Anda di halaman 1dari 16

PSIKOLOGI KESEHATAN DAN SOSIOLOGI KESEHATAN

“PERAN GENDER DALAM TIAP MASA PERKEMBANGAN


PEREMPUAN”

Dosen Pengampu: Putri Rahmasari, S.ST., MPH

Oleh :

Dian Noviana Kandhi


1710104381/F

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA


TERAPAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2018
PERAN GENDER DALAM TIAP MASA PERKEMBANGAN
PEREMPUAN

A. Pengertian Gender
Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan
atau perbedaan jenis kelamin. Kata “gender” ini sudah sering digunakan oleh
orang Indonesia, namun tidak ada kata gender dlaam bahasa Indonesia (Antonius,
2008). Menurut Fakih (1999) yang dikutip oleh Sujatmoko (2011) pengertian
gender pertama yang ditemukan dalam kamus adalah penggolongan secara
gramatikal terhadap kata-kata dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya secara
garis besar berhubungan dengan keberadaan dua jenis kelamin atau kenetralan.
B. Peran gender
Pada umumnya dala keluarga di Indonesia, orang tua atau lingkungan
secara langsung maupun tidak langsung telah mensosialisasikan bahwa peran laki-
laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki diminta membantu pekerjaan ayang
yang sifatnya berat, anak laki-laki seringkali diberi kebebasan untuk bermain dan
berteman karena mereka dianggap bisa menjaga dirinya sendiri. Sedangkan anak
perempuan tugasnya membantu ibu di dapur memasak dan juga membersihkan
rumah seperti menyapu, mencuci dan lain-lain.
Sebagai hasil bentukan sosial peran gender dapat berubah-ubah dalam
kondisinya, waktu dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan
perempuan mungkin dapat dipertukarkan tanpa menyalahi kodrati.
C. Sejarah Gender Perempuan Di Indonesia
Perkembangan studi perempuan atau studi gender di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan studi gender di berbagai negara. Perkembangan itu
berkaitan erat dengan pelaksanaan konferensi perempuan yang dilaksanakan di
berbagai negara yang dimotori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah
satu kegiatan/media untuk menyuarakan tuntutan para perempuan adalah melalui
konferensi yang telah dilaksanakan beberapa kali di berbagai negara. Sampai saat
ini telah dilaksanakan konferensi perempuan sebanyak 4 kali dan konferensi yang
kelima direncanakan pada tahun 2010.
Untuk memperingati perjuangan kaum perempuan dalam memperjuangkan
status dan kedudukannya, ditetapkan hari perempuan sedunia yang diperingati
setiap tanggal 8 Maret. Selain itu pada saat konferensi dunia Hak Asasi Manusia
(HAM) II di Wina pada tahun 1993, juga telah dibicarakan mengenai kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT) yang memberikan perlindungan bagi korban kekerasan
serta memberikan sanksi pidana bagi pelakunya (Soeparman, 2006).
Secara rinci perkembangan pembahasan mengenai studi perempuan
berkaitan dengan paradigma yang melandasi perjuangan atau tuntutan para
pemerhati persoalan gender di Indonesia dapat dilihat dalam uraian berikut.
Secara garis besar terdapat 4 paradigma dalam pembahasan mengenai studi
perempuan.
1) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Women in Development (WID)
Konferensi Perempuan Sedunia I tahun 1975 melahirkan perspektif
Women in Development (WID) yang menuntut agar terdapat persamaan
kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan
(Caraway, 1998).
Mereka menuntut agar perempuan diintegrasikan dalam proses
pembangunan. Jadi diharapkan perempuan memiliki akses di segala bidang
seperti ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Pada pendekatan WID ini
perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan karena perempuan dianggap
kurang pendidikan, kurang pelatihan, maupun tidak ada rasa percaya diri.
Untuk itu perempuan harus meningkatkan kemampuannya agar dapat terlibat
dalam pembangunan (Dewi, 2006).
Keterlibatan perempuan di bidang ekonomi akan meningkatkan posisi
ekonomi perempuan, sehingga mereka percaya status dan kedudukan
perempuan akan meningkat di masyarakat. Jadi konsep WID adalah
memfokuskan pada perubahan situasi, yang bertujuan untuk menarik dan
menempatkan perempuan dalam arus pembangunan, karena perempuan
merupakan sumber daya manusia yang melimpah, yang dapat menggerakkan
roda pembangunan, asalkan kemampuan mereka ditingkatkan (Silawati,
2006). Untuk dapat mengakomodir perubahan situasi tersebut misalnya harus
dilakukan peningkatan akses perempuan di bidang ekonomi, pendidikan,
maupun kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia dalam
meratifikasi Konferensi Perempuan Sedunia I tahun 1975, maka dibentuk
Menteri Muda Urusan Peranan Wanita pada tahun 1978. Melalui kementerian
inilah dilakukan usaha-usaha untuk mengintegrasikan perempuan dalam
proses pembangunan.
2) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Gender and Development (GAD)
Pada paradigma ini diperkenalkan konsep gender, dimana studi
tentang perempuan dihubungkan dengan laki-laki. Dengan perspektif gender
wacana tentang perempuan sekaligus dihubungkan dengan laki-laki, dimana
dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan menjadi kajian utama
(Abdullah, 1998). Konsep gender ini muncul setelah Konferensi Perempuan
Sedunia III di Nairobi, Kenya tahun 1985. Pada paradigma ini dikatakan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan yang berbeda,
demikian pula dari sesama perempuan berdasarkan kategori sosial mereka.
Pada paradigma ini disadari bahwa terjadi ketimpangan
gender/hubungan gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan
yang terjadi baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara. Dalam
paradigma atau pendekatan GAD ini, melihat ketertinggalan perempuan
sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik yang tidak adil pada
mereka. Jadi yang harus dibenahi adalah hubungan-hubungan tersebut, bukan
perempuannya (Silawati, 2006).
Dengan konsep GAD yang melihat hubungan antara laki-laki dan
perempuan baik dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, lalu
muncul dan disadari bahwa terdapat fenomena ketidakadilan dan diskriminasi
gender. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil
yang dialami oleh laki-laki dan perempuan akibat dari sistem dan struktur
sosial yang telah berakar dalam sejarah, adat maupun norma (BKKBN,
Kemneg PP, dan UNFPA, 2005). Secara umum ketidakadilan gender dalam
berbagai bidang kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan.
Ketidakadilan ini dapat bersumber dari berbagai perlakuan atau sikap yang
secara langsung membedakan peran dan kedudukan antara perempuan dan
laki-laki. Secara tidak langsung ketidakadilan ini dapat bersumber dari
dampak suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan. Bentuk-bentuk
manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender tersebut dapat meliputi
hal berikut.
a. Marginalisasi perempuan
Pemiskinan kaum perempuan atau meminggirkan kaum
perempuan. Pembagian kerja menurut gender yang selama ini ada juga
menyebabkan marginalisasi pada perempuan. Karena konsep gender, ada
jenis pekerjaan yang hanya dianggap cocok untuk perempuan. Misalnya
karena perempuan dianggap tekun, sabar, teliti, maka pekerjaan yang
cocok seperti guru, perawat, penerima tamu, sekretaris, atau pembantu
rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan ini dipandang masih merupakan
perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga. Dengan menganggap
pekerjaan tersebut cocok untuk perempuan, maka pekerjaan-pekerjaan
lainnya yang dianggap cocok untuk laki-laki akan tertutup bagi
perempuan. Kesempatan perempuan akan lebih sedikit dalam
memperoleh jenis-jenis pekerjaan tertentu.
b. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu
jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan
dengan jenis kelamin lainnya. Contohnya: menomorduakan kesempatan
pada perempuan untuk memperoleh pendidikan jika dalam rumah tangga
memiliki keterbatasan sumber daya, mengorbankan anak perempuan
untuk masuk pasar kerja demi membantu membiayai saudara laki-lakinya
untuk sekolah.
c. Stereotype (Pelabelan Negatif)
Beberapa contoh pelabelan negatif yang merugikan perempuan,
misalnya sebagai berikut: Perempuan dipandang pesolek, suka menarik
perhatian laki-laki. Dengan label ini, jika terjadi pelecehan seksual, maka
sering yang disalahkan adalah perempuan. Ada anggapan di masyarakat
bahwa tugas utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga dan
melayani suami, sehingga jika perempuan bekerja, maka hasil
pekerjaannya dipandang sebagai penghasilan tambahan, walaupun lebih
banyak daripada penghasilan suaminya.
d. Violence
Violence atau kekerasan yang dihadapi oleh perempuan dapat berupa
kekerasan fisik maupun non fisik. Contoh kekerasan fisik yang dialami
oleh perempuan, misalnya berikut ini :
a) pemerkosaan, termasuk yang terjadi dalam perkawinan;
b) pelecehan seksual; dan
c) pemukulan dalam rumah tangga (domestic violence).
Kekerasan non-fisik yang terjadi pada perempuan, seperti berikut ini :
a) prostitusi/pelacuran dimana seseorang atau sekelompok orang
diuntungkan;
b) pornografi (tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan
seseorang);
c) eksploitasi terhadap perempuan
e. Beban Kerja Lebih Berat
Karena ada anggapan bahwa perempuan lebih cocok untuk
mengerjakan pekerjaan domestik, maka akibatnya seluruh pekerjaan
rumah tangga dibebankan pada perempuan. Persoalan terdapat pada
keluarga yang tergolong miskin, karena penghasilan suami tidak
mencukupi, maka istri turut bekerja, sehingga pada keluarga ini
perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah. Pekerjaan di dalam
rumah seperti mendidik anak (mengajari anak belajar), dan pekerjaan
rumah tangga lainnya semua menjadi beban perempuan, meskipun
perempuan dalam keluarga tertentu menjadi pencari nafkah utama (suami
tidak bekerja). Jadi beban perempuan demikian berat. Ini juga sebuah
bentuk ketidakadilan yang diterima oleh perempuan di dalam masyarakat
dan rumah tangganya.

3) Paradigma yang Berkaitan dengan Konsep Pemberdayaan Perempuan


(Women’s Empowerment)
Konsep pemberdayaan perempuan ini muncul setelah konferensi
perempuan sedunia IV di Beijing. Selain itu, pada tahun 2000 konferensi PBB
menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’ (MDGs) yang
mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai
cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta
menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Dep.
Kehutanan, 2005). Kebijakan pemberdayaan perempuan di Indonesia
diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan
praktis dan strategis perempuan. Pemenuhan kebutuhan praktis meliputi
kebutuhan perempuan agar dapat menjalankan peran-peran sosial untuk
memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti perbaikan taraf kehidupan,
perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja,
pemberantasan buta aksara dan sebagainya. Dengan kata lain kebutuhan
praktis perempuan merupakan program intervensi untuk mengejar
ketertinggalan perempuan yang umumnya berada di tingkat individu.
4) Paradigma yang Bekaitan dengan Konsep Pengarusutamaan Gender/PUG
atau Gender Mainstreaming
Konsep PUG pertama kali saat konferensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995. Pada saat itu
berbagai area kritis yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat
di seluruh dunia untuk mewujudkan kesetaraan gender mulai dipetakan
(Silawati, 2006). Terdapat 12 wilayah kritis yang harus ditempuh dalam
upaya pemberdayaan perempuan di negara-negara anggota PBB. Wilayah
kritis tersebut adalah: 1) perempuan dan kemiskinan; 2) pendidikan dan
pelatihan untuk perempuan; 3) perempuan dan kesehatan; 4) kekerasan
terhadap perempuan; 5) perempuan dan konflik bersenjata; 6) perempuan dan
ekonomi; 7) perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8)
mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; 9) hak asasi perempuan;
10) perempuan dan media; 11) perempuan dan lingkungan; dan 12) anak
perempuan (Cattleya, 2006). PUG secara formal diadopsi dalam Beijing
Platform for Action (BPFA) yang menyatakan bahwa pemerintah dan pihak-
pihak lain harus mempromosikan kebijakan gender mainstreaming secara
aktif dan nyata terlihat dalam semua kebijakan dan program, sehingga
sebelum keputusan diambil, analisis tentang dampak kebijakan terhadap
perempuan dan laki-laki telah dilakukan (Dewi, 2006).
D. Peran Gender Perempuan dalam Tiap Perkembangannya
1) Peran Gender pada Tingkat Sekolah Dasar
Pada dasarnya memang ada perbedaan gender dalam kemampuan
mental dan kepribadian. Anak perempuan lebih unggul dalam perkembangan
bahasa namun lebih sensitive dan tergantung. Sedangkan anak laki-laki
unggul dalam kemampuan keuangan dan lebih agresif. Hal ini berdasarkan
pandangan bahwa anak perempuan cenderung lebih banyak memanfaatkan
otak sebelah kirinya, sedangkan anak laki-laki lebih banyak memanfaatkan
otak sebelah kanannya, yang banyak berkaitan dengan spasial atau keruangan.
Anak perempuan dan laki-laki belajar peran gender melelui meniru
atau mengamati lingkungannya, misalnya dengan memperhatikan apa yang
dilakukan dan dikatakan orang. Melalui orang tua anak belajar mengenai
peran gender, itulah sebabnya orang tua dikatakan sebagai sosok yang paling
berpengaruh dalam perkembangan gender.
a. Pengaruh orang tua
Orang tua berpengaruh dalam perkembangan gender, tampaknya sudah
tidak diragukan lagi. Ibu dan ayah secara psikologis berperan dalam
perkembangan gender anak. Ibu secara konsisten bertanggung jawab
terhadap pengasuhan, sementara ayah lebih berperan pada interaksi
bermain dengan anak dan bertanggung jawab menanamkan agar anak
laki-laki atau perempuan tunduk pada norma-norma budaya. Tanpa
disadari ayah merupakan bagian penting dalam perkembangan peran
gender daripada ibu karena ayah cenderung bereaksi secara berbeda pada
anak laki-laki maupun perempuan. Banyak keluarga mendororng anak
laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam permainan dan kegiatan
yang berbeda. Anak perempuan umumnya bermain dengan boneka
sampai ia mencapai usia sekolah, jika sudah dewasa ia diharapkan dapat
mengasuh atau terlibat dengan hal-hal yang bersifat emosional daripada
laki-laki. Sedangkan anak laki-laki dilibatkan pada permainan yang
bersifat agresif. Begitu menginjak remaja, anak laki-laki lebih diberi
kebebasan.
b. Pengaruh kelompok sebaya
Kelompok sebaya cenderung mendukung anak untuk terlibat dalam
aktivitas yang sesuai jenisnya. Kelompok cenderung mencela anak yang
terlibat dalam permainan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.
Tuntutan semacam ini akan semakin menonjol menjelang masa remaja.
c. Pengaruh sekolah dan guru
Ketika memasuki usia sekolah, anak menyadari dan meyakini
bahwa ada beberapa stereotype, seperti pekerjaan, kepribadian ataupun
keinginan berprestasi. Ada keyakinan, anak laki-laki lebih unggul dalam
pelajaran matematika dan etletik, sedangkan anak perempuan pada
pelajaran seni, musik dan ketrampilan. Stereotype gender ini menguatkan
perilaku anak-anak perempuan yang diusia sekolah tidak menonjol pada
pelajaran matematika.
Pengenalan Gender di Usia Dini
Pengenalan peran gender oleh pendidik sangat perlu diberikan pada
anak sejak anak masih berusia dini. Menurut NAEYC (dalam Sujiono
2011:6): “Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun.” Anak yang
berusia 5-6 tahun merupakan bagian dari anak usia dini yang secara
terminologi disebut sebagai anak usia pra sekolah. Para ahli
menyebutkan sebagai masa golden age, dimana perkembangan
kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan sampai 50%. Menurut
Santrock (2009: 11) “Gender is another key dimension of children”s
development.” Pentingnya mengenalkan peran gender sejak dini sangat
erat kaitannya dengan perkembangan dan pembentukan pola perilaku dan
kepribadian anak di masa dewasa. Oleh karena itu segala jenis informasi
yang benar dan berkaitan erat dengan peran gender harus ditanamkan
secara tepat agar dapat tersimpan di memori anak dalam jangka panjang.
Pembelajaran mengenai peran gender pada anak dapat dilakukan
melalui berbagai metode pembelajaran yang dalam pelaksanaannya
disetiap kegiatan pembelajaran harus bersifat konkret dan berorientasikan
pada kegiatan bermain. Menurut Hurlock (1978: 175) “Seorang guru
yang ingin mendorong anak untuk belajar peran gender sederajat akan
membiarkan anak laki-laki dan perempuan bermain dengan mainan yang
mereka pilih sendiri, tanpa menghiraukan jenis kelamin.” Tugas guru
sebagai perencana kegiatan pembelajaran adalah diwajibkan untuk
menciptakan suatu lingkungan belajar yang nyaman, aman, dan menarik
minat serta rasa ingin tahu anak untuk belajar lebih banyak mengenai
peran gender tanpa mengkategorikan kegiatan yang cocok bagi anak laki-
laki atau anak perempuan saja. Metode yang dapat digunakan untuk
pengenalan peran gender diantaranya adalah melalui metode bercerita,
metode pembiasaan, metode sosiodrama, dan metode bercakap-cakap.
Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan menjadi agen
perubah sosial yang efektif dengan merespons secara konstruktif
persoalan-persoalan nyata yang sedang dihadapi masyarakat secara lokal
maupun global, bukan melalui mata pelajaran, melainkan pembangunan
cara berpikir dan bersikap. Perubahan cara berpikir yang bertumpu pada
kesetaraan gender akan mengubah tatanan sosial yang lebih adil dan
manusiawi, termasuk juga model antara suami dan istri yang saling
menghargai harkat dan martabat. Suatu gerakan besar yang akan
membarui kehidupan dan memberi harapan bagi peradaban manusia.
2) Peran Gender pada perempuan usia dewasa
a. Dalam Bidang Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia No 34 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 48 UU dikatakan bahwa
wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh pasal 60 ayat (10)
menyatakan setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan
minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
Kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat dalam hal ini
perempuan masih dibawah kekuasaan laki-laki. Hal ini disebabkan
karena peranan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat
mensubordinasikan perempuan dibawah kekuasaannya. Melihat
kedudukan dan peranan strategis dari seorang ibu dalam proses
pendidikan, sudah sewajarnyalah apabila peranan perempuan dalam
proses pendidikan dalam hidup bermasyarakat mendapatkan tempat
yang sewajarnya. Dimana kesetaraan gender merupakan salah satu dari
hak asasi manusia.
Tujuan dari pendidikan berperspektif gender diantaranya
adalah: 1. Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, membuang
pemikiran yang memandang bahwa wanita merupakan tenaga kerja di
sektor domestik (pekerjaan urusan rumah tangga) sehingga tidak perlu
diberikan pendidikan formal yang lebih tinggi merupakan pemikiran
yang keliru. 2. Kewajiban yang sama, umpanya seorang laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu.
Sejalan dengan hadist nabi” menuntut ilmu adalah kewajiban bagi
setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan. 3. Persamaan
kedudukan dan peranan contohnya baik pria dan wanita sama-sama
kedudukan sebagai subjek atau pelaku pembangunan.
b. Dalam Rumah Tangga
Pembagian peran dan maupun pembagian tugas rumah tangga yang adil
antara suami dan istri terkadang masih dipengaruhi oleh cara pandang
masyarakat mengenai peran gender yang cenderung memposisikan wanita
untuk selalu berperan pada wilayah domestik. Rahayu (2011) menerangkan
bahwa pola pembagian peran dalam keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain; Pertama, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai
peraturan. dalam peraturan ini terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak
berkeadilan gender dan masin mengaut ideologi patriarki dalam sistem
hukum di Indonesia. Kedua, faktor pendidikan. Para guru masih memiliki
pola pikir bahwa laki laki akan menjadi pemimpin, sedangkan anak
perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Ketiga, adalah faktor nilai-nilai.
Status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih
mengalami diskriminasi dengan masih kuatnya nilainilai tradisional dimana
perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan,
pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keempat, adalah faktor budaya
khususnya budaya patriarki. Dalam perspektif patriarki, menjadi pemimpin
dianggap sebagai hak –bagi lakilaki– sehingga sering tidak disertai tanggung
jawab dan cinta. Kelima, faktor media massa sebagai agen utama budaya
populer. Perempuan dalam budaya populer adalah objek yang nilai utamanya
adalah daya tarik seksual, pemanis, pelengkap, pemuas fantasi – khususnya
bagi pria. Keenam, adalah faktor lingkungan yaitu adanya pandangan
masyarakat yang ambigu.
3) Tingkat Lansia
Aktifitas seksual dan sistem reproduksi :
 Aktivitas seksual menurun – frekuensi – namun bukan berarti hilang
sama sekali.
 Frekuensi aktivitas & kepuasan kehidupan seksual cenderung
menghilang bertahap selama usia 40 – 50 an.
 Penurunan ini dihubungkan dengan usia & kondisi fisik (penyakit
kronis, pembedahan, pengobatan, & konsumsi alkohol) (Rossi, 2004).
 Sebab nonfisiologis: hubungan yg monoton, kekhawatiran akan
kondisi finansial, kelelahan fisik / mental, depresi, takut gagal,
pasangan pasif (King, 1996; Masters & Johnson, 1966; Weg, 1989).
 Produksi hormon seks pada laki-laki & perempuan menurun.

Life Expectancy Usia Lanjut

 Perempuan memiliki harapan hidup rata-rata yang lebih panjang 4 – 7


tahun dari laki-laki.

 Kramarow (Papalia, 2001) – perempuan lebih berumur panjang


dengan rasio 3:2, penyebaran ini meningkat dengan tingginya usia.

 Perempuan biasanya hidup lebih lama & memiliki tingkat kematian


lebih rendah dibandingkan laki-laki (Kinsella & He 2009; Kinsella &
Phillips, 2005).

 Perempuan lebih memiliki usaha untuk menjaga kesehatannya


(Cleary, Zaborski, & Ayanian, 2004).

 Laki-laki merasa bahwa mengakui sakit itu tidak maskulin, dan


mencari bantuan berarti kehilangan kontrol (Addis & Mahalik, 2003).

Hal tersebut dipengaruhi oleh:

 Faktor sosial (mis. Sikap terhadap kesehatan, kebiasaan, gaya hidup,


pekerjaan),
 Faktor biologis (perempuan lebih mampu bertahan pada penyakit
degeneratif daripada laki-laki: produksi estrogen mampu melindungi
perempuan dari penyakit penyempitan pembuluh darah, kromosom X
berhubungan dg antibodi yg lebih banyak).
 Laki-laki lebih mungkin untuk merokok, minum, dan terkena racun
berbahaya (Kinsella & He, 2009).
Pengaturan Tempat Tinggal
 Di negara berkembang – lansia tinggal dg anak yg sudah dewasa & cucu
mereka dlm sebuah keluarga multigenerasi.
 Di negara maju – tempat utama lansia bergantung adalah pasangan hidup
(Kinsella & Phillips, 2005), jika mungkin lebih memilih untuk tinggal di
rumah & masyarakat mereka sendiri (Kinsella & Phillips, 2005).
 Pengaturan tempat tinggal tidak bisa memberikan kita informasi mengenai
kebahagiaan hidup para lansia ini.
 Ex. Hidup sendiri tidak selalu menunjukkan kurangnya kohesi &
dukungan keluarga; tetapi bisa saja mencerminkan kesehatan lansia,
kemampuan ekonomi, & keinginan u/ mandiri.
 Lansia dg gangguan – dukungan kecil (makanan, transportasi,
pembantu kesehatan) sering dapat membantu mereka tetap tinggal
di rumah  Modify the environment.
DAFTAR PUSTAKA

Marhaeni. 2016. Perkembangan Studi Perempuan, Kritik dan Gagasan Sebuah


Perspektif Untuk Studi Gender Kedepan. Fakultas Ekonomi Universitas
Udayana. https://ojs.unud.ac.id. Diakses 24 Maret 2018 (02.00).

Putri, D dan Lestari, S. 2015. Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Pada
Pasangan Suami Istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16, No. 1,
Februari 2015: 72-85.

Rahajeng, UW. 2010. Isu Kontekstual Masa Lansia. www.unita.lecture.ub.ac.id.


Diakses 24 Maret 2018 (12.30).

Sumar, WT. ____. Implementasi Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.


https://media.neliti.com. Diakses 24 Maret 2018 (01.15).

Tandayu, dkk. 2012. Pengenalan Peran Gender Dalam Pembelajaran Pada Anak
Usia 5-6 Tahun. FKIP Untan Pontianak. https://media.neliti.com. Diakses
24 Maret 2018 (01.20).

Anda mungkin juga menyukai