Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Arini Dinita

NO.ABSEN : 73
TUGAS KLIPING
IPS
1.Dugderan (Jawa Tengah)
Upacara ini digelar untuk menandai datangnya bulan puasa Ramadhan.
Tapi, karena hanya diadakan oleh masyarakat Semarang, maka upacara
Dugderan ini pun jadi semacam upacara tradisional. Kata “dugderan”
sendiri berasal dari perpaduan bunyi bedug dengan meriam bambu yang
memang identik dengan bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan tepat
sehari sebelum puasa pertama dilaksanakan, mulai dari pagi hingga sore
hari menjelang senja. Dalam upacara tradisional Indonesia ini,
masyarakat menggelar “warak ngendok”, atau mengarak binatang jadi-
jadian yang bertubuh kambing, berkepala naga dan berkulit sisik emas.
Binatang rekaan ini dibuat dari kertas warna-warni. Selain itu, juga
digelar pasar rakyat, atraksi drumband, pawai pakaian adat tradisional
nusantara, hingga penampailan berbagai kesenian khas Kota Semarang,

yang digelar selama sepekan sebelumnya.


2. Tabuik (Sumatera Barat)
Upacara yang satu ini sebenarnya lebih berkaitan dengan religi,
berdasarkan kepercayaan umat Islam. Tapi hanya ditemukan di
Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sehingga, menjadi sebuah
tradisi yang khas dari daerah tersebut. Upacara Tabuik ini digelar
sebagai bentuk peringatan atas kematian anak Nabi Muhammad SAW
dalam sebuah perang di zaman Rasulullah dulu. Dilakukan pada Hari
Asura setiap tanggal 10 Muharram tahun Hijriah. Beberapa hari
sebelum datangnya waktu penyelenggaraan upacara ini, masyarakat akan
bergotong royong untuk membuat dua tabuik. Kemudian, pada hari H,
kedua tabuik itu di arak menuju laut di Pantqi Gondoriah. Satu tabuik
diangkat oleh sekitar 40 orang. Di belakangnya, rombongan masyarakat
dengan baju tradisional mengiringi, bersamaan dengan para pemain
musik tradisional. Lalu, kedua tabuik itupun dilarung ke laut.
3. Bakar Batu ( Papua.)
Pada gambar tersebut, masyarakat Papua tengah menunjukkan
bagaimana memilih batu-batu yang bisa digunakan untuk barapen. Apa
itu Barapen?

Barapen artinya bakar batu..Pesta Bakar Batu merupakan ritual


tradisional masyarakat Papua yang yang dilakukan sebagai bentuk
ucapan syukur atas berkat melimpah. Pesta bakar batu juga dilakukan
jika ada pernikahan dan penyambutan tamu agung.

Pada upacara kematian, bakar batu juga dilakukan sebagai ungkapan


berkabung. Upacara Barapen ini menjadi sarana yang membuktikan
adanya perdamaian antar masyarakat setelah terjadi perang suku.

Betul, kan? Pelaksanaan sebuah tradisi memang identik dengan sifat


rukun khas masyarakat Indonesia.
4. Balimau Kasai (Riau)
Rasa syukur memasuki bulan ramadhan diekspresikan oleh
warga Kabupaten Kampar, Riau dengan cara mandi beramai-
ramai di sungai Kampar menggunakan limau atau campuran
jeruk, dan keramas menggunakan kasai

Ritual besar-besaran ini diikuti seluruh lapisan masyarakat,


mulai dari pemuka adat, pemuka agama, pejabat pemerintah,
sampai maysarakat umum.

Masyarakat Kampar percaya bahwa pengharum rambut yang


digunakan untuk keramas itu dapat mengusir segala macam
rasa dengki yang mendiami pikiran. Oh ya, sebelum
menceburkan diri ke sungai, ada acara santap bersama terlebih
dahulu yang disebut Makan Majamba.
5. Potong Jari (Papua)
Suku Dani memiliki tradisi unik tapi sekaligus mengerikan juga. Namanya
Potong Jari. Tradisi ini memang dilakukan dengan memotong jari tangan
seseorang yang anggota keluarganya meninggal.

Inilah simbol rasa berkabung masyarakat Suku Dani untuk


mengungkapkan kesedihan karena ditinggalkan oleh anggota keluarga.

Filosofinya yaitu jari yang diartikan sebagai simbol kerukunan,


kebersatuan, dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga.
Apabila kehilangan satu ruasnya saja, maka tangan tidak berfungsi
optimal lagi.

Pada zaman sekarang, tradisi ini sudah mulai ditinggalkan, tapi kamu
masih bisa menjumpai sesepuh Suku Dani yang jemarinya sudah tidak
utuh lagi karena dulu mereka sudah melakukan potong jari.
6. Tawur Nasi (Jawa Tengah)
ini bukan acara tawuran seperti para pelajar sekolah menengah ya.
Bukan juga acara tawuran yang membahayakan dengan cara saling
hantam, saling lempar batu, kayu, bahkan senjata tajam.

Tawuran versi ini yaitu dengan menggunakan nasi. Tidak kalah brutal
dengan tawuran menggunakan senjata tajam.

Jangan salah sangka. Tawuran jenis ini justru bergembira, bukan


menyerang dengan kebencian dan dendam.Senjatanya juga berupa nasi.
Kalau dipikir-pikir memang sayang juga senjatanya berupa nasi.
Mengingat harga beras mahal dan para petani yang sudah bersusah
payah menanam padi. Tapi nyatanya seluruh warga melakukan dengan
gembira!

Ternyata, nasi-nasi yang sudah digunakan untuk saling melempar


tersebut akan dikumpulkan untuk pakan ternak. Kalau begitu nasinya
tetap bermanfaat

Masyarakat Desa Palemsari, Rembang, Jawa Tengah yang rutin


mengadakan tradisi tawuran setahun sekali ini percaya bahwa hasil
ternak yang diberi pakan hasil tawuran ini akan gemuk, subur, melimpah
seperti panen mereka.
7. Adu Betis (Sulawesi Selatan)
Sama seperti tradisi tawur nasi, tradisi yang satu ini juga
diselenggarakan untuk mengungkapkan rasa syukur setelah memanen
padi. Acara ini pun tak kalah brutal dengan tawur nasi.

Masyarakat Dusun Paroto, Desa Samaelo, Barebbo, Bone, Sulawesi


Selatan, ini saling mengadu kekuatan betis lewat permainan Malanca.
Tradisi turun-temurun ini diikuti oleh sejumlah pemuda kampung dan
disaksikan oleh ratusan warga lainnya.

Setelah aba-aba, peserta akan saling menendang betis lawan, mengadu


siapa yang paling kuat bertahan. Tentu rasanya sakit, bahkan sampai
keseleo karena kekuatan tendangan lawan, namun kegiatan ini tetap
dilakukan dengan rasa senang, tanpa dendam.
8. Tapa Bisu Mubeng Beteng (Yogyakarta)
Tradisi yang satu ini berada di Yogyakarta. Namanya tradisi
Tapa Bisu Mubeng Beteng. Biasanya diselenggarakan setiap
malam satu suro atau malam tahun baru dalam kalender Jawa.

Seperti namanya, tapa bisu mubeng beteng yang artinya diam


membiasu mengelilingi beteng (benteng). Pada tradisi ini
biasanya para abdi dalem keraton beserta ribuan warga
Yogyakarta berjalan kaki melakukan kirab atau arak-arakan
mengitari benteng keraton yang dilakukan tanpa bicara atau
mengeluarkan suara sedikit pun alias bisu.

Makna dari dilakukannya tradisi ini yaitu sebagai sikap mawas


diri atas segala perbuatan yang dilakukan selama satu tahun
dan mengharapkan kesejahteraan serta keselamatan pada
tahun berikutnya.
Sekian
Dan
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai