Anda di halaman 1dari 13

Makalah Hukum Perdata

“Hukum Jaminan”

Ditunjukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata

Disusun Oleh

Kelompok I

 Helmi Nur Fikri


 Rangga Saputra
 Chaesar Gerby
 Ahmad Biyan Sabil
 Muhammad Aditya

Fakultas Hukum
Universitas Pamulang
Tangerang Selatan
2018
BAB I
Pendahuluan

1. Latar belakang masalah

Manusia dalam menjalani kehidupannya membutuhkan berbagai hal untuk memenuhi


kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut setiap individu harus
mendapatkannya dengan melakukan pembelian, meminjam atau pun dengan sistem
barter. Untuk membeli dan meminjam saat ini memang sangat sering dilakukan dan
dimungkinkan terjadi. Untuk barter memang mungkin terjadi tetapi saat ini sistem
tersebut jarang sekali dipergunakan. Seperti yang kita ketahui manusia dalam usaha
pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang memiliki berbagai cara sesuai dengan
perkembangan kehidupan saat ini, misalnya pinjam-meminjam. Ketika terjadi
hubungan pinjam meminjam maka timbul hak dan kewajiban, ketika terjadi wan
prestasi maka disinilah timbulnya pemikiran mengenai apa yang dinamakan jaminan.

2. Permasalahan

1. Apakah pengertian hukum jaminan?


2. Bagaimanakah jenis-jenis hukum jaminan?
3. Apasajakah asas-asas hukum jaminan?
4. Bagaimana Sistem Pengaturan Hukum Jaminan?
5. Bagaimana Sumber Hukum Jaminan?
6. Apakah Fungsi Hukum Jaminan?
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Jaminan
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai
jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur
atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering
mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk
pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau
penanggung pinjaman uang terhadap seseorang. Jadi pengertian jaminan secara umum adalah
suatu benda yang dijadikan tanggungan bagi sebuah perjanjian hutang piutang antara kreditur
dan debitur. Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung didalam
perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
1. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang
tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan hukum jaminan yang tertulis
adalah ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk
yurisprudensi, baik itu berupa peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif
(turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum
yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu
jaminan.
2. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi
jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang
berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan
tertentu sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
3. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
4. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan
(tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.

Pengertian hukum jaminan dari berbagai pendapat para ahli

1. Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan

Hukum jaminan adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian
fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan .Peraturan
demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga
kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga
demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan
jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan
penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang
akan dating. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan jaminan.

2. J satrio

Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang
kreditor terhadap debitor. Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditor
semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.Padahal subjek kajian hukum
jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata,tetapi juga erat kaitannya dengan
debitor.

3. Salim H.S

Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebebanan
jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

4. Prof. M. Ali Mansyur

Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditor dan debitor
yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit. Dari pendapat diatas
dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan
benda- benda sebagai jaminan.[1]

Unsur–unsur yang tercantum dalam defenisi tersebut adalah


1. Adanya kaidah hukum
2. Adanya pemberidan penerima kuasa
3. Adanya jaminan
4. Adanya fasilitas kredit
Sumber hukum adalah tempat dimana ditemukan hukum. Dalam hal ini, hukum jaminan
bersumber dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum perdata
material yang diberlakukan pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.
Ketentuan hukum jaminan dapat dijumpai dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Dilihat dari sistematika Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, pada prinsipnya hukum jaminan merupakan bagian dari hukum
kebendaan, sebab dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai
pengertian, cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan
kenikmatan dan jaminan.
Ketentuan dalam pasal-pasal buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan Belas
sampai dengan Titel Dua Puluh Satu, Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam pasal-
pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang
diistimewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan
hukum jaminan yang termuat dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut,
sebagai berikut:
a. Bab XIX : Tentang Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal
1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal
1131 sampai dengan Pasal 1138);
Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda Tertentu (1139 sampai
dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak
Pada Umumnya (Pasal 1149);
b. Bab XX : Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal 1161 telah
dihapuskan).
c. Bab XXI : Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasaal 1232); Bagian Kesatu
tentang Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178); Bagian Kedua
tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179
sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195
sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek Terhadap Orang
Ketiga yang menguasai benda yang Dibebani (Pasal1198 sampai dengan Pasal 1208); Bagian
Kelima tentang hapusnya Hipotek (1209 sampai dengan Pasal 1220); Bagian Keenam tentang
Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek, Tanggung Jawab Pegawai-Pegawai
yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya Register-Register oleh
Masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232).
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas
hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan
lembaga dan ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal
1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sementara itu pembebanan hipotek atas benda-
benda tidak bergerak lainnya selain hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, hipotek kapal laut misalnya, tetap menggunakan lembaga dan ketentuan-
ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggungan utang (borghtocht) dan
perikatan tanggung-menanggung. Jaminan hak perseorangan ini diatur ’’yaitu pada Titel
Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari Pasal 1820 sampai
dengan Pasal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian dan sifat
penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara debitur (yang berutang) dan
penjamin (penanggung) utang serta antara para penjamin hutang dan hapusnya penanggungan
utang. Secara rinci kandungan materi yang terdapat dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal
1850 Titel Ketujuh Belas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut:
a. Bab Ketujuh Belas tentang penanggungan utang
b. Bagian Kesatu tentang Sifat Penanggungan (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1830);
c. Bagian Kedua tentang Penanggungan Antara Debitur dan Penanggungan Utang (Pasal
1831 sampai dengan Pasal 1838);
d. Bagian Ketiga tentang Akibat-Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penanggung
Utang dan Antara Penanggung Utang Sendiri (Pasal 1839 sampai dengan Pasal 1844);
e. Bagian Keempat tentang Hapusnya Penanggungan Utang (Pasal 1845 sampai dengan Pasal
1850).
Selain itu didalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga diatur mengenai
jaminan hak perseorangan lainnya, yaitu
a. Perikatan Tanggung-menanggung (Perikatan Tanggung Renteng) sebagaimana diatur
dalam Titel Kesatu Bagian Kedelapan dari Pasal 1278 sampai dengan Pasal 1295 di bawah
judul “tentang Perikatan-Perikatan Tanggung Renteng atau Perikatan-Perikatan Tanggung-
menanggung”;
b. Pejanjian Garansi sebagaimana diatur dalam Pasal 1316 KitabUndang-Undang Hukum
Perdata.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak hanya bersumber kepada Buku II, melainkan juga bersumber kepada
Buku III, yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan hak jaminan perseorangan.
Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia
dikelompokkan menjadi :
a. Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena undang-undang dan perjanjian;
b. Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat perorangan;
c. Menurut kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai bendanya dan tanpa
menguasai bendanya,
d. Menurut bentuk golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan
khusus
Dalam skema dibawah ini dapat diperlihatkan kedudukan Perjanjian Garansi tersebut
dalam sistem hukum Perdata:

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kedudukan perjanjian garansi adalah


dalam Buku Ke III (tiga) yaitu tentang perikatan dan landasan hukum dasarnya adalah pasal
ketentuan-ketentuan umum perikatan seperti Pasal 1233 dan 1234.
Pasal 1233 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang.” Dalam hal ini, perjanjian garansi lahir karena adanya persetujuan.
Pasal 1234 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.” Dalam hal ini, perjanjian garansi adalah perikatan yang
ada untuk berbuat sesuatu, yaitu menjamin atau berbuat “menjamin”.
Seperti yang telah diuraikan dalam pengertian tentang Jaminan produk atau Garansi, pada
dasarnya perjanjian garansi yang dimaksud dalam hal jaminan produk ini adalah suatu
perjanjian penjaminan dimana pihak ketiga (dalam hal ini podusen atau importir) menjamin
bahwa produk yang dijual oleh pihak pertama (yaitu penjual atau distributor) kepada pihak
kedua (pembeli atau konsumen) adalah produk yang terbebas dari kesalahan pekerja dan
kegagalan bahan.
Dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa adalah
diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan
bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti
rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk
menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi
perikatannya.
Menurut seorang praktisi hukum Rachmadi Usman pasal tersebut merupakan landasan
hukum dasar perjanjian garansi dan ini juga dapat dijadikan dasar hukum garansi jaminan
produk dengan menggunakan penafsiran analogi, karena bila langsung menjadi dasar hukum
tanpa adanya penafsiran analogi maka substansi yang terkandung dalam pasal tersebut sedikit
berbeda dengan garansi atau jaminan produk.
Kalau pada pasal tersebut substansi perjanjian lebih cenderung mengarah pada perjanjian
garansi yang dicontohkan pada bank garansi misalnya. Dimana pihak bank merupakan suatu
pihak yang menjamin atau disebut “penanggung”, “guarantor”, atau “borg” yang bersedia
bertindak sebagai penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur dalam mengadakan
suatu perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur. Perjanjian (pokok) tersebut
biasanya adalah perjanjian kerjasama antara nasabah bank (A) dengan pimpinan proyek (Y)
untuk mengerjakan suatu proyek tertentu. Dan pengerjaan proyek oleh si “A” inilah yang
dijamin oleh si Bank, sehingga Pimpinan Proyek “Y” dapat merasa aman bila bekerjasama
dengan si “A” (tentunya proyek yang dijaminkan dengan bank garansi adalah proyek yang
mahal atau yang menghabiskan dana besar). Sedangkan bila dikaitkan dengan perjanjian
garansi dalam hal jaminan produk maka akan ditemukan kesesuaian sebab pada dasarnya
adalah sama-sama suatu perjanjian jaminan, dimana kalau dalam hal ini, produsen atau
pelaku usaha lah yang berperan sebagai penjamin atau penanggung atau guarantor atau borg
yang bersedia bertindak sebagai penanggung akan kualitas produk yang diperjualbelikan oleh
penjual (distributor) kepada pembeli (konsumen). Jadi bila dianalogikan maka peran
produsen atau pelaku usaha dalam perjanjian garansi jaminan produk sama dengan peran
bank dalam perjanjian garansi bank garansi sama-sama sebagai penjamin, peran produk yang
dijual si penjual atau distributor sama dengan peran kerja nasabah bank ( atau si “A”) yaitu
sama-sama yang menjadi objek jaminan dengan perbedaan kalau si penjual atau distributor
yang dijamin adalah kualitas produk yang dijualkannya sedangkan si nasabah bank (si “A”)
yang dijamin adalah kualitas kerjanya yaitu baahwa dia mampu mengerjakan proyek tersebut,
sedangakan peran pembeli (konsumen) sama dengan peran si Pimpinan Proyek (si “Y”),
dalam hal ini sama-sama mendapat penjaminan sehingga merasa aman dan terlindungi dari
berbagai bentuk kerugian, dimana si pembeli atau konsumen produk akan merasa aman dan
terlindungi dari cacat bahan atau kerusakan dari kesalahan pekerja sedangkan Pimpinan
proyek atau “Y” merasa aman dan terlindungi dari kerugian kegagalan proyek. Sebab kedua
pihak yang mendapat penjaminan itu pun telah membayar mahal segala sesuatunya jadi
memang pantaslah mendapatkan suatu jaminan atau garansi. Uraian diatas inilah yang
dimaksudkan penafsiran analogi tadi.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian garansi serupa dapat kita lihat
juga pengaturannya pada Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 dengan juga meperhatikan
Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 1832 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Sedangkan untuk menjamin produk dari cacat tersembunyi yang mengakibatkan kerugian
dipihak konsumen maka Pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mewajibkan
penjual untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya
tersebut.

2. Jenis-jenis Hukum jaminan


 Jaminan Umum : Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-undang
 Jaminan Khusus : Jaminan yang lahir karena perjanjian
 Jaminan Kebendaan: Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang
mempunyai ciri-ciri, yaitu mempunyai hubungan langsung atas benda dari debitur, dapat
dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan.
 Jaminan Perorangan: Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada
perseorangan, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur, terhadap harta kekayaan debitur
semuanya.
3. Asas-asas Hukum Jaminan
1. Asas Publicitiet
Asas bahwa semua hak baik hak tanggungan hak fidusia dan hipotik harus didaftarkan.
Hak tanggungan: Objek benda jaminan adalah tanah berikut atau tidak berikut dengan apa
yang ada diatasnya maka aturan hukum dan yang mengaturnya adalah hak tanggungan.
Hak fidusia: Objek jaminan adalah benda bergerak contoh: mobil, sepeda motor, perabot
rumah tangga. Benda yang akan menjadi jaminan masih tetap dikuasai. Aturan hukum yang
mengaturnya disebut lembaga Fidusia.
Benda yang akan menjadi jaminan tapi tidak dikuasainya maka aturan hukum yang
mengaturnya disebut pengadaian
Hipotik: Hipotik digunakan apabila benda yang sebagai jaminan berupa kapal yang berbobot
minimal 20 ton.
Hak-hak yang dijadikan sebagai jaminan ia wajib didaftarkan yaitu dimasing-masing instansi
yang berwenang terhadap benda tersebut. Kegunaan didaftarkan adalah supaya pihak ketiga
tahu bahwa benda tersebut sedang dijaminkan untuk sebuah hutang atau dalam pembebanan
hutang.
Asas publicitiet untuk melindungi pihak ketiga yang beritikat baik
2. Asas Specialitiet
Bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotik hanya dapat dibebankan atas persil (satuan
tanah) atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu. Secara ringkas,
Bahwa sesuatu benda yang akan dijaminkan sudah didaftarkan.
3. Asas Tidak Dapat Dibagi
Yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak
tanggungan, hak fidusia, hipotik walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. Contoh: A
berhutang ke Bank 100 juta dengan jaminan sebidang tanah, dan sebuah mobil. Tanah nilai
taksirannya 100 juta dan mobil nilai taksirannya 60 juta, apabila hutang ini telah 50 %
diselesaikan maka nilai jaminannya hanya sebatas 1 benda jaminan tapi dengan begitu walau
hutang sudah mengecil tapi jaminan tidak bisa dibagi atau diambil.

4. Sistem Pengaturan Hukum Jaminan

Sistem Terbuka: Boleh disimpangi. Orang dapat melakukan hukum perjanjian mengenai
apapun juga baik yang sudah ada pengatur aturannya dalam KUHPerdata (Nominat) maupun
yang tidak diatur dalam KUHPerdata (Innominat).
Sistem Tertutup: Tidak Boleh disimpangi tunduk oleh peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan, tidak dapat mengadakan hak-hak jaminan baru selain yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang.

5. Sumber Hukum Jaminan


 Buku ke II KUHPerdata: Antara lain tentang gadai dan hipotik.
 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Terutama yang berkaitan Hipotik
kapal laut
 Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok agrarian.
 Undang-Undang No 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-
benda yang berkaitan dengan tanah.
 Undang-undang No 42 tahun 1949 tentang Fidusia.
 Undang-undang no 21 Tahun 1992 tentang pelayaran.
6. Fungsi Jaminan
Fungsi jaminan adalah sebagai sarana perlindungan bagi keamanan atau kepastian pelunasan
hutang debitur kepada kreditur. Jaminan secara yuridis mempunyai fungsi untuk mengkover
hutang. Oleh karena itu, jaminan di samping faktor-faktor lain (watak, kemampuan, modal,
jaminan dan kondisi ekonomi), dapat dijadikan sebagai sarana perlindungan untuk para
kreditur dalam kepastian atau pelunasan utang calon debitur atau pelaksanaan suatu prestasi
oleh debitur.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai
jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur
atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering
mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk
pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau
penanggung pinjaman uang terhadap seseorang.
2. Saran
Dalam melakukan kegiatan pinjam-meminjam sebaiknya di landasi dengan jaminan, karena
dengan adanya jaminan para kreditur mendapatkan sarana perlindungan bagi keamanan atau
kepastian pelunasan hutang debitur. Jadi, marilah kreditur dan debitur melakukan sebuah
jaminan dalam proses peminjaman atau hutang.
DAFTAR PUSTAKA
Bahsan,M.2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada
Latif,Azharudin. Nahrowi. 2009. Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
Fuady, Munir. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung: PT. Aditya Bakti
H.S., Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Widjaja, Gunawan. Yani, Ahmad. 2001. Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai