dikagumi dengan setulus hati. Tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini
yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang
Madura. Mereka sangat bersungguh-sungguh dan lugu serta lugas dalam berkata-kata.
Oleh karena itu, kalau orang Madura menyatakan sesuatu maka demikianlah isi hati pikirannya,
dan jika mengungkapkan suatu bentuk sikap tertentu biasanya karena memang begitulah muatan batinnya
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
Itulah sepenggal obrolan yang selalu saya ingat ketika diskusi dengan salah
satu teman semasa kuliah di Malang. Diskusi ringan dengan dominasi tutur boso
walikan1 khas Malang, Jawa Timur. Untuk menyebut “Madura”, teman saya –
untuk mengganti kata rek, atau kera ngalam menunjuk pada kata Arek Malang
biasa muncul dalam ranah obrolan ringan kami yang multitema, dari aras lokal
sampai nasional. Secara sederhana saya menangkap makna yang terkandung dari
1
Boso walikan (bahasa walikan, bahasa yang di balik, pen.) menjadi trade mark bagi orang
Malang terutama anak-anak mudanya. Selain di Malang, boso walikan juga terkenal di
Yogyakarta. Perbedaan boso walikan Malang dan Yogya adalah cara membaliknya. Kalau di
Malang, kata dibalik dengan cara straight forward, sedangkan di Yogya kata-kata di-"kode"-kan
dengan menggunakan basis ke-20 aksara Jawa dan huruf di geser sepuluh menyusun sebuah
korespondensi tertentu, seperti : Mas menjadi dab, Matamu menjadi dagadu, dan lain-lain. Lihat,
Sugeng Pujileksono & Rinekso Kartono. 2007. Model Pelestarian Budaya Lokal Melalui Bahasa
Walikan Malangan Dalam Menciptakan Integrasi Di Kota Malang. Lembaga Penelitian
Universitas Muhammadiyah Malang. Bandingkan dengan Dewa Putu Wijana. Wacana Dagadu,
Permainan Bahasa dan Ilmu Bahasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar FIB UGM tanggal 27
Februari 2003.
1
yang disampaikan teman saya tersebut, bahwa Malang diam-diam “dikuasai”
etnis Madura yang ada di Malang tidak sesederhana hasil penelitian Ismani (1978)
Desa Ngingit, Kabupaten Malang. Tidak dipungkiri bahwa ada anasir lain ketika
bahwa para perantau Madura terdiri dari orang-orang yang di daerah asalnya tidak
mempunyai kedudukan atau jabatan apa-apa serta berasal dari status sosial rendah
dan kebanyakan petani (1978, ibid: 163). Dalam perkembangannya saat ini,
dimana tidak hanya mereka yang berada dalam ‘kelas bawah’, tetapi mereka yang
berada pada kelas sosial menengah ke atas membangun pilihan untuk menetap
2
Bupati Malang (2010-1015) di jabat oleh Rendra Kresna, berasal dari Pamekasan-Madura.
Diskusi spontan dan tentatif dengan Fatah, sekitar awal-awal tahun 2011.
3
Isnani menyebut bahwa seringkali jenis perdagangan tertentu bisa menunjukkan asal daerahnya
di Madura. Misalnya pedagang ayam di Pasar Besar Malang biasanya berasal dari Kecamatan
Tragah, Bangkalan. Perempuan penjual kacang, tales, kelapa, rokok berasal dari Kecamatan
Proppo, Pamekasan dan penjual sate dan soto berasal dari Sampang. Lih, Ismani. 1978.
Kehidupan Orang-Orang Madura di Kota-Kota Perantauan. Proyek Penelitian Madura,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam rangka kerjasama Indonesia-Belanda. Hal.
169-170. Selain Pasar Besar, para pedagang Madura ini juga tersebar di Pasar Balenan.
Mengenai beberapa jenis perdagangan tertentu yang dimonopoli secara kategorial berdasar asal
daerah di Madura, saya belum menemukan preferensi yang memadai mengapa Kabupaten
Sumenep tidak disebut dalam penelitian Isnani maupun berdasar pengalaman pribadi saya (lebih
kurang 6 tahun tinggal di Malang) ketika berinteraksi dengan para pedagang tersebut -
kebanyakan memang berasal dari tiga kabupaten di Madura, yakni Pamekasan, Sampang, dan
Bangkalan. Sisi lain bahwa beberapa teman-teman mahasiswa yang saya kenal di kampus
maupun di organisasi berbasis ke-Madura-an rata-rata adalah orang Sumenep dan Pamekasan.
Apakah hal ini berkait dengan tingkat kesejahteraan dan latar belakang ekonomi serta persepsi
mereka mengenai urgensi pendidikan antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain
memang berbeda? Tentu hipotesa ini menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh lagi.
2
atau sekurang-kurangnya sekadar ingin bekerja dan membangun karir di Kota
tertentu seperti spirit perubahan ke arah yang lebih baik, khususnya di bidang
Dua kategori sosial mengenai orang Madura yang berada di Kota Malang
secara khusus ingin saya gambarkan dengan sederhana. Kategori pertama adalah
Madura, Kota Malang menjadi destinasi pendidikan tinggi favorit selain kota
memilih Malang sebagai kota untuk pendidikan lanjutan tentu bukan tanpa alasan.
Setidaknya para siswa-siswa SMA di Madura sudah memiliki preferensi sejak dini
melalui program diseminasi dan promo yang dilakukan oleh senior mereka yang
kontrakan bersama, maupun tinggal dengan sanak famili yang memunyai rumah
waktu untuk mencari peluang pekerjaan di Malang atau kota besar lainnya dari
pada kembali ke kampung halaman, dimana pilihan karir dan pekerjaan dirasa
4
Contoh organisasi mahasiswa berbasis kemaduraan al: Ikatan Mahasiwa Pamekasan (IMPAS),
FKMS (Forum Komunikasi Mahasiswa Sumenep), Komunitas Sapo Lèntè, dll.
3
sangat sulit, monolit, atau kurang beragam sebagaimana halnya di Malang atau di
pendatang dari Madura yang usia migrasinya lebih lama dari pada kelompok
sopir dan tukang becak. Pekerjaan ini lebih menyesuaikan dengan karakter
memang sengaja dihindari, menyesuaikan dengan niat awal mereka untuk hidup
tanah leluhur. Mereka tetap bertani dan memelihara sapi. Pemukiman penduduk
Kota Malang, tetapi secara geografis lebih dekat ke wilayah Kabupaten Malang,
(Fathony, 2009).
Kebanyakan mereka berasal dari Pamekasan yakni wilayah Proppo dan Tlanakan.
5
Dalam konteks ini, mahasiswa Madura sering mengalami pilihan yang problematik, antara
mengikuti tuntutan pemikiran puritan orang tua yang lebih memandang prestise ‘pekerjaan
bersepatu’ (guru, pekerja kantoran/PNS) dari pada keinginan putra-putri mereka yang ingin
menjelajah sektor swasta seperti berbisnis/berdagang. Tidak jarang para orang tua yang kecewa
melahirkan sinisme; “kalau hanya berdagang, untuk apa kami menyekolahkan tinggi-tinggi”.
4
Dua wilayah ini identik dengan tradisi lang-Malangan, suatu ungkapan lokal yang
Beberapa wilayah lain dengan tingkat populasi lebih sedikit dari Kotamadu
juga dihuni perantau dari Blega (Bangkalan), Kramat dan Maduang (Sampang)
dan terasa jarang terdengar pendatang yang berasal dari wilayah di Sumenep. Di
berada di wilayah Barat ‘lebih beruntung’ dari pada mereka yang bermukim di
5
wilayah timur Kota Malang. Kaum sekolahan (kuliah) dianggap calon
tangan, sebentar kemudian dapat uang’. Berbeda dengan mereka ‘yang jika tak
bekerja berarti tak ada yang dimakan’. Suatu ungkapan yang kadang
anaknya di Malang. Secara sadar mereka mengaku tidak bisa menembus pasar
kerja modern karena tidak punya ijasah sekolah, alias ‘tidak terpelajar’. Cara
progresif tinimbang orang tua mereka yang hanya lulusan SD dan sebagian hanya
tamatan pesantren.
terbalik dengan latarbelakang pendidikan mereka. Soal politik bagi mereka adalah
lapangan, hingga wilayah yang paling subtil mengenai ‘transaksi politik’ pernah
mereka alami. Bagi sebagian orang (tokoh) yang punya jam terbang lebih,
6
ekonomi, serta sebagian ke(ber)untungan politik. Sementara bagi masyarakat
Madura secara umum di Kotamadu, jika tiba pada suatu moment politik,
orang-orang Madura. Yang lain bekerja sesuai level dan peran sosial
didengungkan oleh peneliti Madura (Skinner 1959; Ward 1974; Jonge 1989/2011;
Khusyairi 1989), aras politik orang Madura di Kota Malang masuk dalam arena
dialektika yang menarik dan dinamis pada satu sisi, dan masuk fase-fase kritis di
ranah rantau masih menjadi kajian langka. Studi Khusyairi (1989) mengenai
orang Madura melalui peran tokoh-tokoh informal seperti kiai. Kajian mendalam
seputar dinamika yang terjadi diantara sesama orang Madura perantauan dan
interkoneksi mereka dengan daerah asal masih minim diketengahkan. Studi ini
7
ataupun pendidikan, tetapi mampu merambah ke dalam jagat politik lokal Kota
Malang. Keberhasilan politik dewasa ini yang lebih ditolakukuri oleh jumlah
Kota Malang? Penelitian ini mengambil studi kasus pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Malang tahun 2013. Secara lebih jauh, studi ini ingin
yang ikut melengkapi jagat politik kaum rantauan Orang Madura dalam dinamika
banyak disebut dalam literatur sebagai tujuan migrasi orang Madura di Jawa
6
Istilah ‘pandhalungan’ berarti ‘berbicara atau berkata dengan tiada tentu
adabnya/sopan-santunnya (Prawiroatmodjo, 1981:53-81). Menurut Kusnadi (2001), dalam
konteks realitas masyarakat dan kebudayaan di kawasan ini penggunaan bahasa keseharian
masyarakat umumnya adalah bahasa kasar (ngoko) atau bahasa yang struktur gramatikanya
belum mapan, seperti ditandai dengan intensitas interferensi leksikal dan gramatikal.
Kekurangmapanan aspek gramatika ini terjadi karena interaksi sosial dalam kehidupan
masyarakat dilakukan oleh masing-masing pemilik kebahasaan (Jawa dan Madura) yang
kedudukannya sama kuat atau sama dominan. Secara kewilayahan, Sutarto menjelaskan bahwa
daerah kebudayaan pandhalungan merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara dan
bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya
Madura. Secara budaya, yang disebut masyarakat pandalungan adalah masyarakat hibrida, yakni
masyarakat berbudaya baru akibat terjadinya percampuran dua budaya dominan. Dalam konteks
8
Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang, dan kota besar
lainnya seperti Surabaya, Jakarta, Yogyakarta7, dan di luar Jawa (Ismani, 1978;
Jonge, 1989; Wiyata: 2006, Rifai:2007). Dari sekian studi dan penelitian yang
etnis Madura di Malang Raya, sebut saja antara lain studi yang dilakukan
kelompok etnis pendatang terbesar di Malang, orang Madura begitu lekat dalam
teman-teman mereka dari Madura, selain tentu banyak istilah atau nama
berkaitan dengan ekonomi skala mikro dan ekonomi pasar. Dalam sebuah obrolan
singkat saya dengan Edi Rumpoko (Wali kota Batu), ia mengajukan pertanyaan
eufemistis; bagaimana mungkin keadaan ekonomi Kota Malang bisa maju tanpa
peran orang Madura?9. Tentu bukan pekerjaan yang sulit untuk membuktikan
tesis ini. Sekali waktu datanglah ke Pasar Besar. Pasar ini merupakan pusat
kawasan “tapal kuda” Jawa Timur, budaya pandalungan adalah percampuran antara dua budaya
dominan, yakni budaya Jawa dan budaya Madura. Lihat, Ayu Sutarto (2006) dan Arifin (2006).
7
Lihat studi yang dilakukan Mulyadi (1978) maupun Ahimsa-Putra (1980).
8
M adalah plat nomor kendaraan bermotor untuk wilayah Madura.
9
Wawancara dengan Edi Rumpoko, tanggal 14 April 2013.
9
Alun-alun Kota Malang. Pedagang pasar ini mayoritas adalah orang Madura10
pasar, seperti tukang becak dan juru parkir. Simaklah interaksi antar para
bahasa Jawa dengan logat Madura yang amat tipikal. Sangat mudah mereka
dikenali, meskipun sebagai orang baru tidak gampang mengakrabi mereka. Bagi
pengunjung atau pembeli, bahasa Madura lebih dari sekadar interaksi sosial, tetapi
Malang, 2012:5). Hampir 80% penduduknya adalah orang Madura atau keturunan
orang Madura. Penelitian ini ingin memberi sebuah ikhtisar bahwa keberadaan
orang Madura di Malang lebih dari sekadar kelompok etnik yang sui generis
(unik) – sekurang-kurangnya jika ditérop ong dari fokus kajian yang ingin penulis
dalami, yakni bidang antropologi politik dengan studi kasus pada pemilihan
Walikota dan wakil Walikota Malang tahun 2013. Secara lebih jauh, studi ini
ingin mengeksploirasi budaya dan artikulasi politik orang-orang Madura yang ada
10
Secara khusus saya akan membahas fenomena ini dalam sub-bab 2. Orang Madura dan Budaya
Pasar hal.50-54.
11
Kotamadu adalah nama samaran.
12
Jumlah penduduk Kotamadu sangat kontras jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di
ibu kota kecamatan Kedungkandang yang hanya berjumlah 9.836 jiwa. Sementara itu, Kelurahan
Sawojajar dengan penduduk terbanyak memang dikenal lebih kosmopolit dan menjadi salah satu
pusat keramaian di Kota Malang. Secara keetnikan, penduduknya lebih heterogen dibanding
dengan kelurahan Kotamadu yang notabene didominasi etnis Madura.
10
di Kota Malang. Potensi pemilih Madura, khususnya di Kotamadu sangat besar13,
Beberapa pola permainan politik dalam berbagai momentum tersebut relatif statis
pada satu sisi, dan dinamis pada sisi yang lain. Pengertian statis misalnya: masih
dinamisasi dan dialektika yang berbeda antar satu momentum ke momentum yang
tidak selalu berbanding lurus dengan hasil akhir. Disinilah terjadi tali-temali
Pada konteks yang sama, ditemukan juga praktik politik trans-regional, dimana
orang Madura di Kotamadu tidak hanya terlibat dalam dinamika politik lokal Kota
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengetahui dinamika, budaya
Madura di perantauan, seperti politik patrimonial, relasi orèng kènè’ (orang kecil)
13
Dari jumlah penduduk Kotamadu yang mencapai 28.865 jiwa, 24.657 penduduknya masuk
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) (PPS Kotamadu, 2013).
11
dan interkoneksi dengan daerah asal, dll; (3) penelitian ini ingin menambah
sosial-ekonomi saja, tetapi sangat langka – untuk mengatakan tidak ada – kajian
yang membahas persoalan budaya politik orang Madura di ranah rantau secara
komprehensif.
Suatu keanehan bahwa istilah ‘merantau'14 sama sekali tidak populer bagi
kalangan orang Madura sendiri, dan belum ada satupun perbendaharaan istilah
monografi tentang Madura (Jonge, 1989b; Husson, 1997; Wiyata, 2004; Rifai,
2007). Para peneliti Madura ini secara bergantian menggunakan istilah ‘merantau’,
sama. Hanya ada beberapa istilah lokal saya temui, misalnya dalam karya Fathony
(2009:22) yang menyebut istilah “naek” (naik) dan “toron” (turun) untuk
kelahirannya15. Istilah ini agak kontekstual dengan locus studi yang saya lakukan,
14
Istilah ‘rantau’ lebih dekat dengan idiom Minangkabau. Dalam hal ini Naim (1984)
memberikan pengertian: “Leaving one’s cultural territory voluntarily whether for a short or
long time, with the aim of earning a living or seeking further knowledge or experince, normally
with the intention of returning home.”. Lih. Mochar Naim.1984. Merantau: Pola Migrasi Suku
Minangkabau. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Dalam kamus ilmiah, kata “rantau”
diartikan sebagai: pantai teluk; lengkung teluk; susur pantai; (me)rantau: berjalan menyusuri
rantau; pergi ke negeri lain (seberang). Lih. Partanto & Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya : Arkola. Hal. 652.
15
Menurut Fathony pada dasarnya kebudayaan masyarakat Madura juga merupakan kebudayaan
Jawa. Mereka percaya bahwa dirinya keturunan orang Jawa. Dalam sejarah dan legenda yang
12
sekaligus menyegarkan memori masa kecil bahwa istilah ongghe (naek) dan ka
jaba (ke Jawa) lebih sering digunakan orang-orang di kampung saya. Dulu, para
awak bus trayek Madura - Jawa, lebih sering menggunakan istilah ‘jaba’ (Jawa)
dalam menawarkan jasa angkutan ke Jawa bagi para penumpang yang ada di
terminal-terminal di Madura.
orang Madura bukanlah tradisi sepele16 – sekurang-kurangnya jika dilihat dari sisi
historis dan kekuatan daya tahannya yang mampu bertahan hingga sekarang.
orang Madura sudah dimulai sejak abad ke 13 hingga abad 16. Periodisasi ini
lebih dilandasi oleh nuansa perbudakan orang-orang Madura yang sengaja ditarik
berlaku pada masyarakat Madura, tampak bahwa kecenderungan itu amat kuat. Kecenderungan
tersebut tersirat dalam penggunaan istilah “naik” dan “turun”. Kalau mereka pergi ke Jawa,
mereka menganggap atau mengatakan “naek” (naik) meskipun kedua pantai penyeberangannya
sama-sama landai; dan kalau kembali dari Jawa ke Madura mereka mengatakan akan toron
(turun) (Fathony, 2009: 22). Mengenai hal ini, bisa dilacak sumber-sumber sejarah seperti
Nagarakertagama dan Pararaton yang menunjukkan hubungan erat antara Madura dan Jawa
Timur. Lombard (dalam Husson, 1997: 80) menulis bahwa nama ‘Madura’ muncul tiga kali
dalam Nagarakertagama, khususnya di Pupuh XV, di mana dikatakan bahwa Madura tidak akan
dihitung di antara kerajaan asing karena selalu saja menjadi bagian dari tanah Jawa. Madura
tidak dianggap sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian bawahan yang lebih
besar dari Kerajaan Singasari di abad ke-13 dan kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Wiryoprawiro (1986) mengatakan bahwa orang Madura menganggap bahwa tanah Jawa adalah
tanah para leluhurnya yang harus dipuja dan dihormati. Apapun argumentasi historis yang
menjelaskan ‘kemesraan’ hubungan Jawa-Madura, dalam praktik-praktik relasionalnya ternyata
tidak lebih dari subjugasi atau superioritas kebudayaan Jawa yang lebih dominan terhadap
inferioritas Madura. Eksklusifitas orang Madura yang hampir tidak memunyai alasan dan
kebutuhan untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Jawa adalah korban dari prasangka
mendalam tentang gambaran karakter mereka yang dianggap kasar dan brutal. Di lokasi
penelitian saya, segregasi pemukiman adalah salah satu jawaban dari situasi ini. Selain itu, di
banyak tempat di Malang, saya sering menjumpai resistensi orang Madura terhadap Jawa melalui
model perkawinan eksogami (menikah sesama orang Madura). Hal ini berlaku juga sebaliknya.
Tetapi praktik-praktik ambivalen juga pernah saya temui, misalnya bagaimana gambaran prestise
sosial dan kebanggaan laki-laki Madura jika mendapatkan istri seorang Jawa daripada beristri
dengan kerabat atau tetangganya sendiri.
16
Pada sensus 1930, etnis Madura masuk urutan ke enam dalam daftar suku bangsa besar (mayor
ethnic groups) di Indonesia yang memiliki intensitas migrasi tinggi diantara 15 suku bangsa yang
lain. Lihat Mochtar Naim. 1972. Merantau dan Pengaruhnya terhadap Pembangunan Daerah di
Indonesia, dalam Prisma, Juni 1972.
13
Majapahit. Dari abad ke-16 hingga 18 abad banyak perang di Jawa yang
melibatkan tentara Madura. Dari 1845 hingga 1880, tirani pangeran Madura dan
Dimulai pada periode yang sama dan seterusnya, ekonomi perkebunan di Jawa
Timur menarik tenaga kerja Madura dalam jumlah yang besar juga. Depresi tahun
1929, yang melanda kepulauan di awal tahun 1930, pendudukan Jepang antara
tahun 1942 dan 1945, serta gangguan politik di Indonesia sampai dengan tahun
1965, adalah suksesi episode menyakitkan bagi pulau ini dan menyebabkan lebih
bahwa sejak munculnya Orde Baru sampai hari ini, migrasi keluar Madura
klasik (1997:80).
1989:24), dipetakan tujuan dan arus migrasi orang Madura, yaitu: orang
Jawa Timur, daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat serta daerah-daerah luar Jawa
juga menjadi tujuan penting para migran Madura. Di Kalimantan Barat, orang
17
Lihat juga, Arifin. 1996. Migrasi Orang Madura di Daerah Jember pada Masa Kolonial.
Jakarta: Konggres Sejarah Nasional.
18
Testimoni Haji Tarap, seorang tokoh Madura di Singkawang, menarik diuraikan untuk
mengetahui kapan awal mula kedatangan orang Madura di Kalimantan. Tarap berkisah, anak
pertamanya lahir ketika pertama kali pesawat terbang Jepang melintas di kota Pontianak. Warga
yang ketakutan serempak berteriak agar semua tiarap di tanah. Sesaat setelah kejadian, sang
14
Sulawesi, sudah terdapat masyarakat Madura yang sudah lama dan secara teratur
melakukan pekerjaan tertentu seperti pengendara becak, penjual sate, dan kusir
dokar20. Saya juga mendapati informasi bahwa sebagian para TKI asal Madura
yang ada di Malaysia di antaranya berasal dari satu kampung di sebuah desa
relatif mewah yang tersisa, dan banyak di antaranya yang tak berpenghuni.
Kampung ini baru ramai kembali menjelang musim lebaran. Banyak orang
kemudian menjulukinya sebagai ‘kampung TKI’. Ada juga seorang kawan yang
bekerja sebagai tukang cukur dan penjual sate. Saya tak kuasa membayangkan
bayipun lahir. Untuk mengenang momentum itu, bayi lelaki itupun diberi nama Tarap, dari kata
“tiarap”. Warga pun memanggilnya Pak Tarap - artinya ayahnya Tarap. Dari kisah Tarap itu
diketahui bahwa anaknya itu lahir di masa Jepang (1942-1945), meskipun di wilayah Kalimantan
yang lain yakni di Sukadana (Ketapang) ratusan orang Madura sudah bermukim disana sejak
tahun 1933 (Lih, Patebang dan Sutrisno. 2000. Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: ISAI,
hal.162-163 ). Selain kisah itu sebagai informasi penting untuk mengetahui awal mula
keberadaan orang Madura di Kalimantan, saya cukup apresiatif terhadap cara penamaan ala Haji
Tarap dan bagaimana orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Tarap. Cara penamaan
anak berdasar momentum tertentu semacam ini dan panggilan terhadap seorang laki-laki
berdasar nama anak pertama merupakan sesuatu yang lazim dalam masyarakat tradisional
Madura, di beberapa pedesaan di Madura, kebiasaan semacam ini masih terjadi. Bandingkan
dengan Min A. Rifai. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media, hal.85.
19
Lih, Jonge, 1989b:25.
20
C.J Grader. 1949. “Het Madura Welvaartsfonds 1937-1941” dalam Jonge. 2004. State and
Welfare in the Late Colonial Period: The Madura Welfare Fund (Asian Journal of Social
Science, 91-104).
15
Dorongan merantau lebih dilatari oleh faktor keadaan alam di Madura yang
tidak mampu memberi hasil cukup bagi segala kebutuhan hidup penduduknya
(penggundulan hutan) dan erosi pada abad 19 adalah periode awal dimana
orang-orang Madura mulai terpukau dengan dengan prospek lahan baru yang ada
di Jawa. Mereka bekerja secara musiman dan permanen di Jawa Timur, terutama
kemudian menjadi pusat tanaman pangan penting di provinsi ini (Arifin, 1996;
Husson, 1997). Dikatakan bahwa orang Madura waktu itu dibutuhkan karena
memunyai reputasi sebagai orang yang ulet dan memiliki kekuatan fisik dan daya
tahan, terlibat dalam pekerjaan berat dan sulit seperti menebang pohon untuk
konstruksi dan pembukaan lahan pertanian baru (Husson, ibid:86). Pada tahun
1846 populasi orang Madura yang berada di daratan Jawa berjumlah sekitar
632.000, sedangkan total etnis Madura ketika itu sekitar 1.056.000 orang. Tahun
1892, 40.000 orang pergi ke Jawa Timur untuk bekerja, dimana 10.000 berasal
dari Sumenep, 3.000 dari Pamekasan dan 9.000 dari Bangkalan (Lublink Weddik,
1892 dalam Husson, 1997). Keterangan ini sejalan dengan data Statistical
Pocketbook of Indonesia Tahun 1941 yang mengatakan bahwa pada tahun 1930
hampir sekitar 2,5 juta orang Madura bertempat tinggal di luar Madura dan
sebagian besar di Jawa Timur, sedangkan di seluruh Indonesia berjumlah 4,3 juta,
atau hampir 7,3 % dari seluruh penduduk (Jonge, 1989: 24)21. Sejak sensus
nasional tahun 1961, data statistik memang tidak menunjukkan identitas etnis,
21
Bandingkan dengan Kuntowijoyo yang merilis angka bahwa pada tahun 1930 jumlah migrasi
orang Madura adalah 2.347.000 dari total penduduk sebanyak 4.287.000 orang, yang berarti
bahwa lebih dari 55% penduduk Madura pergi ke seberang (2002: 80).
16
nasional Bhinneka Tunggal Ika (Husson, ibid: 78). Itu artinya lebih sulit
termasuk jumlah penduduk ber-etnis Madura yang ada di Kota Malang yang
Bersama Lumajang, daerah ini termasuk dalam zona pedalaman yang menjadi
tujuan para pensiunan tentara perang dan para pekerja perkebunan di Jawa Timur,
Husson menduga bahwa periode perang antara 1740 hingga tahun 1850 telah
memunculkan pola khas dari migrasi orang Madura serta mendorong gelombang
lebih lanjut dari pemukiman Madura di Jawa Timur. Para kombatan perang dan
pekerja tersebut lebih memilih menetap di Jawa dari pada kembali ke tanah airnya
dengan berbagai alasan, seperti desersi, pernikahan dengan populasi lokal, serta
mereka yang terpikat oleh prospek lahan pertanian baru yang lebih menjanjikan
dari pada tanah gersang di Madura (Husson, ibid: 81-82). Dalam perkembangan
memilih pergi dan menetap di Jawa. Mereka ini mengandalkan hidupnya dengan
bekerja sebagai buruh tani pada musim-musim panen tertentu. Sementara mereka
yang di Madura memunyai lahan pertanian ala kadarnya tetap melakukan migrasi
jarak dekat seperti pergi ke Surabaya untuk waktu beberapa bulan, khususnya
17
Studi Husson (1997a) mengenai periode panjang migrasi orang Madura di
kesejarahan, karakter dan pola migrasi orang Madura yang muncul pada
perantauan cenderung berada dalam pusaran tema yang heterogen, meski harus
diakui bahwa tingkat kedalamannya relatif ‘monolit’ antar satu penelitian dengan
penelitian yang lain. Tema-tema penelitian yang sering mengemuka antara lain
tema tentang migrasi & adaptasi (Mulyadi 1978; Ismani 1978; Arifin 1996;
orang Madura di ranah rantau masih menjadi kajian langka. Studi Khusyairi (1989)
politik orang Madura melalui peran tokoh-tokoh informal seperti kiai. Keberadaan
tokoh formal seperti kepala desa atau kepala kampung hanya berkuasa karena
tidak cukup. Para pemimpin formal masih merasa perlu pula untuk meminta
bagi orang Madura pemimpin formal akan dirasakan kurang penting daripada
18
pemimpin informal. Potret politik orang Madura di Lumajang juga cenderung
(ibid : 131). Ia adalah mediator antara dunia setempat dan dunia yang lebih luas.
Menurut Shils (dalam Khusyairi, 1989) para perantara ini, dalam hal-hal tertentu,
mengontrol kesenjangan antara ‘orang terpelajar dan tidak terpelajar, orang kota
Pengaruh tokoh-tokoh agama (kiai) bisa jadi tidak berlaku misalnya dalam politik
pemilihan kepala desa di Madura lebih kental nuansa kekerasannya dari pada
secara demokratis dan kelihatannya yang menang adalah pilihan rakyat. Dalam
yang menentukan siapa akhirnya yang menjadi kepala desa (1989: 175). Eskalasi
semacam ini lebih terasa dan bertahan lama daripada pemilihan lain seperti
Dalam telusur pustaka yang saya lakukan, juga tampak jarang terdapat kajian
mengenai jagat politik orang Madura yang mengulas dinamika antara perantau
Madura dan interkoneksi mereka dengan daerah asal (kampung halaman). Jonge
19
fenomena interkoneksi politik perantau Madura yang ada di Bali dengan dengan
Madura yang ada di Bali–yang kemudian meminjam istilahnya Sidel (1997) lebih
yang ada di Bali untuk dikerahkan dalam suatu event politik pemilihan kepala
desa (pelean klébun). Pengusaha tersebut mengirim kapal carteran bersama sekitar
1000 pemilih, atas biaya pribadi ke Raas – sebuah pulau kecil di ujung timur
pengusaha Madura dan polisi tidak hanya memberikan keuntungan finansial dan
hukum, namun juga kadang-kadang melayani tujuan yang lebih tinggi untuk
menjaga keamanan dan stabilitas bagi masyarakat pada umumnya melalui kontrol
sosial yang hanya mungkin terjadi jika kriminalitas dan ketidakstabilan dibiarkan
eksis pada tingkat yang terkendali. Polisi menawarkan perlindungan migran dan
sebagai imbalannya kedua belah pihak mendapatkan bagian dari keuntungan yang
22
Pada bab 3 dalam tulisan ini, saya akan mengulas mengenai fenomena interkoneksi orang
Madura di Malang dengan kampung halamannya, khususnya yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan mobilisasi politik yang melibatkan beberapa tokoh berpengaruh (blatér ) yang
ada di Malang.
20
dikembangkan dalam antropologi politik, berbeda dengan yang ada dalam ilmu
politik. Ia menekankan politik sebagai salah satu unsur di antara berbagai unsur
lainnya yang ada dalam kebudayaan dan yang satu sama lainnya saling berkaitan
dan saling mempengaruhi, secara keseluruhan ataupun sebagian. Oleh karena itu,
berbagai pranata lain yang secara keseluruhan merupakan sebuah kesatuan yang
bulat yang merupakan gambaran dari masyarakat (Suparlan, dalam ibid: vii). Saya
mendapati signifikansi yang berbeda dari kedua cara pandang tersebut, antara
ilmuwan politik dengan antropolog dalam mengkaji politik. Tidak hanya soal
aksi-reaksi dalam hal keilmiahan, seperti David Easton (1959) sebagai ahli ilmu
politik yang mereaksi barisan antropolog seperti Bailey (1968), Cohen (1969),
Southal (1974)23. Perbedaan serupa juga bisa dilihat dari karya-karya seperti
African Political System (1940) yang diedit oleh Fortes dan Evan Pritchards, yang
sejalan dengan buku Political System of Highland Burma (1954) yang ditulis oleh
Edmund Leach, dan buku yang ditulis oleh Turner Schism and Continuity in
konsep politik yang dibuat oleh Swartz, Turner, dan Tuden yang dibuat dalam
Menurut mereka politik adalah proses-proses yang terlibat dalam menentukan dan
23
Easton (1959) mengatakan bahwa antropologi politik sebenarnya tidak betul-betul ada karena
para ahlinya telah gagal untuk memperlihatkan batas-batas yang membedakan antara sistem
politik dari subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Pandangan ini dibantah
oleh oleh para antropolog politik seperti Bailey, Cohen dan Southall. Menurut mereka, politik
tidak dapat dianalisa secara terpisah dari kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia,
marga, suku bangsa dan lain-lainnya. Lih, Suparlan dalam Balandier, 1986. Hal.vi.
21
pelaksanaan dari tujuan yang ingin dicapai oleh umum tersebut, dan berbagai hasil
yang telah dicapai serta penggunaan dari kekuasaan untuk mencapainya oleh
yang ingin dicapai tersebut. Dengan singkat sebenarnya politik dapat didefinisikan
agar bertindak lebih efektif (Bailey, 2001:1). Menurut Bailey, aturan main ini
terbagi dalam dua. Pertama adalah normatif dan yang kedua adalah pragmatis.
Peraturan yang normatif digunakan untuk melihat apakah suatu tindakan yang
diambil benar atau salah sedang peraturan yang pragmatis lebih untuk melihat
keefektifan suatu tindakan, terlepas apakah tindakan tersebut benar atau salah
(ibid:4). Menurut Bailey, sistem politik dibangun dari struktur politik ditambah
dengan memodifikasi diri atau berubah sama sekali. Proses adaptasi diri struktur
kepaduan sosial tidak berlangsung lama dan tidak konstan. Kehidupan sosial
selalu dalam keadaan fluktuatif, bahkan senantiasa bergeser atau terjadi oskilasi
22
secara terus menerus. Dengan kata lain menurut Leach, kehidupan sosial selalu
memang tidak pernah stabil dan norma-norma sosial umumnya bersifat ambigu
ada konformitas mutlak terhadap norma kebudayaan, karena sebenarnya norma itu
sendiri hanya ada sebagai ketegangan dari kepentingan yang berkonflik dengan
Bailey menjelaskan bahwa terdapat beberapa aturan main yang membentuk suatu
struktur politik. Pertama adalah “hadiah” apa yang mereka dapatkan apabila
mereka menang. “Hadiah” dalam hal ini sarat nilai secara kultural seperti
adanya anggota tim atau personil. Ada tiga kategori personil: (1) komunitas
politik, (2) elit politik, dan (3) pendukung. Ketiga, kepemimpinan atau leadership.
Dari dalam tim yang “bertanding” itu sendiri pemimpin adalah seseorang yang
luar tim, tim lawan memandang pemimpin tim lain sebagai saingan yang
didukung oleh pengikutnya serta sumber – sumber lain. Keempat adalah jalannya
“pertandingan” itu sendiri hingga ditentukannya siapa yang menang dan siapa
yang kalah. Dalam hal ini Bailey memperkenalkan tiga konsep penting untuk
23
mengetahui tentang kekuatan relatif yang dimiliki pihak masing-masing. Kelima
adalah adanya kontrol. Bangunan struktur politik diakui Bailey sangat rentan,
terutama dalam hal rekrutmen dan penggalangan dukungan. Personil yang gagal
pemilik kekuatan mistis seperti ramalan, nubuat, wahyu, dsb dimana nilai – nilai
sangat dibutuhkan pada struktur politik semacam ini. Otoritas ideal senantiasa
memiliki dua karakteristik utama, yaitu netral dan punya kekuatan untuk ditaati
para personil (ibid: 32). Terkadang ‘wasit’ berada dalam posisi ambigu dan
cenderung bertindak kurang tegas terhadap salah satu personil. Untuk itu ia tidak
pernah bisa memenangkan hadiah, meskipun dalam politik ‘wasit’ kadang mampu
untuk menganalisa temuan penelitian saya di Malang. Hal ini berguna untuk
pendatang dengan kehidupan politik di wilayah yang relatif berbeda secara sosial
24
Malang, struktur politik tersebut terbentuk dari berbagai preferensi budaya politik
orang Madura yang juga tidak selalu berjalan konsisten. Tekanan kehidupan baru
di wilayah perkotaan dan situasi politik yang tidak berpihak pada kepentingan
tahun 2013.
Malang (Maret-Juni 2013), saya sedikit banyak mengerti situasi sosial, ekonomi
Madura yang ada Kota Malang, karena sejak 2005 hingga 2010 saya belajar di
salah satu perguruan tinggi yang ada di Kota Malang. Memori sosial saya selama
tokoh lokal Madura adalah modal berharga dalam meniti karir kepenelitian saya di
lapangan, meski dengan durasi amat pendek. Selama penelitian di Kotamadu, saya
menginap di rumah Cak Munadi, seorang juru parkir yang saya kenal dan akrabi
sejak tahun 2008. Melalui jasa Cak Munadi inilah, saya mendapatkan informasi
25
Malang. Khusus untuk Cak Munadi–yang juga menjadi informan penelitian–saya
berusaha menjelaskan latar belakang penelitian saya secara utuh sesuai prinsip
etika penelitian (Spradley, 2006:51-59), tetapi tidak semua informan saya jelaskan,
ciri dan perilaku orang Madura, kondisi sosial-ekonomi, gagasan dan norma yang
Metode atau cara saya mengumpulkan data-data penelitian tersebut adalah melalui
observation); (d) wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam; dan (e)
tidak berjalan secara hierarkis dan gradual, tetapi berlangsung secara tumpang
tindih untuk saling melengkapi. Misalnya, pengamatan saya (terjadi secara tak
etnis pendatang terbesar di Malang sudah saya dapati sejak lama, yang kemudian
jadi modal berharga dalam pengamatan yang lebih ‘formal’yakni dalam penelitian
kali ini. Untuk metode kajian pustaka, saya mendapati beberapa kepustakaan
24
Misalnya mengenai pertimbangan informed consent (persetujuan informan) yang menurut
Davies (1999:51) juga harus berdasar pada pemahaman dan bebas dari paksaan serta keamanan
dan kenyamanan informan, khususnya menyangkut persoalan confidentiality (kerahasiaan).
Khusus hal ini, saya kerap mendapat previlege yang teramat istimewa sekaligus mengabaikan
prinsip etika penelitian tersebut. Modal kultural saya sebagai orang Madura cukup untuk
membuat para informan untuk tidak menganggap saya sebagai ‘orang luar’. Selain itu saya kerap
mengalami problematika dalam menjelaskan kepentingan akademis saya pada informan yang
kurang mengetahui perkembangan di dunia pendidikan. Tentu ini saya nikmati tidak dalam
konteks siapa yang lebih tinggi tingkat pendidikannya?. Pertimbangan lain adalah untuk
mendapatkan kekomprehensian data sesuai dengan derajat kebutuhannya tanpa melanggar etika
penelitian yang teramat prinsip.
25
Periksa jenis-jenis data kualitatif dalam Ahimsa-Putra. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya; Sebuah
Pandangan. Makalah dalam kuliah umum ”Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora”
diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009, hal.18.
26
berharga, khususnya yang studi-studi yang membahas tema-tema tentang Madura,
seperti Ismani (1978), Jonge (1989a; 1989b; 2004; 2011), Husson (1997), Rifai
(2007), Rozaki (2004), Wiyata (2006) dan Fathony (2009) serta kepustakaan lain
pernak-pernik, penjaja rokok, dll. Pengamatan ini akan saya selingi dengan upaya
memperkenalkan diri, mengobrol ringan seputar kapan dan apa motivasi mereka
juga saya lakukan misalnya ketika kampanye terbuka salah satu calon
ikut tenggelam dalam hiruk pikuk warga yang berduyun-duyun mendatangi lokasi
kampanye. Selama seharian mereka rela menunggu dan tidak bekerja. Sama sekali
tidak terlihat antusiasme warga yang ingin mendengarkan visi-misi kandidat calon
iming-iming hadiah umrah dan sejumlah sepeda motor serta peralatan rumah
tangga lainnya. Contoh lain dari metode pengamatan dan mendengarkan, misalnya
ketika saya (diijinkan) mengikuti salah satu ‘rapat terbatas’antara perwakilan para
27
blatér dengan salah satu kandidat wakil wali kota Malang. Saya meleburkan diri
dalam rombongan para blatér yang notabene adalah tim sukses calon Wakil
Walikota tersebut, tanpa diperkenalkan identitas diri saya dan atas kepentingan
apa saya berada disana. Klik pribadi dengan salah satu blatér sudah saya jalin
sebelumnya. Beberapa angle menarik dari laku politik para blatér saya temukan
disitu. Misalnya adegan cium tangan salah satu blatér kepada sang calon wakil
walikota, yang menurut saya sarat makna simbolik. Gambaran metode dan
elan vital dari observasi partisipasi dan wawancara mendalam dengan cara
sosial kelompok dan bagaimana ia saling terkait satu sama lain (Davies, 1999:67).
Laporan penelitian ini dibagi dalam lima (5) bagian (bab). Bab Satu (I)
adalah Pendahuluaan yang berisi tujuh (7) sub-bab, yaitu (1) Latar Belakang; (2)
Masalah Penelitian; (3) Ruang Lingkup, Fokus dan Tujuan Penelitian; (4) Kajian
Pustaka; (5) Orientasi Teoritik; (6) Metode dan Jalannya Penelitian; dan (7)
Sistematika Penulisan. Bab Dua (II) laporan penelitian berisi mengenai gambaran
umum perantau Madura yang ada di Kota Malang, yang diberi judul “Orang
Madura di Kota Malang; Sebuah Telaah Awal”. Bab Dua ini terdiri dari empat (4)
sub-bab, yaitu (1) Pekerja dan Pelajar : Dua Potret Asimetris Pendatang Madura
di Kota Malang; (2) Kotamadu dan Sketsa ‘Kampung’ Madura; (3) Gambaran
Keluarga Madura di Kotamadu; dan (4) Orang Madura dan Budaya Pasar.
28
Bab Tiga dan Bab Empat adalah inti tulisan yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Bab Tiga (III) berjudul
“Jagat Politik Orang Madura di Perantauan” terdiri dari tiga (3) sub-bab yaitu (1)
Agama dan Budaya Politik Orang Madura; (2) Politik Orèng Kènè’; dan (3)
Madura dalam Dinamika Politik Kota Malang” terdiri dari lima (5) sub-bab yaitu:
(1) Gambaran Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang Tahun 2013; (2)
Ziarah Wali; (3) Politik Uang; (4) Elit Lokal di Kotamadu dan Kekuasaannya; dan
(5) Analisis Antropologi Politik. Pada sub-bab ini terdapat pembahasan mengenai
analisis struktur politik di Kotamadu yang terdiri dari: hadiah dan nilai-nilai
dengan Bab Lima (V) sebagai kesimpulan dan sebuah uraian reflektif atas
29
Peta Kecamatan Kedungkandang
30