Anda di halaman 1dari 21

PENGERTIAN ALIRAN MU’TAZILAH

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti terpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh berpisah atau menjauhkan diri.
Ciri utama yang membedakan aliran ini dengan aliran teologi Islam lainnya adalah
pandangan-pandangan teologisnya lebih ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal)
dan lebih banyak berfilsafat (Ratu Suntiah, 2010, hal. 61). Kaum Mu’tazilah
adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat folisofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh
kaum Khawarij dan Murjiah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam” (Nasution, 2007, hal.
40).

Dari sumber lain, kata Mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu ‫اعتزل‬yang
aslinya adalah kata ‫عزل‬yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut
Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata
asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia
menambahkan satu arti yaitu mengusir.

Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk
menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan
muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku
yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.

Kenapa Hasan Bashri mengatakan “I’tazala anna washil” bukan dengan


“in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan
perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya
dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga
gurunya wafat.

Menurut Syahrastani, lahirnya istilah Mu’tazilah berasal dari kata


i’tazala’anna yang diucapkan Hasan al-Basri ketika Wasil Ibn Atha memisahkan
diri. Adapula pendapat yang menyatakan, kata Mu’tazilah tidak selalu berarti
memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya. Selain
disebut Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl at-Tauhid
(golongan pembela Tauhid), Ahl al-‘Adl (pendukung paham keadilan Tuhan), dan
kelompok Qadariah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai sebutan
Free Will dan Free Act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan
berbuat; al-Muatillah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki
sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan; dan Wa’idiah, karena
mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang
tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa diri mereka.

Pendapat sebagian orientalis, mereka dinamai Mu’tazilah karena terdiri dari


orang-orang yang menjaga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup bersenang-
senang. Kata Mu’tazilah menunjukan orang yang menyandang predikat itu hidup
zuhud terhadap dunia walaupun tidak semua penganut aliran ini demikian. Ada
sebagian yang bertaqwa, ada pula yang melakukan pekerjaan-pekerjaan maksiat,
banyak yang baik dan ada pula yang jahat.

Selain itu, menurut Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam, berdasarkan


catatan-catatan al-Maqrizi bahwa diantara sekte Yahudi yang berkembang pada
waktu itu dan sebelumnya, ada sekte yang bernama Frosyem artinya Mu’tazilah
(mengasingkan diri) yang membicarakan masalah al-Qadr dan berpendapat bahwa
tidak semua perbuatan manusia diciptakan manusia sendiri. Bisa saja kata
Mu’tazilah dipakaikan kepada kelompok orang yang memeluk Islam karena
melihat adanya persamaan diantara keduanya. Mu’tazilah Yahudi menafsirkan
Taurat sesuai dengan logika filsafat, sedangkan Mu’tazilah Islam mena’wilkan
semua sifat-sifat (Tuhan) yang disebutkan dalam Al-Quran sesuai dengan logika
filsafat juga. Menurut al-Maqrizi tentang Frosyem yang mereka namai dengan
Mu’tazilah, bahwa mereka memahami apa yang terdapat dalam Taurat sesuat
dengan penafsiran para filosof pendahulu mereka (Ratu Suntiah, 2010, hal. 61)

Menurut Ali Musthafa, aliran Mu’tazilah adalah golongan yang muncul


pada masa Hasan Bashri yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha. Pendapat lain
mengatakan bahwa mu’tazilah adalah golongan yang mengnut freewill yang
menganggap ahl sunnah dan khawarij salah.
SEJARAH TIMBUL DAN BERKEMBANGNYA ALIRAN MU’TAZILAH

Para ulama masih berbeda pendapat mengenai pemberian nama aliran


Mu’tazilah ini. Tetapi pada buku-buku ‘Ilm al-Kalam, dinamakan aliran
Mu’tazilah ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn Atha serta
temannya ‘Amr Ibn Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu
hari datang seseorang yang bertanya mengenai pendaptnya tentang orang yang
berdosa besar. Sebagaimana diketahui bahwa kaum Khawarij memandang mereka
kafir sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-
Basri masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan
mengatakan, “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu bukanlah
mukmin ataupun kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin
dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan al-Basri untuk pergi
ketempat lain di masjid. Atas peristiwa tersebut, kemudian Hasan al-Basri
mengatakan, “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’ anna)”. Dengan demikian
ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah (Nasution,
2007, hal. 40).

Terhadap golongan ini, para ulama berbeda pendapat mengenai waktu


timbulnya. Sebagian berpendapat, golongan ini timbul sebagai salah satu
kelompok dikalangan pengikut Ali. Mereka mengasingkan diri dari masalah
politik dan beralih kemasa aqidah ketika Hasan Ibn Ali turun dari jabatan Khalifah
yang digantikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Menurut Abu al-Hasan al-
Thara’ifi dalam Ahl al-Ahwa wa al-Bida’, mereka menamakan diri Mu’tazilah
ketika Hasan Ibn Ali membai’at Muawiyah dan menyerahkan jabatan khalifah
kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan Ibn Ali, Muawiyah, dan semua
orang; menetap dirumah-rumah dan masjid-masjid serta berkata, “Kami bergelut
dengan ilmu dan ibadah” (Ratu Suntiah, 2010, hal. 62)

Secara teknis, istilah Mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan.


Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respons
politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam
arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali Ibn Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah Ibn Zubair.
Golongan yang netral politik masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah.
Kelompok yang menjauhkan diri ini bersifat nertal tanpa stigma teologis seperti
yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh kemudian hari.

Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai


respons persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah
karena peristiwa tahkim. Golongan Mu’tazilah ini muncul karena berbeda
pendapat dengan golongan Khwarij dan Muriji’ah tentang pemberian status kafir
kepada orang yang berbuat dosa besar (Abdul Rozak, 2012, hal. 98).

Menurut para penulis kitab-kitab Mu’tazilah, awal munculnya paham itu


jauh lebih dahulu dari kisah Wasil keluar dari forum Hasan al-Basri tersebut.
Diantara penganut mazhab itu banyak yang berasal dari keluarga Nabi (Ahlu al
Bait). Hasan al-Basri termasuk penganut mazhab ini pernah menyatakan
pendangannya tentang perbuatan manusia sebagaimana paham Qadariyah,
pandangan itu merupakan pandangan mereka juga. Hasan juga mengemukakan
pendapat tentang pelaku dosa besar yang mirip dan tidak bertentangan dengan
pendapat mereka. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah munafik;
kesamaannya ialah bahwa orang munafik juga kekal dalam neraka dan tidak
termasuk kedalam kelompok orang beriman. Banyak Ahlu al-Bait yang berpola
pikir sama dengan Hasan al-Basri seperti Zaid Ibn Ali taman dekat Wasil. Wasil
juga merupakan salah satu penyiar faham ini yang menonjol sehingga kebanyakan
ulama memandang beliau sebgai tokoh utamanya (Ratu Suntiah, 2010, hal. 63).

Ada teori baru yang diajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah ini
sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan
sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalau itu dipakai
sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau ikut campur
dalam perikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn ‘Affan dan
‘Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongamn-golongan yang
saling bertikai. Suatu waktu, ketika Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai
Gubernur dari ‘Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertikain di sana, satu golongan
turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila
Kahrbita). Didalam suratnya kepada khalifah, Qais menamai mereka “mu’tazilin”.
Kalau al-Tabari menyebut nama “Mu’tazilin”, Abu al-Fida, memakai kata “al-
Mu’tazilah” sendiri.

Jadi kata-kata “i’tazala” dan “mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus


tahun sebelum peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak
mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.

Dengan demikian, golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak


politik. Dan dalam pendapat Ahmad Yamin, Mu’tazilah kedua, yaitu golongan
yang ditimbulkan wasil, mempunyai corak politik, karena mereka, sebagai kaum
Khawarij dan Murji’ah, juga membahas praktik-praktik politik yang dilakukan
‘Usman, ‘Ali, Muawiyah dan sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa
Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan filsafat kedalam
ajaran-ajaran dan pemikiran mereka (Nasution, 2007, hal. 41).

Nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal
dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di Basrah dan
bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata-kata
i’tazala, al-Mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah
pertama dan Mu’tazilah kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan
kepastian. Selanjutnya siapa sebenarnya yang nama Mu’tazilah kepada Wasil dan
pengikut-pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang mengatakan golongan lawanlah
yang memberikan nama itu kepada mereka. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-
ucapan Mu’tazilah itu sendiri, akam dijumpai keterangan-keterangan yang dapat
memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada
golongan mereka; atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan nama itu. Al-
Qadi ‘Abd al-Jabbar, umpamanya mengatakan bahwa kata-kata i’tazala yang
terdapat dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar
dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Selanjutnya ia
menerangkan adanya hadis Nabi yang mengatakan bahwa umat Islam akan
terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya
ialah golongan Mu’tazilah. Bahkan menurut Ibn al-Murtada kaum Mu’tazilah
sendirilah, dan bukan orang lain yang memberikan nama itu kepada golongan
mereka.

Dengan demikian, mereka tidak memandang nama Mu’tazilah itu sebagai


nama ejekan. Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan
nama-nama lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-
Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl al-
Tauhid wa al-‘Adl, golongan tang mempertahankan Keesaan murni dan Keadilan
Tuhan. Lawan mereka memakai nama-nama seperti al-Qadariyah, karena mereka
menganut paham Free Will dan Free Act; al-Mu’attilah, karena mereka
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai
wujud di luar zat Tuhan dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa
ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak
boleh tidak akan menimpa diri mereka.

Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina
aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Atha. Sebagaimana dikatakan Aal-Mas’udi, ia
adalah Syaikh al-Mu’tazilah wa qadilmuha, yaitu kepala dan Mu’tazilah tertua. Ia
lahir tahun 18 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada
Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn Al-Hanafiah, kemudian pindah ke
Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri (Nasution, 2007, hal. 43).

Aliran ini pada awal perkembangannya tidak mendapat simpati umat


Islam, khusunya dikalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami
ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Selain itu, kaum
Mu’tazilah dinilai tidak teguh pada sunah Rasulullah saw dan para sahabat. Baru
pada masa al-Ma’mun (Khalifah Abbasiyah periode 198-218 H/813-833 M),
golongan ini memperoleh dukungan luas terutama dikalangan intelektual.
Selanjutnya, kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah menjadikan mazhab
resmi negara oleh al-Ma’mun (anaknya Harun al-Rasyid), disebabkan sejak kecil
ia dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa, Mu’tazilah
mengalami masa kejayaan. Namun, disaat puncak kejayaan itu kaum Mu’tazilah
memaksakan ajarannya kepada kelompok lain yang terkenal dalam sejarah dengan
peristiwa Mihnah (inquistion). Peristiwa itu timbul dikarenakan paham Khalq al-
Quran, dimana kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah kalam Allah
SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk, dalam arti
diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti al-Quran sesuatu yang baru, jadi tidak
qadim. Jika al-Quran itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa
ada yang qadim selain Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.

Al-Ma’mun menginstruksikan suapaya diadakan pengujian terhadap aparat


pemerintah (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurutnya,
orang yang berkeyakinan bahwa al-Quran adalah qadim tidak bisa menempati
posisi penting dalam pemerintahan, terutama jabatan qadi. Dalam pelaksanaanya,
selain aparat pemerintahan juga tokoh-tokoh masyarakat diperiksa. Tokoh dan
pejabat pemerintahan yang disiksa diantaranya Imam Hambali; ulama yang
dibunuh karena tidak sepaham dengan Mu’tazilah seperti al-Khuzzai dan al-
Buwaiti.

Peristiwa yang menggoncangkan umat Islam itu akhirnya berakhir setelah


al-Mutawakkil menjadi khalifah (periode 232-247 H/847-861 M) menggantikan
al-Wasiq (periode 228-232 H/842-847 M). Dominasi aliran Mu’tazilah menurun
dan masyarakat semakin tidak bersimpatik sehingga al-Mutawakkil membatalkan
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan menggantikannya dengan aliran
Asy’ariyah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul lagi pada masa Dinasti
Buwaihi, namun kembali lagi pada Asy’ariyah ketika bani Saljuk mengambil alih
kekuasaan, terutama sejak pemerintahan Alp Arselan dengan Nizam al-Mulk
sebagai perdana meterinya. Hingga berabad-abad kemudian, Mu’tazilah tersisih
dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Walaupun demikian, di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan


dan teknik sekarangt, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat personal itu
telah mulai timbul kembali dikalangan umat Islam tertama di kalangan kaum
terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai paham-paham yang sama
atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai paham-paham yang
demikian tidaklah membuat mereka keluar dari Islam (Ratu Suntiah, 2010, hal.
64).

DOKTRIN-DOKTRIN MU’TAZILAH

Doktrin Mu’tazilah dikenal dalam bentuk lima ajaran dasar yang


populer dengan istilah al-Usul al-Khamsah. Kelima ajaran dasar itu adalah:
at-Tauhid (tauhid), al-‘Adl (keadilan), al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan
ancaman), al-Manzilah bain al-Manzalatain (posisi diantara dua posisi),
dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy’an al-Munkar (perintah untuk
berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat). Kelima ajaran dasar ini
menjadi prinsip utama yang ajaran-ajarannya disepakati oleh seluruh
pengikut aliran Mu’tazilah. Bagi orang yang hanya mengaku sebagian dari
paham Mu’tazilah itu dan tidak mengikuti metode berfikirnya, tidaklah
termasuk kelompok mereka sehingga tidak memikul dosanya dan tidak
pula terkena akibat-akibat negatif dari paham itu.

1. At-Tauhid (Pengesaan Tuhan)


At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan inti paham Mu’tazilah.
Bagi Mu’tazilah, hanya Allah SWT yang Maha Esa. Konsep tauhid
Mu’tazilah mereka anggap paling murni sehingga disebut sebagai Ahl at-
Tauhid (pembela tauhid) (Ratu Suntiah, 2010, hal. 65). Sebenarnya, setiap
mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini,. Akan tetapi, bagi
Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang Spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahasesaan-Nya. Tuhan satu-
satunya Esa, yang unik, dan tidak ada satupun menyamai-Nya. Oleh karena
itu, hanya Dia-lah yang qadim. Apabila ada yang qadim lebih dari satu,
telah terjadi ta’addud al-qudama’ (berbilangnya dzat yang tidak
berpemulaan) (Abdul Rozak, 2012, hal. 101).
Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, kelompok
Mu’tazilah menolak semua sifat-sifat Allah SWT dalam pengertian sesuatu
yang melekat pada dzat Tuhan, maka mereka sering disebut golongan Nafy
as-Sifat. Tuhan bagi mereka tetap Maha Mengetahui, Mahakuasa,
Mahahidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dsb.; itu bukan sifat-Nya
melainkan Zat-Nya (esensi Tuhan). Oleh karena itu, Mu’tazilah menolak
paham antropomorfisme (menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-
Nya, seperti mempunyai tangan dan muka). Ayat-ayat yang
menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat tajasum) harus
ditakwilkan sedemikian rupa. Paham ini juga menolah beatific vision
(Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya) di akhirat nanti.
Dengan dasar tauhid ini, mereka menetapkan bahwa al-Quran adalah
makhluk (diciptakan) Allah, dimaksudkan untuk mencegah berbilangnya
yang qadim dan menafikkan sifat al-Kalam (berkata-kata) dari Allah yang
diyakini banyak menganut paham Mu’tazilah (Ratu Suntiah, 2010, hal. 67).
Adapun yang dimaksud kaum Mu’tazilah dengan pemisahan sifat-
sifat Tuhan adalah sebagaimana pendapat golongan lain yang memandang
bahwa sifat-sifat Tuhan sebagai esensi Tuhan dan sebagian lain sebagai
perbuatan-perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu’tazilah paham mereka muncul
karena keinginan untuk memelihara kemurnian keesaan Tuhan (Hasan
Basri, 2007, hal. 46).
Terhadap paham antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil
pada ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka
memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah
kejisiman Tuhan. Tentu saja pemindahan arti ini tidak dilakukan secara
semena-mena, tetapi merujuk kepada konteks kebahasaan yang lazim
digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan
disini misalnya, kata tangan (Q.S. Shad: 75) diartiakan sebagai kekuasaan
dan pada konteks lain tangan (Q.S. al-Maidah: 64) dapat diartikan nikmat.
Kata wajah (Q.S. ar-Rahman: 27) diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-
Arsy (Q.S. Thaha: 5) diartikan kekuasaan.
Sementara itu, penolakan kaum Mu’tazilah terhadap pendapat
Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari
penolakan terhadap antropomorfisme. Tuahn adalah immateri, tidak
tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak
berbentuk. Adapun yang dapat dilihat adalah yang berbentuk memiliki
ruang. Andaikata Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu
di dunia pun dapat dilihat dengan mata kepal. Oelh karena itu, kata melihat
(Q.S. al-Qiyamah: 22-23) ditakwilkan dengan mengetahui (Ratu Suntiah,
2010, hal. 67).
2. Al-‘Adl (Keadilan)
Paham keadilan Tuhan dalam ajaran Mu’tazilah mengandung
pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil berbuat zalim
kepada hambanya. Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan
perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan
dan yang dilarang dengan qudrah (daya) yang diberikan dan diletakkan
Allah kepada mereka. Kemudian timbul ajaran as-Salah wa as-Aslah.
Maksudnya, Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia,
diantaranya Tuhan tidak boleh memberi beban yang terlalu berat kepada
manusia, Tuhan wajib mengirimkan rasul dan nabi-nabi untuk menuntun
kehidupan manusia di muka bumi, dan Tuhan wajib memberikan daya
pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya (Ratu
Suntiah, 2010, hal. 68). Begitu pula Tuhan adil apabila tidak melanggar
janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat denga janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan dengan beberapa hal, antara
lain sebagai berikut.
a. Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan
menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak
dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak.
Manusia benar-benar beba untuk menentukan pilihan
perbuatannya; baik dan buruk. Akan tetapi, perlu diketahui
bahwa Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik,
bukn yang buruk. Adapun yang disuruh tuhan pastilah baik
dan yang dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri
dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki
konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun
nanti yang akan diterima di akhirat merupakan balasan dari
perbuatannya di dunia, yaitu kebaikan akan dibalas
kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan keburukan.
Itulah keadilan karena ia berbuat atas kemauan dan
kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
b. Bebuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arab, berbuat baik dan terbaik disebut
as-Salah wa al-Ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan
untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan
tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan
kesan bahwa Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang
tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada
seseorang dan berbuat baik pada orang lain berarti Ia tidak
adil.
c. Mengutus Rasul dan Nabi-Nabi
Mengutus rasul dan nabi-nabi kepada manusia merupakan
kewajiban Tuhan karena beberapa alasan sebagai berikut.
1) Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dal hal itu
tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul
dan nabi-nabi kepada mereka.
2) Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan
untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S.
asy-Syura: 29).
3) Tujuan diciptakan manusia untuk beribadah kepada-
Nya (Abdul Rozak, 2012, hal. 103).
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Tuhan wajib menepati janji-Nya
memasukkan orang mukmin ke surga dan menepati ancamannya
mencampakan orang kafir dan orang berdoa besar ke dalam neraka.
Meskipun Tuhan sanggup memasukkan orang berdosa besar masuk
kedalam surga dan menjerumuskan orang mukmin kedalam neraka, namun
Tuhan mustahil melakukan itu karena bertentang dengan keadilan-Nya.
Paham ini erat kaitannya dengan pandangan mereka bahwa manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang
diciptakan Tuhan dalam darinya. Dengan demikian, manusia bertanggung
jawab penuh atas segala tindakannya. Jika manusia memilih beriman dan
berbuat baik maka kepadanya dijanjikan pahala masuk surga, sedangkan
kalau mereka ingkar dan berbuat dosa, Tuhan mengancam mereka dengan
neraka. Dengan paham ini, Mu’tazilah menolak paham Murji’ah yang
mengatakan bahwa perbuatan maksiat tidak menimbulkan kemudaratan
kepada orang yang beriman, sebagaimana perbuatan taat tidak memberi
manfaat bagi orang kafir. Jika paham Murji’ah ini benar maka janji Allah
untuk menyiksa pelaku kejahatan sia-sia saja (Ratu Suntiah, 2010, hal. 69).
4. Al-Manzilah Bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)
Paham ini sebagai ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan
Mu’tazilah. Ajaran ini timbul setelah terjadi peristiwa antara Wasil
bin’Ata’ dan Hasan al-Basri di basrah. Bagi Mu’tazilah, orang yang
berdosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pual mukmin, tetapi berada
diantara keduanya, menempati posisi antara mukmin dan kafir, yang
disebut fasik.orang yang berdosa besar tidak dapat diakatakan mukmin lagi
karena telah menyimpang dari ajaran Islam, sementara itu belum pula
dapat digolongkan sebagai kafir karena masih mempercayai Allah SWT
dan Rasul-Nya. Karena bukan mukmin, orang yang berbuat dosa besar
tidak masuk surga dan tidak pula masuk neraka karena mereka bukan kafir.
Yang adil, mereka ditempatkan di antara surga dan neraka. Akan tetapi,
karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka maka mereka
harus dimasukkan kedalam salah satu dari surga dan neraka. Penempatan
ini bagi paham Mu’tazilah tentang Iman. Iman bagi mereka bukan hanya
pengakuan dari uacapan, tetapi juga perbuatan.
Dengan demikian, pembuat dos abesar tidak beriman kepada tidak
pula kafir yakni fasik, bila meninggal mereka akan dicampakan ke dalam
neraka dan kekal di dalamnya, hanya saja siksaan yang mereka peroleh
lebih ringan dibandingkan siksaan orang kafir. Inilah yang diamksud
dengan posisi menengah antara mukmin dan kafir, itulah keadilan.
Terhadap orang yang berbuat maksiat dan berdosa besar, Mu’tazilah
mengakui mereka termasuk Ahl al-Qilbah dan berada diantara dua tempa,
mereka juga boleh saja dinamai Muslim untuk membedakannya dari
dzimmi dan penyembah berhala; bukan untuk memuji dan memuliakannya.
Sebab, ketika di dunia, orang itu beramal seperti amalan orang-orang
Islam. Karenanya, ia dituntut untuk bertaubat dan diharapkan mendapat
hidayah (Ratu Suntiah, 2010, hal. 70).
5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy’an al-Munkar (Menyuruh Berbuat Baik
dan Melarang Perbuatan Buruk)
Dalam prinsip Mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan
perbuatan yang ma’ruf dan mejauhi perbuatan yang munkar (Ratu Suntiah,
2010, hal. 70). Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan
kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang.
Pengakuan keimanan ini harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam
ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah
seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar (w.1024), yaitu:
a. Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang
dilarang itu munkar.
b. Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah dialkukan orang
c. Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf dan nahi
munkar tidak akan membawa madharat yang lebih besar.
d. Ia mengetahui paling tidak menduga bahwa tindakannya
tidak akan membahayakan diri dan hartanya.

Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy’an al-Munkar bukan monopoli


konsep Mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan di dalam al-Quran.
Arti asal al-ma’ruf adalah yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat
karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-
ma’ruf adalah yang diterima dan diakui Allah. Adapun al-munkar adalah
sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk.
Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu yang muncul dari dan
sesuai dengan keyakinan yang sebenar-benarnya serta menahan diri dengan
mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan.

Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran


kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah, jika
memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran
tersebut. Lalu, sejarah telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya
ketika menyiarkan ajaran-ajarannya (Abdul Rozak, 2012, hal. 106). Seperti
melakukan kekerasan dan kekuatan pemerintah yaitu pemkasaan ajaran
kepada golongan lain yang dikenal dengan nama mihnah (memaksakan
pendapatnya bahwa al-Quran adalah makhluk dan diciptakan Tuhan).
Karena itu, al-Quran tidak qadim. Mereka yang menentang pendapat ini
wajib dihukum. Itulah cara mereka menegakkan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa
an-Nahy’an al-Munka.

TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH DAN PEMIKIRANNYA

Aliran Mu’tazilah telah melahirkan pemuka dan tokoh-tokoh penting, baik


kelompok Basra maupun kelompok Baghdad. Yang termasuk kelompok Basra
adalah Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M), Amr Ibn Ubaid (w.145 H), Abu
Huzail al-Allaf (135-235 H), an-Nazzam (185-231 H), al-Jahiz Abu Usman bin
Bahar (w. 869 H), dan al-Jubba’i (w. 303 H). Adapun yang termasuk kelompok
Baghdad adalah Mu’ammar bin Abbad, Bisyr al-Mu’tamirc(w. 210 H), Abu Musa
al-Murdar (w. 226 H), Sumamah bin Asyras (w. 213 H), Ahmad bin Abi Da’ud
(w. 240 H), Hisyam bin Amir al-Fuwati, Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H)
(Ratu Suntiah, 2010, hal. 71). Selain itu, ada juga Az-Zamakhsyari (467-538 H)
dan Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 1024 H) (Hasan Basri, 2007, hal. 45).

1. Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M)


Wasil bin Atha dilahirkan di Madinah tahun 80 H. Ia pindah ke
Basrah untuk belajar. Disana ia berguru kepada seorang tokoh dan ulama
besar yang masyhur yaitu Hasan al-Basri.
Wasil bin Atha termasuk murid yang pandai, cerdas tekun belajar.
Ia berani mengeluarkan pendapatnya yang berbeda dengan gurunya
sehingga ia kemudian bersama pengikutnya dinamakan golongan
Mu’tazilah (Ahmad, 1998, hal. 164).
Wasil terkenal sebagai pendiri sekaligus pemimpin pertama aliran
Mu’tazilah. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan prinsip
pemikiran Mu’tazilah yang rasional (Hasan Basri, 2007, hal. 43). ia adalah
orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah. Ajaran
pokok yang dicetuskannya ada tiga yaitu paham al-Manzilah bain al-
Manzilatain, paham Qadariyah yang diambil dari Ma’bad dan Ghailan, dan
paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran pokok itu
kemudian menjadi doktrin Mu’tazilah, yakni al-Manzilah bain al-
Manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan (Ratu Suntiah, 2010, hal. 71).
2. Abu Huzail al-Allaf (135-235 H)
Abu Huzail al-Allaf dilahirkan tahun 135 H/751 M. Ia berguru
kepada Usman Al-Tawil (murid Wasil bin Atha). Ia hidup pada zaman
dimana ilmu pengetahuan seperti filsafat dan ilmu-ilmu lain dari Yuani
telah berkembang pesat di bagian dunia Arab. Ia wafat tahun 235 H/849 M.
Abu Huzail merupakan generasi kedua Mu’tazilah yang kemudian
mengintroduksi dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah yang disebut
Usulul Khambah. (Ahmad, 1998, hal. 165).
Abu Huzail adalah seorang filosof Islam yang banyak mengetahui
falsafah Yunani sehingga memudahkannya menyusun ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Antara lain, ia membuat uraian
mengenai pengertian nafy as-Sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha
Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah
Zat-Nya, bukan sifat-Nya; Tuhan Mahakuasa dengan kekuasaan-Nya dan
kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya, bukan sifat-Nya; demikian seterusnya.
Penjelasan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya qadim selain Tuhan
karena kalau diakatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat diluat
zat Tuhan), berarti sifatnya itu qadim. Dengan demikina, ada banyak yang
qadim sehingga akan membawa pada kemusyrikan. Ajarannya yang lain,
Tuhan menanugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk. Dengan pengetahuannya tentang
perbuatan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang lebih baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan
akal itu pula, manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya
Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Ia juga
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-Salah wa al-Aslah (Ratu Suntiah,
2010, hal. 71).
3. An-Nazzam (185-231 H)
Nama sebenarnya adalah Ibrahum bin Sayyar bin hani An-Nazzam.
Ia adalah murid Abul Huzail al-Allaf. Ia juga bergaul dengan para filosof.
Pendapatnya banyak yang berbeda dengan aliran Mu’tazilah lainnya. An-
Nazzam memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang
keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang merupakan cikal
bakal renaissance (pembaharuan) di Eropa.
An-Nazzam berpendapat tentang keadialn Tuhan. Tuhan Mahaadil
sehingga tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Ia lebih jauh dari gurunya al-
Allaf yang berpendapat bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada
hamba-Nya. An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukan hanya mustahil,
tetapi Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim.
Menurutnya, perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang bodoh dan tidak
sempurna sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga
berpendapat, mukjizat al-Quran terletak pada kandungannya, bukan pada
uslub (gaya bahasa) dan balagah (retoriknya). Selain itu, ia juga memberi
penjelasan tentang kalam Allah SWT, yaitu segala sesuatu yang tersusun
dari huruf-huruf dan dapat didengar. Oleh karena itu, kalam adalah sesuatu
yang baru dan tidak qadim (Ratu Suntiah, 2010, hal. 72).
4. Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869 H)
Ia adalah pencetus paham naturalisme atau kepercayaan akan
hukum alam yang oleh kaum Mu’tazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara
lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya
diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam
(Ratu Suntiah, 2010, hal. 73).
5. Al-Jubba’i (w. 303 H)
Ia mempunyai nama Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab yang
lahir tahun 25 H/849 M (Ahmad, 1998, hal. 165). Sebutan al-Jubba’i
diambil dari tempat kelahirannya, yaitu suatu tempat yang bernama Jubba,
di provinsi Chuzestan-Iran. Al-jubba’i adalah guru imam Abu Hasan al-
Asyari, tokoh utama dalam aliran Asy’ariyah (Hasan Basri, 2007, hal. 44).
Al-Jubba’i berguru kepada Al-Syahham, salah seorang murid Abu Huzail.
Ia hidup dalam situasi yang keadaan politiknya tidak stabil. Namun
demikian, ilmu pengetahuan berkembang pesat karena para ilmuan tidak
banyak turut campur dalam pergolakan politik yang waktu itu terjadi. Ia
wafat tahun 303 H/915 M di Basrah (Ahmad, 1998, hal. 165).
Pendapatnya yang masyhur yaitu tentang kalam Allah SWT, sifat
Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai kalam Allah
SWt, ia sependapat dengan an-Nazzam. Mengenai sifat Allah SWT, ia
menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui berarti Dia berkuasa, berkendak,
dan mengetahui melalui esensi-Nya. Tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok yaitu kewajiban-kewajiban yang
diketahui manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqliyah) dan kewajiban-
kewajiban yang diketahui manusia melalui ajaran-ajaran yang dibawa para
rasul dan nabi (wajibah syari’ah). Sementara itu, daya akal menurut al-
Jubba’i sangat besar. Dengan akalnya, manusia dapat mengetahui adanya
Tuhan serta kewajiban bersyukur kepada-Nya. Akal manusia selanjutnya
dapat mengetahui yang baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban
berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Pendapat ini menjadi ajarah
Mu’tazilah yang penting (Ratu Suntiah, 2010, hal. 73).
6. Mu’ammar bin Abbad
Pendiri Mu’tazilah aliran Baghdad. Pendapatnya yang penting yaitu
tentang kepercayaan pada hukum alam, sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia
mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi,
sementara al-‘arad atau accident (sesuatu yang datang pada benda-benda)
itu adalah hasik dari hukum alam. Contohnya, jika sebuah batu dilempar ke
dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah
hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan (Ratu Suntiah,
2010, hal. 73).
7. Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H)
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Baginya, anak kecil tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum
mukalaf. Seorang yang berdosa besar, kemudian bertobat, lalu mengulangi
lagi perbuatan dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah
bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu (Ratu Suntiah, 2010, hal. 74).
8. Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H)
Dianggap pemimpin Mu’tazilah yang ekstrem karena pendapatnya
yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurut Syahrastani, ia menuduh
kafir semua orang yang mempercayai keqadiman al-Quran. Ia juga
menolak pendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala di
akhirat (Ratu Suntiah, 2010, hal. 74).
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Ia berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka
hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan
adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena
belum waktunya orang memasuki surga dan neraka (Ratu Suntiah, 2010,
hal. 74).
10. Sumamah bin Asyras (w. 213 H)
Berpendapat bahwwa manusia sendirilah yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya telah bersedia daya untuk
berbuat. Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akan manusia
sebelum turunnya wahyu dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui
perbuatan baik dan perbuatan buruk; wahyu turun untuk memberikan
konfirmasi (Ratu Suntiah, 2010, hal. 74).
11. Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H)
Ia termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad. Bukunya yang berjudul Al-
Intisar berisi pembelaan aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu Rawandi. Ia
hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah (Hasan Basri, 2007, hal.
45).
Al-Khayyat memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka
Mu’tazilah lainnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat
bahwa jika Tuhan dikatakan berkehendak, maka kehendak Tuhan itu
bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuahn dan bukan pula diwujudkan
melalui zat-Nya. Jadi, kehendak Tuhan itu bukan Zat-Nya dan terlebih lagi
bukan sifat-Nya, melainkan iinterpretasikan dengan Tuhan mengetahui dan
berkuasa muwujudkan perbuatan-Nya sesuai dengan pengetahuan-Nya
(Ratu Suntiah, 2010, hal. 74).
12. Al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 1024 H)
Ia diangkat sebagai kepala hakim oleh Ibnu Abad. Diantara
karyanya yang besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu’tazilah.
Karangan tersebut demikian luas dan amat mendalam yang ia namakan Al-
Mughni. Kita ini begitu besar, satu kitab yang lebih darin lima belas jilid.
Al-Qadhi Abdul Jabbar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran
aliran Mu’tazilah, namun ia mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu
maupun dalam jabatan kenegaraan (Hasan Basri, 2007, hal. 45).
13. Az-Zamakhsyari (467-538 H)
Nama lengkapnya adalah Jarullah Abul Qasim Muhammad bin
Umar. Ia dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarijm, Iran. Sebutan
Jarullah artinya tetangga Allah, karena beliau lama tinggal di Mekkah,
dekat Ka’bah. Ia terkenal sebagai tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu
(gramatika) dan paramasastra (lexiologi) (Hasan Basri, 2007, hal. 45).
Selama di Mekkah, ia banyak menggunakan waktunya untuk
menyusun kitab tafsir al-Kassyaf yang berorientasi pada paham
Mu’tazilah. Namun demikian, kitab tafsir karyanya tidak hanya digunakan
oleh kaum Mu’tazilah saja. Disamping menyusun tafsir Al-Kassyaf ia
banyak menyusun buku tentang balaghah, bahasa dan lainnya. Az-
Zamakhsyari wafat tahun 538 H (Ahmad, 1998, hal. 165).
Dalam karangannya, ia dengan terang-terangan menonjolkan
paham Mu’tazilah, seperti dalam kitab Al-Kassyaf, ia berusaha
menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah,
terutama lima prinsip ajarannya. Selain itu, kitab Al-Kassyaf diuraikan
dalam ilmu Balaghah yang tinggi, sehingga para mufassirin banyak yang
menggunakannya hingga saat ini (Hasan Basri, 2007, hal. 45).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, dkk. (2012). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Ahmad, Muhammad. (1998). Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Hasan Basri, dkk. (2007). Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung:
Cv. Insan Mandiri.

Nasution, Harun. (2007). Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan.


Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Suntiah, Ratu. (2010). Ilmu Kalam. Bandung: Sega Arsy.

http://ilinsolehudin.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-mutazilah.html

Anda mungkin juga menyukai