Anda di halaman 1dari 13

ATRIAL FIBRILASI PADA USIA LANJUT

Novia Kusumawardhani
Hadiq Firdausi

PENDAHULUAN

Atrial fibrilasi (AF) merupakan takiaritmia supraventrikular yang ditandai dengan


adanya aktivasi atrial abnormal dengan penurunan fungsi mekanis jantung. Prevalensi AF
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan sering berhubungan dengan penyakit
jantung struktural. Kondisi ini sering berhubungan dengan gangguan hemodinamik dan
kejadian tromboemboli yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Fuster et al., 2011).

Permasalahan pada sistem kardiovaskular yang berhubungan dengan penuaan seperti


kekakuan pembuluh darah, penurunan respon kardiovaskular beta adrenergik, dan
peningkatan dependensi dari kontribusi atrial ke pengisian diastolik ventrikel kiri, dan
penyakit arteri koroner adalah semua faktor yang memperberat timbulnya AF pada usia
lanjut. Hal ini menyebabkan pada usia lanjut AF menjadi penyebab signifikan munculnya
pingsan, disabilitas fisik, dan admisi rumah sakit berulang (Fragakis and Katsaris, 2006).

Kejadian atrial fibrilasi meningkat seiring usia dan prevalensinya antara 9 hingga 18%
pada subjek lebih dari 80 tahun dibandingkan dengan usia 50-59 tahun yaitu sebesar 0.5%.
Faktor resiko yang meningkatkan kejadian atrial fibrilasi adalah penyakit kardiovaskular,
tekanan darah sistolik yang tinggi, riwayat infark miokard, penyakit jantung katub dan
pembesaran atrium kiri. Hipertiroid, obesitas, penggunaan alkohol berlebih, dan jenis kelamin
laki-laki juga merupakan prediktor atrial fibrilasi (Radholm et al., 2011). Pada kohort
framingham, total rasio kematian rata – rata pasien AF pada laki – laki 1,5 dan 1,9 pada
perempuan. Sebagai tambahan, morbiditas pasien usia lanjut dengan atrial fibrilasi menjadi
sangat penting dikarenakan pada usia lanjut sering didapatkan hospitalisasi lama akibat gagal
jantung, stroke, dan pemberian antiaritmia. Penelitian yang berkembang akhir – akhir ini
mengenai obat dan teknik invasif telah membuka spektrum terapi yang lebih luas pada atrial
fibrilasi. Pasien dengan usia lanjut yang sebelumnya tereksklusi dari penelitian sekarang
secara aktif berpartisipasi di beberapa studi sehingga memberikan solusi baru mengenai
manajemen dan terapi pada usia lanjut (Karamichalakis et al., 2015). Tinjauan kepustakaan
ini lebih dalam membahas mengenai AF pada usia lanjut.
KLASIFIKASI

Atrial fibrilasi diklasifikasikan sebagai atrial fibrilasi yang pertama kali terdiagnosis,
paroksismal, persisten, persisten lama dan permanen. AF yang pertama kali terdiagnosis
berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis AF, tanpa
memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul. Paroksismal atrial fibrilasi
didefinisikan sebagai atrial fibrilasi yang rekuren ( 2 episode ) yang berhenti secara spontan
selama 7 hari. Episode atrial fibrilasi dengan durasi 48 jam yang berhenti dengan elektrikal
atau kardioversi farmakologis juga bisa diklasifikasikan sebagai episode AF paroksismal.

Persisten atrial fibrilasi didefinisikan sebagai AF terus menerus yang berkelanjutan


lebih dari 7 hari. Episode atrial fibrilasi dimana dilakukan kardioversi secara elektrik atau
farmakologis setelah 48 jam namun sudah lebih dari 7 hari juga dikatakan episode persisten.
Persisten berkepanjangan didefinisikan sebagai atrial fibrilasi terus menerus lebih dari 12
bulan. Sedangkan permanen atrial fibrilasi adalah atrial fibrilasi yang tidak akan dilakukan
tindakan apapun untuk mengembalikan irama ke irama sinus (Karamichalakis et al., 2015).

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan
durasi episodenya, terdapat beberapa kategori AF tambahan menurut ciri-ciri dari pasien
(European Heart Rhythm et al., 2010) :

- AF sorangan (lone): AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,


termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti
pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
- AF non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung
protese atau operasi perbaikan katup mitral.
- AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF, seperti
infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru,
pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan
penyakit katup disebut AF valvular. Respon ventrikel terhadap AF, sangat tergantung pada
sifat elektrofisiologi dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta
simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat dibedakan
menjadi :

- AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit


- AF dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit

- AF dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/ menit

PATOFISIOLOGI

Sampai saat ini patofisiologi terjadinya AF masih belum sepenuhnya dipahami dan
dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang mekanisme AF
adalah adanya faktor pemicu (trigger) dan faktor-faktor yang melanggengkan. Pada pasien
dengan AF yang sering kambuh tetapi masih dapat konversi secara spontan, mekanisme
utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu (trigger) AF, sedangkan pada
pasien AF yang tidak dapat konversi secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-
faktor yang melanggengkan (Zf, 2012).

Atrial Fibrilasi terjadi ketika impuls elektrik abnormal terjadi pada atrium. Pada atrial
fibrilasi, gelombang sinyal eletrik berjalan melalui atrium lebih dari normal, teregulasi pada
nodus sinus. Gelombang ini dimulai dari satu atau lebih dari empat vena yang membawa
darah dari paru menuju jantung. Sinyal ini menyebabkan otot pada atrium berkontraksi tidak
semestinya dan atrium menggelepar. Beberapa aktivitas elektrikal ini melalui ventrikel
menyebabkan detak jantung yang cepat dan iregular. Ketika jantung mengalami atrial
fibrilasi, jantung tidak bisa memompa secara regular dan tidak bekerja seefisien yang
seharusnya.

Penuaan berhubungan dengan peningkatan deposisi lemak dan kolagen di sekeliling


nodus sinoatrium, yang bisa menyebabkan keterlambatan propagasi potensial aksi. Selama
penuaan normal, jumlah sel pacemaker pada nodus sinoatrial menurun secara signifikan
setelah usia 60 tahun, dengan kurang dari 10% sel orang dewasa tersisa pada usia 75. Secara
paradoksikal, meskipun orang usia lanjut memiliki jumlah sel pacemaker nodus SA yang
lebih sedikit, namun prevalensi sinus bradikardi menjadi lebih sedikit. Hal ini disebabkan
karena penurunan aktivitas parasimpatis sesuai usia dimana berhubungan dengan penurunan
frekuensi jantung (Chow et al., 2012).

Banyak perubahan yang terjadi pada jantung selama atrial fibrilasi dikarenakan
aktivitas yang sangat cepat dan tidak terorganisir pada atrium. Sinyal ini sering muncul pada
area di sekitar vena pulmonalis dan nodus SA. Impuls elektrik yang cepat dan iregular pada
atrium ini juga menuju nodus AV, namun tidak semua impuls terkonduksi menuju ventrikel
sehingga ventrikel memompa secara iregular dan terlalu cepat (80-200 kali permenit)
(Canadian Cardiovascular Society, 2015).

Secara umum, atrial fibrilasi terjadi sebagai hasil dari penyebab kardiak maupun non
kardiak. Penyebab atrial fibrilasi bisa terjadi karena tiroid yang relatif berlebihan,
penggunaan alkohol, dan emboli paru. Namun atrial fibrilasi juga bisa terjadi sebagai hasil
dari kondisi jantung yang lain seperti penyakit jantung valvular, pembesaran ventrikel kiri,
penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, kardiomiopati, sick sinus syndrome,
pericarditis, myocarditis, dan usia lanjut ( David, Charles. 2017 ).

DIAGNOSIS

Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi atrium
yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada
elektrokardiogram (EKG), ciri dari AF adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang
digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya.
Pada fungsi NAV yang normal, AF biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga
ireguler, dan seringkali cepat. Ciri-ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang dapat
terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling sering pada
sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya
kecepatannya melebihi 450x/menit.
Dalam penegakan diagnosis AF, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang harus
dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada panduan ini, rekomendasi
yang diberikan dapat disesuaikan dengan tingkat kelengkapan pusat kesehatan terkait.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
- Penentuan simptom, derajat simptom dan sifat dari AF
- Klasifikasi AF berdasarkan waktupresentasi ( episode AF pertama kali, paroksismal, persisten, permanen)
- Serangan pertama yang simptomatik atau waktu penemuan AF
- Frekuensi, durasi, faktor pencetus, dan modus terminasi AF
- Respon terhadap agen farmakologis yang telah diberikan
- Adanya penyakit jantung yang mendasari atau penyebab lain yang reversibel Layanan
Kesehatan
Elektrokardiogram ( EKG)
Primer
- Irama ( verifikasi AF)
- Hipertrofi ventrikel kiri
- Durasi dan morfologi gelombang getar
- Preeksitasi
- Blok cabang berkas
- Riwayat infark miokard sebelumnya
- Aritimia atrium lainnya
- Mengukur interval RR, QRS, dan QT dalam rangka evaluasi pengobatan
Layanan
Pemeriksaan Laboratorium Kesehatan
Sekunder
- Mencakup pemeriksaan fungsi tiroid ginjal dan hati serta elektrolit
- Untuk AF yang pertama kali terdiagnosis, terutama bila laju ventrikel sulit dikontrol

Ekokardiografi transtorakal
- Evaluasi adanya jantung valvular
- Ukur dimensi atrium kiri dan atrium kanan
- Ukur dimensi dan fungsi ventrikel kiri, ada tidaknya hipertrofi ventrikel kiri
- Ukur tekanan ventrikel kanan ( evaluasi hipetensi pulmonal )
- Evaluasi adanya trombus atrium kiri
- Evaluasi adanya penyakit perikardial

Gambar 1. Evaluasi minimal yang dapat dilakukan di layanan kesehatan primer dan sekunder
(Fuster et al., 2011)

Foto Thorax ( X ray)


- Evaluasi parenkim paru
- Evaluasi vaskularisasi paru

Uji berjalan enam menit ( Six minute walking test)


- Evaluasi kendali laju jantung

Uji Latih ( Exercise testing )


- Evaluasi kendali laju jantung ( Pada AF permanen )
- Induksi AF yang pemicunya adalah aktivitas fisik

Ekokardiografi Transesofagus
- Identifikasi trombus atrium kiri
- Persiapan sebelum kardioversi

Monitor Holter
- Bila diagnosis aritmia masih diragukan
- Evaluasi kendali laju jantung

Studi elektrofisiologi
- Klarifikasi mekanisme aritmia bila presentasi berupa takiaritmia QRS lebar
- Identifikasi aritmia predisposisi seperti kepak atrium atau supraventrikular paroksismal
- Pencarian lokasi terapi ablasi
Gambar 2. Evaluasi tambahan yang dapat dilakukan di layanan kesehatan primer, sekunder,
dan tersier (Fuster et al., 2011).

Baru-baru ini dikenalkan skor gejala yang disebut skor EHRA (European Heart Rhythm
Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang dapat digunakan untuk menilai
perkembangan gejala selama penanganan AF (European Heart Rhythm et al., 2010). Skor
klinis ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar disebabkan oleh AF, dan
diharapkan skor tersebut dapat berkurang seiring dengan konversi ke irama sinus atau dengan
kendali laju yang efektif.

Kelas EHRA Penjelasan


EHRA I Tanpa gejala
EHRA II Gejala ringan, aktivitas harian normal tidak
terpengaruh
EHRA III Gejala berat, aktivitas harian terganggu
EHRA IV Gejala melumpuhkan, aktivitas harian terhenti
EHRA : European Heart Rhythm Association

Seorang ahli yang sedang menangani atrial fibrilasi, tidak hanya harus melakukan
penilaian dan pengobatan awal yang tepat, tetapi juga harus merencanakan tindak lanjut yang
terstruktur (European Heart Rhythm et al., 2010).

TATALAKSANA

Secara umum risiko stroke pada AF adalah 15% per tahun yaitu berkisar 1,5% pada
kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80
sampai 89 tahun sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain adalah 5%
(berkisar 3-4%) (Singer et al., 2008).

Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien AF harus bersikap lebih
inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang umum sehingga akan mencakup seluruh
spektrum pasien AF. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor risiko umum yang
sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari (Stroke Risk in Atrial Fibrillation Working,
2007). CHA2DS2-VASc masing-masing hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu
Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke
history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years, Sex Category
(female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan faktor risiko stroke, tetapi yang dimaksud
dengan huruf ‘C” pada skor CHA2DS2VASc adalah adanya disfungsi ventrikel kiri sedang
hingga berat (Left Ventricular Ejection Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal jantung baru
yang memerlukan rawat inap tanpa memandang nilai fraksi ejeksi. Hipertiroid juga bukan
merupakan faktor risiko independen stroke pada analisis multivariat. Jenis kelamin
perempuan meningkatkan risiko stroke secara independen tetapi perempuan yang berusia <65
tahun dan menderita AF sorangan tidak meningkatkan risiko stroke sehingga tidak
memerlukan terapi antikoagulan (Friberg et al., 2012a).

Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko perdarahan


akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal atau menimbulkan
disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari Hypertension, Abnormal
renal or liver function, history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan
antithrombotic Drugs and alcohol telah divalidasi pada banyak studi kohor berkorelasi baik
dengan perdarahan intrakranial. Evaluasi risiko perdarahan pada setiap pasien AF harus
dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka perlu perhatian khusus, pengawasan berkala
dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Skor HAS-BLED tidak
digunakan untuk melakukan eksklusi pemakaian antikoagulan tetapi sebagai panduan
sistematis dalam menaksir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor risiko yang dapat
dikoreksi seperti tekanan darah yang belum terkontrol, penggunaan aspirin atau non-steroid
anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dsb. Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa pada
skor HAS-BLED yang sama, risiko perdarahan intrakranial dan perdarahan mayor lain
dengan pemberian aspirin atau warfarin sama saja. Penggabungan skor CHA2DS2-VASc dan
HAS-BLED sangat bermanfaat dalam keputusan tromboprofilaksis pada praktik sehari-hari
(Friberg et al., 2012b).

Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien AF meliputi
antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru), dan antiplatelet. Jenis
antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan untuk prevensi stroke pasien AF.

Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat antikoagulan yang paling
banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada AF. Telaah lima penelitian acak yang
membandingkan AVK dengan plasebo mendapatkan penurunan insiden stroke iskemik dari
4,5% jadi 1,4% per tahun (relative risk reduction [RRR] 68%; 95% CI, 50% s/d 79%;
P<0.001).55 Angka perdarahan mayor akibat AVK adalah 1,3% per tahun dibandingkan
hanya 1% pada plasebo. Suatu analisis-meta terhadap 26 studi baru-baru ini mendapatkan
RRR 64% (95% CI, 49% s/d 74%) untuk pencegahan sekunder stroke iskemik dan
hemoragik. Angka absolute risk reduction (ARR) 2,7% per tahun pada studi-studi prevensi
primer dan 8,4% per tahun pada studi-studi prevensi sekunder. Terdapat peningkatan
mortalitas signifikan dengan AVK yaitu ARR 1,6% per tahun. Bukti tambahan menunjukkan
bahwa pencegahan stroke oleh AVK hanya efektif bila time in therapeutic range (TTR) baik
yaitu >70%. TTR adalah proporsi waktu ketika INR 2-3 tercapai dibandingkan keseluruhan
lama waktu mengkonsumsi AVK.56,57 Oleh karena itu, upaya pengaturan dosis yang terus-
menerus harus dilakukan untuk memperoleh nilai target INR 2-3 (Morgan et al., 2009).

Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu
dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara menghambat
langsung trombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa (Connolly et al., 2009).

Dabigatran Etexilate Studi RE-LY (Randomized Evaluation of Long-term


anticoagulant therapY with dabigatran etexilate), suatu studi acak dengan tiga lengan yaitu
membandingkan 2 jenis dosis dabigatran etexilate [110 mg b.i.d. (D110) atau 150 mg b.i.d.
(D150)] dengan adjusteddose warfarin (target INR of 2–3).

Rivaroxaban Studi buta ganda ROCKET-AF61 terhadap 14264 pasien FA risiko tinggi
yang diberikan rivaroxaban 20 mg o.d. (15 mg o.d. bila kreatinin klirens hitung 30–49
mL/min) dibandingkan dengan warfarin. Subjek pada studi ini mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk stroke dibandingkan studi AKB lain tetapi rerata TTR hanya 55% yang lebih
rendah dibanding semua studi AKB lain. Didapatkan hasil bahwa rivaroxaban non-inferior
dibanding warfarin untuk primary endpoint berupa stroke dan emboli sistemik (Connolly et
al., 2009).

Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin
oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-
dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih
baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol respon irama
ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada
pasien dengan AF dan gagal jantung atau adanya hipotensi. Namun pada AF dengan
preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau
amiodaron. Obat yang menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi AF dengan
preeksitasi karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah
80-100 kpm (Camm et al., 2012).

Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier, untuk
sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral. Diharapkan
laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal kalsium
(diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta (propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5
mg, atau metoprolol 50 mg). Dalam hal ini penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya
riwayat dan gejala gagal jantung. Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian
obat antiaritmia intravena di layanan kesehatan sekunder/tersier (Stout et al., 2011).

Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan hemodinamik
pada pasien AF. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil akibat AF harus segera
dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang masih
simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju telah optimal,
dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia intravena atau kardioversi
elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia intravena pasien harus dimonitor untuk
kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau
jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat intravena untuk kardioversi farmakologis yang
tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi dengan amiodaron terjadi beberapa jam
kemudian setelah pemberian (Camm et al., 2012).

Tabel 3. Indikasi kendali laju dan kendali irama pada persisten AF (Gillis et al., 2011)
Prevalensi AF pada usia 80 tahun berkisar 10% dan 18% pada mereka yang berusia ≥85
tahun. Penelitian yang bertujuan untuk penyaringan AF pada lansia di layanan kesehatan
primer (SAFE study) menemukan bahwa penapisan umum oleh dokter umum, diikuti oleh
EKG ketika denyut jantung tidak teratur, sama efektifnya dengan penapisan sistematis
dengan EKG. Semua pasien berusia >75 tahun dengan AF memiliki risiko tromboemboli
>4% pertahun, melebihi batas indikasi dimana AVK harus diberikan kecuali terdapat risiko
perdarahan yang sangat tinggi. Pada komponen individual dari skor CHA2DS2VASc, usia
≥75 tahun mengakibatkan prognosis yang lebih buruk untuk stroke dan kematian, lebih besar
jika dibandingkan dengan hipertensi, diabetes, atau gagal jantung (Fitzmaurice et al., 2007).

Secara umum, pengobatan AVK dan AKB dapat ditoleransi dengan baik pada populasi
lansia. Studi acak terkontrol dengan AVK pada AF menunjukkan adanya penurunan kejadian
stroke iskemik dan kejadian kardiovaskular, dengan hanya sedikit peningkatan kejadian
perdarahan berat. Secara keseluruhan AVK mempunyai manfaat lebih besar pada orang tua,
bila dibandingkan dengan aspirin. Sebaliknya, efek menguntungkan dari terapi antiplatelet
pada stroke iskemik tampaknya menurun sejalan dengan usia dan tidak mempunyai efek
protektif lagi pada usia >77 tahun.

Kardioversi elektrik jarang dilakukan pada lansia karena irama sinus seringkali sulit
untuk dipertahankan. Untuk lansia dengan tingkat aktivitas yang rendah, digoksin dapat
menjadi pilihan untuk kendali laju karena digoksin lebih efektif pada tonus simpatis yang
rendah. Penggunaan penyekat beta dan antagonis kalsium non–dihidropiridin juga efektif
untuk kendali laju. Penyekat beta harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien lansia
dengan PPOK (Wyse, 2009).

Pasien lansia dengan AF memiliki ciri-ciri berbeda dari pasien muda, yaitu rapuh,
memiliki banyak komorbiditas termasuk kardiovaskular maupun penyakit non-jantung,
mempunyai angka insiden dan prevalensi AF yang tinggi, risiko tromboemboli dan
perdarahan yang tinggi, AF bersifat persisten atau permanen, seringkali dijumpai gejala dan
keluhan yang tidak khas, respon ventrikel pada AF kurang sensitif terhadap efek simpatis
(penuaan sistem konduksi), lebih sensitif terhadap efek obat pro-aritmia akibat menurunnya
fungsi ginjal dan hati, serta lebih sulit terdeteksi bila dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda.
Pemberian AKB dabigatran pada lansia memakai dosis 110mg b.i.d untuk menghindari
peningkatan kejadian perdarahan. Sedangkan pada rivaroxaban dan apixaban tidak
memerlukan penyesuaian dosis (Hohnloser et al., 2007).

Terapi antikoagulan memiliki interaksi dengan berbagai terapi penyakit lain yang
berhubungan dengan meningkat atau menurunnya efikasi antikoagulan tersebut. Seperti pada
penyakit tiroid, respon warfarin menurun pada hipotiroid dan meningkat pada hipertiroid. Hal
ini disebabkan karena pada hipertiroid terjadi peningkatan katabolisme faktor pembekuan
seiring dengan peningkatan aktivitas tiroid. Sedangkan pada hipotiroid terjadi penurunan
katabolisme faktor pembekuan sehingga terjadi penurunan respon antikoagulan. Sindroma
nefrotik, dislipidemia, alkoholism, dan edema juga dapat menurunkan efikasi antikoagulan.
(Tammy J. Bungard, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Camm, AJ, Lip, GY, De Caterina, R, Savelieva, I, Atar, D, Hohnloser, SH, Hindricks, G,
Kirchhof, P, Guidelines-Cpg, ESCCFP & Document, R,2012. 2012 focused update of the
ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC
Guidelines for the management of atrial fibrillation--developed with the special contribution
of the European Heart Rhythm Association. Europace, 14, 1385-413.
Chow, GV, Marine, JE & Fleg, JL,2012. Epidemiology of arrhythmias and conduction disorders in
older adults. Clin Geriatr Med, 28, 539-53.
Connolly, SJ, Ezekowitz, MD, Yusuf, S, Eikelboom, J, Oldgren, J, Parekh, A, Pogue, J, Reilly,
PA, Themeles, E, Varrone, J, Wang, S, Alings, M, Xavier, D, Zhu, J, Diaz, R, Lewis, BS,
Darius, H, Diener, HC, Joyner, CD, Wallentin, L, Committee, R-LS &
Investigators,2009. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J
Med, 361, 1139-51.
European Heart Rhythm, A, European Association for Cardio-Thoracic, S, Camm, AJ,
Kirchhof, P, Lip, GY, Schotten, U, Savelieva, I, Ernst, S, Van Gelder, IC, Al-Attar, N,
Hindricks, G, Prendergast, B, Heidbuchel, H, Alfieri, O, Angelini, A, Atar, D, Colonna,
P, De Caterina, R, De Sutter, J, Goette, A, Gorenek, B, Heldal, M, Hohloser, SH, Kolh,
P, Le Heuzey, JY, Ponikowski, P & Rutten, FH,2010. Guidelines for the management of
atrial fibrillation: the Task Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European
Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J, 31, 2369-429.
Fitzmaurice, DA, Hobbs, FD, Jowett, S, Mant, J, Murray, ET, Holder, R, Raftery, JP, Bryan, S,
Davies, M, Lip, GY & Allan, TF,2007. Screening versus routine practice in detection of
atrial fibrillation in patients aged 65 or over: cluster randomised controlled trial. BMJ, 335,
383.
Fragakis, N & Katsaris, G,2006. Arrhythmias in the elderly: modern management. Hellenic J
Cardiol, 47, 84-92.
Friberg, L, Benson, L, Rosenqvist, M & Lip, GY,2012a. Assessment of female sex as a risk factor
in atrial fibrillation in Sweden: nationwide retrospective cohort study. BMJ, 344, e3522.
Friberg, L, Rosenqvist, M & Lip, GY,2012b. Evaluation of risk stratification schemes for ischaemic
stroke and bleeding in 182 678 patients with atrial fibrillation: the Swedish Atrial Fibrillation
cohort study. Eur Heart J, 33, 1500-10.
Fuster, V, Ryden, LE, Cannom, DS, Crijns, HJ, Curtis, AB, Ellenbogen, KA, Halperin, JL, Kay,
GN, Le Huezey, JY, Lowe, JE, Olsson, SB, Prystowsky, EN, Tamargo, JL & Wann,
LS,2011. 2011 ACCF/AHA/HRS focused updates incorporated into the ACC/AHA/ESC
2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation: a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines developed in partnership with the European Society of Cardiology and in
collaboration with the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society. J
Am Coll Cardiol, 57, e101-98.
Gillis, AM, Verma, A, Talajic, M, Nattel, S, Dorian, P & Committee, CCSaFG,2011. Canadian
Cardiovascular Society atrial fibrillation guidelines 2010: rate and rhythm management. Can
J Cardiol, 27, 47-59.
Hohnloser, SH, Pajitnev, D, Pogue, J, Healey, JS, Pfeffer, MA, Yusuf, S, Connolly, SJ &
Investigators, AW,2007. Incidence of stroke in paroxysmal versus sustained atrial fibrillation
in patients taking oral anticoagulation or combined antiplatelet therapy: an ACTIVE W
Substudy. J Am Coll Cardiol, 50, 2156-61.
Karamichalakis, N, Letsas, KP, Vlachos, K, Georgopoulos, S, Bakalakos, A, Efremidis, M &
Sideris, A,2015. Managing atrial fibrillation in the very elderly patient: challenges and
solutions. Vasc Health Risk Manag, 11, 555-62.
Morgan, CL, Mcewan, P, Tukiendorf, A, Robinson, PA, Clemens, A & Plumb, JM,2009.
Warfarin treatment in patients with atrial fibrillation: observing outcomes associated with
varying levels of INR control. Thromb Res, 124, 37-41.
Radholm, K, Ostgren, CJ, Alehagen, U, Falk, M, Wressle, E, Marcusson, J & Nagga, K,2011.
Atrial fibrillation (AF) and co-morbidity in elderly. A population based survey of 85 years old
subjects. Arch Gerontol Geriatr, 52, e170-5.
Singer, DE, Albers, GW, Dalen, JE, Fang, MC, Go, AS, Halperin, JL, Lip, GYH & Manning,
WJ,2008. Antithrombotic therapy in atrial fibrillation: American College of Chest Physicians
Evidence-Based Clinical Practice Guidelines (8th Edition). Chest, 133, 546S-592S.
Stout, SM, Nielsen, J, Welage, LS, Shea, M, Brook, R, Kerber, K & Bleske, BE,2011. Influence
of metoprolol dosage release formulation on the pharmacokinetic drug interaction with
paroxetine. J Clin Pharmacol, 51, 389-96.
Stroke Risk in Atrial Fibrillation Working, G,2007. Independent predictors of stroke in patients
with atrial fibrillation: a systematic review. Neurology, 69, 546-54.
Tammy J. Bungard, B, Pharmd; Erin Yakiwchuk, Bsp, Acpr; Michelle Foisy, Bscpharm,
Pharmd, Fcshp; Cynthia Brocklebank, Pharmd, Acpr,2011. Drug interactions involving
warfarin: Practice tool and practical management tips. Canadian Pharmacist Journal, 144.
Wyse, DG,2009. Pharmacotherapy for rhythm management in elderly patients with atrial fibrillation.
J Interv Card Electrophysiol, 25, 25-9.
Zf, I,2012. Atrial Fibrillation. Clinical arrhythmology and electrophysiology: a companion to
Braunwald’s heart disease. 2nd ed: Saunders, 2nd ed.

Anda mungkin juga menyukai