Anda di halaman 1dari 31

Orang Madura merupakan ‘the most favourable people’ yang watak dan kepribadiannya patut dipuji dan

dikagumi dengan setulus hati. Tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini
yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang
Madura. Mereka sangat bersungguh-sungguh dan lugu serta lugas dalam berkata-kata.
Oleh karena itu, kalau orang Madura menyatakan sesuatu maka demikianlah isi hati pikirannya,
dan jika mengungkapkan suatu bentuk sikap tertentu biasanya karena memang begitulah muatan batinnya

(Emha Ainun Najib, 2005)

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“...tukang parkire wong Meduro,


sing dodolan wong Meduro,
nganti Bupatine ya wong Meduro...”

(Fatah, kawanua kampus di Malang)

Itulah sepenggal obrolan yang selalu saya ingat ketika diskusi dengan salah

satu teman semasa kuliah di Malang. Diskusi ringan dengan dominasi tutur boso

walikan1 khas Malang, Jawa Timur. Untuk menyebut “Madura”, teman saya –

seperti halnya orang lain–sering menggunakan kata Arudam sebagaimana ker

untuk mengganti kata rek, atau kera ngalam menunjuk pada kata Arek Malang

atau Arema(nia)–suporter klub sepak bola Arema Indonesia. Penggalan diatas

biasa muncul dalam ranah obrolan ringan kami yang multitema, dari aras lokal

sampai nasional. Secara sederhana saya menangkap makna yang terkandung dari

pernyataan tersebut – bahwa ada domestikasi tema-tema diskusi yakni mengenai

Malang beserta problem dan perkembangannya. Misalnya, mereview kembali apa

1
Boso walikan (bahasa walikan, bahasa yang di balik, pen.) menjadi trade mark bagi orang
Malang terutama anak-anak mudanya. Selain di Malang, boso walikan juga terkenal di
Yogyakarta. Perbedaan boso walikan Malang dan Yogya adalah cara membaliknya. Kalau di
Malang, kata dibalik dengan cara straight forward, sedangkan di Yogya kata-kata di-"kode"-kan
dengan menggunakan basis ke-20 aksara Jawa dan huruf di geser sepuluh menyusun sebuah
korespondensi tertentu, seperti : Mas menjadi dab, Matamu menjadi dagadu, dan lain-lain. Lihat,
Sugeng Pujileksono & Rinekso Kartono. 2007. Model Pelestarian Budaya Lokal Melalui Bahasa
Walikan Malangan Dalam Menciptakan Integrasi Di Kota Malang. Lembaga Penelitian
Universitas Muhammadiyah Malang. Bandingkan dengan Dewa Putu Wijana. Wacana Dagadu,
Permainan Bahasa dan Ilmu Bahasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar FIB UGM tanggal 27
Februari 2003.

1
yang disampaikan teman saya tersebut, bahwa Malang diam-diam “dikuasai”

orang Madura – dari tukang parkir sampai Bupatinya orang Madura2.

Berikutnya saya sampai pada titik perenungan bahwa memahami keberadaan

etnis Madura yang ada di Malang tidak sesederhana hasil penelitian Ismani (1978)

yang mengonsentrasikan perantau Madura pada bidang pekerjaan-pekerjaan kasar

dan perdagangan3. Atau mengenai kehidupan petani Madura di Pedukuhan Baran

Kelurahan Buring, Kota Malang (Soetjipto, 2008:101-102) maupun gambaran

Fathony (2009) mengenai pola pemukiman etnis Madura di Pegunungan Buring,

Desa Ngingit, Kabupaten Malang. Tidak dipungkiri bahwa ada anasir lain ketika

menyebut istilah “Perantau Madura”–di luar konklusinya Isnani yang menyebut

bahwa para perantau Madura terdiri dari orang-orang yang di daerah asalnya tidak

mempunyai kedudukan atau jabatan apa-apa serta berasal dari status sosial rendah

dan kebanyakan petani (1978, ibid: 163). Dalam perkembangannya saat ini,

spektrum tersebut semakin meluas dan mengalami pluralisasi dimensi sosial,

dimana tidak hanya mereka yang berada dalam ‘kelas bawah’, tetapi mereka yang

berada pada kelas sosial menengah ke atas membangun pilihan untuk menetap

2
Bupati Malang (2010-1015) di jabat oleh Rendra Kresna, berasal dari Pamekasan-Madura.
Diskusi spontan dan tentatif dengan Fatah, sekitar awal-awal tahun 2011.
3
Isnani menyebut bahwa seringkali jenis perdagangan tertentu bisa menunjukkan asal daerahnya
di Madura. Misalnya pedagang ayam di Pasar Besar Malang biasanya berasal dari Kecamatan
Tragah, Bangkalan. Perempuan penjual kacang, tales, kelapa, rokok berasal dari Kecamatan
Proppo, Pamekasan dan penjual sate dan soto berasal dari Sampang. Lih, Ismani. 1978.
Kehidupan Orang-Orang Madura di Kota-Kota Perantauan. Proyek Penelitian Madura,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam rangka kerjasama Indonesia-Belanda. Hal.
169-170. Selain Pasar Besar, para pedagang Madura ini juga tersebar di Pasar Balenan.
Mengenai beberapa jenis perdagangan tertentu yang dimonopoli secara kategorial berdasar asal
daerah di Madura, saya belum menemukan preferensi yang memadai mengapa Kabupaten
Sumenep tidak disebut dalam penelitian Isnani maupun berdasar pengalaman pribadi saya (lebih
kurang 6 tahun tinggal di Malang) ketika berinteraksi dengan para pedagang tersebut -
kebanyakan memang berasal dari tiga kabupaten di Madura, yakni Pamekasan, Sampang, dan
Bangkalan. Sisi lain bahwa beberapa teman-teman mahasiswa yang saya kenal di kampus
maupun di organisasi berbasis ke-Madura-an rata-rata adalah orang Sumenep dan Pamekasan.
Apakah hal ini berkait dengan tingkat kesejahteraan dan latar belakang ekonomi serta persepsi
mereka mengenai urgensi pendidikan antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain
memang berbeda? Tentu hipotesa ini menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh lagi.

2
atau sekurang-kurangnya sekadar ingin bekerja dan membangun karir di Kota

Malang. Orang Madura dalam berbagai segmentasi sosial tersebut memiliki

perbedaan kesejarahan dan latar belakang dalam meninggalkan kampung

halamannya, meskipun perbedaan tersebut dapat disatukan dalam suatu kategori

tertentu seperti spirit perubahan ke arah yang lebih baik, khususnya di bidang

ekonomi dan sosial.

Dua kategori sosial mengenai orang Madura yang berada di Kota Malang

secara khusus ingin saya gambarkan dengan sederhana. Kategori pertama adalah

‘Madura Pelajar’ yang diisi oleh orang-orang Madura yang mengenyam

pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Kota Malang. Bagi anak-anak

Madura, Kota Malang menjadi destinasi pendidikan tinggi favorit selain kota

besar lainnya seperti Surabaya, Yogyakarta, Jakarta dan Jember. Kecenderungan

memilih Malang sebagai kota untuk pendidikan lanjutan tentu bukan tanpa alasan.

Setidaknya para siswa-siswa SMA di Madura sudah memiliki preferensi sejak dini

melalui program diseminasi dan promo yang dilakukan oleh senior mereka yang

tergabung dalam organisasi berbasis kemaduraan di tiap-tiap kampus yang berada

di Kota Malang4. Para mahasiswa asal Madura memang memunyai

kecenderungan mengelompok sesama orang Madura, baik melalui organisasi,

kontrakan bersama, maupun tinggal dengan sanak famili yang memunyai rumah

di Malang. Pascalulus dari perguruan tinggi, mereka lebih banyak menghabiskan

waktu untuk mencari peluang pekerjaan di Malang atau kota besar lainnya dari

pada kembali ke kampung halaman, dimana pilihan karir dan pekerjaan dirasa

4
Contoh organisasi mahasiswa berbasis kemaduraan al: Ikatan Mahasiwa Pamekasan (IMPAS),
FKMS (Forum Komunikasi Mahasiswa Sumenep), Komunitas Sapo Lèntè, dll.

3
sangat sulit, monolit, atau kurang beragam sebagaimana halnya di Malang atau di

kota-kota besar lainnya5.

Kategori kedua adalah ‘Madura Pekerja’. Mereka inilah potret dominan

pendatang dari Madura yang usia migrasinya lebih lama dari pada kelompok

kategori pertama. Di Kota Malang, kelompok ini berada di beberapa titik

aglomerasi yang umumnya terkonsentrasi di daerah periferal kota, seperti

Kedungkandang, Mergosono, Gadang dan Kotalama. Umumnya mereka menjadi

pekerja rendahan di berbagai sektor informal, seperti pedagang, tukang parkir,

sopir dan tukang becak. Pekerjaan ini lebih menyesuaikan dengan karakter

kekotaan dimana bekerja di sektor pertanian tidak mungkin dilakukan, sekaligus

memang sengaja dihindari, menyesuaikan dengan niat awal mereka untuk hidup

lebih baik dengan cara meninggalkan tradisi pertanian di kampung halaman.

Sementara di daerah Buring, pekerjaan orang-orang Madura adalah pekerjaan

tanah leluhur. Mereka tetap bertani dan memelihara sapi. Pemukiman penduduk

tidak sepadat di kota. Meskipun secara administratif sebagian wilayahnya masuk

Kota Malang, tetapi secara geografis lebih dekat ke wilayah Kabupaten Malang,

termasuk juga karakteristik kehidupannya lebih dominan di sektor pertanian

(Fathony, 2009).

Wilayah Kotamadu adalah salah satu kawasan di Kota Malang dimana

mayoritas penduduknya merupakan etnis Madura. Wilayah ini menjadi semacam

distrik konsentrasi’yang menampung pendatanag dari berbagai wilayah di Madura.

Kebanyakan mereka berasal dari Pamekasan yakni wilayah Proppo dan Tlanakan.

5
Dalam konteks ini, mahasiswa Madura sering mengalami pilihan yang problematik, antara
mengikuti tuntutan pemikiran puritan orang tua yang lebih memandang prestise ‘pekerjaan
bersepatu’ (guru, pekerja kantoran/PNS) dari pada keinginan putra-putri mereka yang ingin
menjelajah sektor swasta seperti berbisnis/berdagang. Tidak jarang para orang tua yang kecewa
melahirkan sinisme; “kalau hanya berdagang, untuk apa kami menyekolahkan tinggi-tinggi”.

4
Dua wilayah ini identik dengan tradisi lang-Malangan, suatu ungkapan lokal yang

menggambarkan kebiasaan merantau ke Malang, seperti menjadikan Malang

sebagai beranda rumah mereka.

Foto 1. Perkampungan Kotamadu, salah satu kawasan


pemukiman padat penduduk orang Madura di Kota
Malang

Foto : Khotim Ubaidillah, 2013

Beberapa wilayah lain dengan tingkat populasi lebih sedikit dari Kotamadu

juga dihuni perantau dari Blega (Bangkalan), Kramat dan Maduang (Sampang)

dan terasa jarang terdengar pendatang yang berasal dari wilayah di Sumenep. Di

Kotamadu, rumah tinggal mereka berdesak-desakan, tidak tertata dengan rapi.

Antara satu rumah saling berhadapan, di tengah-tengah rumah tersebut terdapat

gang-gang yang umumnya tidak bisa dilewati motor berpapasan. Perkembangan

pemukiman warga semakin bergerak menjauhi pinggiran DAS Brantas yang

sudah sesak dengan rumah warga pendatang proto-Madura di Kotamadu.

Dua kategori di atas sebenarnya merupakan kategori emic yang bersumber

dari orang-orang Madura di Malang, khususnya di Kotamadu. Mereka umumnya

melihat ‘kami’; ‘anak-anak sekolahan’ atau ‘orang kampus’ – yang notabene

berada di wilayah Barat ‘lebih beruntung’ dari pada mereka yang bermukim di

5
wilayah timur Kota Malang. Kaum sekolahan (kuliah) dianggap calon

orang-orang sukses, calon ponggebeh (pegawai) yang ‘kerjanya sebentar tanda

tangan, sebentar kemudian dapat uang’. Berbeda dengan mereka ‘yang jika tak

bekerja berarti tak ada yang dimakan’. Suatu ungkapan yang kadang

dilebih-lebihkan, karena faktanya beberapa di antara mereka kondisi

perekonomiannya lebih stabil dari sebagian orang tua yang menyekolahkan

anaknya di Malang. Secara sadar mereka mengaku tidak bisa menembus pasar

kerja modern karena tidak punya ijasah sekolah, alias ‘tidak terpelajar’. Cara

pandang mengenai pendidikan semacam ini juga diwariskan (dipraktikkan)

kepada generasi mereka selanjutnya. Sarjana-sarjana muda maupun anak kuliahan

menjadi fenomena mahal di Kotamadu. Umumnya mereka menyelesaikan sekolah

hingga tingkat SMA atau mondok di pesantren-pesantren. Kondisi ini lebih

progresif tinimbang orang tua mereka yang hanya lulusan SD dan sebagian hanya

tamatan pesantren.

Hal mengejutkan terjadi dalam dunia politik, yang seakan-akan berbanding

terbalik dengan latarbelakang pendidikan mereka. Soal politik bagi mereka adalah

soal kekayaan pengalaman, karena pada ukuran-ukuran praksis tertentu,

pengetahuan dan kemampuan mereka melebihi sarjana politik ataupun konsultan

politik sekalipun. Penguasaan mereka akan mekanisme-mekanisme politik, tingkat

keterpengaruhan seorang tokoh, kalkulasi kalah-menang, regulasi kerja di

lapangan, hingga wilayah yang paling subtil mengenai ‘transaksi politik’ pernah

mereka alami. Bagi sebagian orang (tokoh) yang punya jam terbang lebih,

momentum politik seperti Pilkada, Pemilu Legislatif (Pileg) hingga Pilkades

adalah pekerjaan musiman yang sarat enigma (teka-teki) ke(ber)untungan

6
ekonomi, serta sebagian ke(ber)untungan politik. Sementara bagi masyarakat

Madura secara umum di Kotamadu, jika tiba pada suatu moment politik,

pendiskursusan politik menjadi sesuatu yang jamak dilakukan di rumah tangga

orang-orang Madura. Yang lain bekerja sesuai level dan peran sosial

masing-masing. Dalam konteks pertautan agama dan politik -- sebagaimana sering

didengungkan oleh peneliti Madura (Skinner 1959; Ward 1974; Jonge 1989/2011;

Khusyairi 1989), aras politik orang Madura di Kota Malang masuk dalam arena

dialektika yang menarik dan dinamis pada satu sisi, dan masuk fase-fase kritis di

sisi yang lain. Sederhananya, relasi agama dan politik dalam

pertimbangan-pertimbangan tertentu sudah tidak semesra dahulu, atau menjadi

faktor determinan kemenangan politik, tetapi ada dimensi sosial-ekonomi dan

kultural yang turut memberikan sumbangsihnya (Khusyairi, 1989:131).

Dalam diskursus akademis, penjelajahan budaya politik orang Madura di

ranah rantau masih menjadi kajian langka. Studi Khusyairi (1989) mengenai

orientasi politik dan kepemimpinan lokal orang Madura di Lumajang masih

berkisar seputar determinasi agama (Islam) dalam memengaruhi perilaku politik

orang Madura melalui peran tokoh-tokoh informal seperti kiai. Kajian mendalam

seputar dinamika yang terjadi diantara sesama orang Madura perantauan dan

interkoneksi mereka dengan daerah asal masih minim diketengahkan. Studi ini

hadir untuk memperkaya lanskap kajian sosial-budaya seputar orang Madura di

perantauan, khususnya menyangkut bidang antropologi-politik.

1.2 Masalah Penelitian

Keberadaan orang-orang Madura sebagai kelompok etnis pendatang terbesar

di Kota Malang, dalam perkembangannya tidak hanya berdimensi ekonomi

7
ataupun pendidikan, tetapi mampu merambah ke dalam jagat politik lokal Kota

Malang. Keberhasilan politik dewasa ini yang lebih ditolakukuri oleh jumlah

pemilih (suara) terbanyak, menjadi alasan yang membenarkan keberadaan

komunitas Madura di Kotamadu sangat diperhitungkan. Dengan menggunakan

kajian antropologi politik, maka masalah penelitian ini dirumuskan melalui

sebuah pertanyaan; bagaimana dinamika orang-orang Madura dalam politik di

Kota Malang? Penelitian ini mengambil studi kasus pemilihan Walikota dan

Wakil Walikota Malang tahun 2013. Secara lebih jauh, studi ini ingin

mengeksploirasi budaya dan artikulasi politik orang-orang Madura di perantauan,

dualisme politik (politik trans-regional), gambaran elit lokal Madura dan

pengaruhnya, politik orèng kènè’ (orang kecil), terbentuknya faksi-faksi politik

yang ikut melengkapi jagat politik kaum rantauan Orang Madura dalam dinamika

politik Kota Malang.

1.3 Ruang Lingkup, Fokus dan Tujuan Penelitian

Kota Malang dipilih sebagai wilayah penelitian didasarkan atas beberapa

argumentasi. Pertama, keberadaan etnis Madura di Malang sering dikaitkan dan

banyak disebut dalam literatur sebagai tujuan migrasi orang Madura di Jawa

Timur selain daerah-daerah pandhalungan6, seperti Kabupaten Pasuruan,

6
Istilah ‘pandhalungan’ berarti ‘berbicara atau berkata dengan tiada tentu
adabnya/sopan-santunnya (Prawiroatmodjo, 1981:53-81). Menurut Kusnadi (2001), dalam
konteks realitas masyarakat dan kebudayaan di kawasan ini penggunaan bahasa keseharian
masyarakat umumnya adalah bahasa kasar (ngoko) atau bahasa yang struktur gramatikanya
belum mapan, seperti ditandai dengan intensitas interferensi leksikal dan gramatikal.
Kekurangmapanan aspek gramatika ini terjadi karena interaksi sosial dalam kehidupan
masyarakat dilakukan oleh masing-masing pemilik kebahasaan (Jawa dan Madura) yang
kedudukannya sama kuat atau sama dominan. Secara kewilayahan, Sutarto menjelaskan bahwa
daerah kebudayaan pandhalungan merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara dan
bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya
Madura. Secara budaya, yang disebut masyarakat pandalungan adalah masyarakat hibrida, yakni
masyarakat berbudaya baru akibat terjadinya percampuran dua budaya dominan. Dalam konteks

8
Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang, dan kota besar

lainnya seperti Surabaya, Jakarta, Yogyakarta7, dan di luar Jawa (Ismani, 1978;

Jonge, 1989; Wiyata: 2006, Rifai:2007). Dari sekian studi dan penelitian yang

dilakukan sebelumnya, hanya sedikit saja yang mengulas mengenai keberadan

etnis Madura di Malang Raya, sebut saja antara lain studi yang dilakukan

Soetjipto (2008) dan Fathony (2009).

Berikutnya adalah harus diakui, dengan menyandang predikat sebagai

kelompok etnis pendatang terbesar di Malang, orang Madura begitu lekat dalam

dinamika sosial-ekonomi-masyarakat di Kota Malang. Istilah ‘Arema’ (Arek

Malang) sering diplesetkan menjadi ‘Arek Madura’. Sementara di

kampus-kampus, istilah Plat-M8 kerap digunakan mahasiswa untuk menyebut

teman-teman mereka dari Madura, selain tentu banyak istilah atau nama

organisasi ‘formal’ berbasis kemaduraan yang ada di tiap-tiap perguruan tinggi.

Pandangan umum masyarakat yang sering berkembang dan nyaris ‘tidak

terbantahkan’ adalah perilaku dan dinamika ekonomi orang Madura, khususnya

berkaitan dengan ekonomi skala mikro dan ekonomi pasar. Dalam sebuah obrolan

singkat saya dengan Edi Rumpoko (Wali kota Batu), ia mengajukan pertanyaan

eufemistis; bagaimana mungkin keadaan ekonomi Kota Malang bisa maju tanpa

peran orang Madura?9. Tentu bukan pekerjaan yang sulit untuk membuktikan

tesis ini. Sekali waktu datanglah ke Pasar Besar. Pasar ini merupakan pusat

perekonomian terbesar Malang Raya yang lokasinya berada di sebelah timur

kawasan “tapal kuda” Jawa Timur, budaya pandalungan adalah percampuran antara dua budaya
dominan, yakni budaya Jawa dan budaya Madura. Lihat, Ayu Sutarto (2006) dan Arifin (2006).
7
Lihat studi yang dilakukan Mulyadi (1978) maupun Ahimsa-Putra (1980).
8
M adalah plat nomor kendaraan bermotor untuk wilayah Madura.
9
Wawancara dengan Edi Rumpoko, tanggal 14 April 2013.

9
Alun-alun Kota Malang. Pedagang pasar ini mayoritas adalah orang Madura10

atau sekurang-kurangnya keturunan Madura, mulai dari pedagang sayur,

pedagang pakaian, pernak-pernik, hingga pekerjaan lain pendukung ekonomi

pasar, seperti tukang becak dan juru parkir. Simaklah interaksi antar para

pedagang. Kebanyakan komunikasi mereka menggunakan bahasa Madura, atau

bahasa Jawa dengan logat Madura yang amat tipikal. Sangat mudah mereka

dikenali, meskipun sebagai orang baru tidak gampang mengakrabi mereka. Bagi

pengunjung atau pembeli, bahasa Madura lebih dari sekadar interaksi sosial, tetapi

berfungsi juga untuk mempermudah transaksi jual-beli (penawaran), termasuk

juga akses terhadap sumber daya ekonomi lokal (Wiyata, 2004:4).

Kotamadu yang menjadi basis penelitian ini merupakan sebuah kelurahan

yang masuk dalam wilayah Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang11. Jumlah

penduduk di Kotamadu mencapai 28.865 jiwa, merupakan jumlah penduduk

terbesar kedua di Kedungkandang setelah Kelurahan Sawojajar12 (BPS Kota

Malang, 2012:5). Hampir 80% penduduknya adalah orang Madura atau keturunan

orang Madura. Penelitian ini ingin memberi sebuah ikhtisar bahwa keberadaan

orang Madura di Malang lebih dari sekadar kelompok etnik yang sui generis

(unik) – sekurang-kurangnya jika ditérop ong dari fokus kajian yang ingin penulis

dalami, yakni bidang antropologi politik dengan studi kasus pada pemilihan

Walikota dan wakil Walikota Malang tahun 2013. Secara lebih jauh, studi ini

ingin mengeksploirasi budaya dan artikulasi politik orang-orang Madura yang ada
10
Secara khusus saya akan membahas fenomena ini dalam sub-bab 2. Orang Madura dan Budaya
Pasar hal.50-54.
11
Kotamadu adalah nama samaran.
12
Jumlah penduduk Kotamadu sangat kontras jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di
ibu kota kecamatan Kedungkandang yang hanya berjumlah 9.836 jiwa. Sementara itu, Kelurahan
Sawojajar dengan penduduk terbanyak memang dikenal lebih kosmopolit dan menjadi salah satu
pusat keramaian di Kota Malang. Secara keetnikan, penduduknya lebih heterogen dibanding
dengan kelurahan Kotamadu yang notabene didominasi etnis Madura.

10
di Kota Malang. Potensi pemilih Madura, khususnya di Kotamadu sangat besar13,

dengan karakteristik dan model pendekatan politik yang (didesain) berbeda

dengan wilayah yang lainnya. Orang-orang Madura di Kotamadu dalam setiap

momentum politik prosedural seperti pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif

hingga pemilu presiden akan selalu diperhitungkan sekaligus diperebutkan.

Beberapa pola permainan politik dalam berbagai momentum tersebut relatif statis

pada satu sisi, dan dinamis pada sisi yang lain. Pengertian statis misalnya: masih

bertahannya politik patrimonial tokoh-tokoh Madura, politik uang, pendekatan

kekeluargaan (kekerabatan), dll. Sementara praksis dari semua itu mengalami

dinamisasi dan dialektika yang berbeda antar satu momentum ke momentum yang

lain. Bagaimanapun kebakuan pola-pola permainan politik yang sudah terbangun,

tidak selalu berbanding lurus dengan hasil akhir. Disinilah terjadi tali-temali

antara ‘tradisionalisme politik’ orang-orang Madura dengan karakter kulturalnya

yang khas dengan modernisme politik dalam praktik-praktik demokrasi prosedural.

Pada konteks yang sama, ditemukan juga praktik politik trans-regional, dimana

orang Madura di Kotamadu tidak hanya terlibat dalam dinamika politik lokal Kota

Malang, tetapi mereka juga diperhitungkan dalam konstelasi politik kampung

halaman yang ada di Madura.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengetahui dinamika, budaya

dan artikulasi politik orang-orang Madura di perantauan; (2) penelitian ini

berupaya menemukan dan mengeksploirasi pola-pola umum karakter politik orang

Madura di perantauan, seperti politik patrimonial, relasi orèng kènè’ (orang kecil)

dan orèng rajeh (orang besar/blatér ), pendekatan kekerabatan, dualisme politik

13
Dari jumlah penduduk Kotamadu yang mencapai 28.865 jiwa, 24.657 penduduknya masuk
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) (PPS Kotamadu, 2013).

11
dan interkoneksi dengan daerah asal, dll; (3) penelitian ini ingin menambah

perbendaharaan khazanah kajian ilmu sosial, khususnya menyangkut keberadaan

orang Madura di perantauan yang cenderung diidentifikasi pada dimensi

sosial-ekonomi saja, tetapi sangat langka – untuk mengatakan tidak ada – kajian

yang membahas persoalan budaya politik orang Madura di ranah rantau secara

komprehensif.

1.4 Kajian Pustaka

Suatu keanehan bahwa istilah ‘merantau'14 sama sekali tidak populer bagi

kalangan orang Madura sendiri, dan belum ada satupun perbendaharaan istilah

lokal yang secara konsisten digunakan oleh orang-orang Madura untuk

melukiskan fenomena bepergian atau kebiasaan penduduk keluar dari kampung

halamannya. Keanehan tersebut belum juga terjawab dalam banyak catatan

monografi tentang Madura (Jonge, 1989b; Husson, 1997; Wiyata, 2004; Rifai,

2007). Para peneliti Madura ini secara bergantian menggunakan istilah ‘merantau’,

‘migrasi’, ‘bepergian’, dll, untuk menjelaskan pengertian akan fenomena yang

sama. Hanya ada beberapa istilah lokal saya temui, misalnya dalam karya Fathony

(2009:22) yang menyebut istilah “naek” (naik) dan “toron” (turun) untuk

menjelaskan fenomena pulang-perginya orang Madura dari tanah Jawa ke tanah

kelahirannya15. Istilah ini agak kontekstual dengan locus studi yang saya lakukan,

14
Istilah ‘rantau’ lebih dekat dengan idiom Minangkabau. Dalam hal ini Naim (1984)
memberikan pengertian: “Leaving one’s cultural territory voluntarily whether for a short or
long time, with the aim of earning a living or seeking further knowledge or experince, normally
with the intention of returning home.”. Lih. Mochar Naim.1984. Merantau: Pola Migrasi Suku
Minangkabau. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Dalam kamus ilmiah, kata “rantau”
diartikan sebagai: pantai teluk; lengkung teluk; susur pantai; (me)rantau: berjalan menyusuri
rantau; pergi ke negeri lain (seberang). Lih. Partanto & Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya : Arkola. Hal. 652.
15
Menurut Fathony pada dasarnya kebudayaan masyarakat Madura juga merupakan kebudayaan
Jawa. Mereka percaya bahwa dirinya keturunan orang Jawa. Dalam sejarah dan legenda yang

12
sekaligus menyegarkan memori masa kecil bahwa istilah ongghe (naek) dan ka

jaba (ke Jawa) lebih sering digunakan orang-orang di kampung saya. Dulu, para

awak bus trayek Madura - Jawa, lebih sering menggunakan istilah ‘jaba’ (Jawa)

dalam menawarkan jasa angkutan ke Jawa bagi para penumpang yang ada di

terminal-terminal di Madura.

Keanehan semacam ini wajar saya kemukakan. Karena fenomena merantau

orang Madura bukanlah tradisi sepele16 – sekurang-kurangnya jika dilihat dari sisi

historis dan kekuatan daya tahannya yang mampu bertahan hingga sekarang.

Pelacakan historis Lawrence Husson (1997) menyebut bahwa tradisi merantau

orang Madura sudah dimulai sejak abad ke 13 hingga abad 16. Periodisasi ini

lebih dilandasi oleh nuansa perbudakan orang-orang Madura yang sengaja ditarik

ke Jawa Timur untuk bekerja di lahan pertanian dan memperkuat kerajaan

berlaku pada masyarakat Madura, tampak bahwa kecenderungan itu amat kuat. Kecenderungan
tersebut tersirat dalam penggunaan istilah “naik” dan “turun”. Kalau mereka pergi ke Jawa,
mereka menganggap atau mengatakan “naek” (naik) meskipun kedua pantai penyeberangannya
sama-sama landai; dan kalau kembali dari Jawa ke Madura mereka mengatakan akan toron
(turun) (Fathony, 2009: 22). Mengenai hal ini, bisa dilacak sumber-sumber sejarah seperti
Nagarakertagama dan Pararaton yang menunjukkan hubungan erat antara Madura dan Jawa
Timur. Lombard (dalam Husson, 1997: 80) menulis bahwa nama ‘Madura’ muncul tiga kali
dalam Nagarakertagama, khususnya di Pupuh XV, di mana dikatakan bahwa Madura tidak akan
dihitung di antara kerajaan asing karena selalu saja menjadi bagian dari tanah Jawa. Madura
tidak dianggap sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian bawahan yang lebih
besar dari Kerajaan Singasari di abad ke-13 dan kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Wiryoprawiro (1986) mengatakan bahwa orang Madura menganggap bahwa tanah Jawa adalah
tanah para leluhurnya yang harus dipuja dan dihormati. Apapun argumentasi historis yang
menjelaskan ‘kemesraan’ hubungan Jawa-Madura, dalam praktik-praktik relasionalnya ternyata
tidak lebih dari subjugasi atau superioritas kebudayaan Jawa yang lebih dominan terhadap
inferioritas Madura. Eksklusifitas orang Madura yang hampir tidak memunyai alasan dan
kebutuhan untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Jawa adalah korban dari prasangka
mendalam tentang gambaran karakter mereka yang dianggap kasar dan brutal. Di lokasi
penelitian saya, segregasi pemukiman adalah salah satu jawaban dari situasi ini. Selain itu, di
banyak tempat di Malang, saya sering menjumpai resistensi orang Madura terhadap Jawa melalui
model perkawinan eksogami (menikah sesama orang Madura). Hal ini berlaku juga sebaliknya.
Tetapi praktik-praktik ambivalen juga pernah saya temui, misalnya bagaimana gambaran prestise
sosial dan kebanggaan laki-laki Madura jika mendapatkan istri seorang Jawa daripada beristri
dengan kerabat atau tetangganya sendiri.
16
Pada sensus 1930, etnis Madura masuk urutan ke enam dalam daftar suku bangsa besar (mayor
ethnic groups) di Indonesia yang memiliki intensitas migrasi tinggi diantara 15 suku bangsa yang
lain. Lihat Mochtar Naim. 1972. Merantau dan Pengaruhnya terhadap Pembangunan Daerah di
Indonesia, dalam Prisma, Juni 1972.

13
Majapahit. Dari abad ke-16 hingga 18 abad banyak perang di Jawa yang

melibatkan tentara Madura. Dari 1845 hingga 1880, tirani pangeran Madura dan

penurunan ekonomi menyebabkan migrasi penduduk yang semakin besar.

Dimulai pada periode yang sama dan seterusnya, ekonomi perkebunan di Jawa

Timur menarik tenaga kerja Madura dalam jumlah yang besar juga. Depresi tahun

1929, yang melanda kepulauan di awal tahun 1930, pendudukan Jepang antara

tahun 1942 dan 1945, serta gangguan politik di Indonesia sampai dengan tahun

1965, adalah suksesi episode menyakitkan bagi pulau ini dan menyebabkan lebih

jauh migrasi karena kelaparan dan ketakutan. Husson kemudian berkesimpulan

bahwa sejak munculnya Orde Baru sampai hari ini, migrasi keluar Madura

menuju pusat pertumbuhan ekonomi telah mengambil bentuk eksodus pedesaan

klasik (1997:80).

Dalam Werskschema Reboisatie Madoera Tahun 1938 (dalam Jonge,

1989:24), dipetakan tujuan dan arus migrasi orang Madura, yaitu: orang

Bangkalan terutama tertuju ke Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, dan

Bojonegoro. Orang-orang dari Sampang terutama ke jurusan Pasuruan,

Probolinggo, dan Lumajang sedangkan orang-orang Sumenep serta penduduk

Pamekasan pada umumnya ke Jember17, Bondowoso, dan Banyuwangi. Selain

Jawa Timur, daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat serta daerah-daerah luar Jawa

juga menjadi tujuan penting para migran Madura. Di Kalimantan Barat, orang

Madura sudah bermukim sejak sebelum kemerdekaan18. Di Ujung Pandang dan

17
Lihat juga, Arifin. 1996. Migrasi Orang Madura di Daerah Jember pada Masa Kolonial.
Jakarta: Konggres Sejarah Nasional.
18
Testimoni Haji Tarap, seorang tokoh Madura di Singkawang, menarik diuraikan untuk
mengetahui kapan awal mula kedatangan orang Madura di Kalimantan. Tarap berkisah, anak
pertamanya lahir ketika pertama kali pesawat terbang Jepang melintas di kota Pontianak. Warga
yang ketakutan serempak berteriak agar semua tiarap di tanah. Sesaat setelah kejadian, sang

14
Sulawesi, sudah terdapat masyarakat Madura yang sudah lama dan secara teratur

disinggahi perahu-perahu dagang Madura19. Di Nusa Tenggara, migran ini sering

melakukan pekerjaan tertentu seperti pengendara becak, penjual sate, dan kusir

dokar20. Saya juga mendapati informasi bahwa sebagian para TKI asal Madura

yang ada di Malaysia di antaranya berasal dari satu kampung di sebuah desa

pedalaman di Pamekasan. Kampung ini hanya berpenghuni segelintir orang saja

karena kebanyakan penduduknya bekerja di Malaysia. Hanya bangunan besar dan

relatif mewah yang tersisa, dan banyak di antaranya yang tak berpenghuni.

Kampung ini baru ramai kembali menjelang musim lebaran. Banyak orang

kemudian menjulukinya sebagai ‘kampung TKI’. Ada juga seorang kawan yang

menginformasikan bahwa di Papua terdapat sekelompok orang Madura yang

bekerja sebagai tukang cukur dan penjual sate. Saya tak kuasa membayangkan

bagaimana mendamaikan kenyataan pandangan orang bahwa kedua suku ini

sangat ‘keras’ dan sama-sama eksklusifnya. Apapun argumentasinya, informasi

kepustakaan di atas dan pengalaman yang saya miliki semakin meneguhkan

reputasi orang Madura sebagai suku perantau.

bayipun lahir. Untuk mengenang momentum itu, bayi lelaki itupun diberi nama Tarap, dari kata
“tiarap”. Warga pun memanggilnya Pak Tarap - artinya ayahnya Tarap. Dari kisah Tarap itu
diketahui bahwa anaknya itu lahir di masa Jepang (1942-1945), meskipun di wilayah Kalimantan
yang lain yakni di Sukadana (Ketapang) ratusan orang Madura sudah bermukim disana sejak
tahun 1933 (Lih, Patebang dan Sutrisno. 2000. Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: ISAI,
hal.162-163 ). Selain kisah itu sebagai informasi penting untuk mengetahui awal mula
keberadaan orang Madura di Kalimantan, saya cukup apresiatif terhadap cara penamaan ala Haji
Tarap dan bagaimana orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Tarap. Cara penamaan
anak berdasar momentum tertentu semacam ini dan panggilan terhadap seorang laki-laki
berdasar nama anak pertama merupakan sesuatu yang lazim dalam masyarakat tradisional
Madura, di beberapa pedesaan di Madura, kebiasaan semacam ini masih terjadi. Bandingkan
dengan Min A. Rifai. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media, hal.85.
19
Lih, Jonge, 1989b:25.
20
C.J Grader. 1949. “Het Madura Welvaartsfonds 1937-1941” dalam Jonge. 2004. State and
Welfare in the Late Colonial Period: The Madura Welfare Fund (Asian Journal of Social
Science, 91-104).

15
Dorongan merantau lebih dilatari oleh faktor keadaan alam di Madura yang

tidak mampu memberi hasil cukup bagi segala kebutuhan hidup penduduknya

(Mulyadi, 1978; Husson, 1997). Kegersangan, kelangkaan tanah, deforestasi

(penggundulan hutan) dan erosi pada abad 19 adalah periode awal dimana

orang-orang Madura mulai terpukau dengan dengan prospek lahan baru yang ada

di Jawa. Mereka bekerja secara musiman dan permanen di Jawa Timur, terutama

di Besuki, Pasuruan, Jember, Probolinggo, Bondowoso dan Lumajang, yang

kemudian menjadi pusat tanaman pangan penting di provinsi ini (Arifin, 1996;

Husson, 1997). Dikatakan bahwa orang Madura waktu itu dibutuhkan karena

memunyai reputasi sebagai orang yang ulet dan memiliki kekuatan fisik dan daya

tahan, terlibat dalam pekerjaan berat dan sulit seperti menebang pohon untuk

konstruksi dan pembukaan lahan pertanian baru (Husson, ibid:86). Pada tahun

1846 populasi orang Madura yang berada di daratan Jawa berjumlah sekitar

632.000, sedangkan total etnis Madura ketika itu sekitar 1.056.000 orang. Tahun

1892, 40.000 orang pergi ke Jawa Timur untuk bekerja, dimana 10.000 berasal

dari Sumenep, 3.000 dari Pamekasan dan 9.000 dari Bangkalan (Lublink Weddik,

1892 dalam Husson, 1997). Keterangan ini sejalan dengan data Statistical

Pocketbook of Indonesia Tahun 1941 yang mengatakan bahwa pada tahun 1930

hampir sekitar 2,5 juta orang Madura bertempat tinggal di luar Madura dan

sebagian besar di Jawa Timur, sedangkan di seluruh Indonesia berjumlah 4,3 juta,

atau hampir 7,3 % dari seluruh penduduk (Jonge, 1989: 24)21. Sejak sensus

nasional tahun 1961, data statistik memang tidak menunjukkan identitas etnis,

karena persatuan nasional ditekankan, seperti tersirat dalam slogan

21
Bandingkan dengan Kuntowijoyo yang merilis angka bahwa pada tahun 1930 jumlah migrasi
orang Madura adalah 2.347.000 dari total penduduk sebanyak 4.287.000 orang, yang berarti
bahwa lebih dari 55% penduduk Madura pergi ke seberang (2002: 80).

16
nasional Bhinneka Tunggal Ika (Husson, ibid: 78). Itu artinya lebih sulit

mengkuantifikasi tingkat migrasi penduduk Madura yang ada di luar daerahnya,

termasuk jumlah penduduk ber-etnis Madura yang ada di Kota Malang yang

menjadi lokus penelitian saya kali ini.

Secara historis Malang bukanlah destinasi favorit bagi pendatang Madura.

Bersama Lumajang, daerah ini termasuk dalam zona pedalaman yang menjadi

tujuan para pensiunan tentara perang dan para pekerja perkebunan di Jawa Timur,

seperti Besuki, Pasuruan, Jember, Probolinggo, Bondowoso dan Lumajang.

Husson menduga bahwa periode perang antara 1740 hingga tahun 1850 telah

memunculkan pola khas dari migrasi orang Madura serta mendorong gelombang

lebih lanjut dari pemukiman Madura di Jawa Timur. Para kombatan perang dan

pekerja tersebut lebih memilih menetap di Jawa dari pada kembali ke tanah airnya

dengan berbagai alasan, seperti desersi, pernikahan dengan populasi lokal, serta

mereka yang terpikat oleh prospek lahan pertanian baru yang lebih menjanjikan

dari pada tanah gersang di Madura (Husson, ibid: 81-82). Dalam perkembangan

berikutnya, banyak orang-orang di Madura yang tidak mempunyai lahan tegalan

memilih pergi dan menetap di Jawa. Mereka ini mengandalkan hidupnya dengan

bekerja sebagai buruh tani pada musim-musim panen tertentu. Sementara mereka

yang di Madura memunyai lahan pertanian ala kadarnya tetap melakukan migrasi

jarak dekat seperti pergi ke Surabaya untuk waktu beberapa bulan, khususnya

pada bulan-bulan sebelum panen tahunan, dimana sumber makanan dan

pendapatan di wilayah-wilayah pedesaan berada pada tingkat yang sangat rendah

(Basundoro, 2009: 40).

17
Studi Husson (1997a) mengenai periode panjang migrasi orang Madura di

Jawa Timur sangat membantu memberikan peta komprehensif dalam memahami

kesejarahan, karakter dan pola migrasi orang Madura yang muncul pada

studi-studi berikutnya atau setidaknya menjadi pembanding terhadap studi-studi

yang muncul terlebih dahulu. Studi-studi mengenai keberadaan orang Madura di

perantauan cenderung berada dalam pusaran tema yang heterogen, meski harus

diakui bahwa tingkat kedalamannya relatif ‘monolit’ antar satu penelitian dengan

penelitian yang lain. Tema-tema penelitian yang sering mengemuka antara lain

tema tentang migrasi & adaptasi (Mulyadi 1978; Ismani 1978; Arifin 1996;

Husson 1997b), konflik (Patebang & Sutrisno, 2000), perdagangan (ekonomi)

(Ahimsa-Putra 1980; Nooteboom 2010; Jonge 2011), sosial – politik (Khusyairi

1989; Nooteboom 2003/2010). Dalam soal politik, penjelajahan budaya politik

orang Madura di ranah rantau masih menjadi kajian langka. Studi Khusyairi (1989)

mengenai orientasi politik dan kepemimpinan lokal orang Madura di Lumajang

masih berkisar seputar determinasi agama (Islam) dalam memengaruhi perilaku

politik orang Madura melalui peran tokoh-tokoh informal seperti kiai. Keberadaan

tokoh formal seperti kepala desa atau kepala kampung hanya berkuasa karena

mereka memperoleh legitimasi dari pihak pemerintah. Dengan adanya legitimasi

ini para pemimpin formal justru cenderung bertindak sebagai penerjemah

keinginan-keinginan pemerintah, yang harus diteruskan kepada atau dilaksanakan

oleh rakyat. Namun praktiknya dengan hanya mengandalkan pemerintah saja

tidak cukup. Para pemimpin formal masih merasa perlu pula untuk meminta

bantuan pemimpin informal dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pendek kata,

bagi orang Madura pemimpin formal akan dirasakan kurang penting daripada

18
pemimpin informal. Potret politik orang Madura di Lumajang juga cenderung

berorientasi kepada seseorang (pemimpin informal) bukan kepada program politik

(ibid : 131). Ia adalah mediator antara dunia setempat dan dunia yang lebih luas.

Menurut Shils (dalam Khusyairi, 1989) para perantara ini, dalam hal-hal tertentu,

mengontrol kesenjangan antara ‘orang terpelajar dan tidak terpelajar, orang kota

dan orang desa, modern dan tradisional, penguasa dan rakyat.

Dominannya corak kepemimpinan informal (kiai, jawara/blatér ) dalam

mewarnai artikulasi politik orang Madura sebenarnya merupakan arketipe lama

yang masih bertahan hingga saat ini, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian.

Pengaruh tokoh-tokoh agama (kiai) bisa jadi tidak berlaku misalnya dalam politik

pemilihan kepala desa di Madura. Elly Touwen-Bouwsma (1989) mencatat bahwa

pemilihan kepala desa di Madura lebih kental nuansa kekerasannya dari pada

transisi kepemimpinan itu sendiri. Pemilihan semacam itu memang diorganisir

secara demokratis dan kelihatannya yang menang adalah pilihan rakyat. Dalam

kenyataannya pemilihan itu hanyalah sebuah sandiwara, sebab bukan penduduk,

melainkan orang-orang berpengaruh dan spekulan-spekulan di belakang layarlah

yang menentukan siapa akhirnya yang menjadi kepala desa (1989: 175). Eskalasi

konflik yang ditimbulkan dari praktik demokrasi di tingkat paling bawah

semacam ini lebih terasa dan bertahan lama daripada pemilihan lain seperti

pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif.

Dalam telusur pustaka yang saya lakukan, juga tampak jarang terdapat kajian

mengenai jagat politik orang Madura yang mengulas dinamika antara perantau

Madura dan interkoneksi mereka dengan daerah asal (kampung halaman). Jonge

(2011) dalam salah satu studinya hanya memberikan kilas-pandang mengenai

19
fenomena interkoneksi politik perantau Madura yang ada di Bali dengan dengan

daerah asalnya. Ia menceritakan bagaimana seorang pengusaha sukses asal

Madura yang ada di Bali–yang kemudian meminjam istilahnya Sidel (1997) lebih

tepat disebut sebagai political bossism (bos politik)–memobilisir perantau Madura

yang ada di Bali untuk dikerahkan dalam suatu event politik pemilihan kepala

desa (pelean klébun). Pengusaha tersebut mengirim kapal carteran bersama sekitar

1000 pemilih, atas biaya pribadi ke Raas – sebuah pulau kecil di ujung timur

Madura – hanya untuk memastikan kemenangan calon favoritnya (Jonge

2011:248)22. Relasi ekonomi-politik juga diketengahkan Gerben Nooteboom yang

mengulas mengenai persekongkolan polisi dan pengusaha Madura yang ada di

Kalimantan Timur. Ia memberikan contoh-contoh bagaimana dependensi

pengusaha Madura dan polisi tidak hanya memberikan keuntungan finansial dan

hukum, namun juga kadang-kadang melayani tujuan yang lebih tinggi untuk

menjaga keamanan dan stabilitas bagi masyarakat pada umumnya melalui kontrol

sosial yang hanya mungkin terjadi jika kriminalitas dan ketidakstabilan dibiarkan

eksis pada tingkat yang terkendali. Polisi menawarkan perlindungan migran dan

sebagai imbalannya kedua belah pihak mendapatkan bagian dari keuntungan yang

dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan ilegal (Nooteboom, 2010:17).

1.5 Orientasi Teoritik

Antropologi politik–sebagaimana digagas oleh Suparlan (dalam Balandier,

1986:vii) bukanlah sebuah disiplin ilmu, tetapi sebuah pendekatan; yaitu

pendekatan antropologi dalam melihat dan mengkaji politik. Pendekatan yang

22
Pada bab 3 dalam tulisan ini, saya akan mengulas mengenai fenomena interkoneksi orang
Madura di Malang dengan kampung halamannya, khususnya yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan mobilisasi politik yang melibatkan beberapa tokoh berpengaruh (blatér ) yang
ada di Malang.

20
dikembangkan dalam antropologi politik, berbeda dengan yang ada dalam ilmu

politik. Ia menekankan politik sebagai salah satu unsur di antara berbagai unsur

lainnya yang ada dalam kebudayaan dan yang satu sama lainnya saling berkaitan

dan saling mempengaruhi, secara keseluruhan ataupun sebagian. Oleh karena itu,

menurut Suparlan politik tidak hanya dilihat sebagai terungkap dalam

pranata-pranata politik, sistem pemerintahan dan administrasi, tetapi juga dalam

berbagai pranata lain yang secara keseluruhan merupakan sebuah kesatuan yang

bulat yang merupakan gambaran dari masyarakat (Suparlan, dalam ibid: vii). Saya

mendapati signifikansi yang berbeda dari kedua cara pandang tersebut, antara

ilmuwan politik dengan antropolog dalam mengkaji politik. Tidak hanya soal

aksi-reaksi dalam hal keilmiahan, seperti David Easton (1959) sebagai ahli ilmu

politik yang mereaksi barisan antropolog seperti Bailey (1968), Cohen (1969),

Southal (1974)23. Perbedaan serupa juga bisa dilihat dari karya-karya seperti

African Political System (1940) yang diedit oleh Fortes dan Evan Pritchards, yang

sejalan dengan buku Political System of Highland Burma (1954) yang ditulis oleh

Edmund Leach, dan buku yang ditulis oleh Turner Schism and Continuity in

African Society (1957). Bahasan-bahasan mereka itu mendasari pendefinisian

konsep politik yang dibuat oleh Swartz, Turner, dan Tuden yang dibuat dalam

buku Political Anthropology (1966), yang menggunakan pendekatan proses.

Menurut mereka politik adalah proses-proses yang terlibat dalam menentukan dan

melaksanakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh umum (publik) dan

23
Easton (1959) mengatakan bahwa antropologi politik sebenarnya tidak betul-betul ada karena
para ahlinya telah gagal untuk memperlihatkan batas-batas yang membedakan antara sistem
politik dari subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Pandangan ini dibantah
oleh oleh para antropolog politik seperti Bailey, Cohen dan Southall. Menurut mereka, politik
tidak dapat dianalisa secara terpisah dari kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia,
marga, suku bangsa dan lain-lainnya. Lih, Suparlan dalam Balandier, 1986. Hal.vi.

21
pelaksanaan dari tujuan yang ingin dicapai oleh umum tersebut, dan berbagai hasil

yang telah dicapai serta penggunaan dari kekuasaan untuk mencapainya oleh

anggota-anggota masyarakat yang memunyai kepentingan dengan tujuan-tujuan

yang ingin dicapai tersebut. Dengan singkat sebenarnya politik dapat didefinisikan

sebagai persaingan kekuasaan dan cara-cara untuk mencapai dan menggunakan

kekuasaan (Suparlan, ibid, viii).

F.G Bailey (2001) menggunakan analogi dimana politik merupakan sebuah

permainan (game). Menurutnya, permainan dalam dunia politik bertujuan untuk

menghancurkan aturan main seseorang dan menetapkan aturan main yang

benar-benar berbeda. Aturan main ini dimaksudkan untuk mengarahkan seseorang

agar bertindak lebih efektif (Bailey, 2001:1). Menurut Bailey, aturan main ini

terbagi dalam dua. Pertama adalah normatif dan yang kedua adalah pragmatis.

Peraturan yang normatif digunakan untuk melihat apakah suatu tindakan yang

diambil benar atau salah sedang peraturan yang pragmatis lebih untuk melihat

keefektifan suatu tindakan, terlepas apakah tindakan tersebut benar atau salah

(ibid:4). Menurut Bailey, sistem politik dibangun dari struktur politik ditambah

dengan keadaan lingkungan itu sendiri. Kehidupan suatu struktur politik

ditentukan oleh kemampuannya untuk “beradaptasi” dengan keadaan lingkungan

dengan memodifikasi diri atau berubah sama sekali. Proses adaptasi diri struktur

politik tersebut disebut dengan maintenance atau dalam istilah Antropologi

disebut dengan equilibrium. Dalam pandangan Leach, equilibrium atau

keseimbangan sosial umumnya tidak dapat dipertahankan secara kekal, artinya

kepaduan sosial tidak berlangsung lama dan tidak konstan. Kehidupan sosial

selalu dalam keadaan fluktuatif, bahkan senantiasa bergeser atau terjadi oskilasi

22
secara terus menerus. Dengan kata lain menurut Leach, kehidupan sosial selalu

dalam keadaan inkonsistensi. Adapun penyebabnya adalah kehidupan sosial itu

memang tidak pernah stabil dan norma-norma sosial umumnya bersifat ambigu

yang dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Tidak pernah

ada konformitas mutlak terhadap norma kebudayaan, karena sebenarnya norma itu

sendiri hanya ada sebagai ketegangan dari kepentingan yang berkonflik dengan

keanekaragaman sikap (Kuper, 1996).

Dalam buku Stratagems and Spoils A Social Anthropology of Politics (2001),

Bailey menjelaskan bahwa terdapat beberapa aturan main yang membentuk suatu

struktur politik. Pertama adalah “hadiah” apa yang mereka dapatkan apabila

mereka menang. “Hadiah” dalam hal ini sarat nilai secara kultural seperti

penghormatan, kekuasaan atau tanggungjawab yang harus mereka pikul. Kedua,

adanya anggota tim atau personil. Ada tiga kategori personil: (1) komunitas

politik, (2) elit politik, dan (3) pendukung. Ketiga, kepemimpinan atau leadership.

Dari dalam tim yang “bertanding” itu sendiri pemimpin adalah seseorang yang

bertindak sebagai si pengambil keputusan dan penyelesai masalah sedangkan dari

luar tim, tim lawan memandang pemimpin tim lain sebagai saingan yang

didukung oleh pengikutnya serta sumber – sumber lain. Keempat adalah jalannya

“pertandingan” itu sendiri hingga ditentukannya siapa yang menang dan siapa

yang kalah. Dalam hal ini Bailey memperkenalkan tiga konsep penting untuk

menganalisis jalannya pertandingan yaitu “subversi” (subversión), konfrontasi

(confrontation) dan pertemuan (encounter). Subervsi adalah upaya menggeser

kesetiaan dukungan politik yang mampu melahirkan potensi konfrontatif yang

akan bermuara pada “pertemuan”, dimana masing-masing kontestan mampu

23
mengetahui tentang kekuatan relatif yang dimiliki pihak masing-masing. Kelima

adalah adanya kontrol. Bangunan struktur politik diakui Bailey sangat rentan,

terutama dalam hal rekrutmen dan penggalangan dukungan. Personil yang gagal

melakukan rekrutmen dukungan berpotensi melanggar aturan main. Arena

kemudian menjadi lapangan perkelahian (ibid: 30). Maka dibutuhkan ‘pihak

berwenang’ (authorities) yang dinalogikan Bailey sebagai ‘wasit’, yaitu mereka

yang memiliki peran mengontrol jalannya pertandingan atau terkadang para

pemilik kekuatan mistis seperti ramalan, nubuat, wahyu, dsb dimana nilai – nilai

yang membatasi dipegang dan dipertahankan. Otoritas ideal (ideal authorities)

sangat dibutuhkan pada struktur politik semacam ini. Otoritas ideal senantiasa

memiliki dua karakteristik utama, yaitu netral dan punya kekuatan untuk ditaati

para personil (ibid: 32). Terkadang ‘wasit’ berada dalam posisi ambigu dan

cenderung bertindak kurang tegas terhadap salah satu personil. Untuk itu ia tidak

pernah bisa memenangkan hadiah, meskipun dalam politik ‘wasit’ kadang mampu

meraih ‘hadiah’ dengan caranya sendiri (ibid: 32).

Lima bagian yang membentuk stuktur politik diatas akan diorientasikan

untuk menganalisa temuan penelitian saya di Malang. Hal ini berguna untuk

melihat bagaimana kehidupan “struktur politik” orang-orang perantauan

khususnya pendatang Madura di Malang mampu terbentuk dan beradaptasi

dengan kehidupan politik kota Malang. Adaptasi dan proses tercapainya

“keseimbangan” atau lebih tepatnya “kesalingtergantungan” politik warga

pendatang dengan kehidupan politik di wilayah yang relatif berbeda secara sosial

dan budaya terbentuk secara konfiguratif, saling “tawar-menawar” dan tidak

konstan. Dalam realitas di lapangan politik pemilihan walikota/wakil walikota

24
Malang, struktur politik tersebut terbentuk dari berbagai preferensi budaya politik

orang Madura yang juga tidak selalu berjalan konsisten. Tekanan kehidupan baru

di wilayah perkotaan dan situasi politik yang tidak berpihak pada kepentingan

jangka panjang mereka turut mempengaruhi situasi tersebut. Pandangan Bailey

mengenai permainan (game) dalam politik juga akan digunakan untuk

memperkuat daya analitis dari hasil penelitian ini, terutama menyangkut

operasionalisasi “permainan normatif” dan “permainan pragmatis” yang terjadi

selama berlangsungnya episode politik pemilihan walikota/wakil walikota Malang

tahun 2013.

1.6 Metode dan Jalannya Penelitian

Sebelum melakukan penelitian formal selama kurang lebih 4 bulan di

Malang (Maret-Juni 2013), saya sedikit banyak mengerti situasi sosial, ekonomi

dan politik di Kota Malang, khususnya yang menyangkut keberadaan orang-orang

Madura yang ada Kota Malang, karena sejak 2005 hingga 2010 saya belajar di

salah satu perguruan tinggi yang ada di Kota Malang. Memori sosial saya selama

beberapa tahun berada di Malang kemudian banyak membantu saya dalam

melakukan penelitian mengenai dinamika perantau Madura di Kota Malang.

Kemampuan bahasa lokal, pengetahuan kultural, dan kenalan dengan beberapa

tokoh lokal Madura adalah modal berharga dalam meniti karir kepenelitian saya di

lapangan, meski dengan durasi amat pendek. Selama penelitian di Kotamadu, saya

menginap di rumah Cak Munadi, seorang juru parkir yang saya kenal dan akrabi

sejak tahun 2008. Melalui jasa Cak Munadi inilah, saya mendapatkan informasi

mengenai tokoh-tokoh yang harus saya temui, terutama berkaitan dengan

keterlibatan orang-orang Madura di Kotamadu dalam tradisi politik di Kota

25
Malang. Khusus untuk Cak Munadi–yang juga menjadi informan penelitian–saya

berusaha menjelaskan latar belakang penelitian saya secara utuh sesuai prinsip

etika penelitian (Spradley, 2006:51-59), tetapi tidak semua informan saya jelaskan,

tentu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu24.

Data-data yang saya kumpulkan umumnya bersifat kualitatif, seperti sifat,

ciri dan perilaku orang Madura, kondisi sosial-ekonomi, gagasan dan norma yang

dianut, peristiwa-peristiwa sosial, pandangan dan motivasi-motivasi dalam politik,

karakter dan praktik-praktaik keberagamaan, interaksi sosial, bahasa, dll25 .

Metode atau cara saya mengumpulkan data-data penelitian tersebut adalah melalui

(a) kajian pustaka; (b) pengamatan; (c) pengamatan berpartisipasi (participant

observation); (d) wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam; dan (e)

metode mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2009:19). Dalam praktiknya, metode ini

tidak berjalan secara hierarkis dan gradual, tetapi berlangsung secara tumpang

tindih untuk saling melengkapi. Misalnya, pengamatan saya (terjadi secara tak

langsung nan alamiah) mengenai keberadaan orang Madura sebagai kelompok

etnis pendatang terbesar di Malang sudah saya dapati sejak lama, yang kemudian

jadi modal berharga dalam pengamatan yang lebih ‘formal’yakni dalam penelitian

kali ini. Untuk metode kajian pustaka, saya mendapati beberapa kepustakaan

24
Misalnya mengenai pertimbangan informed consent (persetujuan informan) yang menurut
Davies (1999:51) juga harus berdasar pada pemahaman dan bebas dari paksaan serta keamanan
dan kenyamanan informan, khususnya menyangkut persoalan confidentiality (kerahasiaan).
Khusus hal ini, saya kerap mendapat previlege yang teramat istimewa sekaligus mengabaikan
prinsip etika penelitian tersebut. Modal kultural saya sebagai orang Madura cukup untuk
membuat para informan untuk tidak menganggap saya sebagai ‘orang luar’. Selain itu saya kerap
mengalami problematika dalam menjelaskan kepentingan akademis saya pada informan yang
kurang mengetahui perkembangan di dunia pendidikan. Tentu ini saya nikmati tidak dalam
konteks siapa yang lebih tinggi tingkat pendidikannya?. Pertimbangan lain adalah untuk
mendapatkan kekomprehensian data sesuai dengan derajat kebutuhannya tanpa melanggar etika
penelitian yang teramat prinsip.
25
Periksa jenis-jenis data kualitatif dalam Ahimsa-Putra. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya; Sebuah
Pandangan. Makalah dalam kuliah umum ”Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora”
diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009, hal.18.

26
berharga, khususnya yang studi-studi yang membahas tema-tema tentang Madura,

seperti Ismani (1978), Jonge (1989a; 1989b; 2004; 2011), Husson (1997), Rifai

(2007), Rozaki (2004), Wiyata (2006) dan Fathony (2009) serta kepustakaan lain

yang dibutukan dalam memperkaya khazanah penulisan laporan penelitian ini.

Dalam rangkaian penelitian selama 4 bulan tersebut, saya melakukan

pengamatan, pengamatan berpartisipasi,wawancara (mendalam dan sambil lalu)

tanpa plot khusus pada satu metode saja, pengecualian pada

momentum-momentum tertentu. Artinya kadang dilakukan bersama-sama bahkan

terkesan tumpang tindih. Misalnya saya melakukan pengamatan mengenai kondisi

sosial-ekonomi warga Madura di Kotamadu seperti Pasar Balenan sambil lalu

mewawancarai para pedagang yang notabene orang Madura. Di pasar-pasar

tersebut, jenis perdagangan yang mereka transaksikan adalah sayuran, ikan,

pernak-pernik, penjaja rokok, dll. Pengamatan ini akan saya selingi dengan upaya

memperkenalkan diri, mengobrol ringan seputar kapan dan apa motivasi mereka

merantau ke Malang dan sebagainya. Pengamatan berpartisipasi dan wawancara

juga saya lakukan misalnya ketika kampanye terbuka salah satu calon

Walikota-Wakil Walikota Malang di Lapangan Kecamatan Kedungkandang. Saya

ikut tenggelam dalam hiruk pikuk warga yang berduyun-duyun mendatangi lokasi

kampanye. Selama seharian mereka rela menunggu dan tidak bekerja. Sama sekali

tidak terlihat antusiasme warga yang ingin mendengarkan visi-misi kandidat calon

Walikota dan Wakil Walikota Malang. Warga hanya termotivasi dengan

iming-iming hadiah umrah dan sejumlah sepeda motor serta peralatan rumah

tangga lainnya. Contoh lain dari metode pengamatan dan mendengarkan, misalnya

ketika saya (diijinkan) mengikuti salah satu ‘rapat terbatas’antara perwakilan para

27
blatér dengan salah satu kandidat wakil wali kota Malang. Saya meleburkan diri

dalam rombongan para blatér yang notabene adalah tim sukses calon Wakil

Walikota tersebut, tanpa diperkenalkan identitas diri saya dan atas kepentingan

apa saya berada disana. Klik pribadi dengan salah satu blatér sudah saya jalin

sebelumnya. Beberapa angle menarik dari laku politik para blatér saya temukan

disitu. Misalnya adegan cium tangan salah satu blatér kepada sang calon wakil

walikota, yang menurut saya sarat makna simbolik. Gambaran metode dan

jalannya penelitian diatas menuntut seorang antropolog untuk menemukan aspek

elan vital dari observasi partisipasi dan wawancara mendalam dengan cara

berpartispasi dalam kehidupan sehari-hari para informan dan berusaha

mendapatkan pemahaman selengkap mungkin dari makna budaya dan struktur

sosial kelompok dan bagaimana ia saling terkait satu sama lain (Davies, 1999:67).

1.7 Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini dibagi dalam lima (5) bagian (bab). Bab Satu (I)

adalah Pendahuluaan yang berisi tujuh (7) sub-bab, yaitu (1) Latar Belakang; (2)

Masalah Penelitian; (3) Ruang Lingkup, Fokus dan Tujuan Penelitian; (4) Kajian

Pustaka; (5) Orientasi Teoritik; (6) Metode dan Jalannya Penelitian; dan (7)

Sistematika Penulisan. Bab Dua (II) laporan penelitian berisi mengenai gambaran

umum perantau Madura yang ada di Kota Malang, yang diberi judul “Orang

Madura di Kota Malang; Sebuah Telaah Awal”. Bab Dua ini terdiri dari empat (4)

sub-bab, yaitu (1) Pekerja dan Pelajar : Dua Potret Asimetris Pendatang Madura

di Kota Malang; (2) Kotamadu dan Sketsa ‘Kampung’ Madura; (3) Gambaran

Keluarga Madura di Kotamadu; dan (4) Orang Madura dan Budaya Pasar.

28
Bab Tiga dan Bab Empat adalah inti tulisan yang berusaha menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Bab Tiga (III) berjudul

“Jagat Politik Orang Madura di Perantauan” terdiri dari tiga (3) sub-bab yaitu (1)

Agama dan Budaya Politik Orang Madura; (2) Politik Orèng Kènè’; dan (3)

Inklinasi “Mendua” dalam Politik. Sementara Bab Empat (IV) berjudul“Orang

Madura dalam Dinamika Politik Kota Malang” terdiri dari lima (5) sub-bab yaitu:

(1) Gambaran Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang Tahun 2013; (2)

Ziarah Wali; (3) Politik Uang; (4) Elit Lokal di Kotamadu dan Kekuasaannya; dan

(5) Analisis Antropologi Politik. Pada sub-bab ini terdapat pembahasan mengenai

analisis struktur politik di Kotamadu yang terdiri dari: hadiah dan nilai-nilai

(prizes and values), anggota tim (personnel), kepemimpinan (leadership),

jalannya pertandingan (competition) dan kontrol (control). Laporan ini ditutup

dengan Bab Lima (V) sebagai kesimpulan dan sebuah uraian reflektif atas

“perubahan” politik yang terjadi di Kota Malang.

29
Peta Kecamatan Kedungkandang

Foto : BPS Kota Malang 2012

30

Anda mungkin juga menyukai