Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Penyakit saluran pencernaan merupakan salah satu penyebab kematian di
rumah sakit di Indonesia, berdasarkan data Ditjen Bina Yanmedik Depkes RI,
dengan menempati urutan ke tiga dari 10 penyakit dengan jumlah kematian 6.590
dari 225.212 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) 2,93% tahun 2007 dan urutan
kelima dengan jumlah kematian 6.825 dari 234.536 kasus dengan CFR 2,91% tahun
2008.1
Salah satu penyakit pada saluran pencernaan adalah infeksi pada apendiks
yang disebut dengan appendisitis.2 Appendisitis menyebabkan abdomen akut dan
memerlukan tindakan bedah.3 Penelitian Asif (2008) di RS Kharian Islamabad
pada 220 penderita gejala abdomen akut didapat proporsi appendisitis akut 21,4%,
nyeri perut non spesifik 15,4%, kolesistisis akut 12,7%, obstruksi usus halus
14,5%, ulkus peptikum 11,8%, kolik ginjal 9%, pankreas akut 4%, penyakit
ginekologi 4%, diverticulitis meckel 1,3%, gastrointestinal 1,3%, tuberkulosis
aleocaecal1,3%, iskemik mesentrika 0,9%, kanker hati 0,9%, peradangan ginjal
0,5%, dan typhlitis 0,5%.4
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang
paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000
kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama
terjadi pada anak usia 6-10 tahun.5
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum
pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut
mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan
peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik,
appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap
memiliki angka morbiditas yang signifikan.6 Apendisitis merupakan salah satu

1
keadaan emergensi yang umum terjadi dalam bedah dengan prevalensi sekitar 1
banding 7, Insidennya adalah 1,5-1,9 / 1000 pada populasi pada pria dan wanita.
Pembedahan untuk apendisitis akut adalah operasi yang paling sering dilakukan
(10% dari semua operasi perut darurat).7
Diagnosis appendicitis pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang
tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka
appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan
penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam
mendiagnosis appendicitis.6
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix
yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila
tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama
disebabkan karena peritonitis dan shock.8
Meskipun ada banyak kemajuan dalam ilmu diagnosis di bidang
gastroenterologi, namun tidak ada perbaikan besar dalam akurasi diagnostik
apendisitis akut, yang hanya berkisar antara 25-90% dan tingkat optimum adalah
80%, lebih kurang pada wanita daripada laki-laki. Sistem skoring adalah alat yang
berharga dan valid untuk membedakan apendisitis akut dan nyeri abdomen lain
yang tidak spesifik. Saat ini sistem skoring untuk diagnosis apendisitis akut sudah
banyak tersedia. Sistem skoring alvarado adalah salah satunya dan penilainnya
didasarkan pada riwayat, pemeriksaan klinis dan beberapa hasil tes laboratorium,
skoring ini juga bisa digunakan.7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Appendiks
2.1.1. Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjangkira-
kira 10 cm, berdiameter 7-8 mm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama
kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung
dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial
menuju katup ileocaecal. Appendiks memiliki lumen sempit dibagian proksimal
dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang
menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks.
Gejala klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks
adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%,
subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan
postileal (di belakang usus halus) 0,4%. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab
rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut.9

Gambar 2.1. Appendiks pada saluran pencernaan

3
Gambar 2.2 Anatomi appendiks Gambar 2.3. Posisi Appendiks

Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan


limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu
setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah
sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu,
mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun.10 Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari
arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis
X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan pembengkakan, infeksi
dan ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminal dapat menyebakan oklusi end-
artery apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, biasanya
mengakibatkan nekrosis, gangren, dan perforasi.9

2.1.2. Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah

4
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh. 9

2.2. Definisi Appendicitis

Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen


oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoebahistolytica, Trichuris
trichiura,dan Enterobius vermikularis. Penelitian Collin (1990) di Amerika
Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang
disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda
asing 4%, dan sebab lainnya1%.9

2.3. Patofisiologi Appendicitis


Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua
lapisan dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi
lumen dan ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis.
Obstruksi intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan
menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks
akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada
dinding appendiks. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh fekalit (massa keras dari
feses), tumor, dan benda asing. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme
yang ada di usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut,
kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan.5
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi

5
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali
menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.9

2.4. Determinan Appendisitis


a. Faktor Host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa
muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada
usia 10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000
penduduk. Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena
jaringan limfoid mencapai puncak pada usia pubertas.9

2. Jenis Kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate
(SSMR) pria : wanita yaitu8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 :
1.12Penelitian Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 :
144,6 per 100.000 penduduk dengan rasio 1,07: 1.15 Kesalahan diagnosa
appendicitis15-20% terjadi pada perempuan karena munculnya gangguan yang
sama dengan appendicitis seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut,
kehamilan ektopik, kista ovarium, dan penyakit ginekologi lain.9

3. Ras
Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan
pencarian pengobatan. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, kulit putih :
kulit hitam yaitu 15,4 : 10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1.36
Penelitian Richardsonet al (2004) di Afrika Selatan, kulit putih : kulit hitam yaitu
2,9 : 1,7 per 1.000 penduduk dengan rasio1,7 : 1.

6
b. Faktor Agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang
ada di usus besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara Bacteriodes fragililis
danEschericia coli, Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan
Bacteriodessplanicus. Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan
aerob 4%.3

c. Faktor Environment
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.Kebiasaan konsumsi rendah
serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga
memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.9

2.5. Klasifikasi Appendisitis


Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinik patologis adalah
sebagai berikut: 10
2.5.1. Appendicitis Akut
a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri
di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada
appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia,
edema, dan tidak ada eksudat serosa.

b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan

7
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri
pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c. Appendicitis Akut Gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren.Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

2.5.2. Appendicitis Infiltrat


Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.

2.5.3. Appendicitis Abses


Appendicitis abses terjadi ketika omentum dan jaringan sekitar dapat
mengelilingi apendiks yang meradang untuk membentengi peradangan yang
menyebar, tetapi supurasi setempat berlanjut.

2.5.4. Appendicitis Perforasi


Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.

8
2.5.5. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif
sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan
virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa
appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks
menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia,
dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

2.6. Gejala Appendicitis


Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:11

a. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh


abdomen atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama.
Rasa sakit ini samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang
berupa kejang. Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi
sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran bawah kanan. Rasa nyeri
menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.
b. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin
ditemukan juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak
retrocaecal. Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan
rektum apabila posisi appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi
letak rasa nyeri.
c. Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
d. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan
merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.

9
e. Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan
terdapat nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita
hamil rasa nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan
dengan biasanya.

Sistem Skoring Alvarado


Penilaian sistem skorin alvarado biasanyapada appendisitis akut.7
Tabel 1. Sistem Skoring Alvarado
Gejala Skor
Perpindahan nyeri ke fossa iliaka kanan 1
Mual/muntah 1
Anoreksia 1
Tanda
nyeri tekan fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas fossa iliaka kanan 1
Peningkatan suhu 1
Hasil Laboratorium
Leukositosis 2
Hitung neutrofil shift to the left 1
Total = 10
Skor agregat 7-10 (kelompok operasi emergensi): Pasien-pasien ini
disiapkan dan semua menjalani operasi appendectomi.
Skor agregat 5-6 (kelompok observasi): Pasien-pasien ini dirawat dan
diawasi selama 24 jam dengan evaluasi ulang terhadap data klinis dan
diskoring kembali. Kondisi pasien yang membaik akan menunjukkan
penurunan skor dan oleh karena itu mereka dipulangkan dengan
instruksi agar mereka kembali ke rumah sakit jika gejala terus berlanjut
atau memberat.
Skor agregat 1-4 (kelompok dipulangkan): Pasien-pasien akan diberikan
perawatan simtomatik awal dan dikirim pulang dengan instruksi, untuk
kembali jika gejala terus berlanjut atau kondisi memburuk.

10
Diagnosis apendisitis akut akan dikonfirmasi dengan temuan pada saat
operasi dan penilaian histopatologis spesimen dari appendicectomy. Reliabilitas
sistem penilaian Alvarado akan dinilai dengan menghitung angka kejadian
appendicectomy negatif (pasien yang dioperasi namun appendiks yang dibuang
ternyata normal) dan nilai prediktif positif (pasien yang dioperasi dan memang
mengalami appendisitis).7

2.7. Diagnosa Banding Appendicitis


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendicitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
appendicitis, diantaranya: 9
a. Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering
ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
appendicitis akut.
b. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
c. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan
perasaan mual dan nyeri tekan perut.
d. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
e. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
appendicitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
f. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar

11
rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic
dan bisa terjadi syok hipovolemik.
g. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
appendicitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada appendicitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan
bedah yang sama.
h. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendicitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
i. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
appendicitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis,
hematuria, dan terjadi demam atau leukositosis.
j. Endometriosis eksterna, akan memberikan keluhan nyeri di tempat
endometriosis berada dan darah terkumpul sewaktu menstruasi, karena
tidak ada jalan keluar.
k. Kista ovarium terpuntir, timbul nyeri mendadak dengan intesitas yang
tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut,
colok vaginal atau colok rektal. Tidak terdapat demam.

2.8. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Hal ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling sering pada anak
kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan
40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak
dan orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum
lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,

12
sedangkan pada orang tuaterjadi pada gangguan pembuluh darah. Adapun jenis
komplikasi diantaranya: 9
a. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut yang kontinyu, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). 28Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.12 Insidens lebih tinggi pada
anak kecil dan lansia.
b. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oligouria.Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat,
muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis. Biasanya, akibat dari
infeksi klebsiella, Proteus,dan Pseudomonas.
c. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.11

13
2.9. Pencegahan Appendicitis
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian appendicitis sedini mungkin. Upaya pencegahan primer dilakukan secara
menyeluruh kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan
bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,
dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada
dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi
pengeluaran feces. Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar
volume feces dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi.Individu yang
makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,
respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas
peristaltik di kolon. 40 Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi
konsistensi feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi
menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks
dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces
memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan
menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan pada appendiks tersebut.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat
untuk mencegah timbulnya komplikasi.
a. Diagnosa Appendicitis

14
Diagnosa yang dilakukan antara lain:10
1. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran
yang spesifik dan terlihat distensi perut.
 Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan
terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri.
Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosa
appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan
juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut
tanda Blumberg (Blumberg Sign).
 Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui letak appendiks yang meradang.
Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks
yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan
obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil,
maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
 Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada
appendicitis untuk menentukan letak appendiks apabila
letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang
terletak di daerah pelvic.
2. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-
reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap

15
ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah
satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam
setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui
proses elektroforesis serum protein.11
 Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan
pemeriksaan awal untuk kemungkinankarsinoma colon.11
 Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin(B-HCG) untuk
memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.11
 Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu
mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan
pankreas.11
 Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda
pasti appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam
membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau
batu ureter kanan.11
 Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan
Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada
pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum.11
 Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan
kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri
perut bawah. Pada analisa urin akan tampak sejumlah kecil
eritrosit atau leukosit.12

16
b. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
penderita appendicitis meliputi non operasi dan operasi.10
1. Non operasi Penatalaksanaan non operasi pada appendicitis
meliputi penanggulangan konservatif terutama diberikan pada
penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa
pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk
mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum
operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik.
2. Operasi Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis
maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang
appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

2.9.3. Pencegahan Tersier


Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama
adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen. Penyuluhan saat
pulang untuk pasien dan keluarga sangat penting. Pasien diinstruksikan untuk
membuat janji menemui ahli bedah yang akan mengangkat jahitan antara hari
kelima dan ketujuh. Aktivitas normal biasanya dapat dilakukan dalam 2 sampai 4
minggu.11

17
BAB III
KESIMPULAN

Appendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen


oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus.
Appendisitis dipengaruhi oleh faktor host (umur, jenis kelamin, ras), faktor agent,
dan faktor environmen.
Gejala-gejala yang muncul biasanya rasa sakit pada epigastrium, nyeri
tekan di kuadran kanan, anoreksia, mual, muntah Pada appendesitis akut dapat
dibantu dengan sistem skoring alvarado. Diagnosis apendisitis akut murni
didasarkan pada riwayat, pemeriksaan klinis dan beberapa pemeriksaan
laboratorium (misalnya hitung WBC). Teknik imaging hanya memberi sedikit
bantuan untuk mendiagnosa.
Gejala appendisitis berupa abdomen akut memberikan gambaran klinis
yang sama dengan gangguan penyakit lain sehingga sulit untuk dibedakan. Hal ini
mengakibatkan appendisitis sulit didiagnosa dan terlambat untuk ditangani
sehingga terjadi komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi seperti perforasi,
peritontis, abses. Dalam penanganan media operasi dan non operasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan R.I., 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun


2008. Jakarta.
2. Gibson, J., 2003. Fisiologi danAnatomi Modern. Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Tambunan, G., 1994. Patologi Gastroenterologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Asif M, et al, 2008. Acute Abdomen Cause. Profesional Med J Volume
15, Issue 1,March 2008.http://www.ncbi.nlm.nih.gov
5. Schwartz, I.S., 2000. Principles of Surgery 7th. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
6. Schrock, T., 1995. Ilmu Bedah. Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
7. Khan, Ikramullah., 2005. Application of Alvarado Scoring Systemin
Diagnosis of Acute Appendicitis. Departement of Surgery. Pakistan.
8. WHO, 2008. Global Burden of Disease in 2002WHO Global Infobase.
http://www.wpro.who.int
9. Sjamsuhidajat, R., dan Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
10. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
11. Schrock, T., 1995. Ilmu Bedah. Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai