan ovum tidak dapat bertemu (Hanafi, 2004).
2. Syarat Melakukan Metode Operasi Wanita (MOW)
Syarat dilakukan MOW Menurut Saiffudin (2002) yaitu sebagai berikut:
a. Syarat Sukarela
Syarat sukarela meliputi antara lain pengetahuan pasangan tentang cara cara
kontrasepsi lain, resiko dan keuntungan kontrasepsi mantap serta pengetahuan
tentang sifat permanen pada kontrasepsi ini (Wiknjosastro, 2005)
b. Syarat Bahagia
Syarat bahagia dilihat dari ikatan perkawinan yang syah dan harmonis, umur
istri sekurang kurangnya 25 dengan sekurang kurangnya 2 orang anak hidup
dan anak terkecil lebih dari 2 tahun (Wiknjosastro, 2005)
c. Syarat Medis
Setiap calon peserta kontrasepsi mantap wanita harus dapat memenuhi syarat
kesehatan, artinya tidak ditemukan hambatan atau kontraindikasi untuk
menjalani kontrasepsi mantap. Pemeriksaan seorang dokter diperlukan untuk
dapat memutuskan apakah seseorang dapat menjalankan kontrasepsi mantap.
Ibu yang tidak boleh menggunakan metode kontrasepsi mantap antara lain ibu
yang mengalamai peradangan dalam rongga panggul, obesitas berlebihan dan
ibu yang sedang hamil atau dicurigai sedang hamil (BKKBN, 2006).
Menurut Noviawati (2009) waktu pelaksanaan MOW (Mantap Operasi Wanita) dapat
dilakukan pada:
a. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional klien
tersebut tidak hamil
b. Hari ke-6 hingga hari ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi)
c. Pasca persalinan
Minilaparotomi dapat dilakukan dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu
atau 12 minggu pasca persalinan setelah dinyatakan ibu dalam keadaan tidak
hamil.
d. Pasca keguguran
Tubektomi dapat dilakukan dengan cara minilaparatomi atau laparoskopi
setelah triwulan pertama pasca keguguran dalam waktu 7 hari sepanjang tidak
ada bukti infeksi pelvik. Sedangkan pada triwulan kedua dalam waktu 7 hari
sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvik, tubektomi dapat dilakukan dengan
cara minilaparotomi saja.
3. Persiapan Pre-Operatif untuk Kontap Wanita
Persiapan pre-operatif untuk kontap wanita menurut Hartanto (2004) :
a. Informed consent
b. Riwayat medis/kesehatan, yang meliputi :
 Penyakit-penyakit pelvis
 Adhesi/perlekatan
 Pernah mengalami operasi abdominal/operasi pelvis
 Riwayat diabetes melitus
 Penyakit paru (asthma, bronchitis, emphysema)
 Obesitas
 Pernah mengalami problem dengan anestesi
 Penyakit-penyakit perdarahan
 Alergi
 Medikamentosa pada saat ini
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik ini harus meliputi kondisi-kondisi yang mungkin dapat
mempengaruhi keputusan pelaksanaan operasi atau anestesi, serta
pemeriksaan kandungan untuk menemukan kelainan-kelainan seperti
leiomyomata dan lain-lain.
d. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap
 Pemeriksaan urin
 Pap smear
4. Jenis dan mekanisme kerja
a. Penyinaran
Penyinaran merupakan tindakan penutupan yang dilakukan pada kedua tuba
falopii wanita yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak hamil atau tidak
menyebabkan kehamilan lagi (Handayani, 2010).
b. Operatif
Metode operatif menurut Sri Handayani (2010) yakni:
a) Abdominal
 Laparotomi
Laparatomi sudah tidak digunakan lagi karena diperlukan insisi yang
panjang. Kontrasepsi ini diperlukan bila cara kontap yang lain gagal
atau timbul komplikasi sehingga memerlukan insisi yang lebih besar.
 Mini-laparotomi
Laparotomi khusus untuk tubektomi yang paling mudah dilakukan 1-2
hari pasca persalinan.Sayatan dibuat di garis tengah di atas simfisis
sepanjang 3cm sampai menembus peritoneum.Untuk mencapai tuba
digunakan alat khusus (elefaktor uterus) ke dalam kavum uteri. Dengan
bantuan alat tersebut uterus dalam keadaan retrofleksi dijadikan letak
antefleksi dahulu kemudian didorong ke arah lubang sayatan, lalu
dilakukan penutupan tuba dengan salah satu cara.
 Laparoskopi
Mula-mula dipasang cunam servik pada bibir depan porsio uteri,
dengan maksud supaya dapat menggerakkan uterus jika hal tersebut
diperlukan saat laparaskopi. Sayatan dibuat di bawah pusat sepanjang
lebih dari 1 cm. Kemudian ditempat luka tersebut dilakukan pungsi
sepanjang rongga peritoneum dengan jarum khusus (jarum veres) dan
melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO2
sebanyak 1 sampai 3 liter dengan kecepatan kira-kira 1 liter/menit.
Setelah jarum veres dikeluarkan, troika dimasukkan laparaskop melalui
tabung. Dengan cunam yang dimasukkan dalam rongga peritoneum
bersama laparaskopi, tuba akan dijepit dan dilakukan penutupan
dengan kauterisasi.
b) Vaginal
 Kolpotomi
Sering dipakai adalah kolpotomi posterior. Insisi dilakukan di dinding
vagina transversal 3-5 cm, cavum douglas yang terletak antara dinding
depan rektum dan dinding belakang uterus dibuka melalui vagina untuk
sampai di tuba.
 Kuldoskopi
Rongga pelvis dapat dilihat melalui alat kuldoskop yang dimasukkan
ke dalam cavum douglas. Adanya laparoskopi trans-abdominal, maka
kuldoskopi kurang mendapat perhatian/ minat dan sekarang sudah
jarang dikerjakan.Dalam posisi lutut dada kedua paha tegak lurus dan
kedua lutut terbuka suatu rektraktor perineal dimasukkan ke dalam
vagina. Bila vernik posteior terlihat sepert bagian kubah yang kecil,
maka cavum douglas bebas dari perlekatan, lalu dilakukan oklusi tuba.
c) Transcervikal
 Histeresoskopi
Histereskopi prinsipnya seperti laparaskopi, hanya pada histereskopi
tidak dipakai trokar, tetapi suatu vakum cervical adaptor untuk
mencegah keluarnya gas saat dilatasi servik/ kavum uteri.
 Tanpa melihat langsung
Pada cara ini operator tidak melihat langsung ke cavum uteri untuk
melokalisir orificium tubae.
 Penyumbatan tuba secara mekanis Tubal clip merupakan penyumbatan
tuba mekanis dipasang pada isthmus tuba falopii, 2-3 cm dari uterus,
melalui laparatomi, laparoskopi, kulpotomi dan kuldoskopi. Tuba clips
meyebabkan kerusakan lebih sedikit pada tuba falopii dibandingkan
cara oklusi tuba falopii lainnya. Tubal ring dapat dipakai pada mini-
laparatomi, laparaskopi, dan cara trans-vagina dan dipasang pada
ampula 2-3 cm dari uterus.
 Penyumbatan tuba kimiawi
Zat-zat kimia dalam cair, pasta, padat dimasukkan ke dalam melalui
serviks ke dalam uteri-tubal junction, dapat dengan visualisasi langsung
ataupun tidak. Cara kerjanya adalah zat kimia akan menjadi tissue padat
sehingga terbentuk sumbatan dalam tuba falopii (tissue adhesive), zat
kimia akan merusak tuba falopi dan menimbulkan fibrosis (sclerosing
agent).
c. Cara sterilisasi
Ada beberapa cara melakukan sterilisasi pada saluran telur. Cara melakukan
sterilisasi pada saluran telur menurut Mochtar (1998, p.310), Wiknjosastro
(2007, p.568-572) adalah sebagai berikut:
d) Dengan memotong saluran telur (tubektomi)
 Cara Pomeroy
Teknik sterilisasi menurut Pomeroy ini disukai, karena paling banyak
dilakukan di antara semua teknik. Angka kegagalan adalah 0-0,4%.
 Cara Kroener
Fimbria amat berperan dalam menangkap dan mentransfer sel telur,
oleh karena itu cara ini kurang disukai.
 Cara Madlener
Sekarang teknik ini tidak dipakai lagi, karena angka kegagalan yang
tinggi, yaitu 1,2%.
 Cara Aldridge
Angka kegagalan dengan cara ini kecil sekali dan mungkin kelak
fimbria yang sudah ditanamkan dapat dibuka kembali (reversible), bila
ibu ingin mendapatkan kesuburannya kembali.
 Cara Irving
 Cara Uchida
Menurut penemunya, Uchida dari Jepang, cara ini memiliki angka
kegagalan yang kecil sekali, bahkan mungkin tidak pernah gagal.
e) Dengan membakar saluran telur dengan menggunakan aliran listrik
f) Dengan melipat saluran telur
g) Dengan menyumbat dan menutup saluran telur menggunakan bahan
kimiawi seperti perak nitrat, seng, klorida, dan sebagainya.
5. Waktu Pelaksanaan MOW
Pelaksanaan MOW dapat dilakukan pada saat :
a. Masa Interval (selama waktu selama siklus menstruasi)
b. Pasca persalinan (post partum)
MOW pasca persalinan sebaiknya dilakukan dalam 24 jam, atau selambat
lambatnya dalam 48 jam pasca persalinan. MOW pasca persalinan lewat dari
48 jam akan dipersulit oleh edema tuba dan infeksi yang akan menyebabkan
kegagalan sterilisasi. Edema tuba akan berkurang setelah hari ke-7 sampai
hari ke-10 pasca persalinan. Pada hari tersebut uterus dan alat alat genetal
lainnya telah mengecil dan menciut, maka operasi akan lebih sulit, mudah
berdarah dan infeksi.
c. Pasca keguguran
Sesudah abortus dapat langsung dilakukan sterilisasi.
d. Waktu operasi membuka perut
Setiap operasi yang dilakukan dengan membuka dinding perut hendaknya
harus dipikirkan apakah wanita tersebut sudah mempunyai indikasi untuk
dilakukan sterilisasi. Hal ini harus diterangkan kepada pasangan suami istri
karena kesempatan ini dapat dipergunakan sekaligus untuk melakukan
kontrasepsi mantap.
6. Indikasi MOW
Komperensi Khusus Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia tahun
1976 di Medan menganjurkan agar tubektomi dilakukan pada umur 25 – 40 tahun,
dengan jumlah anak sebagai berikut: umur istri antara 25 – 30 tahun dengan 3 anak
atau lebih, umur istri antara 30 – 35 tahun dengan 2 anak atau lebih, dan umur istri
35–40 tahun dengan satu anak atau lebih sedangkan umur suami sekurang
kurangnya berumur 30 tahun, kecuali apabila jumlah anaknya telah melebihi
jumlah yang diinginkan oleh pasangan tersebut.(Wiknjosastro, 2005).
Indikasi dilakukan MOW yaitu sebagai berikut:
a. Indikasi medis umum
Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat bila wanita
ini hamil lagi.
b. Gangguan fisik
Gangguan fisik yang dialami seperti tuberculosis pulmonum, penyakit
jantung, dan sebagainya.
c. Gangguan psikis
Gangguan psikis yang dialami yaitu seperti skizofrenia (psikosis), sering
menderita psikosa nifas, dan lain lain.
d. Indikasi medis obstetrik
Indikasi medik obstetri yaitu toksemia gravidarum yang berulang, seksio
sesarea yang berulang, histerektomi obstetri, dan sebagainya.
e. Indikasi medis ginekologik
Pada waktu melakukan operasi ginekologik dapat pula dipertimbangkan untuk
sekaligus melakukan sterilisasi.
f. Indikasi sosial ekonomi
Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi
yang sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat.
7. Kontraindikasi MOW
Kontraindikasi peserta tubektomi menurut Saifuddin (2006) :
a. Hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai).
b. Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus di evaluasi).
c. Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (sehingga masalah itu disembuhkan
atau dikontrol).
d. Tidak boleh menjalani proses pembedahan.
e. Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan.
f. Belum memberikan persetujuan tertulis
8. Efek Samping
Terdapat 3 efek samping (Handayani, 2010) yaitu:
a. Perubahan-perubahan hormonal
Efek kontap wanita pada umpan balik hormonal antara kelenjar hypofise dan
kelenjar gonad ditemukan kadar FSH, LH, testosteron dan estrogen
tetap normal setelah melakukan kontap wanita.
b. Pola haid
Pola haid abnormal setelah menggunakan kontap merupakan tanda dari “post
tubal ligation syndrome”
c. Problem psikologis
Dinegara maju wanita (usia< 30 tahun) yang menjalani kontap tidak merasa
puas dibanding wanita usia lebih tua dan minta dipulihkan.
B. Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan
rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Face
mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan.
Facemask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk
menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum (Morgan, 2006).
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing
bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face
mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula
untuk ekstensi joint atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula,
jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi
obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan
digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan
ventilasi pasien (Morgan, 2006)
Terdapat berbagai ukuran facemask tergantung dari usia dan berat badan
pasien seperti yang ada pada tabel berikut:
Pasien Usia Berat Badan (kg) Mask Size

Preterm <2
Neonatal 0
Aterm 2–4

Infant 3 – 9 bulan 6–9 1

Pediatric 1 – 5 tahun 10 – 18 2

Small Adult 6 – 12 tahun 20 – 39 3

Medium Adult 13 – 16 tahun 44 - 58 4

Large Adult 16+ tahun 60 – 120 5

Extra Large Adult 16+ tahun >120 6


Simple mask(sungkup muka sederhana)Digunakan untuk konsentrasi
oksigen rendah sampai sedang.Merupakan alat pemberian oksigen jangka pendek,
kontinyu atau selang seling. Aliran 5 – 8 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen 40 –
60%. Masker ini kontra indikasi pada pasien dengan retensi karbondioksida karena
akan memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang dari 5 liter/menit untuk
mendorong CO2 keluar dari masker.FiO2 estimation Flows FiO2
a. 5-6 Liter/min : 40 %
b. 6-7 Liter/min : 50 %
c. 7-8 Liter/min : 60 %
Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula
nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang
besar,dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah. Menyekap, tidak
memungkinkan untuk makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah.
Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat menekan kulit dapat menyebabkan
rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang dapat disesuaikan tersedia untuk
menjamin keamanan dan kenyamanan.
C. Obat-obatan yang digunakan

PROPOFOL KETAMIN MIDAZOLAM FENTANYL


Dosis 1,5 – 2,5 1–2 0,1 – 0,3 1-3
induksi mcg/kgBB
(mg/kgBB)
Dosis 0,4 – 0,5 0,2 – 0,4 0,01 – 0,05 -
koinduksi
(mg/kgBB)
Tekanan Menurun Meningkat Tetap sampai Relatif Tetap
darah menurun
Nadi Tetap sampai Meningkat Meningkat Relatif Tetap
menurun sampai
menurun
Tahanan Menurun Meningkat Tetap sampai Relatif Tetap
pembuluh menurun
sistemik
Ventilasi Menurun Tetap Tetap Relatif Tetap
Laju nafas Menurun Tetap Tetap Relatif Tetap
Aliran darah Menurun Meningkat Tetap Relatif Tetap
otak hingga tetap
Ketenangan Tidak Tidak Ya Ya
Analgetik Tidak Ya Tidak Tidak
Mual dan Menurun Tetap Tetap hingga Tetap
muntah menurun
BAB III
PEMBAHASAN
Pemilihan teknik anestesi pada pasein ini telah sesuai indikasi dan tidak
ditemukannya kontraindikasi pada pasien ini. Pemilihan teknik Face mask
dirasakan telah tepat disesuaikan dengan jenis operasi yang akan dilakukan.
Pemilihan ukuran face mask disesuaikan dengan usia pasien.
Pemilihan obat yang digunakan untuk premedikasi pada pasien ini disesuaikan
dengan kebutuhan anestesi. Prinsipnya adalah mencapai trias anestesi yaitu,
hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat didapatkan dengan
menggunakan obat-obatan yaitu midazolam, fentanyl, dan propofol.
Penentuan dosis obat-obatan yang digunakan sesuai dengan berat badan pasien ini
yaitu 67 kg. Dengan berat badan tersebut, didapatkan dosis yang sesuai adalah,
Midazolam 3 mg, Fentanyl 75 mcg, dan Propofol 100 mg. Sementara, pemeliharaan
anestesi dilakukan dengan memberikan O2 dengan konsentrasi 50%, N20 dengan
konsentrasi 50% dan Sevoflurane 2%.
Selama anestei berlangsung, perlu dimonitor hal-hal sebagai berikut ; Minute
volume, Volume tidal, dan respiration rate. Jika tiga hal ini dapat dikontrol, maka
anestesi dapat dikatakan berjalan dengan aman.
Pasca anestesi, perlu diperhatikan tanda-tanda vital agar tetap berada pada garis
normal. Pemindahan kebangsal dilakukan dengan mengitung skor aldetrate.
Pemberian jumlah cairan pasca operasi diukur dari kebutuhan saat operasi,
pengganti puasa dan kehilangan darah saat operasi. Pemilihan analgetik dan anti
muntah pasca operasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan sumber daya
rumah sakit.
BAB IV
KESIMPULAN
Penanganan jalan nafas adalah tugas paling penting dari seorang ahli anastesi dan
fungsi tersebut tidak dapat ditawar lagi. Ahli anastesi tidak boleh menerima
keterbatasan metode penanganan jalan nafas dan harus menyiapkan berbagai teknik
penanganan jalan nafas untuk tiap-tiap kasus yang mungkin memerlukan
pendekatan yang berbeda. Tidak ada satupun teknik penanganan jalan nafas yang
dapat cocok untuk semua pasien dan kasus sehingga ahli anastesi harus menguasai
berbagai teknik untuk memastikan penanganan jalan nafas yang paling optimal
dengan resiko yang paling minimal.
Face mask merupakan salah satu alat bantu nafas yang dapat digunakan sebagai
alternatif menejemen jalan nafas yang handal dan terpercaya termasuk dalam
bidang anastesi pediatrik, menejemen jalan nafas sulit, resusitasi jalan nafas dll.
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS: Airway Management. Clinical Anesthesiology


3nd ed, Lange Medical Books, New York, 2002.
2. Gomillion MC, Jung Hee Han : Magnetic Resonance Imaging a case of 2
years old boy.Anesthesiology Problem-Oriented Patient Management Yao
& Artusio’s, 6th ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA,
2008.
3. Morgan GE, Mikhail MS : Pediatric Anesthesia, Clinical Anesthesiology
3nd ed, Lange Medical Books, New York, 2002.
4. Byhahn C, Meininger D, Zwissler B : Current Concepts of Airway
Management in The ICU and The Emergency Departement; Yearbok of
Intensive Care and Emergency Medecine, Vincent JL (ed), Springer, New
York, 2006. P 377-399.
5. Allman KG, Wilson IH. Oxford Handbook of Anasthesia. Oxford
University Pres Inc, New York, 2001. P 368-369.
6. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo : Jakarta
7. BKKBN.2006. Kelebihan dan Kekurangan Kontrasepsi.
8. Hartanto, Hanafi. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai