Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN TEORI

Pada bab ini menjelaskan tentang konsep lansia, konsep menua dan asuhan

keperawatan kelompok khusus pada hipertensi.

A. Konsep Lansia

Bagian konsep akan memaparkan teori yang menjadi sumber referensi atau

landasan dalam membahas hasil tindakan keperawatan. Konsep ini mencakup

pengertian lansia, batasan lansia , lanjut usia sebagai populasi berisiko (population

at risk) dan populasi rentan (vulnerable population) .

1. Pengertian Lansia

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-

tiba menjadi tua, tetapi pekembangan menjadi bayi, dewasa dan akhirnya menjadi

tua. Semua ini bisa dikatakan normal, dengan berbagai perubahan fisik dan tingkah

laku yang dapat diramalkan pada usia lanjut. Lansia merupakan proses alami yang

ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami menjadi tua,

dimana akan terjadi kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap. (Azizah,

2011).

Menurut undang-undang nomor 13 tahun 1998 bab 1 pasal 1 ayat 2 tentang

kesejahteraan lanjut usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun. Sedangkan menurut Nugroho (2000) mengatakan lansia

adalah kelanjutan dari usia dewasa, dimana kedewasaan dibagi menjadi 4, yang
pertama iufentus, usia 25 – 40 tahun, yang kedua verilitas, usia 40 – 50 tahun, yang

ketiga, fase pension yaitu usia 50 – 65 tahun, dan yang terahir fase senium yaitu

usia antara 65 hingga tutup usia.

Lansia adalah orang yang telah tua dan menunjukkan ciri fisik rambut beruban, gigi

ompong, dan kerutan kulit. Dalam masyarakat tidak mampu lagi menjalankan

fungsinya dengan baik dan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai orang

dewasa, seperti pada pria tidak terikat atau berperan dalam ekonomi produktif,

sedangkan pada wanita tidak mampu memenuhi tugas rumah tangga (Stanley dan

Beare, 2007).

2. Batasan Lansia

WHO (1999) dalam Azizah (2011) menggolongkan lansia menjadi 4 golongan

berdasarkan usia kronologi, yaitu Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok

lansia dengan usia antara 45-59 tahun. Lanjut usia (elderly) yaitu usia 60-74 tahun,

Lanjut usia tua (old) yaitu antara 75-90 tahun, Usia sangat tua (very old) yaitu usia

lebih dari 90 tahun, Sedangkan Nugroho (2000) menurut beberapa ahli,

bahwasanya lanjut usia yaitu orang yang telah berumur 65 tahun keatas.

Menurut UU No. 4 Tahun 1965 pasal 1 seorang dapat dikatakan jompo atau lanjut

usia apabila yang bersangkutan telah berumur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak

berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan

menerima nafkah dari orang lain. Sedangkan menurut UU No. !3 tahun 1998

tentang kesejahteraan lansia bahwa lansia adalah seseorang yang telah berumur 65

tahun keatas (Azizah,2011).


3. Lanjut Usia Sebagai Populasi Berisiko (Population At Risk) dan Populasi

Rentan (Vulnerable At Risk)

Konsep ini menjelaskan tentang populasi berisiko berkaitan dengan kondisi

biologic risk, social risk, economic risk, lifestyle risk dan life-event risk dan

populasi rentan meliputi status sosial ekonomi, usia, kesehatan, dan pengalaman

hidup.

a. Lansia Sebagai Populasi Beresiko (Population At Risk)

Proses menua (aging) adalah proses alami pada manusia yang disertai dengan

penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu

sama lain (Wold, 2004; Stanhope & Lancaster, 2010; Mauk, 2010). Perubahan

fisik merupakan bentuk nyata dari proses menua yang dapat diamati secara

langsung, dan terjadi pada semua sistem dan terjadinya penurunan berbagai

fungsi tubuh (Wold, 2004). Dampak proses menua yang dialami menjadikan

lanjut usia digolongkan sebagai kelompok berisiko .

Risiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi

untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope

& Lancaster, 2010). Lansia sebagai populasi berisiko memiliki beberapa faktor

yang berpotensi meningkatkan risiko penyakit kronis seperti penyakit

hipertensi.

Populasi berisiko adalah populasi yang melakukan aktifitas atau mempunyai

karakteristik tertentu yang meningkatkan potensi mereka menjadi sakit, cedera


atau mendapatkan masalah kesehatan (Clement-Stone, McGuire & Eigsti,

2009). Hayes,et al (2010), menjelaskan bahwa populasi berisiko adalah

populasi dari orang-orang dimana terdapat beberapa kemungkinan yang telah

jelas atau telah ditentukan walaupun sedikit atau kecil akan terjadi peristiwa

tertentu. Kondisi ini sangat relevan dengan kondisi yang dialami oleh lanjut

usia. Lansia merupakan kelompok yang berisiko tinggi akibat keseluruhan

faktor tersebut sehingga dimasukkan dalam kelompok multiple at risk

(National Academy on Aging, 2008). Menurut Stanhope dan Lancaster (2010),

secara umum berisiko dikaitkan dengan kondisi biologis (biologic risk), sosial

(social risk), ekonomi (economic risk), gaya hidup (lifestyle risk) dan peristiwa

kehidupan (life-event risk) sebagai berikut:

1) Biologic risk

Risiko biologi merupakan faktor genetika atau kondisi fisik tertentu yang

berpeluang untuk terjadi risiko kesehatan. Risiko ini adalah faktor yang

berkontribusi terjadinya risiko penyakit yang berasal dari faktor genetika atau

fisik, misalnya riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga. Proses menua

akan berakibat akan mengalami kemunduran kemampuan dan perubahan fisik

termasuk pada sistem kardiovaskuler yang akan mengakibatkan terjadinya

hipertensi. Hipertensi pada lansia lebih banyak disebabkan oleh proses penuaan

dan terjadinya perubahan sistem kardiovaskuler baik struktur maupun

fungsinya. Kannel (2003), menyatakan bahwa mayoritas lansia usia lebih dari

55 tahun (65%) mengalami kekakuan pada pembuluh darah yang menyebabkan

hipertensi disebut sebagai ISH (Isolated Systolic Hypertension). ISH di


pengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, geografi dan kondisi

saat pengukuran tekana darah.

2) Social risk

Risiko sosial seperti ketidakharmonisan dalam keluarga, kriminalitas tinggi,

lingkungan yang tercemar, kebisingan dan tercemar zat kimia, kurang rekreasi

dan tingginya tingkat stress lingkungan serta sulitnya akses sumber kesehatan

juga berkontribusi terjadinya masalah kesehatan mempengaruhi dan

berkontribusi dalam stress pada lansia sehingga meningkatkan tekanan darah

(Black & Hawks, 2009).

3) Economic risk

Kemiskinan menyebabkan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan

penghasilan sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya masalah

kesehatan. Risiko ekonomi merupakan hubungan antara sumber keuangan

dengan kebutuhan. Kebutuhan yang berhubungan dengan pemenuhan tempat

tinggal yang layak, pakaian, sandang, makanan dan pendidikan serta perawatan

kesehatan dapat dilakukan bila memiliki sumber penghasilan yang baik.

Umumnya lansia sudah mengalami pengurangan sumber keuangan karena

pension sehingga memiliki risiko masalah ekonomi yang dapat mempengaruhi

status kesehatannya.
4) Life stile risk

Gaya hidup yang berdampak terjadinya risiko adalah keyakinan terhadap

kesehatan, kebiasaan hidup sehat, pesepsi sehat, pengaturan pola tidur, rencana

aktivitas keluarga dan norma perilaku berisiko. Lansia yang memiliki gaya

hidup kurang sehat misalnya kurang olahraga, merokok, pola diet yang kurang

sehat, mengkonsumsi alkohol berisiko mengalami gangguan kesehatan seperti

hipertensi.

5) Life event risk

Kejadian dalam kehidupan seperti kematian anggota keluarga, kelahiran anak,

tambah anggota keluarga/adopsi, dan anggota keluarga yang meninggalkan

keluarga inti (pendidikan, bekerja, menikah) memiliki risiko terjadinya

masalah kesehatan pada lansia.

b. Lansia Sebagai Populasi Rentan (Vulnerable At Risk)

Flaskerud dan Winslow (1998, dalam Stanhope & Lancaster, 2010)

mengatakan bahwa kerentanan merupakan hasil gabungan efek dari

keterbatasan sumber keadaan tidak sehat dan tingginya faktor risiko.

Kerentanan juga menunjukkan interaksi antara keterbatasan fisik dan sumber

lingkungan, sumber personal, dan sumber biopsikososial (adanya penyakit dan

kecendrungan genetik) (Aday, 2001 dalam Stanhope & Lancaster, 2010).

Populasi rentan adalah populassi yang lebih besar kemungkinannya untuk

mengalami masalah kesehatan akibat papran berbagai risiko daripada populasi

yang lainnya (Stanhope & Lancaster, 2010).


Berdasarkan beberapa pegertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

populasi rentan adalah sekelompok orang yang memiliki karakteristik tertentu

sebagai akibat dari hasil interaksi keterbatasan fisik dan sumber lingkungan,

personal dan biopsikososial sehingga mudah mengalami masalah kesehatan,

kesulitan dalam mengakses kesehatan, berpenghasiln rendah dan memiliki

masa hidup yang lebih singkat. Hipertensi pada lansia tidak dapat dipandang

sebagai proses yang normal, karena lanjut usia dengan penyakit kronis

hipertensi termasuk dalam populasi vulnerable (Stanhope & Lancaster, 2010).

Penurunan fungsi pada lansia akibat proses menua menempatkan lansia

sebagai populasi rentan. Ada beberapa faktor predisposisi yang menjadikan

seseorang meningkat kerentanannya. Bila lansia yang menderita hipertensi

mengalami PTSD, maka tekanan darahnya akan meningkat karena stres

emosional dapat menstimulasi sistem saraf simpatis, yang menyebabkan

konstriksi pebuluh darah dan berakibat tekanan darah meningkat (Christensen,

2006).

Marsh (2007) melakukan eksplorasi usia dihubungkan dengan kerentanan pada

komunitas lansia bahwa usia dihubungkan dengan kerentanan merupakan

bagian dari proses menua yang tidak dapat dihindarkan. Bila lansia merasa

dirinya rentan, hal ini akan berpengaruh terhadap sikap atau kepribadinya.

Tetapi perubahan sikap atau kepribadian, dipengaruhi oleh struktur sosial dan

kebijaka yang ada.


Dari keduanya dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang

berkontribusi sehinga lansia menjadi rentan. Penuaan yang menjadikan lansia

rentan merupakan faktor yang tidak dapat dihindari. Kerentanan juga

berdampak terhadap kondisi psikososial lansia, dimana dapat mempengaruhi

sikap atau kepribadian lansia. Menurut Stanhope dan Lancaster (2010) faktor

predisposisi yang membuat lansia menjadi rentan meliputi status sosial

ekonomi, usia, kesehatan, dan pengalaman hidup, yang akan dijelaskan dalam

uraian berikut ini :

1) Status sosial ekonomi

Lansia biasanya telah mengalami masa pensiun, produtifitasnya menurun,

sehingga penghasilannya berkurang atau tidak ada sama sekali. Hal ini akan

berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi lansia. Bila lansia menjadi semakin

miskin, maka kerentanan akan meningkat yang membuatnya semakin tidak

berfungsi dimsyarakat. Lansia dengan status sosial menengah keatas

mempunyai status kesehatan yang lebih baik dari pada lansia dengan status

sosial ekonomi menengah ke bawah. Penyakit yang diderita juga menunjukkan

adanya hubungan dengan status hubungan dengan status sosial ekonomi.

Misalnya penyakit jantung dan hipertensi banyak diderita dari kalangan lansia

menegah keatas, sedangkan TB paru banyak diderira oleh lansia dengan status

ekonomi menengah ke bawah.


2) Usia

Beberapa indidvidu tertentu menjdi rentan pada usia khusus karena interaksi

antaras karakteristk perkembangan kritis dan tekanan sosial ekonomi.

Bertambahnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi

anatomi dan fisiologi organ semakin besar. Oleh karena itu akibat proses

menua perawatan pada lansia jug mengalami perubahan yang disebabkan oleh

perubahan anatomi dan fisiologi, berbagai penyakit dan kelainan patologis dan

pengaruh psiko-sosio pada fungsi organ (Darmojo & martno, 2001). Beberapa

penykit akibat proses menua adalah alzheimer, parkinson, demensia, stroke

dan osteoporosis. Selain itu, lansia juga berisiko mengalami penyakit kronis,

seperti peyakit kardiovaskuler, kanker, artirtis, reumatik, diabetes, dan

sebagainya, yang semunya dikaitkan dengan proes penuaan (Lueckenotte,

2005).

3) Kesehatan

Gangguan pada status fisiologis menjadikan individu menjadi rentan. Lansia

mengalami kerentanan karena bertambahnya usia dan berbagai penyakit kronis

yang dialaminya. Gaya hidup juga berpengaruh terhadap kesehatan lansia.

Salah satu gaya hidup yang umum pada lansia adalah jarang braktifitas fisik

karen penurunan fungsi utuh dan adanya berbagai masalah kesehatan. Padahal

aktifitas fisik merupakan salah satu kebutuhan dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari lansia yang dapat memperlambat turunnya densitas tulang dan

meningkatkan ukuran dan kekuatan otot, termasuk jantung (Kressing & Echt,

2002 dalam Allender & Spardley, 2005). Faktor-faktor tersebut menjadikan


status fungsional lansia menjadi terhambat, sehingga rentan mengalami risiko

kesehatannya dan kehilangan kemandirin.

4) Pengalaman hidup

Pengalaman hidup mempengaruhi perkembangan kerentanan psikologis.

Populasi rentan sering megalami external locus of control. Mereka percaya

bahwa semua yang dialami adalah diluar kontrol mereka dan akibat dari nasib

buruk. Kondisi ini membuat mereka sulit untuk berinisiatif mencari bantuan

perawatan masalah kesehatannya. Menurut Charles et. Al (2001) menyebutkan

bahwa semakin tinggi usia sekrang maka afek-afek positifnya akan lebih

banyak. Hal ini dikarenakan adanya faktor pendewasaan, pengalaman hidup,

dan lain-lain. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan, dijumpai

lansia yang emosinya tidak selaras dengan bertambahnya usia, hal tersebut

sangat berkaitn erat dengan pengalaman hidup yang telah dilalui.

Berbagai faktor predisposisi dan dampak dari kerentanan membentuk suatu cycle

of vulnerability, yang membuat lansia semakin mengalami dampak buruk

(Stanhope & Lancaster, 2010). Jika siklus ini tidak diputus akan sulit bagi lansia

untuk memperbaiki status esehatannya. Menurut Mars (2007) juga menyatakan

adanya peningkatan kebutuhan ditujukan pada munculnya masalah struktural

dihubungkan dengan kerentanan lansia, dan untuk mencegah onset masalah yang

terkait dimaa yang akan datang. Oleh karena itu, lansia memerlukan asuhan

keperawatan komunitas yang berkelanjutan melalui upaya preventif, kuratif dan

rehabilitatif (Swanson & Nies, 1997: Stanhope & Lancaster, 2010).


B. Konsep Menua

Bagian konsep akan memaparkan teori yang menjadi sumber referensi atau

landasan dalam membahas hasil tindakan keperawatan. Konsep ini mencakup

pengertian menua, batasan lansia , lanjut usia sebagai populasi berisiko (population

at risk) dan populasi rentan (vulnerable population) .

1. Pengertian Menua

Menua didefinisikan sebagai perubahan progresif pada organisme yang telah

mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya

kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya

penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu

sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan

melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional

(functional limitations), ketidakmampuan (disability) dan keterhambatan

(handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran (Santi, 2009).

2. Proses Menua

Proses menua (aging) adalah proses alami pada manusia yang disertai dengan

penurunan kondisi fisik, psikologis ataupun sosial yang saling berinteraksi satu

sama lain. Keadaan tersebut berisiko menimbulkan masalah kesehatan secara

umum dan kesehatan mental secara khusus, serta masalah lain pada lansia. Selain

masalah fisik, secara umum lansia juga banyak mengalami masalah ekonomi

maupun masalah psikologis terkait hubungan dengan keluarganya. Bahkan

beberapa lansia mengalami depressi karena ketidaksiapan mental memasuki masa


lansia. Penyakit kronis yang biasanya diderita oleh lansia juga meningkatkan

kerentanan dan diperburuk dangan kemiskinan, kurangnya sumber-sumber, dan

pelayanan yang tidak adekuat bagi lansia (Hitchock, Schubert, & Thomas, 2007).

Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang

telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua

(Nugroho, 2006). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis.

Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun psikis.

Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,

penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan

berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.

Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi tidak

harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat dalam

hal ini diartikan: bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial, mampu melakukan

aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, dan mendapat dukungan secara

sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 2007).

Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan – perubahan yang

menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus – menerus. Apabila proses

penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbul lah berbagai

masalah. Hurlock (2004) seperti dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto (2006)

menyebutkan masalah – masalah yang menyertai lansia yaitu:

a. Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain,


b. Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola

hidupnya,

c. Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal

atau pindah,

d. Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah

banyak dan

e. Belajar memperlakukan anak – anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan

dengan perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik yang

mendasar adalah perubahan gerak.

Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat. Pertama minat terhadap diri

makin bertambah. Kedua minat terhadap penampilan semakin berkurang. Ketiga

minat terhadap uang semakin meningkat, terakhir minta terhadap kegiatan –

kegiatan rekreasi tak berubah hanya cenderung menyempit. Untuk itu diperlukan

motivasi yang tinggi pada diri usia lanjut untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya

agar tetap sehat secara fisik. Motivasi tersebut diperlukan untuk melakukan latihan

fisik secara benar dan teratur untuk meningkatkan kebugaran fisiknya.

Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (2008) mengatakan bahwa

perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap

perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Bagaimana sikap

yang ditunjukkan apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal ini tergantung dari

pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya. Perubahan ynag


diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah

peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial (Goldstein, 2010).

Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri – ciri

penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 2001, Munandar, 2003) adalah:

minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya, penarikan diri ke dalam dunia

fantasi, selalu mengingat kembali masa lalu, selalu khawatir karena pengangguran,

kurang ada motivasi, rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang

baik, dan tempat tinggal yang tidak diinginkan.

Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah: minat

yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati

kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini dan memiliki

kekhawatiran minimal trehadap diri dan orang lain.

3. Perubahan Proses Menua

Pada usia lanjut terjadi proses penuaan secara alami dan setiap individu mengalami

proses tersebut secara berbeda-beda . Walaupun idividu memiliki usia kronologi

yang sama, namun setiap individu memiliki proses menua yang tidak sama dalam

level fungsi organ. Semakin bertambahnya umur seorang manusia, akan terjadi

proses penuaan secara degenerative yang akan terjadi perubahan-perubahan pada

diri manusia meliputi fisik, sosial, kognitif, perasaan dan seksual (Azizah, 2011).
a. Perubahan fisik

Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,

penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan

berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang

gairah.

1) Sistem Indra

Pada lansia akan mengalami penurunan fungsi indra, yang pertama yaitu

perubahan sistem penglihatan, pada lansia cenderung akan mengalami

kehilangan elastisitas dan kaku serta daya akomodasi dari jarak jauh dan dekat

berkurang. Sistem pendengaran mengalami penurunan kemampuan daya

pendengaran pada telinga dalam, terutama pada nada-nada yang tidak jelas.

Sistem intergumen mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering, dan

berkerut. Kulit akan kekurangan cairan dan akan menimbulkan bercak.

2) Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia diantaranya perubahan pada

kolagen dan elastin menyebabkan turunya fleksibilitas pada lansia sehingga

menimbulkan peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan

terganggunya aktivitas sehari-hari. Atrofi otot sehingga seseorang bergerak

menjadi lamban, otot-otot kram dan menjadi tremor.


3) Sistem Persarafan

Pada lansia akan mengalami penurunan dalam merespon dan waktu untuk

bereaksi, khususnya terhadap stres, dan kurang sensitif terhadap sentuhan.

4) Sistem Kadiovaskuler

Pada lansia jantung akan mengalami penurunan elastisitas dinding aorta, katup

jantung menjadi tebal dan kaku, kemampuan darah menurun saat memompa

darah, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari

pembulu perifer, sistolik kurang lebih 160 mmHg dan diastolik kurang lebih

90 mmHg.

Penurunan kadar Hb pada lansia mengakibatkan penurunan pada konsentrasi

oksigen menjadi tidak adekuat, ditambah lagi dengan masukan diet yang buruk,

kondisi psikologis seperti kesepian, serta adanya penyakit kronis dapat menjadi

pemberat penyakit jantung. Perubahan normal pada jantung diantaranya yaitu

penurunan kekuatan otot jantung, perubahan pembuluh darah yang menurun

dan kemampuan memompa dari jantung harus kerja lebih keras sehingga

terjadi hipertensi (maryam, 2008).

5) Sistem Respirasi

Pada sistem organ paru pada lansia, otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan

dan menjadi kaku, menurunya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan

elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik napas menjadi lebih berat,

alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang.


6) Sistem Gastrointestinal

Pada lansia sistem pencernaan mengalami penurunan diantaranya hilangnya

gigi, biasanya karena gigi ompong sehingga akan mempengaruhi indra

pengecap, rasa lapar menurun hal ini karena asam lambung menurun dan

pengosongan lambung, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

7) Sistem Perkemihan

Pada sistem perkemihan mengalami kemunduran terutama pada laju filtrasi,

ekskresi, reabsorbsi oleh ginjal. Pada lansia akan mengalami pola perkemihan

yang tidak normal, seperti banyak berkemih di malam hari dan kadang tidak

mampu menahan kencing.

8) Sistem Reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia di tandai dengan mencintainya ovarium

dan uterus, terjadi atrofi payudara, pada laki-laki testis masih dapat membentuk

spermatozoa meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur, dorongan

seksual, selaput lendir vagina menjadi menurun dan sekresi menjadi berkurang.

9) Sistem Endokrin

Produksi dari semua hormon menurun, menurunya aktifitas tiroid, menurunya

basal metabolisme rate, dan menurunya sekresi hormon kelamin seperti

progesterone, esterogen, dan testosteron.


b. Perubahan mental

Perubahan kepribadian pada lansia biasanya tidak nampak secara drastis

melainkan lebih sering lansia mengungkapan secara tulus mengenai

keadaannya, meskipun kadang ada kekakuan dalam mengungkapkan

perasaannya. Pada lansia biasanya akan memiliki daya ingat yang baik

mengenai masalahnya, sedangkan ingatan jangka pendeknya akan sedikit

terganggu. Lansia juga akan mengalami perubahan penampilan, persepsi dan

daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.

c. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial yang dialami lansia yaitu, lansia akan mengalami yang

namanya pensiun, lansia akan mulai kehilangan pekerjaan, finansial, status,

dan teman. Tidak hanya itu lansia juga akan merasakan akan datangnya

kematian, perubahan dalam cara hidup, penyakit kronis dan ketidakmampuan,

gangguan gizi, kehilangan anggota keluarga, serta hilanggnya kekuatan dan

ketegapan fisik.

4. Penyakit Hipertensi Pada Lansia

Penyakit kardiovaskuler sangat rentan menyerang pada lanjut usia, walaupun

penyakit tersebut biasanya terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat dan faktor

keturunan. Penyakit kardiovaskuler biasanya karena serangan pada pembuluh darah

jantung. Penyakit kardiovaskuler yang sering dijumpai pada lansia yaitu penyakit

jantung koroner, hipertensi, serangan jantung, dan nyeri dada (Wahyunita, 2010).
Pada orang lanjut usia, umumnya besar jantung akan mengalami perubahan yaitu

mengecil, biasanya rongga balik kiri yang pertama kali akan mengalami penurunan

fungsinya ini disebabkan karena kurangnya aktivitas atau penurunan aktivitas.

Tidak hanya itu otot-otot jantung juga mengalami penurunan. Pada lanjut usia

tekanan darah akan naik secara bertingkat dimana elastisitas jantung akan menurun

(Nugroho, 2000).

Pada lanjut usia sering dijumpai penyakit tekanan darah tinggi atau yang disebut

hipertensi (Setiawan, Tarwoto, & Wartonah, 2009). Hipertensi pada lansia

merupakan kondisi dimana tekanan sistolik sama dengan 160 mmHg atau lebih dan

tekanan diastolik sama dengan 90 mmHg atau lebih (Smeltzer dan Bare, 2002)

Bebrapa faktor yang menyebabakan lansia menagalami hipertensi yaitu pola nutrisi

pada lansia yang tidak adekuat, penurunan persepsi sensori rasa, fungsi psikologi

pada lansia, stress adalah hal yang sering muncul pada lansia, dengan timulnya

stress akan menjadi faktor pencetus tekanan darah tinggi. Beberapa faktor yang

mempengaruhi kejadian hipertensi yaitu riwayat keluarga, obesitas, ras, kebiasaan

merokok, stress, asupan natrium yang berlebihan, konsumsi alkohol, pola makan

yang tidak baik, kurangnya olahraga, dan akibat dari penyakit lain seperti diabetes

militus, arterisklerosis, dan gagal ginjal akut atau kronik (Kowalak, 2011).

5. Pencegahan terjadi Hipertensi Pada Lansia

Hipertensi merupakan faktor utama terjadinya penyakit kardiovaskuler sehingga

sangat berbahaya apabila tidak segera dilakukan penanganan atau pencegahan


secara dini mengenai penyakit hipertensi. ada tiga cara pencegahan penyakit

hipertensi yaitu:

a. Pencegahan primer

Pencegahan ini lebih berpusat terhadap diri sendiri yaitu memanfaatkan potensi

yang adadalam diri sendir, pencegahan ini diantaranya mempertahankan berat

badan, diet rendah garam, pengurangan stress, melakukan terapi modalitas dan

latihan aerobik secara teratur.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan ini membutuhkan bantuan tenaga kesehatan dimana tenaga

kesehatan disini melakukan mengkaji riwayat dan pengkajian fisik. Pengkajian

riwayat meliputi pertanyaan yang biasanya diderita orang hipertensi seperti

rasa pusing, dada berdebar- debar, dan sering kencing. Sementara mengenai

pengkajian fisik meliputi pengkajian perfusi jaringan ke otak apabila tidak baik

akan muncul perubahan perilaku yang dapat diobsevasi seperti gelisah,

bingung, dan jatuh, pengkajian edema, edema yang berasal dari penyakit

jantung merupakan edema yang lembut dan pitting edema, auskultasi bunyi

jantung, apakah ada suara tambahan meskipun sulit biasanya mendengarkan

bunyi suara jantung pada lansia karena perubahan emfisema senilis pada

dinding dada, dan yang terakhir yaitu pengukuran tekanan darah secara teratur.
c. Pencegahan tersier

Pencegahan ini dimulai dari pengkajian personal klien dan mengkaji faktor

resiko yang dapat dirubah, perawat perlu menerima hak klien untuk memilih

dengan tidak mengubah kebiasaan tertentu yang telah dilakukan sepanjang

hidupnya seperti merokok atau makan-makan tinggi lemak perawat memiliki

tanggung jawab untuk menjelaskan dan mengajarkan isi yang dilakukan

perubahan agar muda di pahami klien. Pengatuhan klien tentang obat-obatan,

diet, dan rencana latihan harus dikaji dan ditambahkan sesuai kebutuhan.

Perawat harus mengkaji kebutuhan klien untuk bantuan baik membutuhkan

bantuan dari keluarga, teman atau kelompok masyarakat tertentu (Stanley &

Beare, 2007).

6. Penatalaksanaan Keperawatan Pada Lansia Hipertensi

Penatalaksanaan keperawatan pada lansia selama situasi akut dan situasi yang

mengancam kehidupan dapt dogolongkan menjadi 2 pendekatan yaitu mengurangi

beban jantung dan peningkatan fungsi jantung (Stanley & Beare, 2007).

Mengurangi beban kerja jantung dapat dilakukan dengan cara menyeimbangkan

istirahat dan aktivitas sehingga dapat mempertahankan tonus otot dan penggunaan

oksigen secara efisien. Mencapai keseimbangan ini aktivitas harus terjadwal

sepanjang hari. Pemberian oksigen juga dapat juga dapat mengurangi beban jantung

karena akan terjadi peningkatan oksigen yang dibawa hemoglobin ke seluruh tubuh.

Tindakan untuk mengurangi ansietas juga dapat mengurangi kerja beban jantung.
Pembatasan cairan dan natrium atau pemberian deuretik sehingga volume darah

yang dipompa jantung berkurang.

Upaya keperawatan untuk meningkatkan kontraktilitas termasuk memantau

keseimbangan elektrolit dan memberikan suplemen yang diperlukan, memastikan

keadekuatan aliran balik darah vena melalui pemantauan tekanan darah dan

keseimbangan cairan secara hati-hati dan memberikan obat-obat kardiotonik seperti

preparat digitalis. Perawat harus hati-hati dalam memberikan obat dan efek

sampingnya. Ahli geriatik sering memberikan dosis satu kali sehari dan dosis

geriatrik untuk meminimalisir keracunan pada lansia. Obat-obat yang mungkin

diresepkan bersama digoksin yaitu Quinidin, Varapamil, dan nifedipin.

C. Asuhan Keperawatan Kelompok Khusus pada Lansia

Kelompok atau agregat adalah sekumpulan individu yang berinteraksi pada suatu

daerah atau mempunyai karakteristik khusus yang merupakan bagian dari

masyarakat (stanhope & Lancaster, 2010). Asuhan keperawatan kelompok

merupakan metode penyeleaian masalah kesehatan yang ditunjukan kepada suatu

kelompok dengan menitik beratkan pada upaya promotif dan preventif tanpa

mengsampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Sasaran asuhan kelompok adalah

kelompok masyarakat khusus yang beresiko terhadap munculnya masalah

kesehatan baik yang terikat maupun yang tidak terikat dalam suatu institusi.
Sasaran asuhan keperawatan kelompok ini terdiri dari:

Sasaran yang tidak terikat institusi antara lain: kelompok balita, kelompok ibu

hamil, kelompok usia lanjut, atau kelompok penderita penyakit tertentu dan

kelompok khusus terikat dalam suatu institusi antara lain: sekolah, tempat kerja,

pesantren, panti asuhan, panti lansia, rumah tahanan, atau lembaga

permasyarakatan (Kemenkes, 2006). Asuhan keperawatan kelompok menggunakan

pendekatan proses keperawatan yang terdiri pengkajian, penegakan diagnosis,

perencanaa, implementasi, dan evaluasi.

1. Pengkajian keperawatan kelompok

Pengkajian merupakan fase awal dari proses asuhan keperawatan kelompok.

Tujuan dari pengkajian kelompok adalah mengidentifikasi kebutuhan kelompok,

mengidentifikasi kebutuhan kelompok, mengklarifikasi maslah kebutuhan

kelompok, mengidentifikasi kekuatan dan sumber sumber yang ada dikelompok:

serta mengidentifikasi mengidentifikasi resiko masalah kesehatan yang dapat

terjadi pada kelompok tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam

pengkajian asuhan keperawatan kelompok antara lain:

a. Wawancara informan

b. Observasi partisipan untuk mendapatkan data terkait kepercayaan / keyakinan

kelompok, norma, nilai, kekuatan, struktur kekuasaaan, proses penyelesaiin

amasalah

c. Survey
d. Windshield survei untuk mendapatkan data terkait kehidupan dan lingkungan

kelompok yaitu karakteristik masyarakat, tempat berkumpul, ritme kehidupan

bermasyarakat, dan adanya ikata kelompok

e. Focus group discussion

f. Data sekunder

g. Pemeriksaan fisik

Komponen yang ada pada pengkajian asuhan kelompok berdasarkan panduan

kemenkes tahun 2012 adalah: (form terlampir)

a. Data dasar anggota kelompok meliputi nama; jenis kelamin; tanggal lahir;

pendidikan; agama; suku; keadaan umum; tanda tanda vital (TTV), status gizi

riwayat penyakit, alat bantu yang digunakan; pola olahraga, pola tidur

b. Pengkajian terkait upaya peningkatan kesehatan yang ada dikelompok

meliputi: fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia untuk kelompok;

pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan oleh kelompok, fasilitas pendidikan

yang tersedia dan fasilitas pendidikan yang dapat dimanfaatkan, lingkungan

sekitar tempat tinggal anggota kelompok, status ekonomi (sumbangan, jenis

pekerjaan, rata rata pendapatan perbulan); status sosial budaya dan spiritual

(sarana ibadah, kegiatan keagamaan, kepercayaan yang bertentangan dengan

penaggulangan masalah kesehatan, serta kegiatan sosial) komonikasi meliputi

alat komonikasi yang digunkan dalam kelompok serta evektifitas proses

komonikasi antara anggota dalam kelompok, fasilitas rekreasi yang tersedia,

serta pengkajian terkait kebiasaan atau perilaku dalam kelompok berupa

pemeliharaan kebersihan diri dn pengelolaan makanan bersih dan sehat.


2. Diagnosis Keperawatan Kelompok

Tahapan asuhan keperawatan yang dilakukan sebelum menentukan diagnosis

keperawatan adalah melakukan analisis data hasil pengkajian. Diagnosisi

keperawatan merupakan Clinical judgment yang berfokus pada respon manusia

terhadap kondisi kesehatan/ proses kehidupan atau kerentanan ( vulnerability)

terhadap respon diri individu, keluarga, kelompok, atau komonitas (NANDA, 2015

– 2017).

Label diagnosis keperawatan kelompok meliputi aktual, potensial (promosi

kesehatan/ sejahtera/wellness) dan resiko. Pedoman diagnosis keperawatan

keluarga dan komunitas menggunakan Nort American Nursing Diagnosis

Association (NANDA), akan tetapi, NANDA belum optimal mengakomodasi

diagnosis keperawatan kelompok, sehinga digunakan juga rumusan diagnosis dari

International classification for nursing practice (INCP). Sesuai dengan hasil

Kongres Nasional Ikatan Perawat Kesehatan Komonitas (IPKKI) II di yogyakarta,

penulisan diagnosis keperawatan kelompok ditulis tanpa menyebutkan peyebab

(etiologi) dari masalah kesehatan yang dialamai. Cara menentukan diagnosis

keperawatan yang telah disepakati adalah sebagai berikut: mengidentifkasi keluhan

klien, memasukan domain, memasukan kelas, melihat definisi diagnosis dan

melihat batasan karakteristik

Diagnosis keperawatan kelompok yang ditetapkan melalui analisa data cukup

banyak (lebih dari 1 diagnosis sehingga perlu dialkuakan penetapan prioritas


diagnosis keperawatan. Dalam menetapkan prioritas masalah perlu melibatkan

kelompok dalam suatu pertemuan dengan anggota kelompok. Perawat dalam

menentukan prioritas hendaknya memperhatikan 6 kriteria yaitu:

a. Kesadaran masyrakat akan masalah

b. Motivasi masyarakat untuk menyelesaikan masalah

c. Kemampuan perawat dalam mempengaruhi penyelesaian masalah

d. Ketersediaan ahli/pihak terkait terhadap penyelesaian masalah

e. Beratnya konsekuensi jika masalah tidak terselesaikan

f. Mempercepat penyelesaian masalah dengan resolusi yang dapat dicapai

(Stanhope & Lancester, 2016).

3. Perencanaan Keperawatan Kelompok

Proses perencanaan sebagi upaya untuk menyusun rencana penyelesaian maslah

kesehatan yang dialami kelompok atau komonitas dikembangkan berdasarkan

integrasi dari diagnosis keperawatan NANDA dan International Classification For

Nursing Practice (INCP), Nusrisng Outcame Classification (NOC) dan NIC pada

diagnosis keperawatan kelompok menggunkan pendekatan prevensi primer,

sekunder dan tersier.

Tahapan penyususnan perencanaan keperawatan adalah sebagai berikut:

a. Melakukan proses analisis data hasil pengkajian

b. Menetukan diagnosis keperawatan berdasarkan NANDA atau INCP


c. Menetukan hasil (outcome) yang terukur dan dapat dicapai berdasarkan NOC

dengan cara menentukan diagnosis keperawatan; memilih kriteria; memilih

indikator; dan menentukan skala;

d. Menentukan intervensi berdasarkan NIC

4. Implementasi Keperawatan Kelompok

Fokus pada tahap implementasi adalah bagiamana mencapai sasaran dan tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Akan tetapi, hal yang sangat penting dalam

implementasi keperawatan kesehatan kelompok adalah melakukan berbagai

tindakan yang berupa promosi kesehatan, memelihara kesehatan/ mengatasi kondisi

tidak sehat, mencegah penyakit dan mencegah dan dampak pemulihan. Pada tahap

implementasi ini perawat tetap fokus pada program yang telah ditetapkan pada

tahap rencana. Tahapan implementasi keperawatan kelompok memiliki beberap

strategi implementasi diantaranya proses kelompok, promosi kesehatan,

pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan (partnership). Imlementasi yang dapat

dilakukan pada asuhan keperawatan kelompok antara lain:

a. Promosi kesehatan: melaksanakan pendidikan/ penyuluhan kesehatan sesuai

kebutuhan kelompok

b. Proses kelompok: memotivasi pembentukan dan membimbing kelompok

swabnatu atau pergroup

c. Pemberdayaan masyarakat: memantau kegiatan kader kesehatan sesuai dengan

jenis kelompoknya
d. Kemitraan: melakukan negosiasi/lobbying dam menjalani kerja sama dengan

pihak terkait (Dinas Kesehatan, Puskesmas, Kelurahan, Kecamatan) dalam

melaksanakan implementasi

5. Evaluasi Keperawatan Kelompok

Evaluasi adalah suatu proses untuk membuat penilaian secara sistematis dalam

mengukur keberhasilan asuhan keperawatan kelompok yang telah dilakukan. Jenis

jenis evaluasi menurut waktu pelaksanaan.

a. Evaluasi formatif

Evaluasi ini dilaksanakan pada waktu pelaksanaan program yang bertujuan

memperbaiki pelaksanaan program dan kemungkinan adanya temuan utama

berupa masalah masalah dalam pelaksanan program

b. Evaluasi sumatif

Evaluasi ini dilaksanakan pada waktu pelaksanaan program sudah selesai, yang

bertujuan untuk menilai hasil pelaksanaan program dan temuan utama berupa

pencapaian apa saja dari pelaksanaan program.

Sedangkan kriteria penilaian dalam evaluasi terdiri dari:

a. Relavansi (relavance); apakah tujuan program mendukung tujuan

kebijaksanaan

b. Keefektifan (effectiveness); apakah tujuan program dapat tercapai


c. Efisiensi (effeciency); apakah tujuan program tercapai dengn biaya paling

rendah

d. Hasil (outcomes) apakah indikato indikator tujuan program baik

e. Dampak (impact): apakah indikator indikator tujuan kebijaksanaan membaik

f. Keberlanjutan (sustaibinality) apakah perbaikan indikator indikator terus

berlanjut setelah program selesai.

6. Peran Perawat

Dalam prakteknya keperawatan gerontik meliputi peran dan fungsinya sebagai

berikut:

a. Sebagai Care Giver/ pemberi asuhan langsung

Sebagai pelaku/pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan

pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien,

menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi : melakukan

pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi yang benar,

menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil analisis data,

merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang

muncul dan membuat langkah/cara pemecahan masalah, melaksanakan

tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi

berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu klien mendapatkan

kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Proses penyembuhan


lebih dari sekedar sembuh dari penyakit tertentu, sekalipun pemberi

ketrampilan tindakan yang meningkatkan kesehatan fisik merupakan hal yang

penting bagi pemberi asuhan. Perawat memfokuskan asuhan pada kebutuhan

klien secara holistik, meliputi gaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual

dan sosial. Pemberi asuhan memberikan bantuan bagi klien dan keluarga dalam

menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan energi

dan waktu yang minimal.

b. Sebagai Pendidik klien lansia

Sebagai pendidik klien, perawat membantu klien meningkatkan kesehatannya

melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan

medik yang diterima sehingga klien/keluarga dapat menerima tanggung jawab

terhadap hal-hal yang diketahuinya. Sebagai pendidik, perawat juga dapat

memberikan pendidikan kesehatan kepada klien lansia yang beresiko tinggi,

kader kesehatan, dan lain sebagainya.

Perawat menjalankan peran sebagai pendidik ketika klien, keluarga atau

kelompok masyarakat dianggap memerlukan pengajaran. Hubungan pengajar

- orang yang belajar adalah tingkatan lebih lanjut dari hubungan pertolongan

perawatan. Di dalam hubungan saling ketergantungan ini akan terbangun suatu

kepercayaan. Perawat membangun rasa percaya tersebut dengan berbagi

pandangan objektif klien. Peran ini, dapat dalam bentuk penyuluhan kesehatan,

maupun bentuk desiminasi ilmu kepada klien


c. Sebagai komunikasi ( comunicator )

Setiap perawat yang berkeinginan menjadi perawat yang memberikan

perawatan secara efektif, hal pertama yang harus dipelajari adalah cara

berkomunikasi. Komunikasi yang baik menjadikan perawat mengetahui

tentang klien mereka yang akhirnya mampu mendiagnosa dan menemukan hal

- hal yang mereka butuhkan selama proses perawatan.

d. Sebagai pemberi bimbingan/konseling klien (Counselor)

Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien

terhadap keadaan sehat-sakitnya. Adanya pola interaksi ini merupakan dasar

dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya.

Memberikan konseling/bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat

tentang masalah kesehatan sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada

individu/keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan

pengalaman yang lalu, pemecahan masalah difokuskan pada masalah

keperawatan, mengubah perilaku hidup kearah perilaku hidup sehat.

e. Sebagai koordinator agar dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi klien

(Coordinator)

Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik

materi maupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada

intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.


Dalam menjalankan peran sebagai koordinator, perawat dapat melakukan hal-

hal sebagai berikut :

1) Mengkoordinasi seluruh pelayanan keperawatan.

2) Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas.

3) Mengembangkan sistem pelayanan keperawatan.

4) Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan

keperawatan pada sarana kesehatan

f. Rehabilitator

Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi

maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan

ketidakberdayaan lainnya. Seringkali klien mengalami gangguan fisik dan

emosi yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu klien

beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut. Rentang aktivitas

rehabilitatif dan restoratif mulai dari mengajar klien berjalan dengan

menggunakan kruk sampai membantu klien mengatasi perubahan gaya hidup

yang berkaitan dengan penyakit kronis.

g. Pembuat keputusan klinik ( Collabolator )

Untuk memberikan perawatan yang efektif, perawat menggunakan

keahliannya berpikir secara kritis melalui proses keperawatan. Perawat

membuat keputusan ini sendiri atau berkolaborasi dengan klien dan keluarga.

Dalam setiap situasi seperti ini, perawat bekerja sama dan berkonsultasi dengan

pemberi perawatan kesehatan profesional lainnya ( Keeling dan Ramos, 1995).


h. Sebagai Caring

Tanggung-jawab etis seorang perawat secara umum telah diuraikan dalam

kaitannya dengan caring dan perlindungan. Reverby melacak sejarah

keperawatan Amerika pada awal abad ke-19. Selama waktu tersebut, hampir

tiap-tiap perempuan menghabiskan sebagian dari hidupnya untuk

memperhatikan macam-macam penyakit dan kelemahan teman-teman dan

sanak keluarga. Pada saat keperawatan dikenal sebagai suatu pekerjaan

professional dan tempat dalam merawat dipindahkan dari rumah sakit, tugas

merawat ditafsirkan berarti ketaatan terhadap perintah dokter. Menurut

Reverby, caring keperawatan baru-baru ini telah mengalami suatu perubahan

bentuk. Berbeda dari sebelumnya, sekarang akan ditemui perawat menuntut

hak untuk menentukan bagaimana tugas merawat didapatkan. Sekarang

perawat menginginkan suatu model caring yang menyertakan hak-hak terhadap

otonomi dengan nilai-nilai ideal tradisional mengenai hubungan dan azas

mengutamakan orang lain.

Pakar teori ilmu perawatan modern yang melanjutkan untuk mengidentifikasi

caring sebagai hal yang utama untuk merawat juga menekankan bahwa teori

ilmu keperawatan itu harus dibangun dari praktek keperawatan dibandingkan

dengan gambaran ideal dalam keperawatan. Benner dan Wrubel sebagai

contoh, mengembangkan penafsiran teori caring keperawatan dari pengamatan

empiris dalam praktik keperawatan. Mereka mendefenisikan caring sebagai

suatu perhatian kepada orang lain, peristiwa, pekerjaan, dan hal-hal lain. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa caring memungkinkan untuk keperawatan

karena memadukan pemikiran, perasaaan, dan tindakan serta memberikan arah

dan motivasi untuk perawat.

Swanson juga mengemukan suatu model induktif caring. Menurut model ini,

caring memberikan bantuan dengan suatu cara yang memelihara martabat

manusia, mempertahankan kemanusiaan, dan menghindari penurunan status

moral seseorang. Caring, menurut Swanson, melibatkan lima komponen:

1) Mengetahui atau berusaha keras untuk memahami suatu peristiwa sebagai

sesuatu yang yang mempunyai arti dalam hidup orang lain.

2) Mendukung atau menunjukan keberadaan secara emosional kepada yang

lain.

3) Mengurus atau melakukan sehingga orang lain akan melakukan untuk

dirinya jika itu mungkin.

4) Memungkinkan atau memudahkan orang lain melalui pergantian hidup

dan peristiwa yang lazim.

5) Mempertahankan kepercayaan yang mengisyaratkan kepercayaan dalam

kapasitas lain untuk melalui suatu pergantian atau peristiwa untuk

menghadapi masa depan yang terpenuhi.

Walupun sebagai keperawatan sering dihubungkan dengan fungsi pelayanan,

baik dokter maupun perawat peduli tentang dan untuk pasien dan caring

adalah pusat tujuan pelayanan kesehatan yang etis. Selain itu, karena

keterampilan untuk perawat secara medis dan secara teknis lompleks. Praktek
keperawatan telah meningkat dari keperawatan domestik yang lebih sederhana

di dalam rumah menjadi pembedahan dan anastesi didalam unit

perawatan intensif (UFI) yang modern. Akhirnya, caring dan tidak hanya

meliputi membantu orang lain, tapi juga menahan diri dari mengunakan

berbagai bentuk terapi dan pengobatan.

i. Sebagai Advokasi

Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien

dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela

kepentingan klien dan klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan

yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun

profesional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat bertindak

sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan

terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan

peran sebagai advokat (pembela klien) perawat harus dapat melindungi dan

memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai