Anda di halaman 1dari 5

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA)

Dr. dr. Olivia C.P. Pelealu, SpTHT-KL(K)

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah gangguan tidur biasa yang ditandai dengan
kolapsnya jalan napas secara intermiten, total dan parsial, yang mengakibatkan terjadinya
episode apnea dan hipopnea yang berulang. 1 Sindrom OSA ditandai dengan obstruksi jalan
napas atas yang berulang.2 OSA adalah gangguan tidur yang biasa dialami oleh manusia pada
seluruh kelompok usia, terutama usia pertengahan dan usia tua.3 OSA adalah masalah
kesehatan besar yang harus diperhatikan karena mempengaruhi setidaknya 5 % populasi
umum pada usia pertengahan. 4 Diperkirakan 3 sampai 7 % pria dan 2 sampai 5 % wanita
pada populasi umum menderita OSA.1
Gambaran patofisiologi utama pada OSA adalah kolapsnya jalan napas atas yang
berulang secara alamiah baik parsial maupun total yang pada akhirnya menyebabkan
desaturasi oksihemoglobin dengan variasi yang berbeda.4 Berkurangnya aliran udara
menyebabkan terganggunya pengaturan pertukaran gas secara akut dan mengakibatkan
terbangun dari tidur secara berulang.1 Pengenalan mengenai akibat OSA yang menyebabkan
meningkatnya morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler telah menyebabkan meningkatnya
penelitian di bidang ini.4
Dalam keadaan normal, endotel menata berbagai fungsi pembuluh darah dengan
mengatur mediator vasoaktif dimana nitric oxide (NO) adalah yang paling penting. Pada saat
terjadi episode apnea, tekanan darah meningkat dan menurunkan ketegangan pada dinding
pembuluh darah. Dalam keadaan normal kejadian ini akan meningkatkan pelepasan NO dari
endotel sehingga menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan mencegah adhesi atau perlekatan
monosit pada endotel, aktivasi platelet dan proliferasi sel otot polos. 2 Dalam keadaan
berulangnya episode apnu dapat menyebabkan hipoksia kronik dan reoksigenasi berulang
yang dapat mengaktifkan faktor transkripsi proinflamasi seperti faktor nuklear kappa B dan
protein aktivator 1. Hal ini akan meningkatkan aktivitas sel inflamasi dan meningkatkan
mediator proinflamasi yang pada akhirnya akan menyebabkan disregulasi sitokin, inflamasi,
peningkatan koagulasi, stres oksidatif, meningkatkan pembentukan superoksid dan
peroksinitrit, disfungsi endotel dan penurunan NO akan menmpengaruhi terjadinya
paradoksal vasokonstriksi. Semuanya ini akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dan
akhirnya aterosklerosis. Pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya morbiditas dan
mortalitas hipertensi, gangguan metabolik, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, gagal
jantung dan stroke.2
Stress oksidatif telah dipertimbangkan sebagai mekanisme patogenesis utama
terjadinya aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Hal ini menggambarkan
ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas seperti reactive oxygen species (ROS) dan
aktivitas sistem antioksidan yang mengatasi akibat dari radikal bebas. ROS seperti superoksid
anion, radikal hidroksil dan peroksinitrit adalah molekul yang sangat reaktif yang berinteraksi
dengan asam nukleat, lemak dan protein yang pada akhirnya akan menyebabkan cedera sel.
Terjadinya stress oksidatif yang sistemik pada pasien dengan gangguan napas saat tidur telah
diteliti dalam dekade terakhir ini merupakan mekanisme yang penting yang menghubungkan
OSA dengan kerusakan endotel dan meningkatnya resiko konsekuensi kardiovaskuler.
Beberapa penelitian telah mendapatkan level stress oksidatif yang tinggi atau sistem aktivitas
antioksidan yang menurun pada pasien OSA dibandingkan pasien non-OSA. Tetapi
didapatkan juga beberapa penelitian yang tidak mendukung hal ini. Inkonsistensi yang terjadi
ini bisa dijelaskan karena pengaruh dari faktor perancu seperti adanya diabetes, hipertensi
dan yang terutama adalah obesitas, yang merupakan sumber utama stres oksidatif yang tidak
terkait OSA. Obesitas adalah komorbiditas yang tersering dari OSA, yang terdapat pada lebih
dari 50 % OSA. Obesitas sendiri dipertimbangkan sebagai situasi inflamasi kronik yang
berhubungan dengan morbiditas kardiovaskuler dan stres oksidatif sehingga menjadi faktor
perancu terbesar untuk mendapatkan hubungan antara gangguan napas waktu tidur dan
morbiditas kardiovaskuler.4
Beberapa penellitian terdahulu juga mendapatkan hormon jaringan adiposa terlibat
dalam patogenesis OSA. Leptin memainkan peran kunci dalam regulasi masukan dan
pengeluaran energi. Kadar leptin dalam sirkulasi meningkat sebanding dengan lemak tubuh
dan secara signifikan berhubungan dengan resistensi insulin dan sensitivitas insulin. Leptin
juga adalah sitokin inflamasi perifer yang menyerupai hormon yang dapat meningkatkan
regulasi sitokin proinflamasi. Hiperleptinemia dan resistensi leptin dapat memberi kontribusi
pada hipertensi, kegagalan metabolisme glukosa dan penyakit kardiovaskular. Leptin
memiliki banyak pengaruh termasuk induksi transkripsi m-RNA untuk jaringan dan molekul
adhesi seluler, adhesi dan migrasi leukosit, stimulasi reaksi inflamasi, induksi stres oksidatif,
kerusakan fungsi endotel, agregasi platelet dan stimulasi hipertrofi dan proliferasi sel otot
polos pembuluh darah. Kadar serum leptin yang tinggi dihubungkan dengan ketebalan intima
arteri karotis, kejadian kardiovaskuler akut dan stroke.2
Gejala OSA terbagi atas gejala siang dan malam. Gejala siang berupa excessive
daytime sleepiness (EDS), gangguan konsentrasi, bangun tidur tidak segar, irritable, nyeri
kepala, dll. Sementara gejala malam adalah mendengkur, apnea, tersedak, tersengal atau
batuk, arousal, insomnia, eneuresis, impotensi, dll.5 Gejala utama pada OSA adalah kebiasaan
ngorok dan rasa ngantuk siang hari.6
Faktor resiko terjadinya OSA adalah orang dengan overweight (body mass index
25-29,9), obese (body mass index 30 keatas), Pria dan wanita yang memiliki leher dengan
ukuran l17 inci keatas pada pria dan pada wanita 16 inci keatas, orang usia pertengahan dan
orang tua, wanita post menopause, orang dengan kelainan dari struktur tulang dan jaringan
dari kepala dan leher, orang dewasa dan anak dengan sindroma Down, anak dengan tonsil
dan adenoid yang besar, anggote keluarga OSA, orang dengan gangguan endokrin seperti
acromegali dan hipotiroid, perokok, penderita buntu hidung malam hari yang disebabkan
karena morfologi yang abnormal, rhinitis atau keduanya. Adanya retrognatia, penyempitan
lateral tonsil, tonsil hipertrofi , elongasi atau hipertrofi uvula, palatum yang tinggi atau sempit
dan kelainan di hidung.7
Diagnosis OSA ditegakkan melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik. Kemudian dilakukan tes yang objektif dengan polysomnografi (PSG).
PSG merupakan diagnosis gold standar untuk diagnosis OSA.7

Diagnostic criteria and classification of severity of OSA syndrome.


A Excessive daytime sleepiness that is not better explained by other factors
B Two or more of the following that are not better explained by other factors:
• Choking or gasping during sleep
• Recurrent awakenings from sleep
• Unrefreshing sleep
• Daytime fatigue
• Impaired concentration
C Overnight monitoring demonstrates ≥5 obstructed breathing events per hour
during sleep.
Diagnosis of OSA syndrome is confirmed by the presence of criterion A or B, plus
criterion C or by the presence of 15 or more obstructed breathing events per
hour of sleep regardless of symptoms.

Classification of severity of OSA on the basis of apnea-hypopnea index (AHI).


Mild Moderate Severe
AHI 5–14 AHI 15–29 AHI≥30

Penanganan OSA yang pertama adalah dengan menggunakan CPAP (Continous


Positive Airway Pressure) yang menggunakan terapi standar utk OSA. Penanganan yang lain
adalah mouth appliance.6,7
Penanganan yang lain adalah dengan modifikasi atau perubahan gaya hidup,
Penanganan yang terakhir dilakukan adalah dengan operasi tergantung kelainan yang
menyebabkan sumbatan ada dimana, misalnya polip nasi dilakukan ekstraksi polip. Untuk
hipertrofi adenoid dan tonsil maka dilakukan tonsilektomi dan adenoidektomi. Operasi untuk
memperbaiki palatum yaitu dengan UPPP (uvulopalatopharyngoplasti) dan untuk mengurangi
akibat dari terjadinya OSA pada jalan napas dapat dilakukan tracheotomi.6,7

DAFTAR PUSTAKA

1. Wu WT, Tsai SS, et al (2015) The association between obstructive sleep apnea and
metabolic markers and lipid profiles. PLoS One
10(6):e0130279.doi:10.1371/journal.pone.0130279
2. Lin CC, Wang YP, et al (2014) Effect of uvulopalatopharyngoplasty on leptin and
endothelial function in sleep apnea. Annals of Otology, Rhinology and
Laryngology 123(1):40-46
3. Qaseem A, Holty JC, et al (2013) Management of obstructive sleep apnea in
adults: a clinical practice guidline from the american college of physicians.
American College of Physicians. Ann Intern Med 2013;159
4. Simiakakis M, Kapsimalis F et al (2012) Lack of effect apnea on oxidative stress
in obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) patients. EJIM 23(2012) 586-93
5. Mannarino MR, Fillippo F (2012) European Jurnal of Internal Medicine.
www.elsevier.com/locale/ejim
6. Iyer R, Iyer R et al. Obstructive sleep apnea clinical spectrum management.
Medicine Update 2010 vol.20
7. Epstein LJ, Kristo D (2009) Clinical guideline for the evaluation, management
and long-term care of obstructive sleep apnea in adults. Journal of Clinical Sleep
Medicine vol 5 no 3.

Anda mungkin juga menyukai