RASIONALISME
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada
melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi
dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk
menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan
atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut:
Humanisme
Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak
mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada
rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.
Atheisme
Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa;
rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak
kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat
dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada
masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting
dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau
kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi
secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang
diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme
modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang
rasionalisme kontinental sama sekali.
EMPIRISISME
Empirisisme adalah suatu aliran falsafah yang menyatakan bahawa semua pengetahuan diperolehi
atau berdasarkan pengalaman. Dengan itu, ia juga menyatakan bahawa semua kenyataan
berkenaan pengetahuan terhadap dunia hanya boleh dijustifikasikan oleh pengalaman. Epicurus
adalah tokoh Yunani yang menyebarkan aliran rasionalisme berpendapat bahawa pancaindera
adalah asas kepada ilmu yang benar. Pendirian yang sama juga didukung oleh golongan stoisisme,
yang mendakwa bahawa sejak manusia dilahirkan jiwanya ibarat kain kosong (empty tablets)
tetapi akan menerima corak yang mewarnainya. Corak ini akan membentuk imej-imej yang
seterusnya melahirkan fikiran-fikiran teretentu. Baik Epicurus mahupun stoicisme meyakini bahwa
ilmu berpunca dari pancaindera, atau dari luar, bukannya dari akal fikiran.
Tokoh-tokoh Barat moden yang mengembangkan aliran empirisisme ialah John Locke (1632-1714),
yang menganggap manusia dilahirkan dengan akal yang kosong, yang baru dicorakkan oleh
pengalamaan indera kemudiannya. Aliran ini turut didokong oleh David Hume (1711-1776) dan
Auguste Comte. Kemuncak aliran emperisisme ialah kemunculan aliran positivisme oleh Auguste
Comte menerusi tiga teori tiga proses sejarah manusia, yang bermula dengan tahap teologi, diikuti
tahap metafisik dan akhirnya tahap positif. Pada tahap positif inilah manusia dikatakan tidak lagi
memerlukan agama dan spekulasi falsafah, sebaliknya lebih memerlukan dan meyakini ilmu
pengetahuan yang berasaskan pengalaman positif, iaitu melalui pancaindera. Selepas itu timbul
aliran neo-positivisme yang menyambung tradisi empirisisme Comte, yang dikembangkan oleh
kelompok Vienna Circle yang menamakan aliran mereka positivisme logik atau empirisisme logik.
FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik,
yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf
Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena,
sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan
fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund
Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
STRUKTURALISME
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan
kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap.[1] Strukturalisme juga adalah sebuah
pembedaan secara tajam mengenai masyarakt dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970,
khususnya terjadi di Perancis. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere
(membangung), structura berarti bentuk bangunan. Trend metodologis yang menyetapkan riset
sebagai tugas menyingkapkan struktur objek-objek ini dikembangkan olerh para ahli humaniora.
Struktualisme berkembang pada abad 20, muncul sebagai reaksi terhadap evolusionisme positivis
dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang dihasilkan oleh matematika, fisika dan
ilmu-ilmu lain.
Ciri-ciri Strukturalisme
Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui
penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan.
Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode,
model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.
Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap
terlalu individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice
Meleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. Pounty
menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita adalah
objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik dalam
ruang dan waktu.[4]
DEKONSTRUKSI
Seiring pergerakan waktu, pergerakan pendulum dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
mengalami berbagai bentuk evolusi. Sebagaimana yang telah ditelaah secara menyeluruh, ilmu
pengetahuan sendiri merupakan sebuah akumulasi fakta, teori dan metode yang dihimpun oleh
para tokoh tertentu sebagai pencetus ilmu tersebut dalam suatu metode tertentu (Norberg-Schulz,
1984). Demikian pula dalam bidang arsitektur, Lloyd & Scott (1997) menyebutkan bahwa
perkembangan arsitektur sejalan dengan kebudayaan manusia baik pola pikir maupun pola
hidupnya.
Dalam perkembangan arsitektur pada era post-modern, terdapat beberapa kelompok pemikiran.
Seperti yang disebutkan oleh Sugiharto (1996), ada satu kelompok yang lebih memfokuskan pada
pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan persoalan linguistik. Pemikiran dari
kelompok ini cenderung hendak mengatasi sebuah gambaran dunia modern melalui gagasan yang
sama sekali anti gambaran dunia. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah
’’dekonstruksi’’.
Tokoh Arsitek :
1. Jacques Derrida
Post structuralism dianalogikan dengan suatu teks atau bahasa. Sebuah kata terstruktur
menjadi sebuah bahasa yang dapat membentuk sebuah interpretasi/penafsiran. Pada
pengertian ini, Jacques terpengaruh oleh tokoh pendapat Ferdinand de Saussure,“that meaning
was to be found within the structure of a whole language rather than in the analysis of
individual words.”
Jacques juga berpendapat bahwa kita tidak bisa mendapatkan akhir dari penafsiran sebuah
kalimat-sebuah kebenaran, karena semua kalimat memiliki banyak arti dan berbeda-beda.
Tetapi ada sebuah kemugkinan tentang penafsiran yang berlawanan dan tidak ada suatu jalan
yang tidak tertafsirkan untuk menjelaskan keberadaan penafsiran yang berlawanan ini. Jacques
mengembangkan paham dekonstruksi untuk uncovering interpretasi/penafsiran teks yang
beragam. Semua kalimat memiliki ambiguitas sehingga untuk mendapatkan final
interpretation adalah sesuatu yang mustahil.
• Post structuralism : Deconstruction
• Filosofis panutan : Plato, FreudRousseau, Saussure
Sebagai sebuah konsep, Dekonstruksi adalah semangat. Gagasan Derrida adalah ide untuk
melakukan perlawanan untuk selamanya. Ia bersifat anti-kemapanan. Itu artinya, ia juga tidak
2. Bernard Tschumi
• Dekonstruksi merupakan Analisis (dari tanpa menjadi apa)
• Architecture of events : tak ada arsitektur tanpa events, tanpa action, tanpa activity, tanpa
function; arsitektur harus terlihat sebagai kombinasi ruang, events dan pergerakan, tanpa
hirarki atau preseden apapun diantara ketiganya
• Arsitektur menggabungkannya dalam kombinasi preseden programatik
1. Cross programming : penerapan suatu program pada suatu konfigurasi ruang yang tidak
semestinya, misal : kafe untuk sinema.
2. Transprogramming : mengkombinasikan 2 program kegiatan tanpa memperdulikan
ketidaksesuaian, misal : perpustakaan dan sinema
3. Disprogramming : mengkombinasikan 2 program sehingga konfigurasi spasial program A
mengkontaminasi program dan konfigurasi spasial program B; misal : program sinema
untuk fasilitas komersial.
3. Coop Himelb(l)au
• Prosedur kerja : menerpkan teori “generative power of language” (pemahahaman yang
diambil dari Jacques)
• Penerapannya : Kedua memulai proses rancangan dengan ‘obrolan yang berkepanjangan’
yang disertai dengan coretan terus menerus sampai tindakan komunikatif tertentu mereka
berhenti dan sketsa (coretan) dihasilkan.
4. Eisenman
• Gianni Vattimo was talking about, with weak forms, la forma debole, which means that
image is not so important but ideas are.
• What I'm trying to do is to express ideas in my work, so that when people experience the
work they say 'why is it like this?'
• contoh :
1. Dianalogikan seperti sebuah film. Pada umumnya orang film menonjolkan sisi visual
tetapi eisenmen berpendapat bahwa menikmati sebuah film tidak hanya menggunakan
visual saja. Sehingga einsmen menganalisis bahwa sebuah film seharusnya juga
dinikmati melalui indra lainnya dengan porsi yang lebih besar daripada indra visual
2. Analogi seperti sebuah ruang. Eismen ingin membuat sebuah ruang dengan pemikiran
”dari tanpa menjadi ada”.
Latar Belakang
Kontekstualisme muncul dari penolakan dan perlawanan terhadap arsitektur modern yang
antihistoris, monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang memperhatikan kondisi bangunan lama
di sekitarnya.
Kontekstualisme selalu berhubungan dengan kegiatan konservasi dan preservasi karena berusaha
mempertahankan bangunan lama khususnya yang bernilai historis dan membuat koneksi dengan
bangunan baru atau menciptakan hubungan yang simpatik, sehingga menghasilkan sebuah
kontinuitas visual.
Definisi Kontekstualisme
Brent C Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) menjelaskan, kontekstualisme
adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan bangunan baru dengan
lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang
perlunya tanggapan terhadap lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa
dan karakter suatu tempat.
Kontekstualisme bukan meniru bangunan lama !
Bagaimana penerapan kontekstualisme dalam sebuah bentuk desain arsitektur?
Karakteristik Desain Kontekstual
Bangunan kontekstual tidak berdiri sendiri dan berteriak “Lihatlah Aku!” tetapi bahkan
cenderung menjadi suatu bangunan yang bersifat latar belakang.
Teknik mendisain dengan faham Kontekstualisme dapat dikembangkan untuk dapat
memberikan jawaban khususnya untuk kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis,
dan pragmatis menjadi bersifat pluralistik dan fleksibel.
Selain itu juga bukan dogmatis rasional atau terlalu berorientasi pada kaidah-kaidah yang
terlalu universal.
Kriteria Kontekstualisme
Fit (pas) pada lingkungannya
Merespons lingkungannya
Menjadi perantara bagi lingkungannya
Mungkin melengkapi pola implisit dari lay-out jalan atau memperkenalkan sesuatu yang baru
Beberapa Variasi Pendekatan Desain Kontekstual
Mengambil motif-motif desain setempat : bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan
ornamen desain.
Menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga tampak
berbeda.
Melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau mendekati
yang lama.
Mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras).
Arsitek yang Menerapkan Kontekstualisme dalam Karyanya
The Museum of Fine Arts in Boston : Foster & Spencer de Grey
Lowell's Beaux Arts, Pyramid de Louvre :I M Pei
Manhattan's Morgan Library : Renzo Piano
Steven Holl
Hardy Holzman Pfeiffer
Tod Williams Billie Tsien
Justus Dahinden
Kegagalan Arsitektur Menurut Penganut Paham Kontekstualism
Kurangnya pengertian tentang urban context
Penekanan yang berlebihan pada obyek dan bukannya pada jaringan (tissue) antar mereka
Mendisain dari dalam ke luar dan bukannya dari ruang luar (eksterior) ke dalam.