Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konjungtiva

2.1.1 Anatomi

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan

dengan kulit pada tepi palpebral (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel

kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak

mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva

melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus

jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris (Riordan-Eva, 2010).

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan

melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata

bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Duktus-duktus

kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior. Konjungtiva bulbaris

melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di limbus

(Riordan-Eva, 2010).

6
Gambar 1. Anatomi konjungtiva (Sumber: Haq dkk)

2.1.2 Histologi

Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel

silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat

limbus, di atas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi

kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel

superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.

Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepidan diperlukan untuk

dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna

lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat

mengandung pigmen (Riordan-Eva, 2010)

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan sdenoid (superfisial) dan

satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid

dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa

sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi

7
berumur 2-3 bulan. Lapisa fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang

melekat pada lempeng tarsus (Riordan-Eva, 2010)

Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan wolfaring), yang

struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian

besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya ada diforniks bawah. Kelenjar

wolfaring terletak di tepi atas tarsus atas (Riordan-Eva, 2010)

2.1.3 Pendarahan, Limfatik, dan Persarafan

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan arteria

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak

vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jarring-

jaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva

tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan

pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva

menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. saraf ini

memiliki serabut nyeri yang relative sedikit (Riordan-Eva, 2010).

2.2 Konjungtivitis

2.2.1 Pengertian Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum di dunia. Penyakit ini

bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis

berat dengan banyak sekret purulent kental. Penyebab umumnya eksogen, tetapi

bias endogen (Garcia-Ferrer dkk, 2010). konjungtivitis adalah radang konjungtiva

atau radang selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dapat

ditemukan dalam bentuk akut maupun kronis (Ilyas, 2015).

8
Umumnya diakibatkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan kadang-

kadang virus (ilyas, 2014). Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak

mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Garcia-

Ferrer dkk, 2010).

2.2.2 Epidemiologi Konjungtivitis

a. Usia

Konjungtivitis biasanya menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa

(ilyas, 2010). Infeksi bakteri merupakan penyebab dari 50% kasus konjungtivitis

pada anak-anak dan 5% pada orang dewasa (Hutagalung, 2011). Sebuah studi

yang dilakukan di 3024 sekolah dasar anak-anak di wilayah Ankara Turki (1997)

menemukan bahwa 4,6% anak memiliki alergi konjungtivitis (Baiq dkk, 2010).

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (2009) diperoleh 23% kasus

konjungtivitis bakteri terjadi pada rentang usia 0-2 tahun, 28% terjadi pada

rentang 3- 9 tahun, 13% terjadi pada rentang 10-19 tahun dengan sisa 36% kasus

terjadi pada orang dewasa (Smith and Waycaster, 2009). Penelitian yang

dilakukan Baig. R, dkk (2010) di Pakistan terhadap anak sekolah berusia 5-19

tahun, yang berjumlah 818 anak diperoleh prevalensi konjungtivitis alergi 19,2 %

(Baiq dkk, 2010). Perbedaan kelompok usia ini dapat dipengaruhi oleh daya tahan

tubuh, faktor lingkungan, gaya hidup serta kebersihan diri dan lingkungan

(Budiati, 2004).

b. Jenis kelamin

Konjungtivitis infeksius mengenai perempuan dan laki-laki dengan

insidens yang sama. Namun, konjungtivitis sicca lebih sering terjadi pada

9
perempuan. Sebaliknya, keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis akibat

kimia dan mekanik lebih sering terjadi pada pria (Ramadhanisa, 2014).

c. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dan pajanan substansi di lingkungan pekerjaan

seperti asam, basa, alkali, asap, uap, aerosol, angin, sinar ultraviolet, pelarut

organik dapat mengganggu struktur dan merubah fungsi mata dan sistem

penglihatan (Garcia-Ferrer dkk, 2010). Konjungtivitis dapat menyebar dengan

cepat jika pada suatu lingkungan terdapat penderita konjungtivitis yang memiliki

kontak erat dengan orang-orang disekitarnya. Tetapi hal ini berkaitan dengan

keadaan atau kebersihan lingkungan tersebut yang menjadi faktor resiko

penyebaran yang lebih cepat (Alloyna, 2010).

d. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi. Pendidikan

meliputi peranan penting dalam menentukan kualitas manusia. Dengan

pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan implikasinya.

Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas karena

pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang baik yang

menjadikan hidup yang berkualitas.

Pendidikan dan pengetahuan menurut (Green,2005) merupakan faktor

pendukung (predisposing factors) dari perubahan perilaku. Pengetahuan dan sikap

merupakan bentuk perilaku masih tertutup (covert behavior) dimana belum dapat

10
diamati oleh oranglain, sedangkan perilaku dalam bentuk praktek merupakan

tindakan yang dapat diamati (overt behavior). Teori perilaku Green (2005)

memaparkan bahwa antara pengetahuan dan perilaku memiliki hubungan positif

(Notoatmodjo, 2003)

e. Lateralisasi Konjungtivitis

konjungtivitis bakteri mudah menular dari satu mata ke mata sebelahnya

dan juga mudah menular ke orang lain melalui kontak langsung dan benda yang

kontak dengan mata (Ilyas, 2015). Tangan merupakan perantara utama terjadinya

penularan dari mata yang satu ke satu lainnya. Jika mata kanan menderita

konjungtivitis bakteri atau virus maka besar kemungkinan mata kiri akan tertular

karena pada saat tangan menggosok mata kanan karena terasa gatal atau

mengusap kotoran mata, tanpa sengaja tangan akan menyentuh mata kiri sehingga

terjadi penularan (Hutagalung, 2015).

2.2.3 Penyebab Konjungtivitis

Penyebab dari konjungtivitis bermacam-macam yaitu biasanya disebabkan

karena bakteri, virus, infeksi klamidia, konjungtivitis alergi. Konjungtivitis

bakteri biasanya disebabkan oleh staphylococcus, streptococcus, pneumococcus,

dan haemophillus. Sedangkan, konjungtivitis virus paling sering disebabkan oleh

adenovirus dan penyebab yang lain yaitu organisme Coxsackie dan Pikornavirus

namun sangat jarang. Penyebab konjungtivitis lainnya yaitu infeksi klamidia,

yang disebabkan oleh organisme Chlamydia trachomatis. Konjungtivitis yang

11
disebabkan oleh alergi diperantarai oleh igE terhadap allergen yang umumnya

disebabkan oleh bahan kimia (ilyas, 2008).

2.2.4 Tanda dan Gejala Konjungtivitis

Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi

tergores atau terbakar, sensasi penuh disekeliling mata, gatal, dan fotofobia.

Tanda- tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair, eksudasi,

pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, folikel, pseudomembran dan membran,

granuloma, dan adenopati pre-aurikular (Garcia-Ferrer dkk, 2010). Pada

peradangan konjungtiva tidak jarang ditemukan keluhan mata kering dan seperti

kelilipan (ilyas, 1998).

Temuan Klinis dan viral Bakteri Klamidia Alergika


sitologi
Gatal Minimal Minimal Minimal Hebat
Hiperemia Generalisata Generalisata Generalisata Generalisata
Mata Berair Banyak Sedang Sedang Minimal
Eksudasi Minimal Banyak Banyak Minimal
Adenopati Preaurikular Sering Jarang Hanya sering pada Tak ada
konjungtivitis
inklusi
Pada kerokan dan Monosit Bakteri, PMN, sel plasma, Eosinofil
eksudat yang dipulas PMN1 badan inklusi
Disertai sakit sesekali Sesekali Tak pernah Tak pernah
tenggorokan dan
demam
Tabel 2.1 Pembedaan jenis-jenis konjungtiva umum

2.2.5 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi empat yaitu

konjungtivitis yang diakibatkan karena bakteri, virus, allergen, dan jamur (Ilyas,

2010)

12
1. Konjungtivitis Bakteri

Konjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat saja akibat infeksi gonokok,

meningokok, staphylococcus aureus, streptococcus pneumoniae, hemophilus

influenza, dan Escherichia coli (Ilyas, 2015). Umumnya konjungtivitis ini

bermanifestasi dalam bentuk iritasi dan pelebaran pembuluh darah (injeksi)

bilateral, eksudat purulen dengan palpebra saling melengket saat bangun tidur,

dan kadang-kadang edema palpebral. Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan

melalui tangan menular kesebelahnya. Infeksi dapat menyebar ke orang lain

melalui benda yang dapat menyebarkan kuman (Garcia-Ferrer dkk, 2010).

a) Konjungtivitis bakteri hiperakut (purulent) disebabkan oleh

Neisseria gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan Neisseria

meningitidis ditandai oleh eksudat purulen yang banyak.

Konjungtivitis meningokok kadang-kadang terjadi pada anak-anak.

b) Konjungtivitis mukopurulen (catarrhal) akut sering terdapat dalam

bentuk epidemik dan disebut “mata merah (pinkeye)” oleh

kebanyakan orang awam. Penyakit ini ditandai dengan hiperemia

konjungtiva akut dan sekret mukopurulen berjumlah sedang.

Penyebab paling umum adalah streptococcus pneumonia pada

iklim sedang dan haemophilus aegyptius pada iklim tropis.

c) Konjungtivitis subakut paling sering disebabkan oleh H influenzae,

dan terkadang oleh Escherichia coli dan spesies proteus. Infeksi H

influenzae ditandai dengan eksudat tipis, berair, atau berawan.

13
d) Konjungtivitis bakteri kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi

ductus nasolacrimalis dan dakriosistitis kronik, yang biasanya

unilateral. Infeksi ini juga bisa menyertai blefaritis bakterial kronik

atau disfungsi kelenjar meibom.

2. Konjungtivitis Viral

Konjungtivitis viral adalah suatu penyakit umum yang disebabkan oleh

berbagai jenis virus. Keadaan ini berkisar antara penyakit berat yang dapat

menimbulkan cacat, sampai infeksi ringan yang cepat sembuh sendiri (Garcia-

Ferrer dkk, 2010). Konjungtivitis viral dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus,

tetapi adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan

herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga

dapat disebabkan oleh virus Varicella Zoster, picornavirus (enterovirus 70,

Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2016) .

Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan

etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus

biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan

kadang dijumpai pseudomembran (Garcia-Ferrer dkk, 2010). Konjungtivitis virus

biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini mata sangat berair. Kotoran

mata ada, namun biasanya sedikit (lovensia, 2014).

Konjungtivitis viral di klasifikasikan menjadi konjungtivitis folikular viral

akut dan konjungtivitis folikular viral kronik. Yang termasuk kedalam

konjungtivitis folikular viral akut adalah demam faringokonjungtival,

keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis virus herpes simpleks,

14
konjungtivitis penyakit Newcastle, dan konjungtivitis hemoragika akut.

Sedangkan konjungtivitis folikular viral kronik terdiri dari blefarokonjungtivitis

molluscum contagiosum, blefarokonjungtivitis varicella-zoster,

keratokonjungtivitis campak, dan konjungtivitis rickettsia (Garcia-Ferrer dkk,

2010).

3. Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan oleh candida albicans dan

merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya

bercak putih yang dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan

system imun yang terganggu. Selain candida sp, penyakit ini juga bias disebabkan

oleh Sporothtrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis

walaupun jarang (Garcia-Ferrer dkk, 2010)

4. Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paling sering

dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh

sistem imun (Cuvillo dkk, 2009).

Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak,

dan panas), gatal silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya

adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva, dating bermusim, yang dapat

menganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering sembuh

sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan.

Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi yaitu :

15
 Konjungtivitis vernal yaitu konjungtivitis akibat reaksi

hipersensitivitas (tipe 1) yang mengenai kedua mata dan bersifat

rekuren.

 Konjungtivitas flikten merupakan konjungtivitis nodular yang

disebabkan alergi terhadap bakteri atau antigen tertentu.

 Konjungtivitis iatrogenic yaitu konjungtivitis akibat pengobatan

yang diberikan dokter. Berbagai obat dapat memberikan efek

samping pada tubuh, demikian pula pada mata yang dapat

terjadi dalam bentuk konjungtivtis.

 Sindrom Steven Johnson adalah suatu penyakit eritema

multiform berat (mayor) yang penyebabnya diduga suatu alergi

pada orang yang mempunyaipredisposisi alergi terhadap obat-

obat sulfonamide, barbiturate, salisilat.

 Konjungtivitis atopik yaitu reaksi alergi selaput lender mata

atau konjungtiva terhadap polen, disertai demam (Ilyas, 2015)

2.2.6 Patogenesis

Konjungtiva beruhubungan dengan dunia luar kemungkinan konjungtiva

terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan konjungtiva terutama

oleh karena adanya film air mata. Pada permukaan konjungtiva yang berfungsi

melarutkan kotoran dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalir melalui

saluran lakrimal ke meatus nasi inferior. Film air mata mengandung beta lysine,

lysozyme, IgA, IgG yang berfungsi menghambat pertumbuhan kuman. Apabila

16
ada kuman patogen yang dapat menembus pertahanan tersebut sehingga terjadi

infeksi konjungtiva yang disebut konjungtivitis.

Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur), bahan allergen, irirtasi

menyebabkan kelopak mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat menutup

dan membuka sempurna, maka mata menjadi kering sehingga terjadi iritasi yang

menyebabkan konjungtivitis. Pelebaran pembuluh darah disebabkan karena

adanya peradangan yang ditandai dengan konjungtiva dan sclera yang merah,

edema, rasa nyeri, dan adanya sekret mukopurulen.

Akibat jangka panjang dari konjungtivitis yang dapat bersifat kronis yaitu

mikroorganisme, bahan allergen, dan iritatif menginfeksi kelenjar air mata

sehingga fungsi sekresi juga terganggu menyebabkan hipersekresi. Pada

konjungtivitis ditemukan lakrimasi, apabila pengeluaran cairan berlebihan akan

mengakibatkan tekanan intra okuler yang lama kelamaan menyebabkan saluran

air mata tersumbat. Aliran air mata yang terganggu akan menyebabkan iskemia

saraf optik dan terjadi ulkus kornea yang dapat menyebabkan kebutaan (Ilyas,

2010)

2.2.7 Terapi

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen

mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter dapat memulai

terapi antimikroba spectrum luas (mis., polymyxin-trimethoprim). Pada setiap

konjungtivitis purulent yang pulasan gramnya menunjukkan diplokokus gram

negative, dugaan Neisseria, harus segera dimulai terapi topikal dan sistemik. Jika

kornea tidak terlibat, ceftriaxone 1g diberikan dosis tunggal per intramuscular

17
biasanya merupakan terapi sistemik yang adekuat. Jika kornea terkena,

dibutuhkan ceftriaxone parental, 1-2g perhari selama 5 hari.

Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, saccus conjunctivalis harus

dibilas dengan larutan saline agar dapat dihilangkan sekret konjungtiva. Untuk

mencegah penyebaran penyakit ini, pasien dan keluarga diminta memperhatikan

hygiene perorangan secara khusus.

Perbaikan klinis pada konjungtivitis klamidia umumnya dapat dicapai

dengan tetracycline, 1-1,5g/hari peroral dalam empat dosis selama 3-4 minggu,

dozycycline, 100 mg peroral dua kali sehari selama 3 minggu, atau erythromycin,

1g/hari peroral dibagi dalam empat dosis selama 3-4 minggu.

Infeksi pada konjungtivitis jamur berespons terhadap amphotericin B (3-8

mg/ml) dalam larutan air (bukan garam) atau terhadap krim kulit nystatin

(100.000 U/g) empat sampai enam kali sehari. Obat ini harus diberikan secara

hati-hati agar benar-benar masuk dalam saccus conjunctivalis.

Karena konjungtivitis alergi merupakan penyakit yang dapat sembuh

sendiri maka perlu diingat bahwa medikasi yang dipakai untuk meredakan gejala

dapat memperbaiki dalam waktu singkat, tetapi dapat memberikan kerugian

jangka panjang. Steroid topical atau sistemik dapat dipakai untuk mengurangi rasa

gatal dan mempunyai efek samping yang sangat merugikan (Garcia-Ferrer dkk,

2010).

2.2.8 Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya konjungtivitis

yaitu riwayat atopik, kebiasaan, lingkungan atau tempat tinggal yang sering

18
terpapar oleh virus, bakteri, allergen, atau debu, status gizi, kurangnya menjaga

kebersihan, kurang higienis dan kondisi tubuh yang kurang baik (Yunita &

Setyandriana, 2013).

2.2.9 Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis stafilokok,

kecuali pada pasien sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut konjungtiva

dapat mengikuti konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa, dan pada

kasus tertentu diikuti oleh ulserasi kornea dan perforasi. Ulserasi kornea marginal

dapat terjadi pada infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis, H aegyptius, S

aureus dan M catarrhalis, jika produk toksik N gonorrhoeae berdifusi melalui

kornea masuk ke bilik mata depan, dapat timbul iritis toksik.

Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma

dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus

kelenjar lakrimal. Ptosis, obstruksi ductus nasolacrimalis, dan dakriosistitis adalah

komplikasi trakoma lainnya yang sering dijumpai (Garcia-Ferrer dkk, 2010).

2.2.10 Pencegahan

Konjungtivitis dapat dicegah yaitu dengan tidak menyentuh mata yang

sehat sesudah mengenai mata yang sakit, tidak menggunakan handuk dan lap

secara bersama-sama dengan orang lain, serta bagi perawat dapat memberikan

edukasi kepada pasien tentang kebersihan kelopak mata (Hapsari & Isgiantoro,

2014).

19
Selain itu pencegahan konjungtivitis diantaranya sebelum dan sesudah

membersihkan atau mengoleskan obat, pasien konjungtivitis harus mencuci

tangannya agar tidak menulari orang lain, menggunakan lensa kontak sesuai

dengan petunjuk dari dokter dan pabrik pembuatnya, mengganti sarung bantal dan

handuk yang kotor dengan yang bersih setiap hari, menghindari penggunaan

bantal, handuk dan sapu tangan bersama, menghindari mengucek-ucek mata, dan

pada pasien yang menderita konjungtivitis, hendaknya segera membuang tissu

atau sejenisnya setelah membersihkan kotoran mata (Ramadhanisa, 2014).

2.2.11 Prognosis

Bila segera diatasi konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun

jika penyakit pada radang mata tidak segera ditangani atau diobati dapat

menyebabkan kerusakan pada mata dan dapat menimbulkan komplikasi seperti

glaucoma, katarak maupun ablasio retina (yunita&setyandriana, 2013).

2.3 Kerangka Teori

Etiologi
1. bakteri
2. virus Konjungtivitis
3. klamidia
/jamur
4. alergi
Faktor eksternal
1. Lingkungan
2. Personal
Faktor internal hygiene
1. Umur
2. Jenis
kelamin
3. Pekerjaan
4. Pendidikan
5. Lateralisasi
Konjungtivitis

20
Gambar 2.1 kerangka teori

Keterangan :
: diteliti

: tidak diteliti

2.4 Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Umur, jenis kelamin,


pendidikan, pekerjaan,
lateralisasi Konjungtivitis
konjungtivitis.

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

21

Anda mungkin juga menyukai