Anda di halaman 1dari 5

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penduduk Indonesia mengalami pertumbuhan sekitar 1,2% tiap tahunnya (BPS,

2015) menyebabkan peningkatan permintaan terhadap daging untuk memenuhi kebutuhan

protein penduduk Indonesia. Beberapa jenis daging yang dikonsumsi oleh masyarakat

antara lain daging ayam, daging sapi, daging itik, maupun jenis daging lainnya. Daging

ayam yang dikonsumsi umumnya berasal dari daging ayam ras maupun daging ayam

buras.

Ayam broiler merupakan salah satu ras ternak unggas yang cukup populer dan

banyak dipelihara oleh peternak di Bali sebagai penghasil daging karena memiliki

beberapa keunggulan, seperti laju pertumbuhan yang cepat dan kemampuan mengkonversi

ransum yang efisien dibanding ayam ras lainnya. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Bali pada tahun 2015, populasi ayam pedaging di provinsi Bali

terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 13% dari tahun 2013 hingga tahun 2015.

Populasi ayam pedaging di provinsi Bali menurut Direktorat Jendral Peternakan dan

Kesehatan Hewan pada tahun 2015 mencapai 9.504.702 ekor dan pada tahun tahun 2016

mencapai 9.575.037 ekor dengan pertumbuhan sebesar 0,74%. Tingginya jumlah populasi

ayam pedaging di provinsi Bali berdampak pula terhadap peningkatan produksi daging

ayam di Bali setiap tahunnya. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan hewan

melaporkan bahwa pada tahun 2015 produksi daging ayam di Bali sebanyak 10.454 ton

dan tahun 2016 sebanyak 10.685 ton dengan pertumbuhan sebesar 2,21%. Salah satu

faktor yang menyebabkan meningkatnya populasi ayam pedaging di provinsi Bali adalah

permintaan pasar akan kebutuhan daging ayam broiler semakin tinggi setiap tahunnnya.

1
Rata-rata permintaan daging ayam di Bali mencapai 25% tiap tahun, terutama menjelang

hari raya keagamaan (Antara, 2016).

Peternak ayam broiler di Indonesia umumnya adalah peternak yang memiliki skala

usaha dengan kapasitas 4.000 – 6.000 (Rasyaf, 2008). Dewasa ini usaha peternakan ayam

broiler semakin berkembang dengan adanya pemeliharaan ayam broiler dengan pola

kemitraan. Menurut Wahyuni (2006), pola kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha

kecil, dengan usaha menengah dan besar disertai pembinaan oleh usaha menengah dan

besar, atas dasar prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling

menguntungkan. Pada pemeliharaan ayam broiler pola kemitraan, peternak memiliki

kewajiban untuk menyediakan kandang beserta perlengkapannya dan melaksanakan

pemeliharaan ayam dari awal hingga panen. Perusahaan-perusahaan multinasional seperti

JAPFA, Charoen Pokphand, Wonokoyo dan Patriot sebagai perusahaan inti, akan

memberikan modal berupa sarana dan prasarana produksi, seperti bibit, pakan, obat-

obatan, dan bimbingan teknis dari petugas lapangan yang diberikan oleh perusahaan inti.

Penjualan atau pemasaran ayam broiler dilakukan oleh perusahaan inti dan

perusahaan inti berhak mengatur jadwal panen serta berkewajiban untuk membeli ayam

dari peternak dengan harga kontrak yang telah ditentukan. Harga kontrak yang ditentukan

oleh perusahaan inti akan berubah setiap periodenya, sehingga peternak yang menjual

ayam broilernya tidak akan terpengaruh dengan fluktuasi harga pasar. Hal ini dirasa

mampu melindungi peternak ayam broiler dari rendahnya penjualan ayam, karena harga

yang tidak stabil, sehingga peternak tidak perlu khawatir untuk memasarkan dan menjual

ayamnya. Hasil penjualan ayam broiler akan dipotong oleh perusahaan inti untuk

mengganti modal awal berupa sapronak dari perusahaan inti sesuai dengan harga yang

telah disepakati. Sisa dari penjualan ayam broiler setelah dipotong sapronak merupakan

pendapatan peternak yang diberikan oleh perusahaan inti, yang dimana pendapatan ini

2
perlu diperhitungkan kembali untuk mengganti biaya produksi yang belum dipotong oleh

perusahaan, seperti upah tenaga kerja, pemakaian listrik dan biaya penyusutan.

Pendapatan peternak dari hasil penjualan ayam broiler pada pola kemitraan sangat

dipengaruhi oleh performa produksi ayam broiler yang dipelihara, sehingga peternak perlu

mengoptimalkan performa produksi ayam broiler untuk memaksimalkan keuntungan yang

diperoleh. Semakin cepat kenaikan bobot badan ayam broiler dengan angka konversi

pakan yang rendah maka keuntungan yang didapat oleh peternak akan semakin tinggi

karena dengan pertambahan bobot badan yang cepat maka umur panen menjadi lebih cepat

dan berdampak pada rendahnya biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini akan berdampak

pada keuntungan yang didapat oleh peternak semakin tinggi dan peternak akan

mendapatkan bonus dari perusahaan inti, seperti bonus FCR dan bonus harga pasar. Bonus

yang diberikan oleh perusahaan inti merupakan pendapatan tambahan yang diberikan

untuk peternak apabila mampu menghasilkan ayam broiler yang memiliki performa

produksi lebih tinggi dari standar yang ditetapkan perusahaan inti.

Tingginya permintaan daging ayam di Bali merupakan peluang bagi peternak ayam

broiler, namun tingginya angka kematian akibat pengaruh lingkungan menjadi salah satu

penyebab kurang optimalnya keuntungan yang didapat oleh peternak. Dewasa ini, peternak

mulai menggunakan teknologi dalam pemeliharaan ayam broiler, salah satunya yaitu

penggunaan teknologi kandang dengan sistem closed house pada pemeliharaan ayam

broiler. Kandang closed house adalah kandang dengan sistem ventilasi tertutup, yang pada

prinsipnya dapat mengatur suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan cahaya yang masuk ke

dalam kandang yang disesuaikan dengan kebutuhan ayam broiler. Menurut Rasyaf (2001),

ayam broiler tumbuh optimal pada temperatur 19 – 21oC. Sehingga dengan adanya

kandang dengan sistem closed house diharapkan mampu menciptakan kondisi lingkungan

3
yang nyaman sesuai dengan temperatur optimal pertumbuhan ayam broiler dan ayam

broiler mampu tumbuh optimal sesuai dengan potensi genetiknya.

Selain kelebihan yang dimiliki oleh kandang dengan sistem closed house,

kekurangan dari sistem kandang ini diantaranya yaitu membutuhkan biaya investasi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan kandang sistem open house. Hal ini disebabkan karena

kandang dengan sistem closed house menggunakan peralatan canggih untuk membantu

mengatur temperatur di dalam kandang, salah satunya yaitu exhaust fan, celldeck, dan

temptron. Tingginya biaya investasi yang dibutuhkan di awal pemeliharaan, membuat

peternak dengan keterbatasan modal belum mampu membangun kandang dengan sistem

closed house dan timbul anggapan bahwa biaya investasi yang dikeluarkan tidak sebanding

dengan keuntungan yang didapat.

Dengan demikian dirasa perlu untuk melakukan penelitian untuk mengetahui

performa produksi ayam broiler, pendapatan usaha, R/C ratio dan nilai BEP (Break Even

Point) pemeliharaan ayam broiler yang dipelihara dengan sistem closed house pada pola

kemitraan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang didapat antara lain:

1. Bagaimana performa produksi ayam broiler yang dipelihara dengan sistem

closed house pada pola kemitraan?

2. Berapakah pendapatan dan R/C ratio usaha peternakan ayam broiler yang

dipelihara dengan sistem closed house pada pola kemitraan?

3. Berapakah BEP usaha peternakan ayam broiler yang dipelihara dengan sistem

closed house pada pola kemitraan?

4
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis performa produksi dari ayam broiler yang dipelihara dengan

sistem closed house pada pola kemitraan.

2. Menganalisis pendapatan dan R/C ratio peternak dari usaha peternakan ayam

broiler yang dipelihara dengan sistem closed house pada pola kemitraan.

3. Menganalisis BEP dari usaha peternakan ayam broiler yang dipelihara dengan

sistem closed house pada pola kemitraan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi mengenai performa produksi, pendapatan usaha, dan

BEP usaha pemeliharaan ayam broiler dengan sistem closed house pada pola

kemitraan bagi peternak serta masyarakat yang ingin membuka usaha dibidang

peternakan ayam broiler.

2. Sebagai referensi dan acuan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian lebih

lanjut.

Anda mungkin juga menyukai