PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan ektopik merupakan masalah kesehatan yang penting bagi perempuan
pada usia reproduktif karena merupakan penyebab utama kematian pada trimester
pertama kehamilan di Amerika Serikat, yaitu 9% dari seluruh kematian pada kehamilan.
Frekuensi kehamilan ektopik adalah 1% dari seluruh kehamilan dan 90% kasus terjadi
pada tuba Fallopi. Selain di tuba Fallopi, kehamilan ektopik dapat juga terjadi di ovarium,
serviks, atau rongga abdomen. Penyebab terjadinya kehamilan ektopik melibatkan
banyak faktor. Faktor yang mengganggu migrasi embrio ke dalam rongga endometrium
dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Obstruksi merupakan penyebab separuh kasus
kehamilan ektopik. Obstruksi dapat terjadi karena inflamasi kronik, tumor intrauterin,
dan endometriosis. Komplikasi kehamilan ektopik sering terjadi karena salah diagnosis,
keterlambatan diagnosis atau kesalahan terapi. Komplikasi terburuk kehamilan ektopik
adalah ruptur uteri atau tuba yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan masif, syok,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), dan kematian (Widjajahakim, 2007).
Kehamilan ektopik terganggu menyebabkan keadaan gawat pada reproduksi yang
sangat berbahaya. Berdasarkan data dari The Centers for Disease Control and
Prevention menunjukkan bahwa kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat
drastis pada 15 tahun terakhir. Menurut data statistik pada tahun 1989, terdapat 16 kasus
kehamilan ektopik terganggu dalam 1000 persalinan. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan Cuningham pada tahun 1992 dilaporkan kehamilan ektopik terganggu
ditemukan 19,7 dalam 100 persalinan.
Diagnosis klinik kehamilan ektopik dapat ditegakkan dari ditemukannya trias
klinik klasik, yaitu nyeri abdomen, amenore, dan perdarahan vagina. Tetapi pada
kenyataanya hanya 50% penderita yang menunjukkan trias klinik klasik. Nyeri abdomen
dialami oleh 75% penderita, sedangkan perdarahan vagina hanya didapatkan pada 40-
50% penderita. Kehamilan ektopik harus didiagnosis banding dengan apendisitis,
salfingitis, ruptur kista korpus luteum atau kista folikel ovarium, aborsi spontan atau
aborsi iminen, torsi ovarium, dan gangguan traktus urinarius. Tetapi kadang-kadang
gejala kehamilan ektopik hanya menyerupai gejala-gejala hamil muda (Kurniawan,
2016).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari KET?
2. Apa etiologi dari KET?
3. Bagaimana tanda dan gejala KET?
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya KET?
5. Apa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa KET?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan pada kasus KET?
7. Bagaimana asuhan keperawatan kegawatan obstetri pada kasus KET?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari KET.
2. Mengetahui etiologi dari KET.
3. Mengetahui tanda dan gejala KET.
4. Mengetahui dan mampu menjelaskan patofisiologi terjadinya KET.
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa KET.
6. Mengetahui dan menerapkan penatalaksanaan medis dan keperawatan pada kasus
KET.
7. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan kegawatan obstetri pada kasus
obstetri.
D. Manfaat
1. Bagi mahasiswa : menambah wawasan pengetahuan mahasiswa tentang KET.
2. Bagi pembaca : sebagai bahan informasi bagi pembaca tentang KET.
BAB II
TINJAUAN TEORI
D. Patofisiologi
Sementara tanda-tanda dini kehamilan yang biasa didapati pada serviks muncul,
uterus menjadi sedikit membesar dan agak melunak pada kehamilan ektopik.
Endometrium berisi desidua (tapi tidak ada trofoblas) dan mempunyai gambaran
mikroskopik yang khas.
Pada kehamilan ektopik, korpus luteum kehamilan berfungsi, amenorea terjadi
akibat produksi HCG oleh trofoblas dan sekresi progesterone oleh korpus luteum.
Biasanya terjadi perdarahan endometrium ringan, dipekirakan karena pola hormonal
yang tidak normal, setelah suatu interval amenore yang bervariasi. Lepasnya
endometrium dan perdarahan terjadi ketika trofoblas berkurang (akibat rupture). Hanya
pada kehamilan interstisial yang tidak lazim, darah dari tuba mengalir melalui uterus ke
vagina.
Nyeri abdomen bagian bawah, pelvis, atau punggung bawah dapat terjai sekunder
akibat distenci atau rupture tuba. Kehamilan ismus biasanya rupture dalam waktu sekitar
6 minggu dan perdarahan akibat kehamilan ampula terjadi pada 8-12 minggu. Kehamilan
kornu paling sering mencapai trimester kedua sebelum rupture. Kehamilan intra
abdominal dapat berakhir setiap waktu disertai dengan perdarahan. Massa pelvis
disebabkan oleh pembesaran hasil konsepsi, 14 pembentukan hematoma, distorsi usus
akibat adhesi atau infeksi. Jika janin meninggal tanpa perdarahan hebat, mungkin dapat
menjadi terinfeksi, termumifiksasi, terkalsifikasi (litopedioon) atau menjadi adiposera
(penggantian oleh lemak).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium : kadar hemoglobin, leukosit, tes kehamilan baru
terganggu.
2. Dilatasi kuretase
3. Kuldosentesis, yaitu suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah didalam
kavum douglasi terdapat darah.
Teknik Kuldosentesis:
a. Baringkan pasien dalam posisi litotomi
b. Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptic
c. Pasang speculum dan jepit bibir belakang porsio dengan cunam serviks
lakukan traksi kedepan hingga fornniksposterior tampak.
d. Suntikkan jarum spinal no 18 kekavum Douglasi dan lakukan pengisapan
dengan spuit 10 ml.
e. Bila pada pengisapan keluar darah, perhatikan apakah darahnya berwarna
coklat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan kecil yang
merupakan tanda hematokel retrouterina.
4. Ultrasonografi berguna pada 5-10% kasus bila diemukan kantong gestasi diluar
uterus.
5. Laparoskopi dan laparostomi sebagai pendekatan diagnosa terakhir.
F. Penatalaksanaan
Kehamilan ektopik terganggu dapat ditangani dengan tindakan pembedahan.
Pembedahan yang sering dilakukan adalah salpigektomi dengan metode laparoskopi.
Metode laparoskopi merupakan metode awal dalam tindakan pembedahan ini, dilakukan
dengan cara membuat sayatan kecil pada daerah sekitar tempat yang mengalami
gangguan, setelah itu proses pembedahan dilanjutkan dengan tindakan salpingektomi
yaitu pengangkatan tuba fallopi yang mengalami gangguan.