Anda di halaman 1dari 7

Agility : Kepemimpinan Perubahan Setangkas Singa

Agility adalah kapabilitas yang dibangun secara terus menerus agar kelak organisasi
mampu merespon perubahan dengan tangkas, efektif, tepat waktu, dan berkelanjutan
(Adaptive Challenge & Adaptive Response).

MUNGKIN ANDA PERNAH MENDENGAR UNGKAPAN dari diplomat Prancis, Charles Maurice
de Talleyrand yang bunyinya begini, “Seratus kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan jauh
lebih berbahaya ketimbang seratus singa yang dipimpin seekor kambing.”

Ungkapan itu menjadi penting di abad ini ketika Indonesia tengah berada pada kawasan perubahan
yang disebut sebagai the edge of chaos. Ya, inilah sebuah area yang didefinisikan para ahli se bagai
kawasan yang terletak antara dua tanah berbatas.

Yang satunya adalah masa depan baru yang sedang kita tungu-tungu. Kawasan yang tertib, bersih,
nyaman, sejahtera, dan banyak ketenangan, seperti Anda tengah merenung di danau zurich yang
indah. Itulah the state of punctuated equilibrium. Sebuah kesempurnaan yang stabil. Barangkali inilah
cita-cita para patriot bangsa saat memproklamasikan Indonesia agar kelak menjadi negeri yang adil
dan makmur. Dan, inilah gagasan para ekonom di abad ke-21: keluar dari masyarakat berpendapatan
kelas menengah, the middle income trap.

Dan, apakah yang satunya lagi? Itulah tahapan berat yang tengah kita lalui: ketidakteraturan yang
sempurna (a complete anarchy).Ya, inilah sebuah area dengan jalan berlubang di sana-sini, kemacetan
tak terkira, kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) yang terus turun tanahnya, hukum yang belum bisa
ditegakkan, kebebasan berbicara yang amat sempurna tapi tak diikuti oleh disiplin, kreativitas yang
tinggi tapi tak bermuara pada peningkatan pendapatan, sekolah yang begitu berat dan sakit tapi tidak
menghasilkan prestasi akademis yang cukup. Anda bisa tambahkan lagi daftar, mulai dari korupsi
sampai tertinggalnya infrastruktur. Benar benar anarchy.

Namun, di ujung batas garis ini kita masih bisa melihat sebuah dunia baru yang kita tuju asalkan kita
tangkas (agile) berlari sekuat tenaga, berlomba menuju garis finish itu, masuk ke dalam keseimbangan
baru.

Itulah sebabnya negeri ini butuh agility. Inilah kontribusi baru ilmu manajemen yang Anda butuhkan
untuk menghasilkan inovasi dan keunggulan keunggulan baru. Dan untuk itu, kita perlu perubahan
dengan kepemimpinan setangkas singa, sekalipun yang di pimpin semata-mata orang baik yang lelet,
lamban, dan masih bermental penumpang (kita bedakan dengan mentalitas pengemudi).

Mentalitas penumpang ini melahirkan kelompok manusia pekerja yang sulit dibentuk menjadi
pemimpin karena mereka terbelenggu dalam selimut rasa nyamannya (the comfort zone). Mereka
menjadi kurang tangkas dalam mengambil kesempatan-kesempatan baru ataupun terlibat dalam
perubahan.

Sebaliknya, mentalitas pengemudi adalah modal awal bagi perusahaan. Apakah itu untuk menangkap
peluang-peluang baru, atau business agility, keluar dari perangkap-perangkap lama. Jadi kita butuh
singa yang fokus memimpin di depan, memimpin dengan semangat ketangkasannya (agility).

SERIBU KAMBING DENGAN SEEKOR SINGA

Di mana Anda melihat hal itu? Saya merenungkan hal itu, di atas pesawat terbang tujuan London
yang membawa saya dari Jakarta. Inspirasi itu muncul tak lama setelah saya menyaksikan tayangan
National Geographic tentang hewan-hewan predator di layar televisi yang ada di bangku pesawat ini.
Di tangan kanan saya ada buku karangan Joseph White yang berjudul The Nature of Leadership:
Reptiles, Mammals, and the Challenge of Becoming A Great Leader (2006). Saya baru saja hanyut
membaca metafora reptilia dan mamalia yang melekat pada leadership.

Di layar televisi, seorang turis asal Belanda baru saja menayangkan rekaman video amatirnya yang
diambil di Padang Sabana Masai Mara-Kenya. Padang Sabana yang pernah saya kunjungi enam tahun
lalu itu selalu menawan. Pada bulan-bulan tertentu kita bahkan bisa menyaksikan migrasi hewan-
hewan liar ke daerah yang lebih hangat. Menelusuri dan menyeberangi sungai, deretan banteng-
banteng liar ya tak berujung harus berhadapan dengan para predator: kumpulan buaya yang bengis.

Namun, setelah lolos dari tekanan buaya, di atas bukit sudah menunggu singa-singa yang lapar. Dan
seperti diduga, mereka akan menerkam banteng-banteng muda yang kurang gesit. Rombongan
banteng lari kocar-kacir. Bubar, sehingga tiba-tiba eekor banteng dengan cepat berada dalam
cengkeraman singa. Mungkin mereka merasa tak punya senjata yang bisa dipakai, selain kelompok
besar yang bisa saling membentengi dan tanduknya yang besar.

Tetapi itu tidak berlangsung lama. Seekor banteng panglima memimpin kembali di depan, diikuti
ratusan anggota keluarganya yang membentengi diri. memimpin serangan untuk merebut kembali
anaknya yang nyaris putus lehernya diterkam keluarga singa. Rekaman itu begitu dramatis, meski
gambaran kadang buram dan bergetar.

Itu baru banteng. Bagaimana kalau keledai atau kambing?

Kalau zebra, saya pernah menyaksikannya, dengan gerakannya yang kokoh ia bisa membenamkan
kepala singa ke dalam air, lalu lari menyelamatkan diri. Tak bertaring, bergigi tajam, atau berkuku
keras. Tetapi ia punya tenaga kuat. Rusa juga sudah sering saya lihat lolos dari kejaran singa. Itu
karena mereka punya kelincahan lari yang tak terkalahkan. Ya, lari zig-zag yang membuat badan
singa cepat kepanasan dan keletihan Tetapi keledai atau kambing? Saya sulit membayangkannya.
Membaca sepotong kalimat yang dirangkum tim riset saya dari wawancara dengan para manajer di
sebuah bandara di Pulau Sumatera, katanya, kalau ada seekor singa saja yang memimpin, maka seribu
keledai akan berubah menjadi singa. Ini mirip dengan ungkapan diplomat senior dari Prancis yang
saya kutip di depan.

Hmm…, kita semua tahu. Singa adalah hewan yang saat memburu mangsa akan fokus, ganas, dan
agresif. Inilah leadership yang bukan cuma sekadar dibentuk oleh pengetahuan, melainkan juga
memori memori otot (myelin) yang gesit dan kuat. Myelin ini adalah unsur pembentuk agility atau
ketangkasan, kecepatan gerak, dan eksekusi. Anda ingin mengetahuinya?

Kalau Anda cermati, ada yang menarik dalam adegan gerombolan singa yang memburu mangsa
seperti yang sering kita lihat di saluran National Geographic. Meski di situ ada banyak mangsa ketika
sang singa sudah memutuskan untuk mengejar satu, maka mangsa mangsa lainnya tidak dia
pedulikan. Mereka semua kompak mengikuti naluri pemimpin. Fokus pada buruan yang sama Ketika
gagal memburu mangsa yang tadi menjadi targetnya, sang singa tidak lantas ngawur memburu
sembarang mangsa yang ada di sekitarnya. Malah dia tidak melanjutkan perburuannya.

Mudah menyerahkah? Bukan. Itu adalah gambaran karakternya yang mungkin bisa kita sebut sportif.
Dia kalah dalam perburuan, dan mengakuinya dengan tidak membabi buta memburu mangsa mangsa
yang lain. Mereka hanya istirahat sebentar untuk berjuang lagi.

PERUBAHAN DENGAN AGILITY

Buku ini lagi-lagi adalah buku tentang perubahan. Lebih dari sekadar kemampuan berubah, agility
adalah sebuah kapabilitas yang dibangun secara terus-menerus agar kelak organisasi kita mampu
merespons perubahan dengan tangkas, efektif, tepat waktu, dan berkelanjutan.
Agility menjadi penting karena ia bukan sekadar software IT yang mudah untuk dibeli, melainkan
karena di dalamnya terkandung unsur manusia dengan mentalitas. Menjadi pemenang di abad ini
tentu bukan hal yang sederhana, karena lawan-lawan Anda pun juga ingin menang. Kita tengah
berada dalam sebuah pertarungan yang sama-sama kuat, sama-sama pintar, atau sama-sama bodoh.
Sementara batas-batas dunia semakin terbuka, arus informasi dan rahasia begitu cair berpindah. Kita
hidup dalam dunia yang berubah-berubah dan bergejolak.

Dalam literatur ilmiah, agility juga disebut sebagai dynamic capability, yang dimaknai sebagai
kualitas pengendusan yang cepat terhadap berbagai ancaman dan kesempatan, pemecahan masalah
dan kemampuan berubah dalam menata “resource base”

Jadi di sini ketangkasan, kecepatan, kecermatan, dan ke mampuan internal menjadi sangat penting.
Dengan berbagai metafora, saya harap Anda menjadi lebih mudah menggunakan nya.

SINGA PADANG PASIR

Karakter singa yang fokus dan gesit seperti ini, menurut saya, adalah karakter yang dimiliki oleh
seorang pemimpin yang cerdik, yang banyak kita temui dalam buku-buku sejarah. Maka, tak heran
kalau ada sejumlah pemimpin yang dijuluki singa. Dan ini sangat relevan untuk menggambarkan
konsep business agility yang kini sangat dibutuhkan dunia usaha.

Anda yang suka membaca sejarah, mungkin pernah mengenal Salahudin Al Ayubi, atau yang oleh
dunia Barat sering disebut sa- ladin. Dia adalah panglima pasukan Muslim semasa Perang Salib yang
terjadi pada abad ke-12. Sebagai seorang panglima, Saladin dikagumi karena strategi perangnya yang
jitu.

Salah satunya dalam Perang Hattin yang terjadi pada bulan Juli yang panas. Saat itu, melihat kondisi
cuaca, Saladin memerintahkan pasukannya memakai pakaian katun yang ringan, sehingga me- reka
dapat bergerak lincah. Sementara lawannya, pasukan Eropa, tetap memakai baju zirah dari besi. Berat
dan panas.

Saladin jeli melihat celah ini. Malam hari dia memerintahkan pasukannya membakar rumput kering
di sekeliling pasukan lawan. Pasukan itu menjadi sangat kepanasan dan kehausan. Esok harinya
pasukan Saladin membabat habis kuda-kuda pasukan lawan. Maka, terjadilah pertarungan yang tidak
seimbang. Pasukan Eropa yang terpaksa berjalan kaki, kehausan, kepanasan, dan keberatan dengan
baju zirahnya, harus berhadapan dengan pasukan berkuda Saladin yang segar dalam sebuah
pertempuran di padang pasir yang pan terik. Jumlah pasukan Eropa itu dengan cepat menyusut. Raja
Yerussalem Guy de Lusignan, yang memimpin pasukan Eropa, berhasil ditawan, sedang Reginald de
Chattilon, pimpinan ksatria Templar yang pernah membantai khalifah muslim, langsung dipan cung.
Meski begitu, Saladin memperlakukan tawanannya, Raja Guy, dengan baik. Bahkan, dia kemudian
dibebaskan dengan tebusan.

Pasukan Saladin kemudian menaklukkan kota-kota Acre, Beirut, Sidon, dan Yerusalem. Dalam
pertempuran mempertahankan Yerusalem, Saladin harus berhadapan dengan Richard The Lion Heart,
Raja Inggris. Dalam pertempuran itu, ketika mendengar Raja Richard sakit dan terluka, Saladin
melakukan gencatan senjata. la bahkan mengirimkan tim medis untuk membantu menyembuhkan
Raja Richard

Akhirnya, Raja Richard memang gagal merebut Yerusalem dan berkat keperkasaannya, Saladin
dijuluki “Singa Padang Pasir.

Saladin meninggal pada 4 Maret 1193 di Damaskus. Saat itulah banyak orang kaget. Sebagai
panglima, kekayaan Saladin ternyata hanya selembar kain kafan dan sedikit uang dirham.
Julukan “Singa Padang Pasir” juga disemat kepada Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW. Hamzah
dengan gagah berani membela Nabi Muhammad dalam Perang Badar

Umar bin Khattab, kafilah kedua sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, juga dijuluki “Singa Padang
Pasir” karena keberaniannya.

Di Inggris, Raja Richard yang gagal merebut Yerusalem dari tangan Saladin juga mendapat julukan
singa. Lengkapnya, Richard The Lion Heart.

BUKAN SINGA YANG MENGEMBIK

Indonesia juga punya banyak pemimpin berkarakter “singa” Ada Bung Karno, Bung Tomo, atau
Muhammad Isa Anshary. Mereka piawai berpidato dan membakar semangat massa, sehingga dijuluki
“Singa Podium”.

Itulah singa, sang pemimpin yang fokus, berkarakter, dan berani berjuang.

Kita sejatinya mempunyai banyak SDM dengan myelin singa. Di lingkungan BUMN, mereka adalah
sosok-sosok yang berhasil bergabung di sana setelah melewati proses seleksi yang sangat ketat.
Setelah bergabung, mereka pun berhasil melewati tempaan yang keras.

Begitu pula di lingkungan pemerintahan. Saya tahu persis be tapa banyak orang cerdas, jujur, dan
tidak korup di sana. Mereka mulai dari yang menyandang sarjana, master, hingga doktor, dan
sebagian di antaranya menempati posisi-posisi strategis. Mereka mulai dari yang tak pernah mau
ketika diminta mengakali aturan, sampai yang berani menolak ketika diajak ber-KKN. Berani
menolak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selain itu mereka juga dipaksa lingkungan menjadi gesit.
Bekerja berpindah-pindah dari satu kota ke kota-kota lainnya dalam satu perusahaan, berhadapan
dengan seribu satu masalah.

Namun, harus kita akui pula bahwa kita memiliki banyak SDM yang berkualitas rusa, kambing,
hingga keledai. Mereka mudah menyerah ketika ditekan sedikit saja. Selalu merunduk ke arah mana
angin bertiup. Mereka tidak punya keinginan untuk maju, harus selalu diarahkan karena tak mampu
menentukan arah sendiri dan tidak punya sikap atau pendirian. Bahkan harus diteriaki berulang ulang
agar patuh pada perintah. Kadang harus dipukul dengan tongkat. SDM-SDM seperti ini bias senang
kumpul-kumpul, suka suasana yang guyub lagi rukun, lamban, tidak berani mengambil inisiatif, dan
tidak mampu bertindak cepat.

Di lingkungan seperti itu, jika singa yang hebat digabung dengan ribuan keledai atau kambing, sang
singa bisa saja meringkik seperti keledai atau mengembik seperti kambing. Kita menjadi bi ngung,
mana DNA singanya? Tetapi bisa juga sebaliknya, satu singa tadi bisa membuat seribu keledai
mengaum.

Perubahan diperlukan? Sudah pasti. Ini adalah buku tentang transformasi tentunya. Tetapi
transformasi untuk satu hal lagi : agility.

INSPIRASI DARI UEA

Buku ini berkisah tentang pentingnya agility dan kepemimpinan. Berkisah tentang para singa yang
dengan kepemimpinannya mampu mengubah keledai-keledai dari meringkik jadi mengaum. Bagai
mana saling bekerja sama. Melalui kerja sama itu, singa dan keledai akan berperan dalam menentukan
apakah perusahaan Anda akan menjadi pemenang, atau pecundang. Membuat perusahaan atau bangsa
Anda selalu berada di depan, atau sebaliknya tertinggal jauh di belakang. Bukan menjadikan
perusahaan atau organisasi seperti yang sering kita lihat di padang padang rumput, di mana singa
singa memburu dan keledai tercerai berai menjadi bangkai.

Baiklah sebelum membahas lebih jauh, saya akan mengingat kan Anda tentang myelin. Ini modal
penting bagi tumbuhnya ketangkasan: agility. Apa itu?

Saya menuliskannya dalam buku saya Myelin: Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan
(2010). Anda mungkin familiar dengan istilah brain memory, sebuah sistem pengatur in formasi
dalam otak kita yang terbentuk dari akumulasi pengeta huan. Kita selama ini terlalu mengagung-
agungkan brain memory, sehingga lupa pentingnya memori yang lain, yakni muscle memory.

Sederhananya, muscle memory adalah memori yang terbentuk karena latihan, karena aktivitas yang
kita lakukan secara berulang-ulang. Ia bahkan menjadi semacam gerak refleks. Myelin semacam ini
menjadi sangat penting. Bahkan bisa menjadi penentu keberhasilan. Saya menyaksikannya di banyak
perusahaan.

Pentingnya myelin kepemimpinan ini mungkin tergambar dengan ungkapan : “Seribu keledai yang
dipimpin oleh seekor singa jauh lebih menakutkan ketimbang seribu singa yang dipimpin seekor
kedelai.” Meskipun hanya satu singa, juga satu keledai, dengan kualitas myelin yang dimilikinya ia
bisa sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi.

lhwal pentingnya myelin kepemimpinan mungkin bisa tergambar dari kisah yang diceritakan Sheikh
Mohammed bin Rashid Al Maktoum.

Pada 18 Februari 1968, di sebuah tenda berjendela di tengah padang pasir yang panas menyengat,
bertemulah dua bangsawan Arab. Keduanya adalah Sheik Zayed, penerus Emir Abu Dhabi, dan Sheik
Rashid yang penerus takhta Dubai. Mereka bertemu untuk membahas ide pembentukan negara
federasi yang terdiri atas berbagai pusat kekuasaan di Arab.

Sheik Rashid ini baru saja menyelesaikan pendidikannya sebagai kadet di Aldershot, sekitar 64
kilometer ke sebelah selatan London. Di dalam tenda itu, Sheik zayed bertanya kepada Sheik Rashid,
“So Rashid, sekarang bagaimana? Jadikah kita membangun federasi?”

Tanpa banyak berpikir, Sheik Rashid menjawab, “ulurkan tanganmu zayed. Marilah kita bersama-
sama membangun negeri tercinta ini. Andalah Presidennya.

Keduanya lalu berpelukan. Inilah awal dari terbentuknya Uni Emirat Arab (UEA), Langkah keduanya
ini kemudian diikuti oleh empat emir lainnya yang berasal dari Sharjah, Ajman, Fujairah, dan Umm
Al-Qawain pada 2 Desember 1971, Sejak itu masing-masing terbuka, saling bantu, dan membuka
jalan, untuk bersama-sama menyiapkan masa depan yang baru bagi negaranya. Mereka juga sepakat
untuk menunjuk Sheik Rashid sebagai Perdana Menteri.

Apa yang membuat para emir itu mau bergabung membentuk negara federasi? Padahal, sebagai
penguasa kerajaan, merekalah yang menguasai kekayaan negara, terutama dalam bentuk cadang an
min dan gas. Mereka bergelimang uang dan bisa menghabis kan hidupnya untuk bersantai santai,
menikmati warisan Allah.

Perubahan kondisi geopolitik memengaruhi sikap mereka Memasuki abad ke-20, berbagai kerajaan di
dunia, termasuk di kawasan Timur Tengah, mulai kehilangan pengaruhnya. Ini terutama dipengaruhi
oleh cara berpikir masyarakatnya yang semakin modern, cerdas, dan kritis. Kondisi inilah yang
membuat para emir itu berpikir bahwa kalau mereka sebagai pemimpinnya tidak cerdas, kerajaan
hanya akan tinggal sebagai simbol sejarah.
Faktor lain adalah para pangeran itu juga melihat bahwa negara-negara di sekitar mereka tinggal, yang
kaya minyak dan gas, bisa membuat mereka bak rusa jinak di Hutan Sabana, Afrika. Di hutan itu rusa
jinak hidup berkelompok dan setiap saat menjadi incaran sekawanan binatang pemangsa, seperti
singa. Singa biasa memburu mangsanya pada pagi buta. Di kala rusa-rusa masih belum puas betul
dengan tidurnya dan belum sepenuhnya waspada.

YOU HAVE TO RUN FAST

Para emir tadi tak ingin negaranya seperti rusa-rusa di Hutan Sabana, yang menjadi sasaran empuk
para pemangsa. Kisah Perang Teluk, yang diawali oleh invasi Irak ke Kuwait, belum lekang dari
ingatan mereka. Kekhawatiran itulah yang membuat para pangeran yang berpendidikan barat tersebut
segera menata diri. Sheik Rashid menuangkan kesadarannya dalam sebuah ungkapan: “Whether you
are deer or a lion, you have to run fast to survive.”

Sebagai rusa, Anda harus bisa berlari cepat untuk menghindari kejaran pemangsa. Sebagai singa,
Anda pun harus mampu berlari cepat untuk memburu mangsa. Jika tidak entah Anda akan menjadi
mangsa, atau tidak memperoleh mangsa-keduanya punya akibat yang sama : Anda bisa binasa. Kata
Sheik Rashid, “Untuk bisa bertahan hidup, kami harus bekerja keras dan bekerja cepat. Supaya bisa
bekerja cepat, kami harus bisa membangun sistem yang sim pel dan berpikir simpel”Itulah program
transformasi yang diusung oleh para emir tersebut.

Dalam program transformasinya, Sheik Rashid mengedepankan ekonomi, bukan politik. Dia percaya
bahwa untuk bisa berpolitik secara beradab, masyarakatnya harus sejahtera terlebih dahulu. Bukan
dibalik, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, politik harus berada di depan. Apa saja yang
ia bangun? Semuanya The hard side dan the soft side. The hard side menyangkut aneka infrastruktur.
Ya jalan raya, fasilitas umum, air bersih, bandara, dan pelabuhan. Lalu juga aneka pusat
sepertifnancial center dan education center. Semuanya kelas dunia. The soft sidenya adalah sistem
manajemen dan kendali, lengkap dengan IT dan manusia-manusianya.

PM Lee Kuan Yew memakai pendekatan ini ketika memimpin Singapura. Ekonomi di depan, politik
di belakang. Langkah sebaliknya dilakukan India, yang menempatkan politik di depan, baru ekonomi
di belakangnya. Kita yang berada di luar bisa menilai negara mana yang lebih sejahtera. India, atau
Singapura?

Di UEA, kita pun bisa melihat hasilnya. Dua puluh tahun setelah pertemuan tersebut, UEA yang kini
terdiri dari tujuh negara bagian menjadi salah satu negara paling sejahtera di kawasan Timur Tengah.
Ketika negara-negara lain di kawasan tersebut di guncang oleh gelombang Arab Spring, UEA tetap
tenang karena rakyatnya sejahtera, sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang monumental. Di
antaranya, Burj Khalifa yang saat ini menjadi gedung tertinggi di dunia.

UEA juga berhasil mentransformasi bisnis negaranya yang semula mengandalkan minyak dan gas
menjadi lebih mengedepankan bisnis jasa. Kini, bisnis wisata dan keuangan tumbuh subur di sana.
Maskapai penerbangan mereka, Emirates Airlines, pada tahun 2013 menempati peringkat pertama
The World’s Best Airlines versi Skytrax. Padahal tahun sebelumnya masih menempati ke-8. Saat ini
UEA juga tengah membangun mal terbesar di dunia, Mall of The World, yang luasnya mencapai 4,4
juta meter persegi.

Begitulah, dengan myelin kepemimpinan yang tebal, UEA mampu melakukan transformasi. Mereka
tak lagi menjadi rusa yang jinak, tetapi rusa yang gesit. Mereka tak lagi menjadi singa yang lambat
berlari. Mereka adalah singa-singa yang gesit memburu mangsa. Memburu setiap peluang. Itulah
inspirasi yang bisa dipetik dari kisah Sheik Rashid dan UEA.
OPERATIONAL AGILITY
(AGILITY = THE POWE OF MOVING QIUCKLY AND EASILY)

TIGA JENIS BUSINESS AGILITY


1. Stragegic Agility
Setiap organisasi mempunyai pilihan, apakah terus bertahan dalam game lama yang sama dari
tahun ketahun atau mengambil langkah berupa halauan, memasuki game yang benar-benar
baru.
2. Portofolio Agility
Keterangan dalam memindahkan ata menggeserkan sumber-sumber daya yang dimiliki ke
dalam salah satu unit usaha.
3. Operational Agility
Inilah ketangkasan yang dihadapi sehari-hari dalam merespon setiap kejadian operasional
baik itu yang terjadi tiba-tiba maupun rutin.
Intinya adalah bagaimana meresponnya dengan cepat.

Anda mungkin juga menyukai