Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan oleh
manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan pesan, proses, dan
ekspresi. Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan
dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada system
berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi pepatah dan berhitung
lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa sangat penting. Pemahaman bicara dan bahasa adalah tugas yang
melibatkan sebagian besar korteks serebri. Karena alasan ini, lesi diberbagai bagian korteks
dapat menyebabkan gangguan pemahaman bicara dan bahasa. Bila terdapat gangguan hal ini
akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien.

Permasalahan bahasa dapat tampak dalam bentuk language delay atau gangguan dalam
berbahasa. Istilah language delay digunakan berdasarkan kepada perkembangan bahasa secara
normal yang terhambat. Apabila perkembangan bahasa itu mengikuti pola-pola normal, mereka
terlihat adanya kelambatan jika dibandingkan dengan usia yang sama. Gangguan cara berbahasa
dinamakan afasia. Lebih tepat untuk menggunakan istilah disfasia, karena umumya kemampuan
berbahasa tidak hilang secara mutlak. Gangguan berbahasa tidak mudah di deteksi dengan
pemeriksaan yang tergesa-gesa.

Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak
yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak, yaitu otak yang lebih
dominant). Individu yang mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak
mungkin memiliki kesulitan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia dapat menyebabkan
kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis, tetapi tidak mempengaruhi
kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin juga memiliki masalah lain, seperti disartria,
apraxia, dan masalah menelan.

1
Diperkirakan ada 80.000 kasus baru afasia per tahun di Amerika Serikat (National Stroke
Association, 2008) 3 Afasia merupakan dampak post strok. Strok merupakan empat penyebab
utama kematian di ASEAN sejak 1992 – yang pertama di Indonesia, tempat ketiga di Filipina
dan Singapura, tempat keempat di Brunei, Malaysia dan Thailand.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian neurologi RSUD

Solok

1.2.2 Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian neurologi

RSUD Solok

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak
yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak, yaitu otak yang lebih
dominant). Individu yang mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak
mungkin memiliki kesulitan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia dapat menyebabkan
kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis, tetapi tidak mempengaruhi
kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin juga memiliki masalah lain, seperti disartria,
apraxia, dan masalah menelan.

Pengertian tentang aphasia, masing-masing ahli memberikan batasan yang berbeda-beda,


akan tetapi pada intinya sama. Seperti yang dikemukakan:

1. Wood (1971) mengatakan bahwa “aphasia merupakan kehilangan kemampuan untuk bicara
atau untuk memahami sebagaian atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang
diakibatkan karena adanya gangguan pada otak”.

2. Wiig dan Semel (1984) mengatakan bahwa afasia adalah mereka yang memiliki gangguan
pada perolehan bahasa yang disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan dalam memformulasikan pemahaman bahasa dan pengguanaan bahasa.

Menurut Association Internationale Aphasie penyebab afasia selalu berupa cedera otak.
Pada kebanyakan kasus, afasia dapat disebabkan oleh pendarahan otak. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh kecelakaan atau tumor. Seseorang mengalami pendarahan otak jika aliran darah
di otak tiba-tiba mengalami gangguan. Hal ini dapat terjadi melalui dua cara yaitu: terjadi
penyumbatan pada pembuluh darah atau kebocoran pada pembuluh darah. Penyumbatan
disebabkan oleh penebalan dinding pembuluh darah (trombosis) atau penggumpalan darah
(emboli) yang mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah. Dalam hal ini terjadi serangan
otak.

3
Kebocoran Di pembuluh darah terdapat bagian yang lemah (aneurisma). Bagian tersebut
dapat menjadi berpori-pori, selanjutnya mengalami kebocoran, bahkan pecah. Dalam hal ini
terjadi pendarahan otak.

2.2 Epidemiologi
Di Indonesia, data epidemiologi penduduk yang menderita afasia tidak diketahui.
Diperkirakan ada 80.000 kasus baru afasia per tahun di Amerika Serikat (National Stroke
Association, 2008) 3 Afasia merupakan dampak post stroke. Stroke merupakan empat penyebab
utama kematian di ASEAN sejak 1992 – yang pertama di Indonesia, tempat ketiga di Filipina
dan Singapura, tempat keempat di Brunei, Malaysia dan Thailand. Jumlah pasien dengan
gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh trauma otak, tumor otak, maupun lesi lain pada otak
tidak sepenuhnya diketahui. Penyebab tersering kedua dari afasia ialah penyakit degeneratif
seperti alzeimer atau demensia dengan prevalensi alzeimer per tahun di Amerika ialah 5.000.000
kasus.

2.3 Anatomi
Korteks terbagi kepada empat lobus yaitu lobus frontalis berfungsi untuk mongontrol
motorik dan fungsi eksekutif yang lebih tinggi, lobus parietalis untuk fungsi sensoris, lobus
temporalis untuk mendengar, mengestor memori dan pemahaman bahasa, dan lobus occipitalis
untuk persepsi visual.
Serebri terbagi kepada dua yaitu hemisfer serebri kiri dan hemisfer serebri kanan. Kedua
hemisfer dihubungkan oleh corpus callosum, yang merupakan satu bundel 5 besar serabut saraf.
Lebih dari 90% kandal dan 60% kidal mempunyai pusat bahasa di hemisfer serebri kiri. Ini juga
dipanggil lateralisasi atau dominant.
Terdapat 3 area utama pusat bahasa yaitu, area Broca, area Wernicke dan area konduksi:
 Area Broca yang merupakan area motorik untuk berbicara. Area Broca terletak di
posterior gyrus frontal. Secara neuroanatomi, daerah ini digambarkan sebagai daerah Brodman
44 dan 45.
 Area Wernicke dimana pusat pemprosesan kata kata yang diucapkan terletak di
posterior gyrus temporal superior. Secara neuroanatomi, daerah ini digambarkan sebagai daerah
Brodmann 22.

4
 Area konduksi terdiri daripada fasikulus arkuata yang merupakan satu bundel saraf
yang melengkung dan menguhubungkan antara area Broca dan area Wernicke. Kerusakan
fasikulus arkuata menyebabkan: timbul defisit unutk mengulang kata kata.
 Area Exner terletak tepat di atas area Broca dan anterior area kontrol motor primer. Ini
adalah area untuk menulis,berhampiran dengan lokasi gerakan 6 tangan. Kerusakan area Exner
akan mengakibatkan agraphia. Dikenali sebagai daerah Brodmann 6 secara neuroanatomi.
 Area membaca terletak di bagian media lobus oksipital kiri dan di splenium corpus
callosum. Ini adalah pusat untuk membaca. Ia menerima impuls dari mata dan mengirimkan
impuls tersebut ke daerah asosiasi untuk dianalisa dengan, kemudian ihantar ke fasikulus
arkuata. Lesi pada area ini menyebabkan kebutaan kata murni. Daerah ini neuroanatomi
digambarkan sebagai daerah Brodmann.

2.4 Fisiologi berbicara


Pada korteks serebri ada beberapa daerah luas yang tidak termasuk dalam pembagian area
sensorik-motorik primer dan sekunder pada umumnya. Area tersebut dinamakan area asosiasi
karena menerima dan menganalisis sinyal-sinyal secara bersamaan dari berbagai regio baik dari
korteks motorik maupun korteks sensorik dan juga dari struktur subkortikal. Area asosiasi yang
paling penting diantaranya area asosiasi parieto-oksipito-temporal, area asosiasi prefrontal, dan
area asosiasi limbik. Area asosiasi parieto-oksipito-temporal terletak dalam ruang kortikal
parietal dan oksipital yang besar yang dibatasi oleh korteks somatosensorik bagian anterior,
korteks pengelihatan bagian posterior, dan korteks pendengaran bagian lateral. Area ini memberi
tafsiran derajat tinggi untuk mengartikan sinyal-sinyal dari seluruh area sensorik sekitarnya. Area
asosiasi parieto-oksipito-temporal ini memiliki sub area fungsionalnya sendiri. Area utama untuk
pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak di belakang korteks auditorik primer pada
bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis. Regio 2 ini merupakan regio yang paling
penting di seluruh otak untuk fungsi intelektual yang lebih tinggi karena hampir semuanya
didasarkan pada bahasa.

5
Pada bagian posterior area pemahaman bahasa, terutama terletak di regio anterolateral
pada lobus oksipitalis, terdapat area asosiasi pengelihatan yang mencerna informasi pengelihatan
dari kata-kata yang dibaca ke dalam area Wernicke, yakni area pemahaman bahasa. Girus yang
disebut girus angularis diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang diterima secara visual. Bila
area ini tidak ada, seseorang masih dapat memiliki pemahaman bahasa yang sangat baik dengan
cara mendengar tetapi tidak dengan cara membaca. Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis
anterior dan lobus temporalis posterior terdapat area untuk memberi nama suatu objek. Nama-
nama ini terutama dipelajari melalui input pendengaran sedangkan sifat fisik suatu objek
dipelajari terutama melalui input visual.
Selanjutnya nama-nama penting untuk pemahaman bahasa visual dan pendengaran
dimana fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke terletak tepat di superior regio penamaan
auditoris dan di anterior dari area pemrosesan kata visual. Area asosiasi prefrontal fungsinya
berkaitan erat dengan korteks motorik untuk merencanakan pola-pola yang kompleks dan
berurutan dari gerakan motorik. Untuk membantu fungsi tersebut, area ini menerima input
melalui berkas subkortikal masif dari serabut-serabut saraf yang menghubungkan area asosiasi
parieto-oksipito-temporal dengan area asosiasi prefrontal.
Melalui berkas ini, korteks prefrontal menerima banyak informasi sensorik yang belum
dianalisis, khususnya informasi mengenai keserasian tubuh secara spasial yang diperlukan untuk
merencanakan gerakan-gerakan yang efektif. Kebanyakan output dari area prefrontal ini masuk
ke dalam sistem pengatur motorik yang berjalan melalui bagian kaudatus dari lintasan umpan
balik ganglia basalis-talamus guna melakukan 3 perencanaan motorik yang menghasilkan banyak
komponen rangsangan gerakan yang berurutan dan bersifat paralel. Regio khusus pada korteks
frontalis yang disebut area Broca memiliki lintasan saraf untuk pembentukan kata. Area ini
sebagian terletak di korteks prefrontal bagian posterior lateral dan sebagian lagi terletak di area
premotorik.
Di area ini rancanfan dan pola motorik untuk menyatakan kata-kata atau bahkan kalimat
pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini bekerja sama dengan area Wernicke di korteks
asosiasi temporal. Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu
sama lain di bagian posterior lobus temporalis superior. Daerah pertemuan dari berbagai area
interpretasi sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang dominan (sisi kiri pada hampir
semua orang yang bertangan kanan). Area ini sangat berperan pada fungsi pemahaman otak yang

6
lebih tinggi (fungsi luhur) dalam setiap bagian korteks serebri. Fungsi ini disebut intelegensia.
Oleh karena itu, daerah ini sering disebut dengan berbagai nama yang menyatakan bahwa area
tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun area ini lebih dikenal dengan nama area
Wernicke sesuai dengan nama penemunya.
Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadang-kadang
menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal ini terutama terjadi apabila elektroda
perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga mencapai area talamus yang berkaitan
dengan area Wernicke. Dengan alasan ini dianggap bahwa aktivasi area Wernicke dapat
memanggil kembali pola ingatan yang rumit, yang melibatkan lebih dari satu modalitas sensorik,
walaupun sebagian besar ingatan individual disimpan di daerah mana saja.
Hal ini dianggap sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam menginterpretasikan
arti yang rumit dari bermacam-macam pengalaman sensorik. 4 Girus angularis merupakan
bagian lobus parietalis posterior yang paling inferior, terletak tepat di belakang area Wernicke
dan di sebelah posterior bergabung dengan area visual lobus oksipitalis. Bila daerah ini
mengalami kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus temporalis tetap utuh, pasien masih
dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya namun rangkaian pengalaman visual yang
berjalan dari korteks visual ke area Wernicke benar-benar terhambat. Oleh karena itu pasien
mungkin masih mampu melihat kata-kata dan bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak
dapat menginterpretasikan arti dari kata-kata itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-
kata (word blindness).

2.5 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat cedera
otak atau proses patologik pada area lobus frontal,temporal atau parietal yang mengatur
kemampuan berbahasa,yaituAreaBroa,AreaWernicke, danjalur yang menghubungkan antara
keduanya.Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang,
bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur.Pada dasarnya kerusakan
otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak
aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia
juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan
nyeri kronis

7
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi Ada dua klasifikasi pada afasia. Pertama afasia diklasifikasikan berdasarkan
manifestasi klinik, dan yang kedua berdasarkan distribusi anatomi dari lesi. 9 Berdasarkan
manifestasi klinis nya, afasia dibedakan menjadi :

• Afasia wernicke Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat, baik
untuk 1 kata maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan lancar namun sangat
parafasik dan sirkumlokusius.Kecenderungan kesalahan parafasik sangat tinggi hingga terkadang
disebut neologisme, yang disebut juga jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung banyak
kata sifat namun sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan banyak, namun
tanpa arti. Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien tampak
mengerti bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain sehingga pasien tampak
marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat mengerti maksud dari pembicaraannya.

Pada pasien dengan afasia wernicke dapat disertai dengan agitasi motorik dan perilaku
paranoid. Pasien dengan afasia wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui
kata-kata yang sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini
terletak di area wernicke. Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri
serebri media. Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala berat, dan
tumor. Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan pendataran sudut nasolabial
kanan dapat mempertegas adanya lesi di area wernicke.

• Afasia broca Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh jeda
yang dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien juga menderita
disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga terkadang pasien hanya mau menjawab
dengan kata “ya” atau “tidak. Penamaan benda dan kemampuan merepetisi terganggu. Meski
begitu, pemahaman bahasa masih intak kecuali untuk kalimat yang sulit yang diucapkan dengan
suara yng pelan atau tanpa intonasi. Kemampuan membaca juga dipertahankan namun seskali
pasien kesulitan membaca kata imbuhan atau tatabahasa yang rumit. Terkadang, sekalipun

8
pasien menderita disartria, pasien dapat bernyanyi dengan baik. Hal inilah yang sedang diuji
coba dalam terapi afasia broca. Defisit neurologis yang sering menyertai meliputi kelemahan
pada wajah bagian kanan, hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab
paling sering ialah infark yang disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebri media.

• Afasia global Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan,
repetisi, membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya disfungsi dari
broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal dari afasia wernicke yang
kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang klasik.

• Afasia Konduktif Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih
baik, namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan pemulisan juga sangat terganggu. Jika
pasien diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan mengalami kesulitan, namun
pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.
• Afasia transkortikal motorik Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik
menyerupai afasia broca namun repetisi masih baik dan pasien cenderung menghindari
penggunaan tata bahasa. Pemeriksaan neurologis lain biasanya normal. Lesi pada afasia
transkortikal motorik biasanya melibatkan area perbatasan antara arteri serebri anterior dan
media.

• Afasia transkortikal sensori Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang
menyerupai afasia wernicke namun repetisi masih dapat dilakukan dengan baik. Pada afasia ini
lesi memutuskan area bahasa dari area asosiasi temporoparietal selain area khusus bahasa.

• Afasia terisolasi Sindrom yang langka ini melibatkan dua transkortikal afasia. Pemahaman
pasien sangat terganggu dan tidak ada arti dalam setiap kata yang diucapkan oleh pasien. Pasien
dapat menjadi ekolalia, mengindikasikan adanya mekanisme repetisi yang masih intak. Lesi
biasanya mengenai area sekitar frontal, parietal, dan temporal namun tidak mengenai area broca
maupun wernicke

9
. • Afasia anomik Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi,
pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan nama dari benda-
benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali output bahasa pasien parafasik,
sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran bahasa terganggu ketika pasien berusahan
menyebutkan nama benda-benda. Afasia anomik banyak ditemui pada kasus trauma kepala,
ensefalopati metabolik, dan penyakit alzheimer.

• Sindrom Gerstmann's Sindrom gerstmann meliputi kombinasi dari akalkulia, disgrafia, anomia
jari, dan ketidakmampuan membedakan kiri dan kanan. Untuk itu, pada pembuatan diagnosis
sindrom gertmann, penting untuk melihat apakah pasien dapat membedakan posisi kiri dan
kanan. Sindrom gertmann biasanya diakibatkan kerusakan pada lobus parietalis inferior hemisfer
serebri sinistra.

Pada klasifikasi afasia berdasarkan distribusi anatomi dari lesi, afasia dibedakan atas :
• Sindrom afasia perisylvii : Meliputi Afasia broca, afasia wernicke, dan afasia konduksi
• Sindrom afasia daerah perbatasan : Meliputi afasia transkortikal motorik, afasia transkortikal
sensorik, dan transkortikal campuran
• Sindrom afasia subkortikal : Meliputi afasia talamik dan afasia striatal
• Sindrom afasia non-lokalisata : Meliputi afasia gnomik dan afasia global. Satu lagi klasifikasi
afasia yang jarang digunakan, yakni yang merujuk pada linguistik. Afasia pada klasifikasi ini
dibedakan atas:
• Afasia sintaktik
• Afasia semantik
• Afasia pragmatik
• Afasia jargon
• Afasia global

10
2.7 Gejala Klinis
Tipe Afasia Pembicaraan Komprehensia Repetisi Gejala Lokasi lesi
berkaitan
Broca Tidak lancar, Tetap baik terganggu Kelemahan Frontal
butuh pada tangan suprasylvian
banyak usaha dan wajah
dalam bagian kanan
berbicara,
kurangnya
suku kata,
kurangnya
output
namun dapat
mencetuskan
ide
Wernicke Lancar, fasih Sangat Tidak Hemi- atau Temporal,
berbicara, terganggu dapat quadrantanopia, infrasylvian
artikulasi dilakukan tidak ada termasuk
baik, tapi paresis girus angular
tanpa arti dan
supramarginal
Konduksi lancar baik Tidak Biasanya tidak Supramarginal
dapat dapat dilakukan gyrus atau
dilakukan insula
Global Sedikit, tidak Sangat Tidak hemiplegi Sebagian
lancar terganggu dapat besar
dilakukan perisylvian
atau lesi
terpisah pada
frontal dan
tempora

11
Transkortikal Tidak lancar baik Sangat bervariasi Anterior atau
motorik baik superior area
Broca
Transkortikal lancar Tidak dapat Sangat bervariasi Area di sekitar
sensori dilakukan baik Wernicke
seperti halnya
pada
Wernicke
Anomic Kesulitan normal normal bervariasi Lobus
afasia mencari temporalis
katakata bagian dalam

2.8 Diagnosis
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaantambahan lainnya dilakukan untuk
mengetahui penyebab kerusakan otaknya. Adapun tindakan yang harus kita lakukan adalah
sebagai berikut :

• Anamnesis

Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera kepala. Pasien
dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat menderita afasia secara perlahan. Tanda-
tanda awal yang mencirikan lesi atau defisit yang berasal dari area korteks atau jaras yang
berdekatan dengan posisi area berbahasa harus diwaspadai. Tanda-tanda tersebut meliputi
hemianopia, defisit dari fungsi motorik maupun sensori, atau defisit neurobehavioral seperti
alexia, agrafia, akalkulia, atau apraksia. Pada pasien harus ditanyakan riwayat kejang atau
episode afasia sebelumnya. Terkadang, sekalipun insidensinya rendah, afasia dapat diakibatkan
oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari penyakit ini meliputi riwayat demam, kejang, nyeri
kepala, dan perubahan perilaku.

Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk penting untuk
mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun malformasi arteri vena.

12
Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat gangguan pada memori atau riwayat
gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari karena gangguan berbahasa bisa hanya 16
merupakan satu bagian dari kondisi neurodegeneratif yang menyeluruh seperti demensia. Perlu
ditanyakan juga apakah pasien kidal atau tidak, riwayat hipertensi, perdarahan otak sebelumnya,
penyakit jantung, penyakit vaskular otak, atau amiloid angiopati.

• Pemeriksaan berbicara spontan

Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan bagaimana pasien


berbicara spontan atau bercerita. Pasien dapat diminta untuk menceritakan hal-hal yang terjadi
dalam waktu dekat, misalnya bagaimana ia sampai dirawat di rumah sakit. Yang dinilai ialah
apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun, diprosodik (irama, ritme, intonasi terganggu) dan apakah
ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata, dan perseverasi. Parafasia ialah kegiatan
mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia. Parafasia semantik atau verbal berarti mensubstitusi
satu kata dengan kata yang lainnya. Parafasia fonemik berarti mensubstitusi suatu bunyi dengan
bunyi lain yang biasanya berbunyi cukup mirip.

• Pemeriksaan kelancaran berbicara

Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa terbata-bata.
Kelancaran berbcara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila
kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi
otak yang ringan atau demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran,
menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang
terbatas. Sebagai contoh pasien diminta untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis
hewan atau menyebutkan kata-kata yang dimulai dengan huruf tertentu selama jangka waktu satu
menit. Tidak lupa pula kesalahan yang timbul dicatat untuk melihat adanya parafasia atau tidak.
Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam pemeriksaan ini.
Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu menyebutkan kira-kira 20 nama hewan dengan
baik. Kemampuan ini menurun pada orang berusia sekitar 70 tahun (±17 nama) dan terus
menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia 85 tahun, skor 10 mungkin merupakan
batas normal bawah. Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan
dengan huruf tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat pendidikan.

13
Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap huruf merupakan petunjuk
adanya penurunan kelancaran berbicara verbal namun perlu diperhatikan pada pasien dengan
tingkat pendidikan yang tidak lebih dari sekolah menengah pertama.

• Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan

Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai. Pemeriksaan klinis pada
pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping tempat tidur pasien dapat memberikan hasil
yang menyesatkan. Langkah yang digunakan untuk mengevaluasi pemahaman secara klinis
meliputi cara konversasi, suruhan, pertanyaan tertutup (ya atau tidak), dan menunjuk. o
Konversasi : Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya dalam
memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan olh pemeriksa o Suruhan : Serentetan
suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah) sampai pada yang sulit dapat digunakan untuk
menilai kemampuan pasien dalam memahami perintah. Mula-mula pasien dapat disuruh
bertepuk tangan, kemudian tingkat kesulitan dinaikkan misalnya mengambil benda dan
meletakkan benda tersebut pada lokasi yang lain.

Perlu diperhatikan bahwa perintah tipe ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan
kelemahan motorik dan apraksia. Pasien juga dapat diminta untuk menunjuk ke beberapa benda,
mula-mula satu benda dan ditingkatkan menjadi sebuah perintah berantai untuk menunjuk ke
beberapa benda secara berurutan. Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai
1-2 objek saja. o Ya atau Tidak : Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup dengan
bentuk jawaban “ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah adalah 50%, jumlah
pertanyaan yang diberikan minimal 6 pertanyaan misalnya “Apakah anda bernama Budi?”,
“Apakah AC di ruangan ini mati?”, “Apakah ini Rumah Sakit?”, “Apakah di luar sedang
hujan?”, “Apakah saat ini malam hari?”. o Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai
dari benda yang mudah dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya :
“tunjukkan lampu” kemudian “tunjukkan gelas yang ada di samping televisi”. Pemeriksaan
sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat tidur pasien. Sekalipun kurang mampu menilai
kemampuan pemahaman dengan baik sekali, pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kasar
mengenai gangguan serta beratnya.

14
• Pemeriksaan repetisi

Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang mula-mula kata


yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat).
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia, salah
tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang normal umumnya dapat mengulang kalimat yang
mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia mengalami kesulitan dalam mengulang, namun
ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih baik
daripada berbicara spontan. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka kelainan patologis
sangat mungkin tidak berada di area perisylvii. Umumnya daerah ekstrasylvian yang terlibat
dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (watershed area)

• Pemeriksaan menamai dan menemukan kata

Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini
sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang
dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan
menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) atau disebut
anomia. Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari
objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik, atau nama dari
suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan benda-benda yang sering digunakan sampai ke
benda-benda yang jarang ditemui atau digunakan. Banyak penderita afasia yang masih mampu
menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.

Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, dapat dibantu dengan memberikan suku
kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Yang penting ialah sampainya pasien
kepada kata yang dibutuhkan, yakni kita nilai kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada
pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat
menamainya. Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama
beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan
memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji, lensa kaca
mata.

15
Objek atau gambar yang dapat digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu, jendela.
Bagian dari tubuh misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya merah, biru, hijau,
kuning, kelabu.

Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca
mata. Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban,
atau tertegun, atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada
perseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek. Bila pasien
tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan apakah pasien dapat memilih nama
objek tersebut dari beberapa pilihan nama objek. Pada pemeriksaan ini perlu digunakan kurang
lebih 20 nama objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.

• Pemeriksaan sistem bahasa

Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana
pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi, maupun menamai. Selain itu kemampuan
membaca dan menulis harus dinilai pula. Tidak lupa evaluasi dilakukan untuk memeriksa sisi
otak mana yang dominan dengan melihat penggunaan tangan. Dengan melakukan penilaian yang
sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya.
Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan menulis
dapat dipersingkat. Namun pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis
harus dilakukan sepenuhnya karena aleksia, agrafia, atau keduanya dapat terjadi secara terpisah.

• Pemeriksaan penggunaan tangan

Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat. Sebelum
menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau menggunakan tangan kanan.
Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis dengan tangan kanan, oleh karena itu
observasi cara menulis saja tidak cukup untuk mennetukan apakah ia seorang yang kidal atau
kandal. Pasien dapat juga diminta memperagakan gerakan tangan yang digunakan untuk
memegang pisau, melempar bola, dan sebagainya.

16
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari sindrom afasia itu
sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian rTPA pada pasien stroke iskemik,
terapi kontrol dari tekanan darah dapat meringankan defisit yang dialami. Pembedahan pada
subdural hematoma atau tumor serebri juga memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada
afasia yang disebabkan oleh infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi antivirus.
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia. Waktu dan teknik
pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena penelitian yang dilakukan sangat
minim. Namun dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa teapi berbicara dan berbahasa
dapat meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang dialami pasien dalam menjalani
terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu ke individu.
Beberapa hal yang hasur diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien afasia :
• Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia memerlukan dukungan
psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan dukungan emosional dapat sangat berguna bagi
pasien.
• Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah artikulasi, masalah kosa
kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya intonasi. Dalam kata lain, terapi pada pasien afasia
dapat divariasi agar sesuai dengan kebutuhan pasien
• Terapi farmaka pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan dopaminerjik,
cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan hasil yang jelas. Namun penggunaan
terapi farmaka sebagai pendamping dari terapi berbicara telah menunjukkan hasil yang baik.
• Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang diuji coba pada pasien
afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.

17
BAB III
KESIMPULAN

Afasia merupakan penyakit penyerta dari berbagai penyakit neurologis lain seperti stroke,
cedera kepala, tumor otak, dan penyakit neurodegeneratif. Dengan gejala kurangnya pemahaman
bahasa dan ketidakmampuan dalam mengungkapkan kata-kata, afasia sangat berpengaruh bagi
kualitas hidup pasien. Afasia dapat mempersulit baik diagnosis maupun terapi dari berbagai
penyakit lain karena minimnya komunikasi yang dapat dilakukan bagi pasien. Diagnosis dini
dari afasia sangat penting untuk memulai terapi afasia baik bagi pasien maupun pendamping
pasien agar defisit yang dialami tidak makin berat. Untuk itu, seorang dokter harus dapat
mendiagnosa afasia dengan tepat, baik dari segi pembuatan diagnosis afasia maupun dari segi
mengklasifikasikan afasia tersebutkarena setiap jenis afasia dapat membutuhkan penatalaksanaan
yang berbeda. Sebelum itu, seorang dokter harus dapat melakukan pemeriksaan diagnosis afasia
dengan tepat, yakni meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk
melihat penyebab dan lokasi lesi afasia. Terapi utama dari afasia adalah terapi berbicara. Terapi
ini biasa dilakukan oleh tenaga rehabilitasi medik dan dipantau oleh ahli syaraf. Tingkat
kebrhasilan dari terapi ini sangat bergantung kepada penyebab dari afasia itu sendiri. Oleh karena
itu, afasia tidak boleh dibiarkan serta tidak boleh diterapi tunggal melainkan biasanya digunakan
terapi kombinasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia

Sebagai Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

2. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010

Available at: http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm

3. Lumbantobing, S M. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI, 2010
4. Howard, Kirshner. Medscape Reference. 26 Januari 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/1135944-clinical#showall
5. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia.
2009

19

Anda mungkin juga menyukai